Friday, May 10, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 28


Malam begitu mencekam di pulau tak berpenghuni itu. sesaat lalu, Nanda sangat panik karena ketakutan. Bagaimana tidak? Tadi sebelum senja menghabiskan warna merahnya di ufuk barat, ia berkeliling mengitari pulau itu dengan Bisma dan ia tak menemukan siapapun selain binatang-binatang hutan, juga binatang air yang sesekali berseliwetan di pasir mencari makan. Pulau itu hanya pulau kecil. Pantainya bisa dikitari dalam waktu setengah jam dengan berjalan kaki. Tadinya Bisma ingin memasuki hutan kecil yang menghijau di tengah pulau itu. Ingin tahu apa yang ada di dalam sana. Tapi ia harus memendam penasarannya karena Nanda sudah ketakutan. Apalagi senja semakin tua, dan langitpun mulai gelap. Nanda semakin menceracau nggak karuan. 

“Gimana kalau tiba-tiba ada ular trus ngegigit kita???? Gimana kalau ada orang utan trus nyeret kita masuk ke hutan?? Gelap begini kita nggak bisa lihat apa-apa. Belum lagi kalau pulau ini ada hantunya,,,,” Dan banyak lagi ceracauan Nanda yang membuat telinga Bisma gatal. Tapi Bisma hanya bisa menenangkan sambil memunguti kayu-kayu kering untuk dijadikan api unggun di dalam goa. 

Meski sesekali Nanda masih menunjukkan wajah khawatirnya, tapi ketakutannya telah sedikit memudar. Sebab, ada Bisma di sampingnya. Segala keterbatasan di pulau itu, Bisma bisa mengatasinya dengan mudah. Tak sedikitpun keluh kesah yang ia lontarkan sejak Nanda membuka mata tadi. Tak sedikitpun rasa takut menggelayut di hatinya meski pulau itu begitu mencekam. Dan sikap tangguh Bisma itu membuat Nanda yakin kalau pemuda yang berada di sampingnya itu pasti akan bisa melindunginya dari binatang buas sekalipun. Dengan telaten, Bisma memetik buah seadanya saat perjalanan tadi, sambil mulutnya menasehati Nanda agar tidak perlu khawatir. Meyakinkan Nanda bahwa pasti akan ada jalan menuju pulang. Dan keyakinan Bisma itulah yang kini membuat Nanda semakin lega. 

Dan kini, mereka tengah terduduk berdua di dalam goa menghadap api unggun hasil ketelatenan Bisma. Untung dulu dia belajar membuat api dengan batu dan rumput kering dari kakeknya. Hingga tanpa korek apipun, ia bisa memberi penerangan di pulau yang serba gelap itu. 

“Bii,,,” 

“Hm,,,,” 

“Kamu yakin, kita bisa pulang.” Kali ini mereka telah ber-aku kamu. 

“Yakin banget.” 

“Kenapa kamu yakin banget? Kamu tau sendiri di sini jauh dari tempat kita. Pulau jawa aja nggak kelihatan. Pasti pulau ini jauh banget dari sana. Gimana kita bisa kembali?” 

“Nda, udah aku bilang. Kamu tenang aja. Aku benar-benar yakin akan ada jalan untuk kita.” 

“Kenapa kamu masih yakin, Bii??? Pulau jawa ada di mana aja kamu nggak tau, kan?!” 

“Tapi aku tetap yakin akan ada petunjuk yang membawa kita ke jalan menuju tempat kita.” 

“Kenapa kamu yakin?” 

“Karena kalau kita yakin, Tuhan pasti akan menunjukkan jalan untuk kita. Jangan sedih. Kita pasti bisa pulang. Ya.” Lembut, tangan Bisma mengelus pipi Nanda. Kemudian Bisma meraih tubuh mungil itu dan memeluknya dengan erat, untuk memberikan ketenangan kepada hati yang tengah gundah itu. Nanda pun membalas pelukan Bisma. 

“Kalau ternyata,,,, jalan itu nggak ada gimana, Bii? Bukannya aku nggak yakin, tapi aku berfikir kemungkinan terburuknya aja.” Nanda masih menyematkan tubuhnya di pelukan orang yang kini telah menjadi kekasihnya itu. 

“Ya,,, kita akan tinggal disini. Menjadi penghuni pulau ini. Menikah disini. Membina rumah tangga disini, punya anak disini, dan punya keluarga bahagia disini.” 

“Kok kamu mikirnya kesitu sih, Bii?” Nanda melepas pelukannya. “Emang siapa juga yang mau nikah sama kamu?” Gadis itu menyeringai, berpura jual mahal kepada Bisma. 

“Hei,,,, disini cuma ada aku sama kamu. Kalau kamu nggak mau nikah sama aku, trus kamu mau nikah sama siapa? Sama kepiting yang tadi kita temui di pantai? Atau sama ulat bulu yang tadi kita lihat di hutan?”

“Hhhh,,,, iya ya?” Gadis itu menyandarkan kembali tubuhnya di tubuh Bisma dan merangkulnya. “Terpaksa deh. Musti sama kamu?” 

“Terpaksa? Jadi kamu mau nikah sama aku karena terpaksa?” 

“Iyalah. Coba kalau disini ada Kak Rafa. Pasti aku akan memilih menikah dengannya daripada menikah sama kamu.” Bisma tergelak mendengar kata-kata Nanda yang memang mengandung canda itu. 

“Sejak kapan kakak adik boleh nikah, embemmmmm,,,,,,” Seru Bisma, sambil memencet hidung Nanda dengan gemas. Lagi mereka tergelak dengan candaan mereka sendiri. Beberapa saat mereka hanya saling melempar canda, untuk menghilangkan rasa takut yang menghuni hati mereka. Dengan candaan itu, sedikit demi sedikit ketakutan mereka menghilang. Bahkan sekarang, mereka merasa seolah tidak terdampar di pulau asing, tapi tengah menikmati kencan berdua di tepi pantai. 

“Nda.” Panggil Bisma, pada gadis yang sekarang masih berada di dalam pelukannya itu. 

“Hmmm,,,,” 

“Emm,,,,, boleh nggak, minta itu?” Gadis itu mendongak, melihat wajah Bisma yang menaik turunkan alisnya. 

“Minta apa??” 

“Itu tuh,,,” 

Nanda masih bingung. Dahinya mengerut. “Apa sih???” 

Tangan Bismapun terangkat, dan mengusap bibir Nanda dengan ujung ibu jarinya. Seketika Nanda mengerti apa yang diminta Bisma. Mimik wajah Nanda yang cerah tiba-tiba berubah raut. Gadis itu hanya memandang wajah Bisma tanpa berkata apapun. Dan beberapa saat kemudian, terlihat kepalanya menggeleng. 

“Ya udah deh nggak pa-pa.” Ujar Bisma, seraya mengendurkan pelukannya. 

“Beneran, nggak pa-pa??” 

“Iya, nggak pa-pa.” Tutur Bisma lagi, dengan seulas senyum manis di bibirnya. “Kalau kamu nggak ngijinin aku nggak akan maksa kok.” Pemuda itu kembali mengeratkan pelukannya, dan membelai lembut rambut Nanda. 

Tapi beberapa saat kemudian,,,, 

“Bii,,” 

“Hmmm???? 

Cup!!! 

Bisma membelalak tak percaya saat tiba-tiba Nanda mencium bibirnya. Apalagi saat tangan Nanda mengalung di lehernya. Ia tambah cengo. Tapi kemudian, pemuda itupun membalas pagutan Nanda. 

1 detik,,, 

5 detik,,, 

10 detik,,, 

20 detik,,, 

“Udah ah.” Bisma menghentikan ciuman mereka. “Takut kebablasan.” Ujarnya, seraya mengelap bibir Nanda yang basah. Nandapun melepas kalungan tangannya di leher Bisma, dan sedikit menjauh dari Bisma. Ia tampak salah tingkah. 

“Katanya ngegeleng. Kok malah nyium duluan?? Gimana sih Si Embem?” 

Gadis itu semakin salah tingkah mendengar ledekan Bisma. Wajahnya menunduk, menahan malu. Entah semerah apa mukanya sekarang. Yang jelas, ia tengah salting saat ini. 

“Malu tuh.” Sekali lagi, Bisma meledek, seraya menyenggol pundak Nanda. 

“Apaan, sih?” 

“First kiss, ya??” 

Nanda kembali mendongak, dan menatap ke arah Bisma. “Kok tau?” 

“Afra bilang kamu belum pernah pacaran.” Gadis itu tersenyum rikuh, lalu tertunduk kembali. “Kalau gitu sama donk.” 

“Emang ini first kiss kamu juga?” Bisma mengangguk. “Masa’ sih?” 

“Serius.” Pemuda itu meyakinkan. 

“Emang kamu belum pernah pacaran juga?” 

“Udah sih, dulu. Tapi nggak berani ngapa-ngapain. Waktu itu aku masih SMP. Ya,,, iseng-iseng aja gitu pacarannya. Nggak serius.” 

“Kamu nggak cinta donk sama dia.” 

“Sama sekali enggak. Waktu itu bahkan aku nggak tau cinta itu apa.” 

“Sekarang udah tau belum cinta itu apa?” 

“Udah donk.” 

“Apa?” 

“Cinta itu,,, “ Bisma sedikit memberi jeda. “Kamu.” Ucapnya, lembut. “Itu yang aku tau. Cinta itu bahagia saat bersamamu. Cinta itu sedih saat melihat sakitmu. Cinta itu gelisah saat jauh darimu. Dan cinta itu,,, rapuh saat tak bisa memilikimu. Jadi yang aku tau,,, cinta itu adalah kamu. Hanya kamu.” 

Hati Nanda berdebar-debar mendengar kata cinta yang keluar tulus dari bibir Bisma itu. Hatinya seolah menumbuhkan bunga bermekaran. Angannya melambung ke atas awan. “Hanya kamu.” Dua kata dari Bisma itu mengiang-ngiang di telinganya, membuat bening di matanya menyembul begitu saja. Ia sangat bahagia, karena ada orang yang amat sangat mencintainya seperti sekarang ini. Dan orang itu adalah Bisma. Orang yang sangat ia cintai juga. Bahkan Bisma mengibaratkan cinta itu adalah dirinya. Hanya dia. Hanya Nanda. 

Gadis itupun mendekatkan dirinya kepada Bisma lagi, lalu memeluknya erat-erat. Air matanya benar-benar telah tumpah. 

“Aku juga hanya cinta sama kamu, Bii. Aku nggak pernah bisa mencintai orang lain selain kamu. Aku hanya mencintaimu.” Ujarnya, dengan air mata yang berderai. “Kamu cinta pertamaku, Bii. Dan aku harap,,,,,” 

“Kamu akan menjadi cinta terakhirku.” Ucap mereka, bersamaan. 

Mereka terperangah, tak menyangka kalau akan mengucapkan kalimat itu berbarengan seperti itu. Nanda kemudian melepas pelukannya, dan menatap wajah Bisma. Pemuda itu juga tampak berkaca-kaca. Tapi air matanya tak sampai tumpah. 

"Kok nangis, sih?' Ujar Bisma, seraya mengusap air mata di pipi Nanda. Nanda tak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya, lalu memeluk Bisma kembali. 

Cukup lama mereka saling berpeluk seperti itu, tanpa berkata apapun, tanpa melakukan apapun. Kedua insan muda itu seolah tengah menikmati cinta mereka yang kini bersenandung indah untuk mereka berdua. Merekai terbuai, terpesona, terlena dengan alunan indah yang disenadungkan oleh cinta di hati mereka itu. 

"Sekarang udah malem. Kamu bobok ya." Bisik Bisma, seraya mengurai pelukannya. Nandapun mengangguk, lalu membaringkan tubuhnya di batu lebar yang tadi siang ia gunakan untuk alas tidur. Di samping batu itu, Bisma menyandarkan tubuhnya. 

Tapi sebelum memejamkan matanya, Nanda mengedarkan pandangan ke sekeliling goa. Redup, lembab, serem. 

"Bii, kok suasananya horor banget sih, Bii." 

"Nggak usah mikir macem-macem. Mendingan kamu merem. Bayangin aja sekarang kamu lagi di hotel. Bukan di goa." 

"Tapi kamu nggak akan ninggalin aku kan, Bii." 

"Enggaklah. Aku bakalan jagain kamu terus." Ujarnya, seraya mengelus lembut pipi Nanda. "Sekarang kamu bobok, ya. Matanya udah merah tuh." 

"Iya." Gadis itupun manggut-manggut, lalu mulai memejamkan matanya. 

Setelah gadis itu benar-benar terlelap, Bisma beranjak dari duduknya, untuk melihat suasana di luar goa. Sedari tadi, sebenarnya ia penasaran dengan suasana di luar goa kalau malam hari begini seperti apa. Tapi baru saja ia melangkahkan kaki, tiba-tiba ada yang menahan tangannya. 

"Tuh, kan. Baru aja bilang kalau mau jagain. Nggak bakalan ditinggal. Kok mau ditinggalin??" 

"Cuma ke depan doank. Kesitu tuh, ke mulut goa." 

"Pokoknya nggak mau ditinggal." Rengek Nanda, dengan suara manjanya. 

"Diiihhh,,,, ayang aku manja banget sih???" Gemas Bisma, lalu duduk kembali dan mencubit pipi Nanda. "Kirain tadi udah tidur." 

"Nggak bisa tidur, Bii. Suasananya horor banget." 

Akhirnya, mereka hanya terus mengobrol untuk menghilangkan rasa takut dan rasa penat dalam diri mereka. Mengobrol apa saja, agar mereka lupa kalau mereka tengah berada di pulau asing, hanya berdua saja. Terkadang, saat kantuk datang mendera, ingin rasanya mereka memejamkan mata lalu tertidur. Tapi di tempat yang serba lembab, dengan hanya beralas daun pisang, dan dalam keadaan mencekam seperti itu, mata mereka enggan terpejam. Hampir sepanjang malam mereka terjaga. 

Sesekali, karena kantuk yang amat sangat, mereka terlelap juga. Tapi kemudian mereka dibangunkan oleh burung hantu yang terkadang memekik mekik, atau suara ombak yang tiba-tiba mendebur kencang dan menghempas karang. 

Semakin larut, suasana semakin mencekam. Nanda tak melepas tangan Bisma sedetikpun. Ia telus memeluk tangan Bisma yang terjulur di depannya. Takut kalau-kalau ia terlelap dan Bisma meninggalkannya sendirian di goa. 

Dalam keadaan yang begitu sunyi, tiba-tiba sebuah cahaya menyilaukan mata melesat cepat dari atas dan berhenti beberapa meter di samping goa. Bisma dan Nanda seketika tergeragap, lalu saling pandang. Jantung mereka berdegup kencang. 

"Apa itu, Bii???" Tanya Nanda, dengan suara sedikit bergetar karena diserang rasa takut. 

"Entahlah. Aku akan melihatnya. Kamu tunggu di sini." 

"Ikut, Bii." 

Mereka berdupun keluar goa untuk melihat kilatan cahaya yang menerangi sebagian tempat di sekitar goa itu. Dan saat mereka telah sampai di luar goa,,,,,,,,,,,, 

Bersambung,,, ^_^ 
By: Novita SN

No comments:

Post a Comment