Wednesday, October 30, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 73


Di sepanjang perjalanan ke kantornya Rafa, Vita menghabiskan waktunya untuk memikirkan apa yang akan ia katakan kepada Rafa siang ini. Ia sudah bertekad untuk mengatakan semuanya kepada Rafa, karena sebentar lagi dia harus kembali ke Malaysia. Tiap kali ia mengingat kemanjaan Rafa kepadanya saat mereka bertemu, entah kenapa ia semakin ragu untuk mengatakan hal yang ia sembunyikan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa terus-terusan menyembunyikannya.

Gadis itu tersentak saat sopir yang mengantarkannya memberitahu bahwa mereka telah sampai di kantornya Rafa. Ia mengedarkan pandangannya ke luar mobil, dan menyadari kalau ternyata ia telah berada di depan kantor Rafa. Hatinya jadi berdegup tak karuan. Ia menghela nafas, lalu menyandarkan tubuhnya di jok. Ia pejamkan matanya untuk sedikit menenangkan hatinya yang kacau.

Non Vita kenapa?” tanya sang sopir, “kok nggak turun-turun?”

Kembali gadis itu tersentak. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menggeleng pelan ke arah sopir yang mengantarkannya. Setelah menghela nafas sekali lagi, ia pun meraih rantang makanan yang ia letakkan di jok belakang, dan keluar dari mobil.

Ia tak perlu lagi melapor kepada resepsionis tentang kedatangannya, karena resepsionis pun sudah sangat kenal dengan dia. Sudah beberapa kali gadis itu mendatangi kantor kekasihnya untuk mengantarkan makanan seperti ini, atau sekedar mampir. Sebagian karyawan dan staf di sana juga sudah sangat mengenalnya. Ia hanya melemparkan seulas senyum, yang langsung dibalas oleh gadis berambut panjang yang berdiri di balik meja resepsionis itu.

Ia berjalan dengan langkah ragu menuju ke ruangan Rafa. Sesekali, ia menyapa karyawan yang ia lintasi atau temui. Bukan karena canggung, tapi langkah ragunya lebih karena ia sebenarnya belum benar-benar siap mengatakan rahasianya kepada kekasihnya. Berkali-kali Rafa mengingatkannya kalau dia sangat bahagia karena mereka tak akan lagi menjalani LDR. Padahan kenyataannya, LDR-an mereka sebenarnya belum akan usai.

Begitu sampai di ruangan yang ia tuju, gadis itu hanya mematung di depan pintu. Hatinya berdegup semakin kencang. Tangannya tiba-tiba gemetaran. Ia menggigit bibir, untuk mengusir kegugupannya itu. Tapi seolah telah merajai hati dan perasaannya, kegugupan itu tak mampu ia usir, bahkan sampai ia berdiri di depan ruangan itu sampai lima menit.

Heh!” seseorang tiba-tiba membuatnya terperanjat dengan sebuah tepukan di bahunya. Saking kagetnya, Vita sampai melompat ke belakang, dan sempat sedikit terhuyung. Perempuan yang merupakan seorang staf bagian accounting perusahaan yang juga sudah sangat mengenalnya itu mengernyitkan dahi melihat keanehan Vita.

Sharlot?” ujar Vita, sambil memegangi dadanya yang hampir meledak. “Aku kira siapa.”

Kenapa, sih? Kok kamu aneh gitu?” tanyanya kemudian. “Pak Rafa ada di dalam, kok. Enggak lagi meeting. Masuk aja. Enggak pa-pa.”

I … iya. I … ini juga mau masuk, kok,” ujarnya terbata.

Sharlot masih memandang aneh ke arah Vita. Dahinya semakin mengernyit, sambil mengawasi gadis itu dari atas sampai bawah. “Beneran, deh. Hari ini kamu aneh,” ucapnya.

Aku enggak pa-pa. Cuma perasaan kamu aja, kali,” elak Vita. “Ya udah, aku masuk dulu, ya.”

Gadis itu akhirnya membuka pintu, membiarkan Sharlot memperhatikannya sampai ia memasuki ruangan Rafa. Saat ia mau menutup pintu kembali, ia melihat Sharlot masih berdiri di depan pintu.

Aku enggak kenapa-kenapa, Sharlot. Tenang aja,” ujarnya, sembari mengulaskan sebuah senyum yang ia usahakan semanis mungkin. Sharlot hanya mengedikkan bahunya, lalu meneruskan jalannya menyusuri koridor untuk menuju ke ruangannya sendiri. Begitu Sharlot benar-benar berlalu, Vita pun menutup pintu ruangan Rafa, dan membalikkan tubuhnya untuk menemui kekasihnya itu.

Senyum Rafa terkembang saat mendapati Vita telah berada di ruangannya. Ia meletakkan pulpen yang dipegangnya, lalu beranjak mendekati kekasihnya yang menenteng rantang. Terlihatlah olehnya sebuah senyum di bibir Vita, yang sangat melegakan hatinya. Lelah pikiran yang memberangusnya karena pekerjaan tiba-tiba hilang begitu saja. Ia telah menunggu gadis itu sedari tadi.

Semenjak kepulangan gadis itu ke Indonesia, hanya kehadiran gadis itulah yang bisa menghilangkan rasa lelahnya. Makanya, Rafa selalu bilang kalau dia pengen makan ini itu yang dibuat oleh tangan gadis itu. Itu adalah modus agar Vita datang ke kantornya, dan menemaninya bekerja sampai sore. Vita memang tak pernah langsung pulang kalau mengantarkan makanan untuknya. Gadis itu akan menunggu sampai Rafa menyelesaikan pekerjaannya, dan pulang bersamanya.

Melihat senyum Vita yang tampak aneh di matanya, Rafa mengernyitkan dahi. Apalagi saat Vita masuk tadi, ia melihat Sharlot yang sepertinya mencemaskan keadaan Vita.

Kamu kenapa?” tanya Rafa, seraya meraih lengan gadis itu dan menggamit pundaknya untuk ia ajak menuju sofa di sudut ruangan.

Kenapa?” Vita berpura bingung, sambil mendangakkan muka menghadap Rafa. “Aku enggak kenapa-kenapa.”

Trus tadi kenapa Sharlot kayaknya khawatirin kamu gitu?”

O, tadi aku berpapasan sama dia,” jawabnya, “trus dia bilang kalau hari ini aku agak aneh. Enggak tau kenapa dia bilang kayak gitu.”

Coba lihat.” Rafa memutar kepala Vita yang tiba-tiba tertunduk saat Rafa menanyakan kekhawatiran Sharlot tadi. Kini, mereka menghentikan langkah dan bersitatap lagi. Rafa pun meneliti wajah kekasihnya itu, dan memang menemukan sesuatu yang janggal di wajah Vita.

Kamu memang agak pucat hari ini,” ujar Rafa. “Kamu kenapa? Sakit?”

Gadis itu tak langsung menjawab. Ia malah menepis tangan rafa di dagunya, dan berjalan duluan menuju sofa.

Aku enggak pa-pa, Raf. Mungkin karena agak capek aja. Semalem aku nulis sampai larut malam. Jadi aku agak ngantuk,” ujarnya, berbohong. Tapi sepertinya Rafa percaya saja dengan apa yang diucapkan Vita. Ia mengikuti gadis yang kini tengah membuka rantang makanan di meja, lalu duduk di sebelah gadis itu.

Kalau kamu capek, harusnya kamu bilang, donk. Jadi, kan, kamu nggak perlu repot-repot masak buat aku.”

Enggak pa-pa, Raf. Aku senang kok bisa masakin kamu. Lagian, kan, aku juga pengen ketemu kamu,” kata Vita, sembari sibuk menyiapkan makanan untuk Rafa.

Kangen terus sama aku gitu, ya? Jadi pengen nemuin terus? Manis banget, sih?” gurau Rafa, sambil menahan senyum.

Vita menghentikan gerakannya sesaat, lalu melirik Rafa sambil mencibir. “Ke-GR-an,” ujarnya, membuat Rafa terkekeh.

Rafa memakan makanan yang dibawa Vita dengan lahap. Sementara itu, Vita hanya duduk di depan Rafa setelah menyiapkan air minum untuknya sesaat lalu. Sesekali, Rafa menyodorkan sendok ke mulut Vita, agar gadis itu ikut makan bersamanya. Tapi gadis itu menggeleng dengan dalih sudah makan di rumah. Padahal sejak pagi, belum ada sesuap nasi pun yang masuk ke dalam perutnya.

Belum sampai Rafa menghabiskan makanannya, ia berhenti. Ia baru menyadari kalau memang ada yang aneh pada gadis yang duduk dengan tatapan kosong di hadapannya itu. Ia merasa gadis itu banyak melamun. Sekarang pun, Rafa mendapati Vita tengah melamun.

"Vit?" Panggilnya, tapi tak ada respon.

Rafa menghela nafas, lalu meletakkan piring kertas dan sendoknya di meja. Hati-hati, ia menyentuh bahu Vita sambil berkata, "kamu sebenarnya kenapa, sih, sayang?"

Vita langsung menengok ke arah Rafa karena terkejut. Matanya membola, tapi ia tak merespon juga kata-kata Rafa. Nyawanya seolah belum sepenuhnya kembali.

"Kamu memang benar-benar aneh hari ini," kata Rafa lagi. "Kamu kenapa?"

Bukannya menjawab, Vita malah memandang Rafa dengan tatapan sayu. Matanya kini berkabut. Mulutnya sedikit terbuka, tapi belum juga mengeluarkan sepatah kata pun. Hal itu membuat Rafa semakin khawatir padanya. Wajah Rafa pun berubah panik.

"Kamu kenapa, hm?" ulangnya sekali lagi.

Gadis itu menghela nafas, lalu memejamkan mata. "Raf, sebenarnya aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ujarnya, begitu matanya terbuka kembali.

"Mau ngomong apa, sih? Kayaknya kok serius amat?"

Vita menggigit bibir. Genangan di matanya kini benar-benar tampak di penglihatan Rafa, membuat hati Rafa berdegup tak karuan karena penasaran dan … takut. Ia merasa ada hal yang tak mengenakkan yang akan disampaikan kekasihnya itu. Ia hanya menatap Vita, memberi kesempatan kepada gadis itu untuk memupuk keberanian.

"Aku ... aku ...," Vita masih tak bisa juga berbicara dengan lancar. "Aku harus kembali lagi ke Malaysia, Raf."

Reflek, Rafa memundurkan kepalanya. Ia menghela nafas tertahan karena terkejut. Pegangan tangannya di pundak Vita pun seketika mengendur. Ia menatap dalam ke manik mata Vita, berharap menemukan sebuah gurauan dari pandangan matanya. Tapi tidak. Mata itu malah melelehkan air. Semakin lama semakin deras. Itu cukup membuat Rafa tau kalau apa yang dikatakan gadis itu memang serius.

Kembali ke Malaysia? Tapi kenapa? Dan untuk apa?”

Maafin aku, Raf. Sebenarnya …,” lagi-lagi Vita menghadirkan jeda sesaat karena lidahnya sebenarnya kelu. Susah untuk berucap. “Sebenarnya waktu aku bilang aku cuma magang di sana itu bohong. Aku sudah menerima kontrak kerja di sana, Raf.”

Kontrak kerja?” Raut muka Rafa berubah merah. Kekhawatirannya berubah marah.

Iya. Selama tiga tahun.”

Tiga tahun?” Muka Rafa semakin memerah. Perasaannya pun telah bercampur bawur tak karuan. “Kamu jangan bercanda, Vit.”

Aku nggak bercanda, Raf. Aku udah benar-benar kerja di sana. Aku udah tanda tangan kontrak dua bulan yang lalu.”

Dua bulan yang lalu, dan kontrak kerja itu masih harus berjalan dua tahun sepuluh bulan lagi?” ucap Rafa dengan nada kesal. “Dan kamu enggak pernah membicarakannya sama aku sebelum menerima kontrak kerja itu?”

Maafin aku, Raf,” Vita berucap sambil terisak.

Kenapa, Vit? Kenapa kamu harus merahasiakannya? Kenapa kamu enggak pernah ngomong? Kenapa kamu mengambil keputusan sendiri?” tak ada jawab atas ceracauan Rafa itu. Yang terdengar hanyalah isak tangis Vita yang semakin menjadi. Jeda berselang lama di antara mereka. Dengan raut kecewa yang mendalam, Rafa menyeret tubuhnya menjauh dari Vita, dan menyandarkannya di badan sofa. Rafa merasa darahnya naik hingga ujung kepala. Raut mukanya tertekuk, hingga tak ada lagi kemanisan di wajah tampan itu. Harapannya untuk segera menikah seolah diluluhlantakkan oleh Vita, orang yang ia harapkan akan selalu mendampinginya. Ingatan tentang pembicaraannya dengan sang papa kemarin siang tiba-tiba saja mengelebat di benak Rafa, membuatnya semakin frustrasi.

Vita sekarang udah benar-benar pulang. Dua bulan lagi Papa udah mau pensiun. Perusahaan Papa serahin sepenuhnya ke kamu. Dan Papa ingin sebelum Papa pensiun, Vita udah tinggal di sini sebagai menantunya Papa. Dan tentunya, ngasih cucu buat Papa, donk.” Om Panji mengucapkan kata-kata itu sambil tergelak kemarin. Rafa pun menjawab iya dengan penuh keyakinan, karena ia memang yakin kalau Vita bisa diajak menikah kapan saja. Tapi sekarang, keyakinannya telah hancur. Dia harus menunggu lagi. Berpisah lagi. LDR-an lagi. Membuat papanya kecewa lagi.

Aku kira kita bisa selalu melangkah sama-sama, Vit. Aku kira aku ini orang yang berarti dalam hidup kamu. Orang yang harus kamu ajak bicara saat kamu harus mengambil keputusan yang penting dalam hidup kamu. Tapi ternyata tidak. Kamu enggak nganggep aku.”

Bukan begitu, Raf …”

Tapi nyatanya begitu,” potong Rafa, sampil melemparkan tatapan tajam ke arah Vita. “Selama ini, langkah apapun yang akan aku ambil, aku selalu membicarakannya sama kamu. Meminta pendapatmu. Bahkan memilih jurusan waktu kuliah pun aku ngomong dulu sama kamu. Tapi kamu apa? Keputusan sepenting ini kamu enggak pernah ngomong sama aku.”

Tapi, Raf …,”

Aku kecewa sama kamu, Vit.” Ujar Rafa, sebelum beranjak dari duduknya dan menuju ke kamar mandi, meninggalkan Vita yang semakin terisak di sudut sofa.

* * * * *

Diana berjalan sendirian menyusuri jalanan dari toko buku menuju ke asrama. Sengaja dia tidak naik kendaraan, karena ia ingin sekali menghilangkan gundah di hatinya. Belakangan ini sikap Reza sangat aneh kepadanya. Reza tak pernah lagi menemuinya saat menjelang kuliah. Kalau ditelpon, Reza hanya bilang kalau dia sibuk. Entah kesibukan apa yang membebani Reza, Diana sendiri tidak tau. Tapi kalau didengar dari kata-katanya yang datar tiap Diana telepon, Diana yakin kalau bukan hal itu yang membuat sikap Reza mendadak berubah. Diana merasa kalau Reza tengah marah kepadanya. Tapi, Diana juga tidak tau apa yang membuat Reza marah.

Dengan pikiran yang menerawang jauh entah kemana, Diana terus melanjutkan perjalanannya tanpa mempedulikan kakinya yang pegal. Ia mengingat-ingat kelakuannya belakangan ini. Tapi sekuat apapun ia berusaha mengingat, ia tak juga menemukan kesalahan dalam sikapnya. Hal terakhir yang ia ingat adalah BBM manis Reza waktu malam minggu saat ia berada di rumah Nanda. Setelah ia pulang ke rumah pun, sikap Reza masih baik-baik saja. Suaranya masih renyah waktu ia telepon Diana. Perubahan sikap Reza baru tercium oleh Diana hari seninnya, saat Reza bilang kalau HP kesayangannya mati terbanting. Apa mungkin gara-gara HPnya mati, sikap Kak Reza jadi aneh? Tapi kenapa dia jadi marahnya sama aku? Lagian HPnya, kan, sekarang udah nyala lagi? Udah bagus lagi? Trus kenapa dia masih marah? Ceracau Diana dalam hati.

Saat kalut tengah membelit hatinya, langkah Diana tiba-tiba terhenti. Ia mengerutkan kening melihat sebuah mobil Gracio berwarna hitam tiba-tiba berhenti di depannya, seolah ingin menghadang langkahnya. Otak Diana belum sepenuhnya beres. Ia hanya diam tanpa menghindar saat dua orang lelaki bertopeng turun dari mobil dan berjalan ke arahnya.

Kesadaran Diana baru sepenuhnya kembali saat salah seorang lelaki bertopeng itu mencekal lengannya, dan menyeretnya masuk ke dalam mobil.

"Ka ... Kalian si ...siapa?" tanya Diana, gugup. Ia tak sempat meronta, ataupun meminta tolong karena salah seorang dari mereka membekap mulutnya dengan sapu tangan. Entah apa yang ada di sapu tangan yang dipakai untuk membekap Diana itu, yang jelas kesadaran Diana langsung hilang beberapa saat setelah sapu tangan itu menutup mulut dan hidungnya. Diana dibaringkan di jok belakang, dengan kepala ditumpukan di atas paha salah seorang dari dua lelaki bertopeng itu.

Hati-hati, woy. Jangan sampai dia kenapa-kenapa,” ucap sang sopir, saat mendengar suara kepala Diana yang beradu dengan pintu mobil.

Seorang lelaki yang memangku kepala Diana nyengir gaje, “sory, sory, Bos. Enggak sengaja," katanya.

Salah satu lelaki lain langsung turun dan tengok kanan kiri mengecek apakah ada yang melihat aksi mereka. Begitu semua dirasanya aman, ia masuk ke jok depan samping sopir, lalu membuka topengnya. Ia lirik sang sopir yang masih saja menengok ke belakang, memperhatikan gadis yang terbaring pingsan itu. Raut muka sopir itu sama sekali tidak cerah, bahkan terlihat khawatir. Hal itu mengundang kecurigaan pada orang yang duduk di sebelahnya.

Kenapa, lo? Naksir sama nih cewek?” guraunya, sambil menonjok lengan si sopir. Tak disangka, si sopir malah terperanjat, seperti orang yang telah dibangunkan dari lamunannya.

Ayo, buruan cabut. Ngapain malah bengong kayak gitu?” suara orang yang memangku kepala Diana terdengar berseru, membuat sang sopir akhirnya memutar tubuhnya ke depan, dan melajukan mobil mereka.

* * * * *

Senyum manis Raisya sore itu terlihat sangat pahit untuk Ilham. Diam-diam, pemuda itu mengintip Raisya yang mendekati Bisma di ruang kerjanya di ruang F5. Awalnya ia mau masuk. Tapi melihat Raisya mendekati Bisma, pemuda itu hanya mengintip di depan pintu dengan perasaan kesal. Kemarin Raisya berbicara padanya kalau Raisya mau mendekati Bisma lagi. Dengan penuh keyakinan, Raisya berbicara menggebu pada Ilham kalau kali ini dia pasti akan mendapatkan Bisma. Ilham merasa hatinya memanas tiap kali mengingat obsesi Raisya untuk mengejar cinta Bisma itu. Dari pada ia semakin kesal, akhirnya ia memilih untuk meninggalkan ruangan itu, dan berjalan keluar kampus meski sebenarnya ada pekerjaan yang harus ia selesaikan di sana.

Pemuda itu menghentikan langkahnya di sebuah taman bermain anak-anak tak jauh dari kampus. Ia mencari bangku kosong, lalu duduk di sana memperhatikan tingkah lucu anak-anak sepantaran keponakannya yang bermain riang bersama anak lain atau pengasuhnya. Kemarin-kemarin, saat Raisya masih dalam masa menghilangkan memory tentang Bisma, mereka berdua selalu ke tempat ini tiap sore. Tidak untuk bermain perosotan atau ayunan, tentu saja. Tapi hanya untuk memperhatikan kelucuan yang dihadirkan bocah-bocah berumur tak lebih dari enam tahun itu di sana.

Raisya sebenarnya sangat menyukai anak kecil, sama seperti dia. Tiap kali mereka ke sana, Raisya selalu menyempatkan berfoto dengan beberapa orang anak kecil yang kebetulan saat itu bermain di sana. Pernah suatu kali, Ilham foto bertiga dengan seorang anak kecil keturunan china yang imut dan lucu. Wajahnya bulat seperti Raisya, hingga kalau ada orang yang melihat foto itu, mungkin akan mengira kalau anak perempuan berusia tiga tahun itu adalah anak mereka. Sampai sekarang, Ilham masih menyimpan foto itu.

Tapi sekarang, mungkin mereka tak akan bisa lagi menghabiskan waktu berdua di taman ini seperti kemarin-kemarin. Kalaupun Raisya mau ke sini, pasti ia akan mengajak Bisma. Bukan dia. Ilham mendengus saat mengingat senyum Raisya yang begitu manis untuk Bisma tadi. Selama sebulan lebih ia dekat dengan Raisya, belum pernah ia mendapatkan senyum semanis itu dari Raisya. Tapi Bisma, meski ia tak pernah peduli dengan perasaan Raisya, Bisma sering mendapatkan senyum manis seperti itu.

Ehm,” deheman seorang gadis menyentak lamunan Ilham. Ia memutar kepalanya cepat, dan menemukan seorang gadis yang berdiri di belakang kursinya dengan menyandang senyum di bibir. Terlihatlah gadis itu berjalan ke depan kursi, dan duduk menjajarinya.

Fryda?” gumamnya. “Ngapain ke sini?”

Gadis yang disapa Fryda itu melebarkan senyumnya mendengar sapaan ramah dari Ilham. Ilham memang selalu ramah kepada siapa saja. Mungkin hal itu juga yang membuatnya mudah bergaul. “Gue tadi ngelihat lo merengut di depan ruangan, trus kabur gitu aja. Ya udah, gue ngikutin lo aja. Eh, ternyata lo ke sini,” jelasnya.

Fryda menemukan tatap Ilham yang kosong. Lalu, gadis yang juga kawan Ilham di UKM itu kembali bertanya, “kenapa, Ilham? Lo nggak rela kalau Raisya ngedeketin Bisma lagi?”

Dahi Ilham mengernyit. Ia bingung darimana Fryda tau tentang isi hatinya? Padahal belum sekalipun Ilham mengatakan tentang perasaannya kepada siapapun.

Kenapa? Bingung ya, karena gue tau perasaan lo?” ujar Fryda, lalu tersenyum lagi. “Gue bahkan tau kalau kalian berdua sama-sama suka sama anak kecil, Am. Gue tau kalian sering datang ke sini buat lihat anak-anak kecil yang lagi main, dan lo sangat bahagia tiap kali berada di dekat Raisya.” Fryda menghadirkan jeda sejenak, lalu …, “Ada cinta di hati lo buat Raisya. Iya, kan?”

Gadis ini benar-benar seperti dukun. Ilham jadi tak bisa berkata apapun karena merasa perasaan yang ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya seperti dikuliti oleh gadis itu.

Da … dari mana lo tau?” tanya Ilham terbata.

Sebenarnya gue sering merhatiin lo, Am. Jujur, gue sering suka lihat tingkah polah lo. Bukan karena gue juga ada perasaan seperti rasa lo buat Raiysa. Tapi cuma sekedar kagum. Kalau lo artis, mungkin bisa dibilang kalau gue nge-fans sama lo,” gadis itu tergelak, diikuti kekehan Ilham.

Lo tuh ada-ada aja.”

Gue serius. Gue tuh kagum beneran sama lo. Segala yang ada pada diri lo bikin gue kagum,” ucap Fryda lagi, membuat muka Ilham bersemu. “Tapi lupain kekaguman gue, dan mendingan kita bahas Raisya. Gue bukannya pengen ikut campur. Tapi gue rasa, baru kali ini gue lihat lo cinta sama orang, Am. Tapi gue bingung kenapa lo ngebiarin dia lepas gitu aja? Kalau emang lo benar-benar cinta sama dia, kejar dia. Ungkapin perasaan lo. Jangan biarin dia jadi milik orang yang jelas-jelas enggak bisa bahagiain dia.”

Ilham menggeleng. Ia menghela nafas dalam, lalu menghempaskannya dengan berlebihan lewat mulutnya yang ia gembungkan. “Gue enggak bisa. Raisya terlalu cinta sama Bisma. Gue udah bilang berkali-kali kalau cintanya itu salah. Tapi dia enggak pernah mau dengar.”

Karena lo enggak pernah bilang ke dia kalau ada cinta yang pasti bisa membuat dia bahagia, Am,” sela Fryda. “Cobalah untuk berani mengungkapkan apa yang lo rasain. Di pendam terus juga enggak ada gunanya, kan?”

Ilham hanya diam tak menimpali lagi apa yang diucap Fryda. Mungkin dia merenungi apa yang diucap Fryda. Atau … malah menganggap kalau Fryda tidak benar-benar tau apa yang dia rasakan? Entahlah. Yang jelas jeda itu berselang hingga beberapa menit, sampai Fryda mengeluarkan suara lagi.

Hanya cinta tulus lo yang bisa menghilangkan cinta Raisya yang salah sasaran, Am,” ucap Fryda lagi, seraya menepuk-nepuk bahu Ilham.

Ilham menatap wajah Fryda yang lagi-lagi tersemat senyum. Kata-kata Fryda itu ia serap dalam-dalam, hingga ia memahami dan mengerti apa makna yang ada dari kata-kata sederhana itu. Cinta Raisya memang salah sasaran. Ia tau betul tentang itu. Tapi kemarin-kemarin, sebelum Fryda menyadarkannya, Ilham belum tau apa yang harus ia lakukan untuk menyadarkan Raisya. Sekarang ia sudah tau. Cinta tulusnya yang bisa membuat Raisya tak lagi mengharapkan Bisma. Dia hanya tinggal mengungkapkannya, dan Raisya akan tau bahwa cinta Ilhamlah yang pantas ia harapkan.

Tapi, semudah itukah? Ilham tak begitu percaya diri. Ia ragu.

'* * * * *

"Tujuh tahun lebih kita sama-sama, baru kali ini aku ngerasa benar-benar kecewa sama kamu, Vit," ucap Rafa, setelah ia menepikan mobilnya di depan gerbang rumah Vita. Pemuda itu menengok ke arah gadis yang kini duduk di sampingnya. Tatapannya seperti belati yang menusuk sampai ke hati terdalam Vita, hingga gadis itu merasakan nyeri yang teramat sangat.

"Raf ..." Vita belum sempat mengatakan apapun saat Rafa memutar kepalanya dengan cepat dan membuka pintu mobil, lalu keluar memutari separuh badan mobil.

Bening di pelupuk mata Vita jatuh. Ia meremas rantang makanan di pangkuannya, lalu memejamkan mata. Ia tekan dadanya dengan salah satu tangan, untuk sedikit menghalau rasa sakit yang terasa menyiksa. Rafa benar-benar marah. Vita tak pernah melihat Rafa semarah itu kepadanya. Biasanya kalau Rafa kesal, ia hanya akan manyun sebentar dan setelah Vita meminta maaf, kekesalannya akan menghilang begitu saja. Tapi kali ini, permintaan maaf Vita pun tak cukup membuat kekesalan di hati pemuda itu mencair. Apa kesalahan Vita terlalu fatal? Mungkin iya. Ia telah menghancurkan kepercayaan Rafa. Harapan Rafa. Keinginan Rafa. Rafa merasa dikesampingkan. Tak dianggap.
Gadis itu baru membuka matanya kembali saat terdengar pintu mobil di buka, dan Rafa menyuruhnya turun. Dengan air mata yang kian menderas, gadis itu keluar dari mobil dengan gerakan pelan. Ia memandang wajah Rafa yang tak ramah sebelum benar-benar menjauh dari samping pemuda itu. Tetapi, Rafa malah membuang muka dan menutup pintu mobilnya dengan kasar.

Setelah pemuda itu kembali memasuki mobilnya, ia langsung tancap gas, dan melaju cepat meninggalkan Vita yang masih saja sesenggukan di depan gerbang rumahnya. Jangankan kecupan, ucapan pamit pun tidak terlontar dari bibir Rafa. Vita semakin merasa bersalah. Hatinya sakit karena ulahnya sendiri. Ia tak tau lagi apa yang harus ia lakukan agar Rafa memaafkannya.

* * * * *

Jepret! Jepret!

Terdengar suara kamera menjepret dari sebuah HP yang di pegang oleh salah seorang lelaki bertopeng. Kamera itu mengambil gambar Diana yang kini dalam keadaan tangan dan kaki terikat di sebuah kursi di tengah ruangan. Mulutnya ditempel takban hitam, hingga ia tak bisa berteriak untuk meminta tolong. Kini, gadis itu pasrah dengan keadaannya setelah lelah meronta. Muka dan sebagian tubuhnya telah basah oleh keringat. Ada sebuah luka kecil juga di keningnya, karena waktu meronta tadi kursinya sempat jatuh dan kepalanya membentur lantai. Untung ada salah seorang dari mereka yang sedikit berbaik hati kepada Diana. Kalau tidak, mungkin Diana sudah menjadi amukan para penculik itu karena ia terlalu banyak meronta.

Pemuda yang tidak terlalu kasar pada Diana itu kini terduduk sambil memainkan bola kecil di sudut ruangan. Kedua kawannya yang tadi ikut menculik Diana berdiri di depan pintu, seolah menjadi satpam yang menjaga agar Diana tak bisa keluar. Padahal tanpa pintu dijaga pun, mana bisa Diana keluar dalam keadaan terikat seperti itu. Sementara itu, Seorang lelaki terlihat memotret Diana dari berbagai posisi. Lelaki itu tadi tidak ikut menculik Diana. Ia hanya menunggu di rumah kosong yang kini mereka tempati itu.

Sejak membuka mata tadi, perhatian Diana langsung tertuju kepada lelaki yang duduk di sudut ruangan sambil sesekali melempar pandangan ke arahnya itu. Sekarang pun, saat seseorang mengambil gambarnya, mata Diana tertuju pada lelaki itu. Lelaki itu seperti tak asing lagi buat Diana. Pandangan matanya, suaranya yang khas meski tertutup selayer, dan … poni kemerahan yang menggantung di puncak dahinya. Diana mengenal pemilik poni itu.

Dicky?” desis Diana dalam hati, dengan rasa penasaran memberangus hatinya.

Bersambung

By: Novita SN

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 72


Saat membuka mata, Afra menemukan Morgan tengah terlelap di kursi samping ranjangnya. Ia tatap wajah pemuda yang meletakkan kepala di ranjang itu dengan raut haru. Masih ada lebam di beberapa bagian. Tiga buah plester luka juga tersemat di wajah lelah itu. Luka Morgan memang telah diobati tadi malam. Begitu mendengar bahwa Afra dan bayinya baik-baik saja, pemuda itu langsung merasa lega dan membiarkan para suster mengobati luka-luka di wajah dan beberapa bagian tubuhnya.

Afra masih saja memandangi wajah yang menghadap ke arahnya itu. Tangannya terangkat, hendak mengusap kepala Morgan. Tapi tinggal satu centi lagi tangan itu menyentuh kepala Morgan, gadis itu mengurungkan niatnya. Ia takut akan mengusik tidurnya Morgan. Ia tau, Morgan pasti sangat lelah. Peristiwa tadi malam memang sangat menguras tenaga dan pikiran pemuda itu. Ia butuh istirahat lebih sekarang.

Afra menarik tangannya kembali, lalu menghela nafas panjang. Kali ini, helaan nafasnya tak lagi berat. Semua masalah telah beres semalam. Papanya tak lagi marah seperti kemarin. Kecewa pasti masih tetap ada. Tapi amarahnya telah reda. Om Doni mulai bisa menerima semua keadaan ini.

Semua itu karena Tante Melly, mamanya Morgan. Ternyata belakangan ini Tante Melly telah menaruh curiga pada Pak Marwan, penjaga villa keluarga mereka. Kecurigaan itu timbul saat Pak Marwan sering sekali menelpon ke rumah mereka untuk menanyakan kabar Morgan. Berbekal kecurigaan itu, semalam Tante Melly menelpon ke villa dan memaksa Pak Marwan mengakui keterlibatannya dengan kejadian yang menimpa Morgan saat di Villa waktu itu. Awalnya, Pak Marwan ragu mengakuinya. Tapi dengan desakan keras dari Tante Melly, akhirnya Pak Marwan mengakuinya juga.

Pengakuan Pak Marwan itu cukup menjadi penghapus amarah Om Doni kepada Morgan. Bahkan semalam, Om Doni meminta maaf kepada Morgan juga kepada Om Sofyan dan Tante Melly karena telah menghajar Morgan tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi.

Kini Afra telah lebih lega. Meski DO dari kampus sudah mengancamnya di depan sana, tapi setidaknya, masalah tersulitnya telah terlewati. Orang tuanya telah respek lagi kepada Morgan. Lihat saja sekarang orang tuanya telah membiarkan Morgan menjaganya seorang diri lagi seperti ini. Orang tuanya memang telah pulang sejak subuh tadi, begitu juga orang tuanya Morgan.

Beberapa saat hanya memandangi wajah di depannya, gadis itu mengembangkan senyum saat tubuh di sampingnya itu bergerak. Morgan membuka mata, lalu mengangkat kepalanya. Begitu ia menemukan wajah kekasihnya yang kini tampak cerah meski terhias lebam di pipi kanannya, Morgan tersenyum.

Kamu udah bangun?” Tanya pemuda itu, seraya menggeliat dan merantangkan tangan untuk menghilangkan pegal di badannya. “Udah bangun duluan kok nggak ngebangunin, sih?”

Kasihan. Kayaknya lelap banget.”

Morgan menopang dagu di atas Ranjang, sambil tersenyum melihat Afra. “Kamu nggak mual? Biasanya kalau pagi gini mual-mual?” Tanyanya.

Belum.” Jawab Afra. “Kalau masih tiduran gini belum mual. Ntar kalau udah bangun pasti mual. Makanya nggak mau bangun dulu.”

Kalau gitu jangan bangun-bangun deh. Tiduran terus aja.” Ujar Morgan, lalu terkekeh. “Aku cuci muka dulu, ya? Kamu pengen sesuatu nggak? Ntar aku cariin.”

Pengen minum teh manis anget.”

Iya deh, ntar aku mintain.” Sambil mengelus lembut perut datar Afra, Morgan memberikan satu kecupan hangat di dahi orang yang sangat dicintainya itu, lalu beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka.

'* * * * *
"Za, kamu harus percaya sama aku, Za. Diana tuh enggak sebaik yang kamu pikir." Suara Clara terdengar menggebu dari sebrang sana. Berhari-hari ia mencoba menelpon mantan kekasihnya itu, baru hari ini telponnya diterima. Mungkin Reza sudah kelewat bosan melihat misscall bejibun yang isinya hanya Clara.

"Udahlah, Ra. Gue tau apa maksud lo. Lo nggak suka, kan, kalau gue milih Diana. Lo nggak suka kalau gue sama orang lain. Jadi lo pengen banget misahin gue sama Diana. Ra, Please deh. Move on dari gue. Gue nggak cinta sama lo. Buat apa lo ngejar gue terus? Di luar sana banyak yang lebih baik dari gue, yang pasti bakal bisa nyenengin dan nyayangin lo."

"Maksud aku enggak gitu, Za. Aku cuma pengen kamu tau kalau Diana tuh punya pacar lain selain kamu. Aku cuma nggak mau kamu dimainin, Za."

"Pacar yang mana?" Reza menyahut cepat, dengan suara geram. "Gue tau Diana, lebih dari apa yang lo tau, Ra. Diana bukan orang seperti itu. Lo mungkin nggak pernah tau bagaimana perjuangan dia buat bisa pacaran sama gue. Jadi apapun yang lo tuduhin ke Diana, gue nggak bakal pernah percaya, Ra. Sorry."

"Tapi aku nggak asal nuduh, Za." Kali ini suara Clara meninggi. Ada getaran juga dalam nada suaranya. "Aku punya bukti."

"Mana buktinya?" Suara Reza tak kalah tinggi. "Bukti apa yang bisa lo lihatin ke gue?"

"Temen aku pernah lihat dia jalan sama cowok. Cowok yang sama Diana itu mengaku di depan umum kalau mereka pacaran. Waktu itu katanya mereka mesra banget."

"Temen lo, kan, yang bilang? Lo nggak lihat sendiri, kan? Siapa tau cewek yang temen lo lihat itu bukan Diana yang ini."

"Temen aku yakin banget kalau yang dia lihat itu cewek bermuka dua itu, Za ... "

"Stop, lo ngatain Diana, Ra." Kemarahan Reza benar-benar memuncak. Ia tidak terima kalau kekasihnya dikatai seperti itu. "Diana bukan cewek bermuka dua. Inget itu, Ra."

"Tapi dia memang bermuka dua, Za. Dia cuma sok baik di depan kamu. Kamu nggak tau apa yang dia lakuin di belakang kamu."

"Ra, kalau lo nelpon gue cuma mau ngomongin hal yang nggak penting kayak gini, mending lo nggak usah telpon deh. Males gue ngeladeninnya." Klek. Reza mematikan HPnya, dan melemparkan benda hitam itu ke ranjangnya dengan asal. Untung saja benda sebesar telapak tangan itu mendarat dengan sukses di atas kasur. Kalau tidak, mungkin BB onix itu sudah hancur gara-gara terlalu keras menghantam lantai.

Reza menghempaskan nafas beratnya, lalu membuka kamar dan berdiri di balkon. Ia hirup dalam-dalam udara pagi yang menyejukkan untuk menghilangkan emosinya yang memang sudah menggelegak. Sebenarnya masih terlalu pagi untuk mengumbar emosi seperti ini. Matahari baru saja mengendap-endap keluar dari peraduannya, dan mengintip di balik pepohonan rindang di samping asrama. Reza jadi semakin kesal mengingat istirahatnya diganggu Clara sepagi ini. Semalam pemuda itu menjalankan tugas kampus sampai malam. Ia berharap pagi ini akan mendapatkan istirahat lebih. Hari ini hari minggu. Seharusnya ia memang bisa bermalas-malasan di asrama tanpa ada beban pikiran apapun karena tidak ada kuliah ataupun tugas senat. Akan tetapi, siapa yang menyangka kalau Clara akan menelpon sepagi ini dan membuat hari minggunya rusak.

Kembali, Reza menghela nafas. Ia tumpukan kedua tangannya di pembatas balkon, lalu meremasnya kuat-kuat. Pikiranya mengembara ke pembicaraan tadi. Ia yakin Clara hanya mengada-ada. Ia tau betul seperti apa Diana. Tidak mungkin gadis sebaik Diana mendua seperti yang dikatakan Clara. Ia sangat percaya kalau kekasihnya itu setia.

Lalu apa sekarang yang menjadi beban pikirannya? Tentu saja Diana. Reza takut kalau sampai Clara menyerang Diana lagi. Kalau dilihat dari gencarnya Clara menghubungi dia untuk menyampaikan apa yang ia katakana tadi, Reza yakin pasti gadis itu akan berusaha keras menghancurkan hubungannya dengan Diana. Masih syukur kalau Clara hanya meneror lewat telpon. Kalau sampai Clara nekat mencelakai Diana bagaimana? Teror lewat telpon bisa dihindari dengan ganti nomor. Kalau Clara sampai mendatangi Diana seperti waktu itu, trus Reza tidak tau bagaimana? Tidak mungkin, kan, Reza menjaga kekasihnya 24 jam?

Saat pikirannya tengah kalut, HPnya lagi-lagi berbunyi. Awalnya, pemuda itu masa bodoh dengan HP yang menjerit-jerit itu. Tapi pada jeritan kedua, akhirnya Reza mengambil HPnya dengan perasaan kesal. Hatinya semakin kesal lagi saat melihat nama siapa yang tertera di layar BB Onyx-nya itu.

Apalagi, sih, Ra?” Suara Reza langsung tinggi.

Aku cuma mau bilang sama kamu kalau aku pasti bisa ngebuktiin ke kamu kalau cowok bernama Dicky itu memang benar-benar pacar lain Diana selain kamu.”

Terserah!” Sahutnya, cepat. Tapi begitu mengingat Clara mengucap nama Dicky, Reza jadi berpikir lagi. “Tunggu. Lo tadi nyebut nama siapa? Dicky?”

Iya. Dicky. Pacar lain Diana itu namanya Dicky. Kenapa? Kamu kenal sama dia?”

Tentu saja kenal. Batin Reza. Bagaimana dia bisa lupa sama orang yang seringkali membuatnya naik darah gara-gara terlalu dekat dengan Diana itu?

Iya. Gue kenal. Dia temennya Diana.”

Jadi Diana bilang kalau Dicky itu Cuma temennya, dan kamu percaya? Za, mereka tuh benar-benar sudah pernah mengaku di depan umum kalau mereka pacaran, Za. Mereka juga mesra banget waktu itu. Kamu tuh Cuma dibohongin sama cewek muka dua itu.”

Kalau memang mereka pacaran, Dicky pasti bakalan marah waktu lihat gue jalan sama Diana. Dicky pernah lihat gue jalan sama Diana di depan kampus gue, dan Dicky …” kata-kata Reza menggantung. Sekelebat bayangan wajah kesal Dicky waktu itu tiba-tiba muncul di dalam angannya. “Dan Dicky biasa-biasa aja.” Lanjutnya, meski kini telah ada keraguan yang menyusup ke dalam hatinya.

Tapi aku akan tetap ngebuktiin kalau apa yang aku bilang itu benar, Za. Aku yakin Diana itu bukan cewek baik-baik.”

Terserah lo.” Pungkas Reza, dengan kemarahan yang terasa sampai ke ubun-ubun. Kekesalannya bertambah. Keraguan hatinya seakan mengoyak-ngoyak kepercayaannya kepada Diana. Ia memang sering melihat Dicky terlihat kesal tiap kali melihatnya dengan Diana. Ditambah lagi, Diana sering telpon-telponan dengan pemuda itu, dan Reza tidak pernah tau apa yang mereka bicarakan. Apa memang sebenarnya mereka ada hubungan khusus? Batin Reza. Tapi bagaimana mungkin Diana seperti itu?

Arrrggghhh…” Gludak. Reza kembali melemparkan BBnya ke sembarang tempat, hingga benda hitam itu mengenai tembok dan mati. Tapi Reza tak peduli. Ia keluar kamar untuk cuci muka, berharap hatinya lebih tenang kalau telah tersentuh air.

* * * * *

Saat Morgan keluar dari kamar mandi, ia menemukan empat orang lain selain Afra yang telah berkumpul di ruangan Afra. Ada sebuah parcel buah juga di meja samping ranjang. Dahi Morgan mengernyit. Sebelum ia masuk kamar mandi tadi, ia menilik jam di HPnya. Masih jam tujuh pagi. Rajin amat ini orang jam segini udah pada ke sini? Untung gue udah bangun. Batinnya.

Itu orangnya.” Afra yang telah melihat Morgan berseru sambil tersenyum.

Keempat orang yang ada bersama Afrapun langsung menengok ke arah Morgan. Melihat muka morgan yang lebam-lebam, keempatnya langsung terbelalak.

Buset, lo lebih parah dari Afra, Gan?” Bisma berseru heboh.

Sebenarnya kalian pada kenapa, sih? Kok jadi kayak gini?” Nanda yang sedari tadi memang sudah khawatir itu bertambah khawatir melihat luka di muka Morgan. “Kalian abis dirampok di jalan apa gimana? Kok sampai pada babak belur kayak gini?”

Morgan tersenyum. Berarti Afra belum cerita. Batinnnya. Dengan santainya, ia melenggang menuju ranjang Afra, menghampiri keempat kawannya yang seragam menampakkan wajah bingung itu. Bukannya menjawab, Morgan malah terkekeh. Rangga jadi gemas kepada kedua orang yang membuat mereka penasaran itu.

Cerita deh, lo. Lo pada kenapa, sih?”

Nyantai aja kenapa, sih? Lagian kalian pagi-pagi gini kok udah ke sini? Rajin amat?”

Tuh, Si Embem udah bangunin gue dari jam lima tadi pengen ke sini.” Sahut Bisma. “Pegennya, sih, semalam dia ngajakin gue ke sini waktu lo ngabarin gue kalau lo ada di sini. Tapi nggak boleh sama ibunya. Kalau boleh mah udah dari semalem kali gue ke sini.”

Abisnya aku kan khawatir banget, Bii, denger Afra pendarahan trus dibawa ke rumah sakit. Apalagi waktu aku telpon Afra nggak diangkat. Telpon rumahnya, pada nggak tau dia kenapa. Aku kan jadi bingung.”

Emang kalian pada kenapa, sih? Kerampokan beneran?” Kali ini Shita yang bertanya. Wajahnya tak kalah khawatir dengan Nanda. Sementara itu, Afra sama Morgan malah terlihat tersenyum-senyum, membuat keempat kawannya semakin penasaran.

Jadi gini,” Morgan duduk di ranjang, dan merentangkan tangannya di belakang Afra. Ia lihat keempat kawannya yang tampak antusias mendengarkannya. Tanpa melanjutkan kata-katanya, pemuda itu malah terkekeh geli, membuat kawan-kawannya menggerutu sambil manyum seranyun.

Gue dihajar sama bokapnya Afra.” Ujarnya, kemudian.

Ha? Kok bisa? Kenapa?” Rangga tercengang, diikuti tiga orang lainnya.

Ya karena itu. Lo pada taulah masalah gue apa. Om Doni kecewa banget sama gue. Jadi ... ya ... gini deh."

"Serem juga Om Doni. Tega gitu bikin lo babak belur kayak gini." Rangga nyengir gaje dengan mata tertuju pada luka lebam di pipi Morgan.

"Trus Afra kena juga?" tanya Shita.

"Iya."

"Om Doni nabokin Afra juga?"

"Nggak sengaja, sih, sebenarnya. Afra mau lindungin gue yang waktu itu mau ditinju sama Om Doni. Jadi kena deh."

"Jadi Om Doni belum terima keadaan kalian sekarang?" Nanda bertanya, masih dengan wajah khawatirnya.

"Sekarang udah terima, sih. Semua udah beres. Udah baik-baik aja."

Morgan dan Afrapun menceritakan semua hal yang terjadi semalam. Mulai dari Afra yang mengakui kehamilannya pada orang tuanya, Om Doni yang langsung marah, sampai Om Doni yang menghajar Morgan di rumahnya. Morgan juga menceritakan tentang rundingan yang melibatkan Pak Marwan semalam, juga tentang pernikahan mereka yang akan di urus oleh orang tua mereka.

Trus, jadinya kapan kalian mau nikah?” tanya Bisma, di ujung cerita Morgan.

Kalau itu, sih, urusan orang tua. Kita ngikut aja. Kapan mau dinikahin siap aja.” Morgan terkekeh.

"Trus kuliah kalian gimana?"

"Pasti DO." Gumam Nanda. "Pihak kampus tidak mungkin bisa menolerir kejadian seperti ini. Dulu temannya Kak Rafa pernah mengalami hal ini juga. Mereka langsung di-DO begitu pihak kampus tau." Jelasnya.

"Ya udahlah. Mau gimana lagi?" Morgan menghela nafas. "DO ya DO. Kita nggak bisa ngapa-ngapain."

"Pindah lagi donk, lo, kuliahnya?" Suara Rangga terdengar lesu. "Nggak bisa sama-sama lagi donk?"

"Ya mau gimana lagi? Mau nggak mau gue musti pindah kalau emang peraturannya kayak gitu."

"Gue pasti bakalan kangen banget sama lo, Fra." Shita menghampiri Afra, dan duduk di sebelahnya. Ia peluk sahabatnya itu, dan dibalas juga oleh Afra.

Nandapun tak mau kalah. Ia juga menghampiri Afra, dan ikut memeluknya. "Gue juga pasti bakalan kangen banget sama lo." Ujarnya.

Ketiga pemuda yang ada di ruangan itu saling lirik melihat adegan di depan mereka. Seumur-umur, memang baru kali ini mereka akan berpisah. Sama seperti yang dirasakan ketiga gadis itu, Rangga, Bisma, dan Morganpun sebenarnya merasakan perasaan akan kehilangan itu. Bertahun-tahun mereka bersahabat, ke manapun bertiga, dan kini, Morgan harus pisah sama mereka. Pasti ada sesuatu yang kurang nantinya.

"Kalian nggak mau meluk gue juga kayak mereka?" Tiba-tiba suara Morgan menyentakkan lamunan Rangga dan Bisma. Kedua pemuda itu langsung terkesiap, dan saling pandang.

"Lo pengen kita peluk?" Bukannya memperlihatkan wajah haru atau sedih, Bisma malah mengeluarkan tampang jailnya. Ia melirik Rangga yang kini raut mukanya juga tak kalah tengil sama Bisma. "Serang yuk, Ngga."

"Eh, stop." Tau kalau pasti dia akan dikerjai, Morgan langsung merentangkan tangan ke depan. "Enggak jadi deh. Muka kalian udah sama-sama jail begitu, pasti ujungnya mau ngusilin gue."

"Hahahaa udah ketakutan duluan dia." Bisma tergelak bersama Rangga melihat Morgan bersungut-sungut seperti itu.

"Kalian tuh, ya. Udah mau pisah juga masih aja usil." Gerutu Morgan lagi, kali ini dengan bibir manyun. Sebenarnya gerutuan Morgan itu tidak serius, karena ia juga tau ketengilan kedua sahabatnya itupun pasti hanya pura-pura. Ia tau dan mengerti ada rasa kehilangan juga di dalam dada kedua sahabatnya. Tapi sebagai cowok, mereka tidak ingin cengeng seperti ketiga gadis yang telah mengharu biru di depan mereka.

Beberapa saat kemudian, Morgan memutar kepalanya dan mengernyitkan dahi begitu melihat Nanda yang kini telah berdiri lagi. Ia melihat ada sesuatu yang lain di tangan Nanda. “Eh, tunggu deh. Kayaknya ada yang berkilau-kilau gitu di tangan Nanda. Itu apa, ya?”

Mendengar gumaman Morgan, Nanda langsung menyembunyikan tangannya. Ia tatap Bisma yang tengah senyam-senyum sambil garuk-garuk kepala.

"Kayaknya semalem ada sesuatu yang terjadi. Ada yang berniat buat cerita nggak, nih?" Morgan mengetuk-ngetuk bibirnya dengan telunjuk. Matanya melirik juga kepada Bisma.

"Semalem kalian tunangan?" Celetuk Afra.

"Enggak kok, enggak." Nanda panik. Sekali lagi ia menatap Bisma, berharap kekasihnya itu mau menjelaskan tentang cincin itu kepada teman-temannya.

Bisma tersenyum, lalu menoleh ke arah Morgan yang melemparkan tatapan menyelidik kepadanya. "Enggak. Bokap gue cuma pengen aja ngasih itu ke Si Embem. Sebagai hadiah doank. Bukan buat ngelamar, apalagi tunangan. Cuma hadiah." Jelas Bisma, membuat teman-temannya akhirnya manggut-manggut. "O iya. Semalem kayaknya juga ada yang ketemu camer tuh. Siapa, ya?" Kali ini mata jail Bisma melirik Shita.

Tapi di luar dugaan, raut muka Shita malah meredup. Gadis itu kehilangan senyumnya mengingat kejadian semalam. Ia tertunduk, dengan mata yang langsung basah. Tau situasi, Ranggapun menghampiri kekasihnya, dan langsung menggamit pundaknya. Kepala Shita yang tertunduk langsung ia tenggelamkan di dada Rangga.

Bisma langsung terkesiap merasa ada yang salah dalam omongannya. "Ada apa? Gue salah bicara?"

Sambil mengelus kepala Shita, Rangga menghela nafas. "Semalem tiba-tiba aja bokap gue datang tepat saat gue mau nganterin Shita pulang. Trus ...ya ... Lo pada tau sendirilah. Kan gue udah pernah cerita."

"Lo bilang bokap lo keluar kota? Pulangnya masih 2 hari lagi? Kok ..."

"Gue nggak tau kenapa bokap semalam udah nyampai rumah. Udah feeling, mungkin."

Shita sudah terisak. Ia tak bisa membendung air matanya. Tangisnya pecah di dada Rangga.

Nanda yang saat itu berada di dekat Shita langsung meremas pundak Shita, mencoba ikut menguatkan. “Sabar, Ta. Semua pasti akan baik-baik saja.” Ucapnya.

* * * * *
Bersambung

By: Novita SN

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 71


Tapi belum sampai hati Shita benar-benar tenang, sesuatu yang membuatnya kembali gusar datang secara tiba-tiba. Saat Rangga membuka pintu utama, mereka menemukan Papanya Rangga baru saja membuka pintu mobil tepat di depan rumahnya. Tak hanya Rangga yang terkejut. Papanya Ranggapun sepertinya sangat terkejut melihat pemandangan di depan matanya. Ia sangat kenal gadis yang kini berdiri dengan muka shock di tengah-tengah antara istri dan anaknya itu. Ia sangat kenal. Melihat gadis itu, papanya Rangga langsung naik darah seketika.

"Papa???" Lirih Rangga. Ia melirik Shita yang kini matanya telah memerah. Bening telah memenuhi kelopak matanya. Di sampingnya, Tante Farah tampak memegang tangan Shita kuat-kuat, seolah berusaha memberi kekuatan kepada gadis itu.

"Rangga ..." Geram pria tengah baya itu. Matanya menatap tajam ke arah Rangga dan Shita bergantian. "Berani-beraninya kamu membawa gadis ini ke rumah kita."

Rangga segera meraih tangan kiri Shita dan menggenggamnya erat-erat. Saat ia melihat papanya melangkahkan kaki ke arahnya, ia menarik Shita ke belakang tubuhnya, menjaga agar jangan sampai papanya melakukan sesuatu kepada kekasihnya itu.

Suruh gadis ini pergi dari sini sekarang juga, Rangga.”

Hati Shita seperti disambar petir mendengar kata-kata kasar bernada usiran yang keluar dari mulut papanya Rangga itu. Air yang tadi memenuhi kelopak matanya kini telah benar-benar menetes. Ia menggigit bibir, berusaha menahan sakit yang serasa menyiksa di dalam dadanya. Baru kali ini Shita melihat papanya Rangga, dan baru kali ini juga Shita melihat betapa bencinya pria tengah baya itu kepadanya.

Rangga memang sudah mau mengantarkan dia pulang, Pa.”

Suruh saja dia naik taksi. Papa mau bicara sama kamu. Sekarang kamu masuk ke dalam.”

Enggak, Pa. Tadi Rangga yang bawa Shita dari rumahnya ke sini. Jadi Rangga sendiri yang akan mengantarkan Shita kembali ke rumahnya.”

Rangga!!!” Plak!!! Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Rangga. Kedua wanita yang ada di samping Rangga terkesiap melihat adegan di depan mereka itu, apalagi Shita. Ia semakin merasa bersalah karena telah membuat papanya Rangga marah besar kepada kekasihnya itu.

Papa!!! Papa apa-apaan, sih? Selalu saja main tangan.” Kali ini Tante Farah ikut angkat bicara.

Ini semua gara-gara Mama juga. Mama terlalu memanjakan dia sampai dia jadi anak pembangkang seperti ini.”

Rangga nggak akan ngebangkang kalau Papa nggak egois, Pa.”

Udahlah, Ngga. Jangan bertengkar lagi. Biar aku pulang sendiri. Aku nggak pa-pa.”

Enggak, Ta,” tegas Rangga. “Aku akan nganterin kamu pulang. Ayo.” Pemuda itu menarik tangan kekasihnya untuk mengikutinya menuju garasi. Tapi dengan sigap, pria yang kemarahannya masih menggelegak itu menahan lengan Rangga dan menyeretnya ke depan mukanya lagi, hingga mereka kini saling berhadapan kembali.

Sejak kamu pacaran sama anaknya si brengsek ini, kamu benar-benar jadi pembangkang, Rangga.”

Hati Shita semakin hancur mendengar papanya Rangga menyebut papanya dengan sebutan kasar itu. Ia benar-benar sudah tidak tahan lagi berlama-lama di rumah Rangga. Hatinya telah terlalu sakit. Ia tak pernah merasa sesakit ini. Ia tak pernah mendengar papanya yang menurutnya sangat bijak itu dikatai sekasar itu.

Ngga, udahlah, Ngga. Aku bisa pulang sendiri.” Gadis itu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Rangga. Tapi, tangan kokoh Rangga malah semakin mempererat cengkeraman tangannya.

Pokoknya enggak, Ta.” Pemuda itu berbicara tegas, seraya melemparkan tatapan yang tak kalah tegas ke arah Shita. Tatapan Rangga itu langsung membuat Shita berhenti meronta. Shita tau kalau Rangga sudah melemparkan tatapan seperti itu, itu artinya Rangga tidak mau dibantah.

Sesaat kemudian, Rangga kembali menatap papanya. “Rangga membangkang seperti ini bukan karena Rangga pacaran sama Shita, Pa. Tapi karena Rangga tau kalau ternyata Papa sangat egois dan pendendam. Pa, asal Papa tau. Om Doni sudah melupakan semua hal yang terjadi sama Papa dan Om Doni di masa lalu itu. Rangga juga sudah tau kalau sebenarnya, dulu tuh yang salah Papa. Bukan Om Doni. Rangga yakin selama ini Papa dendam sama Om Doni bukan karena masalah perusahaan itu. Tapi ada masalah lain yang terjadi di antara Papa sama Om Doni, jauh sebelum masalah perusahaan itu. Masalah perusahaan itu cuma alasan yang Papa biar Mama nggak curiga dengan alasan Papa sebenarnya. Iya kan, Pa?”

Pria itu terkesiap mendengar kata-kata Rangga. “Rangga!!! Lancang kamu.” Geramnya, spontan. Mukanya kian memerah karena merasa dikuliti oleh anaknya sendiri.

Biar Mama nggak curiga dengan alasan Papa sebenarnya? Apa maksud kamu, Ngga?” Tante Farah yang merasa tak mengerti dengan ucapan putra semata wayangnya itu bertanya dengan jidat berkerut.

Ditanya seperti itu, Rangga hanya membuang pandang ke sembarang tempat. Ia baru sadar kalau apa yang telah ia lontarkan itu salah. Tidak seharusnya ia membeberkan semua itu di depan Mamanya. Sebenarnya dari dulu dia juga tidak ingin mamanya tau tentang hal yang sebenarnya. Tapi tadi, melihat wajah Shita yang pucat pasi itu, kekesalannya kepada Papanya memuncak. Jadi kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Tanya aja sama Papa, Ma.” Ujarnya kemudian. “Maaf, Pa. Rangga Cuma pengen Papa sadar kalau semua itu cuma masa lalu. Tidak seharusnya Papa mengingat-ingat hal itu lagi. Tidak seharusnya Papa menyimpan dendam itu di hati Papa. Dendam itu cuma sampah yang harus dibuang jauh-jauh, Pa. Maaf kalau Rangga jadi seperti menggurui Papa. Rangga cuma nggak mau kalau Papa seumur hidup dihantui dendam itu.”

Usai menyelesaikan kalimatnya, Rangga kembali menggandeng Shita yang kini hanya diam menikmati tangisannya. Tapi baru beberapa langkah, Rangga berhenti lagi. Ia membalikkan badan, dan menatap Papanya. Terlihatlah olehnya, pria tengah baya itu masih mematung di tempatnya tanpa berkata apapun lagi.

Satu lagi, Pa. Rangga nggak akan pernah berhenti berusaha membuat Papa menerima Shita jadi menantunya Papa.” Ujarnya. Masih tak ada tanggapan. Papanya Rangga masih saja tergugu di tempatnya. Dari papanya, Rangga beralih menatap Mamanya. Wanita itu sepertinya masih bingung dengan apa yang dikatakan Rangga. Ada raut cemas, kecewa, dan kesedihan di wajah wanita cantik itu. Rangga jadi menyesal telah bicara seperti itu di depan mamanya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kata-katanya tidak bisa ditarik lagi. Aku harap mama nggak shock setelah tau nanti. Batin Rangga.

Ayo, Ta.” Pemuda itu menggiring kekasihnya menuju garasi, dan mengantarkannya pulang sebelum Papanya mencegahnya lagi.

* * * * *

Karena malam telah larut, keluarga Bisma pamit untuk pulang dari rumah Nanda. Tampaknya mereka semua sangat bergembira malam ini. Semuanya sangat menikmati kunjungan itu. Seperti saat masuk ke dalam rumah tadi, merekapun saling beriringan waktu mereka keluar rumah. Om Subroto dan Om Faisal seolah masih sangat menikmati obrolan mereka. Lihat saja sambil berjalan keluar rumahpun, kedua pria tengah baya itu masih saja saling mengobrol. Tak hanya Om Subroto dan Om Faisal, Tante Fani dan Tante Riska pun sama. Mereka berjalan beriring seraya melemparkan canda sesekali.

Mungkin hanya gadis yang berada di paling ekor itu yang tidak terlalu menikmati malam ini. Di paling belakang, Diana tampak memonyongkan bibirnya karena merasa dicueki. Sejak berbincang di ruang tamu tadi, gadis yang awalnya bersemangat empat lima dalam acara kejutan itu mulai jengah. Bayangkan saja, dia tidak ada temannya ngobrol sama sekali.Papanya sama ayahnya Nanda. Mamanya sama mamanya Nanda. Dan kakaknya, tentu saja sama Nanda. Sebenarnya dia senang, sih, punya kakak ipar seperti Nanda. Tapi untuk malam ini, dia agak kesal. Malam ini dia sedang tidak ingin dicueki.

Heh? Kok manyun aja, sih?” Baru saja gadis itu berpikir yang tidak-tidak, tiba-tiba Nanda memundurkan langkahnya dan menjajari Diana. “Kenapa? Kesel karena dicuekin ya?” Tepat. Nanda ternyata tau suasana hati Diana. Tapi kenapa nggak dari tadi, sih, nyadarnya??? Teriak Diana. Tapi tentu saja hanya di dalam hati.

Diana nyengir. “Ya … gitu deh. Dari dulu jadi tukang kacang itu emang ngebosenin banget tau nggak, sih, Kak?”

Sekali sekali jadi tukang kacang kan nggak pa-pa, Dii.” Bisma yang ikut menjajari langkah adiknya itu ikut menyerobot, seraya terkekeh kecil.

Bukan sekali sekali tapi udah berkali-kaliiii….” Diana melebarkan matanya ke arah Bisma, membuat pemuda itu tergelak-gelak melihat adiknya sewot setengah mati kepadanya. “Nggak nyadar apa kalau udah sering jadiin Diana obat nyamuk, tukang kacang, trus jadi …”

Setan hahahaaa. Kalau lagi ada orang berduaan kan biasanya yang ketiga setan. Kamu udah berkali-kali jadi setannya kakak ya, Dii? Baru nyadar sekarang.” Lanjut Bisma, lalu tergelak lagi. Diana jadi semakin kesal kepada kakak lelakinya itu. Hingga kemudian, ia mendaratkan sebuah cubitan gemas di lengan kakaknya. Bisma meronta-ronta kesakitan mendapatkan cubitan yang seperti cubitan kepiting dari adiknya itu.

"Bisma, Diana ...kalian pada ngapain, sih? Nggak di sini nggak di rumah kerjaannya ribuuu...ttt melulu."

Kak Bisma nih, Ma. Nyebelin.”

Udah ah. Jangan berantem melulu. Malu sama Om sama Tante. Malu sama Nanda juga. Sekarang kalian pamit gih, cium tangan Om sama Tante.”

Emang ini udah mau pulang beneran, ya, Ma?”

Ya iyalah Kak Bisma. Masa mau di sini terus?” Diana yang menyahut, dengan nada setengah sewot.

Usai saling berjabat tangan, berpeluk, dan saling cupika cupiki, keluarga Bisma berjalan menuju mobil hitam yang masih terparkir di depan rumah. Tapi begitu mereka memasuki mobil, mereka baru sadar kalau sang pengemudi yang tak lain adalah Bisma, tidak ikut bersama mereka. Menyadari hal itu, mereka langsung melempar pandang lagi ke arah rumah Nanda. Terlihat di sana, Bisma masih berdiri di samping Nanda dengan tampang gelisah. Pemuda itu tampak menggaruk-garuk tengkuk lehernya, sambil sesekali melirik ke arah mobil yang kini telah terisi penuh oleh keluarganya. Tak ada yang tau kenapa Bisma masih saja belum beranjak dari teras rumah berkeramik merah maroon itu.

Bii, ayo, pulang.” Seru Tante Fani. Bisma tak menjawab. Ia masih saja gelisah di samping Nanda.

Kenapa, sih, Bii? Ada yang ketinggalan?” Kali ini Nanda yang bertanya. Tapi Bisma tak menjawab juga pertanyaan Nanda. Pemuda itu masih tampak gelisah. Hanya dengungan dengungan kecil yang terdengar dari mulutnya. “Kamu kenapa, Bii?”

Emm… sini deh, Nda.” Bisma menyeret lengan Nanda, agar lebih dekat dengannya. Nandapun nurut. Penasaran dengan apa yang terjadi sama Bisma. Saat Bisma mendekatkan mukanya ke muka Nandapun, gadis itu hanya nurut. Mungkin Bisma mau bisikin sesuatu. Pikirnya. Tapi tanpa diduga, Bisma tengok kanan, tengok kiri, dan cup!!! Sebuah kecupan singkat Bisma daratkan di pipi Nanda. Tak mau mendapatkan sebuah pukulan lagi dari Nanda, Bisma langsung lari menuju mobilnya tanpa pamit-pamit lagi.

Nanda jadi merengut mendapatkan perlakuan seperti itu dari Bisma di depan orang tuanya. Rasa malu menjalari hatinya. Apalagi saat dilihatnya, kedua orang tuanya tersenyum geli melihat dia merengut seperti itu.

Dadahh sayangkuhhh….” Dengan tampang watadosnya, Bisma melambaikan tangan ke arah Nanda sambil tersenyum jail. Nanda semakin merengut melihat senyum menyebalkan Bisma itu.

Tapi begitu mobil itu berlalu dari depan rumahnya, gadis itu mengangkat tangan dan mengelus lembut pipinya, sambil menyunggingkan senyum manis. Ia lihat juga cincin yang melingkar di jari manisnya, lalu ia cium cincin itu dengan lembut. Sebenarnya Nanda senang mendapat kecupan selamat malam dari kekasihnya. Tapi, kecupan yang diberikan Bisma di depan orang tua Nanda itu membuat Nanda malu. Jadi ia pura-pura merengut. Padahal hatinya tengah berjingkrak-jingkrak di balik dadanya.

Setelah gerbang di ujung rumahnya tertutup sempurna, gadis itu balik kanan, dan menyusul kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah.

* * * * *

Sekarang Papa puas udah bikin Morgan babak belur seperti itu? Papa puas sudah mencelakai Afra? Puas, Pa?” Tante Maya berseru keras dengan linangan air mata yang belum juga mereda. Dengan rasa kesal yang telah mengisi penuh seluruh ruang di hatinya malam itu, Tante Maya buru-buru balik kanan dan keluar rumah untuk menyusul Afra dan Morgan.

Om Diko masih mematung di tempatnya. Matanya menatap tangannya yang tadi ia gunakan untuk menghajar Morgan. Sesekali, terlihat gelengan-gelengan kecil di kepalanya. Dari tangan, ia beralih menatap kakinya yang tadi ia gunakan untuk menendang anak gadisnya. Lagi-lagi ia menggeleng kecil. Usai menghela nafas berat, ia menghembuskan nafasnya sambil memejamkan mata. Serasa ada penyesalan mendalam yang menjalari hati pria tengah baya itu. Tak ada lagi niatnya untuk mengamuk. Tapi meskipun begitu, orang-orang yang masih juga berada di sana belum berani mendekatinya.

Randy yang saat itu berdiri di samping Sofa juga hanya mematung di tempatnya, memperhatikan gerak-gerik Om Diko. Sementara itu, Si satpam telah lari tunggang langgang membukakan gerbang karena Morgan telah berteriak-teriak minta dibukakan pintu gerbang. Di sudut ruang tamu, Tante Mella terlihat memeluk Om Sofyan dengan tangis yang tak kunjung berhenti. Untuk sesaat, suasana ruang tamu besar itu diisi kesunyian setelah keributan besar yang terjadi beberapa waktu lalu. Hanya tangis Tante Mella yang terdengar diantara orang-orang yang kini mematung itu.

Baru setelah Om Diko balik kanan dan berjalan menuju pintu, Om Sofyan dan Tante Mella baru sadar kalau mereka juga harus menyusul Morgan.

* * * * *

Lelehan air yang keluar dari mata Morgan menunjukkan betapa tertekan hati pemuda itu saat ini. Semua rasa tidak enak seolah menyesaki hati dan perasaannya. Rasa bersalah, khawatir, takut, resah, dan sedih bercampur-campur membuat pemuda itu seolah berada pada titik terlemahnya. Rasa sakit di wajahnya yang membiru di beberapa bagian seolah tak terasa baginya. Rasa sakit fisik itu telah kalah oleh rasa yang bercampur aduk di dadanya.

Sesekali, pemuda itu mengelus pipi gadis yang masih mengatupkan mata di dalam dekapannya. Ada luka membiru juga yang bersarang di wajah putih gadis itu. Tadi, di dekat luka membiru itu, ada darah juga yang keluar. Tapi Morgan telah menyekanya. Sebenarnya bukan lebam di pipi Afra itu yang membuat Morgan sangat khawatir sampai ia mengeluarkan air mata. Yang lebih membuatnya khawatir adalah pendarahan yang dialami Afra.

Pak, buruan donk, Pak.” Nada kekhawatiran sepertinya masih mendominasi suara Morgan.

Iya, Den. Ini juga Bapak pengennya buru-buru. Tapi jalanan agak macet, Den.”

Arrggghhh… pake macet lagi.” Kali ini, tangannya memukul jok di depannya dengan frustrasi. Ia tak tau lagi harus bagaimana. Wajah pucat Afra itu membuat otaknya semakin buntu. “Tuhan… jangan sampai terjadi apa-apa sama mereka.” Ujarnya, lalu mencium pipi Afra dan memeluknya erat-erat.

Tak disangka, ciuman Morgan itu ternyata membuat kelopak mata Afra bergerak. Wajah Morgan sedikit mencerah saat ia melihat Afra sedikit demi sedikit membuka matanya. Tapi begitu dahi Afra mengernyit dan terdengar desisan dari mulutnya, kekhawatiran kembali memberangus hatinya.

Gan?” Gumam Afra, dengan muka meringis seperti menahan sakit. “Muka kamu …”

Aku nggak pa-pa. Tenanglah.” Ucap Morgan, berusaha menorehkan seulas senyum di bibirnya. “Kamu yang pasti sakit banget.”

Iya, Gan. Sakit…uhh…” Afra meremas tangan Morgan yang memegangi tangannya sedari tadi. Melihat Afra kesakitan seperti itu, hati Morgan semakin tak karuan.

Pak, buruan donk, Pak.”

Iya, Den. Ini juga udah hampir sampai kok.”

Benar saja apa yang dikatakan sopirnya. Tak lebih dari lima menit, mereka sampai di rumah sakit yang mereka tuju. Morganpun buru-buru membopong Afra ke dalam, dan menidurkannya di ranjang dorong. Dengan sedikit berteriak, pemuda yang masih saja panic itu memanggil suster untuk menolong Afra.

Beberapa suster langsung bertindak dan membawa Afra menuju ruang gawat darurat untuk diperiksa. Tapi sayangnya, Morgan harus menunggu di luar ruangan. Untuk sementara tidak ada yang boleh masuk ke ruangan itu sampai dokter selesai memeriksa keadaan Afra. Morganpun nurut. Sebagai seorang calon dokter, ia telah mengerti tentang peraturan rumah sakit semacam itu.

Dengan gontai, Morgan menuju tembok dan menyandarkan tubuhnya di sana. Ia usap luka-luka lebam di beberapa bagian wajahnya karena kini mulai terasa pegal. Beberapa saat lalu, sebenarnya ada suster yang menawarinya untuk mengobati luka lebam itu. Tapi Morgan menolak. Ia ingin tau keadaan Afra dulu, baru mau diobati. Pemuda itu menghela nafas dalam-dalam. Sekelebat bayangan kemarahan Om Diko melayang dalam benaknya, dan membuatnya setengah putus asa. Tapi ia segera menepis bayangan itu, untuk sedikit menghilangkan beban di hatinya. Ia yakinkan dirinya sendiri, bahwa semua pasti akan baik-baik saja. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Afra dan bayinya. Pemuda itu kemudian menunduk dalam, dengan hati terus berdoa.

Tak berselang lama, terlihat Om Diko dan Tante Maya melangkah terburu-buru ke arahnya. Jauh di belakang mereka, orang tua Morgan dan adiknya juga tampak menuju ke arahnya dengan setengah berlari. Raut muka Om Diko tak tampak seperti tadi. Aura kemarahan sepertinya telah saparuh menghilang. Yang tampak oleh Morgan saat ini adalah raut kekhawatiran dan rasa bersalah.

Di mana Afra, Gan?” Tanya Om Diko, dengan nada datar.

Masih di dalam, Om. Lagi diperiksa.”

Pria paruh baya itu tak membalas apapun lagi. Ia hanya melempar pandang ke arah pintu ruangan yang masih tertutup rapat itu. Lalu, ia langkahkan kakinya menuju kursi tunggu dan mendudukkan tubuh lelahnya. Tante Maya yang menangis sesenggukan itu juga ikut duduk di samping Om Diko. Melihat tangis Tante Maya itu, hati Morgan semakin sakit. Rasa bersalah seolah semakin menghimpit batinnya.

* * * * *

Bersambung

By: Novita SN