Sedari tadi, Rangga hanya menciap-ciap sendirian di dalam
mobil sport yang ia tumpangi bersama kekasihnya itu. Tak seperti biasanya,
Shita memang sedikit lebih diam sekarang. Ia hanya menanggapi setiap omongan
Rangga seperlunya. Bahkan saat ada hal lucu yang biasanya membuatnya
terpingkalpun, gadis itu hanya tersenyum simpul.
Shita memang tengah gundah saat ini. Sampai sekarang, Rangga
belum juga menunjukkan tanda-tanda ingin memperkenalkan dia kepada orang
tuanya. Padahal sudah hampir setahun mereka pacaran. Terkadang terselip rasa
iri ke dalam hati Shita saat kedua sahabatnya menceritakan tentang para camer
mereka. Apalagi saat Afra berpamitan kepadanya kalau Afra mau liburan bersama
keluarganya Morgan ke Bandung. Hatinya seakan terkoyak.
“Shit? Kenapa sih? Dari tadi kayaknya kamu kok aneh gitu?
Kayak nggak besemangat. Ada apa?” Gadis itu tak menjawab. Ia malah menghela
nafas, dan melemparkan pandang ke luar mobil. “Kamu ada masalah? Cerita donk.”
Pinta Rangga, seraya meraih tangan Shita dan menggenggamnya. Tapi gadis itu
masih enggan bersuara.
Beberapa saat dalam diam, Shita akhirnya menengok ke arah
pemuda di sampingnya.
“Ngga, kita udah hampir setahun pacaran. Emang kamu nggak ada
niat ngajakin aku ketemu sama Mama Papa kamu?” Akhirnya setelah berbulan-bulan
ia pendam, pertanyaan itu terlontar juga dari bibir Shita. Gadis itu sepertinya
sudah tak bisa memendam perasaannya lagi. Hatinya seolah tak mampu lagi
menyimpan pertanyaan itu.
Mendengar pertanyaan itu, Rangga terperangah. Pemuda itu
sepertinya terkejut mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Shita. Dan karena
pertanyaan itu, genggaman tangan Rangga tiba-tiba mengendur, dan perlahan
terlepas dari tangan Shita. Kini, kedua tangan Rangga bertumpu pada stir mobil.
Pandangannya pun lurus ke depan. Raut mukanya datar. Dan sikap Rangga itu
sepertinya membuat hati Shita semakin pedih. Gadis itu kemudian membuang
pandang lagi keluar mobil. Ada bening yang hampir menitik di kedua pelupuk
matanya.
“Kenapa dia malah bersikap seperti itu? Ada apa? Kenapa dia
nggak mau jawab? Kenapa dia malah melepas tanganku? Apa dia memang nggak ada
niat serius sama aku?” Batin Shita berkecamuk.
‘* * * * *
Senyum menawan milik seorang pemuda yang sangat dicintainya
menyambut Vita saat gadis itu tiba di apartemennya. Gadis itu memelankan
langkahnya, demi melihat pemuda yang kini bersandar di pintu apartemennya itu
dengan seksama. Dan begitu ia yakin kalau penglihatannya tidak salah, mata
gadis itu membola. Ia sangat terkejut tiba-tiba kedatangan tamu agung dari Indo
itu. Padahal sebelumnya, tidak ada tanda-tanda kalau pemuda itu mau datang ke
sini menyusulnya. Tapi sekarang, pemuda itu telah berdiri di depan
apartementnya, dengan senyum manis terulas di bibir. Dan itu membuat rona
gembira terpancar di wajah gadis yang baru saja pulang kerja itu.
“Rafa???” Ujarnya masih tak percaya. “Kamu,,, ke sini?”
Pemuda itu hanya mengangguk, masih dengan mengulaskan senyum menawannya. Dan
Vita, ia masih mematung bingung di depan Rafa.
“Mau diem aja di situ? Nggak mau dipeluk nih?” Goda Rafa, dan
membuta Vita kembali melangkah mendekatinya. Tapi gadis itu sepertinya masih
tak percaya dengan penglihatannya. Sebab setelah ia benar-benar sampai tepat di
depan Rafa, ia mengangkat tangannya dan menangkup kedua pipi Rafa, lalu
mengelusnya.
“Ini beneran kamu ya?”
“Ya iyalah sayang,,,, emang siapa lagi?” Karena sedari tadi
Vita tak kunjung memeluknya, akhirnya Rafa mendekap tubuh mungil itu duluan.
“Kamu kok ke sini nggak bilang-bilang sih?” Tanyanya, di
dalam dekapan pemuda itu. Mukanya masih mendangak, memperhatikan wajah
kekasihnya.
“Kan mau bikin surprise. Biar kamu kaget.” Rafa terkekeh.
“Hobby banget sih bikin surprise.” Sungutnya, kemudian
membalas pelukan kekasihnya itu. Gadis itu kemudian melirik sebuah koper yang
teronggok di samping Rafa. Dan dengan raut kembali bingung, ia mendangakkan
mukanya lagi.“ Kok bawa koper segala? Emang mau lama di sini?”
“Engg,,, mungkin semingguan.”
“Lama banget?”
“Kenapa emang? Nggak suka kalau aku lama-lama di sini?”
“Bukan begitu,,,,” Kali ini, Vita mengurai pelukannya.
“Tumben aja gitu kamu ke sini, nggak bilang-bilang, trus lama lagi di sininya.
Biasanya kan Cuma minggu doank, malam senin pulang.” Ujarnya, seraya memasukkan
kode apartemen dan membuka pintu apartemennya.
“Aku ada kerjaan di sini. Ada proyek kerjasama sama pengusaha
Malaysia. Minggu-minggu ini opening proyek kerja sama itu di Kuala lumpur.”
Jelas Rafa seraya menenteng kopernya memasuki apartemen tempat singgah Vita
selama di Malaysia itu. “Sebenarnya sih bisa aja aku datang pas openingnya
doank. Tapi aku minta ijin sama Papa buat di sini seminggu. Sekalian ketemu
kamu. Dan untungnya Papa ngertiin. Jadi ya,,, diijinin deh.” Pemuda itu duduk
di sofa ruang tamu tanpa diminta lagi, seolah dia telah terbiasa di apartemen
itu.
“Mau kemana?” Rafa meraih tangan Vita yang hendak pergi
meniggalkannya, dan menyeret gadis itu agar duduk di sebelahnya. “Di sini aja
dulu. Kangen tau,,,” Pemuda itu mendekap kekasihnya lagi, lalu mencium pipinya
dengan gemas.
“Cuma mau ke dapur bikinin kamu minum, Raf. Kamu pasti haus
kan?!”
“Hanya dengan melihat wajah sejukmu, hausku serasa hilang
entah kemana.”
“Aiishhhh,,,, keluar deh gombalnya.”
“Aku serius. Nggak ngegombal.” Vita malah mencibir, seraya
memalingkan wajahnya. “Bibirnya pake dicibir-cibirin kayak gitu pengen di C deh
kayaknya.”
“Apaan di C?” Vita menengok Rafa seketikan, sambil
mengerutkan jidat.
“Nihhh,,,,” Sambil memonyongkan bibirnya, Rafa mendekatkan
wajahnya kepada Vita, membuat gadis itu nyengir dan mengangkat tangannya
mendorong muka Rafa.
“Apaan deh, Raf. Yadong banget otaknya.” Gadis itu akhirnya
berdiri dan benar-benar meninggalkan Rafa terduduk sendirian di sofa. “Aku
buatin kamu minum dulu. Trus ntar kalau kamu udah istirahat aku temenin kamu
nyari hotel.” Seru Vita, sambil berlalu dari hadapan Rafa.
‘* * * * *
Saat mobil Bisma tiba di pertigaan yang memisahkan jalur ke
rumah Nanda dan Bisma, Bisma membelokkan mobil sedan warna hitam itu ke kiri.
Padahal kalau mau ke rumah Nanda, seharusnya mobil belok ke kanan.
“Kok ke kiri? Kamu nggak mau nganter aku pulang dulu?” Tanya
Nanda dengan dahi mengernyit.
“Kita ke rumah aku dulu. Mama pengen ketemu kamu.”
“Ntar kalau ibu nyariin gimana?”
“Aku tadi udah telpon ibu kamu. Aku bilang kamu mau aku bawa
ke rumah aku dulu. Soalnya Mama pengen ketemu kamu.”
“Trus ibu bilang boleh?”
“Boleh donk.” Mendengar jawaban Bisma, Nanda mendengus.
“Kenapa? Nggak mau ketemu mama aku?”
“Bukannya nggak mau ketemu sama mama kamu. Tapi aku males
lama-lama sama kamu.”
“O ya? Emang nggak kangen gitu sama aku?” Bisma sudah benar-benar
bisa bergurau sekarang. Tapi sepertinya, gurauan Bisma masih belum diindahkan
oleh Nanda. Karena setelah itu, Nanda menyuguhkan muka yang begitu masam sambil
melirik ke arah Bisma.
“Ngapain aku kangen sama kamu?”
“Jangan bohong. Ada yang bilang kalau kamu lagi kangen berat
sama aku.”
“Siapa yang bilang?” Muka masam Nanda kini berubah terkejut.
Matanya membulat.
“Tuh yang di belakang.” Jawab Bisma santai, sambil
tersenyum-senyum. Seketika itu, Nanda menengok ke jok belakang. Dan di sana,
terlihat Diana yang tengah nyengir gaje ke arah Nanda.
“Pinter amat sih bikin kakaknya keGRan?” Batin Nanda, sebelum
ia mengeluarkan dengusan lagi. Nandapun membalikkan badannya ke depan lagi,
tanpa berkata apapun. Gadis yang masih saja sedikit manyun itu tak berkilah,
ataupun mendebat apa yang dikatakan Bisma. Ia biarkan Bisma senyam-senyum penuh
kemenangan di sampingnya.
Begitu sampai di rumah Bisma, mama dan papa Bisma telah
berada di teras rumah menunggu mereka. Mungkin sepasang suami istri itu tadi
mendengar klakson nyaring yang dibunyikan Bisma. Mereka tampak begitu senang
melihat anak-anaknya pulang. Seolah anak-anak itu habis pergi jauh dan
bertahun-tahun tak bertemu.
Mama Bisma memeluk anaknya satu persatu, tak terkecuali
Nanda. Ia juga mendapatkan pelukan dan kecupan hangat di pipinya dari mamanya
Bisma. Dan kehangatan kasih yang diberikan oleh mamanya Bisma itulah yang
membuat dia harus menyediakan senyum termanis, meski hatinya masih sedikit
dongkol pada anak laki-laki dari perempuan paruh baya itu.
Orang tua Bisma sepertinya benar-benar welcome dengan
kedatangan Nanda. Terbukti dari sikap mereka yang sepertinya tak membedakan
antara Nanda dan anak-anaknya. Bahkan saat masuk ke dalam rumah, mamanya Bisma
tampak menggamit pinggang Nanda, dan menuntunnya menuju ruang tengah. Nanda
benar-benar dianggap seperti keluarga di sini. Ia tidak diampirkan ke ruang
tamu, tapi langsung dibawa masuk ke ruang tengah, tempat keluarga itu sering
bersantai. Sikap hangat keluarga Bisma itulah yang sering menjadi pegangan
Nanda untuk terus bertahan pula pada cintanya. Sebab, menurut dia sangat jarang
seorang yang baru pacaran seperti mereka langsung bisa diterima dengan hangat,
disayangi seperti anaknya sendiri seperti ini.
“Kok Nanda diam aja sih? Kenapa, Nak? Kamu sakit?” Tanya
Tante Fani, saat menyadari Nanda tak banyak bicara meskipun mereka berempat
mengobrol dengan asyiknya di ruang tengah. Bisma memang belum masuk ke
kamarnya. Diana juga.
“Lagi sariawan tuh, Ma?” Sergah Bisma sambil tertawa,
berusaha membuat Nanda tersenyum di tengah keluarganya.
“Kok bisa sariawan, sih? Banyak-banyak minum vitamin donk,
Nda. Di sana kan jauh dari orang tua. Kalau sakit nggak ada yang rawat. Jaga
kesehatan. Jaga kondisi. Jangan sampai sakit.” Nanda hanya tersenyum malu sambil
melirik Bisma yang tengah cengar cengir di samping adiknya.
“Iya Tante.” Jawab Nanda singkat, masih dengan mempertahankan
senyumnya.
‘* * * * *
Villa kecil itu terlihat sepi. Tak ada tanda-tanda kalau ada
penghuni di dalamnya. Morgan jadi mengernyitkan dahi. Biasanya kalau mereka
liburan ke puncak seperti ini, mereka akan menghabiskan waktu di luar Villa
sambil bakar-bakaran, atau sekedar ngobrol. Tapi entah kenapa kali ini
suasananya lain.
Morgan segera memarkirkan mobilnya di garasi. Dan di sana, ia
tak menemukan mobil lain.
"Pada ke mana ya?" Pikir Morgan. "Masa'
malam-malam begini pada jalan-jalan."
Sejenak, Pemuda itu menengok kekasihnya yang kini tertidur
pulas di sampingnya. Afra memang sedari tadi mengeluhkan kepalanya yang pening.
Jadi, Morgan menyuruhnya untuk tidur saja selama perjalanan. Setelah mengelus
lembut rambut kekasihnya dan mencium pipinya, Morgan keluar dari mobil.
Ia sapukan pandangannya ke seluruh penjuru Villa. Dan saat ia
memandang ke pintu samping villa, terlihat seorang pria tengah baya
tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Den Morgan??"
"Pak Marwan?"
"Den Morgan ke sini sendiri aja? Mau nginep?"
"Emang Mama sama Papa nggak ke sini, Pak?"
"Enggak Den. Mereka nggak ke sini."
Morgan semakin bingung. "Kok mereka nggak ke sini?"
"Emang tadi janjian mau ke sini, Den?"
"Mereka katanya mau ke sini pagi tadi, Pak."
"Tapi dari kemarin nyonya nggak bilang apa-apa, Den.
Biasanya kalau mau nginep rame-rame, nyonya selalu bilang suruh siap-siap. Tapi
nyonya nggak telpon-telpon Bapak, Den."
"Apa ke villa yang satunya ya?"
"Mungkin iya kali Den, coba ditelpon aja."
"Iya deh, Pak. Saya telpon mama dulu." Pemuda itu
merogoh kantong celananya, dan mengambil benda mungil dari sana.
"Mau masuk ke dalem dulu nggak, Den? Biar bapak siapin
minum?"
"Enggak Pak. Nggak usah. Terima kasih." Ujarnya
seraya menempelkan benda mungil yang ia pegang ke telinga kanannya.
Tapi belum sampai telponnya nyambung, Morgan berbalik dan
menemukan Afra telah berdiri di belakangnya dengan muka pucat.
"Gan,,," Rintih Afra, dan seketika, gadis itu
ambruk tak sadarkan diri.
"Fra,,, Afra,,, Fra??? Bangun, Fra. Kamu kenapa?"
"Bawa masuk aja, Den. Mbak Afra kayaknya pingsan."
"Iya, Pak. Tolong bukain pintunya, Pak." Morgan
segera membopong gadis itu menuju Villa, mengikuti Pak Marwan sang penjaga
Villa keluarga Winata itu. "Sekalian kamarnya bukain ya, Pak."
"Iya, Den." Sahut penjaga villa itu, yang kemudian
membuka pintu Villa dan membiarkan anak majikannya itu memasuki kawasan yang ia
jaga.
Morgan segera membaringkan Afra di ranjang begitu mereka
sampai di kamar.
"Fra, kamu kenapa???" Morgan meraih tangan Afra dan
mengelusnya. Ia sibak poni yang menghias dahi gadis itu, dan menempelkan
punggung tangannya di sana. Tapi suhu badannya normal. Hanya tangannya yang
terasa sangat dingin.
"Pasti tekanan darahnya turun lagi." Pikirnya.
"Perlu diambilin minyak angin nggak, Den?" Pak
Marwan yang sedari tadi berdiri di belakang Morgan itu menawarkan.
"Iya, Pak. Tolong ambilin kotak obatnya." Pinta
Morgan, dan penjaga Villa itupun langsung mengikuti perintahnya.
* * * * *
Bersambung
By: Novita SN
No comments:
Post a Comment