Thursday, July 18, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 57


Sedari tadi, Rangga hanya menciap-ciap sendirian di dalam mobil sport yang ia tumpangi bersama kekasihnya itu. Tak seperti biasanya, Shita memang sedikit lebih diam sekarang. Ia hanya menanggapi setiap omongan Rangga seperlunya. Bahkan saat ada hal lucu yang biasanya membuatnya terpingkalpun, gadis itu hanya tersenyum simpul. 
Shita memang tengah gundah saat ini. Sampai sekarang, Rangga belum juga menunjukkan tanda-tanda ingin memperkenalkan dia kepada orang tuanya. Padahal sudah hampir setahun mereka pacaran. Terkadang terselip rasa iri ke dalam hati Shita saat kedua sahabatnya menceritakan tentang para camer mereka. Apalagi saat Afra berpamitan kepadanya kalau Afra mau liburan bersama keluarganya Morgan ke Bandung. Hatinya seakan terkoyak. 
“Shit? Kenapa sih? Dari tadi kayaknya kamu kok aneh gitu? Kayak nggak besemangat. Ada apa?” Gadis itu tak menjawab. Ia malah menghela nafas, dan melemparkan pandang ke luar mobil. “Kamu ada masalah? Cerita donk.” Pinta Rangga, seraya meraih tangan Shita dan menggenggamnya. Tapi gadis itu masih enggan bersuara. 
Beberapa saat dalam diam, Shita akhirnya menengok ke arah pemuda di sampingnya. 
“Ngga, kita udah hampir setahun pacaran. Emang kamu nggak ada niat ngajakin aku ketemu sama Mama Papa kamu?” Akhirnya setelah berbulan-bulan ia pendam, pertanyaan itu terlontar juga dari bibir Shita. Gadis itu sepertinya sudah tak bisa memendam perasaannya lagi. Hatinya seolah tak mampu lagi menyimpan pertanyaan itu. 
Mendengar pertanyaan itu, Rangga terperangah. Pemuda itu sepertinya terkejut mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Shita. Dan karena pertanyaan itu, genggaman tangan Rangga tiba-tiba mengendur, dan perlahan terlepas dari tangan Shita. Kini, kedua tangan Rangga bertumpu pada stir mobil. Pandangannya pun lurus ke depan. Raut mukanya datar. Dan sikap Rangga itu sepertinya membuat hati Shita semakin pedih. Gadis itu kemudian membuang pandang lagi keluar mobil. Ada bening yang hampir menitik di kedua pelupuk matanya. 
“Kenapa dia malah bersikap seperti itu? Ada apa? Kenapa dia nggak mau jawab? Kenapa dia malah melepas tanganku? Apa dia memang nggak ada niat serius sama aku?” Batin Shita berkecamuk. 
‘* * * * * 
Senyum menawan milik seorang pemuda yang sangat dicintainya menyambut Vita saat gadis itu tiba di apartemennya. Gadis itu memelankan langkahnya, demi melihat pemuda yang kini bersandar di pintu apartemennya itu dengan seksama. Dan begitu ia yakin kalau penglihatannya tidak salah, mata gadis itu membola. Ia sangat terkejut tiba-tiba kedatangan tamu agung dari Indo itu. Padahal sebelumnya, tidak ada tanda-tanda kalau pemuda itu mau datang ke sini menyusulnya. Tapi sekarang, pemuda itu telah berdiri di depan apartementnya, dengan senyum manis terulas di bibir. Dan itu membuat rona gembira terpancar di wajah gadis yang baru saja pulang kerja itu. 
“Rafa???” Ujarnya masih tak percaya. “Kamu,,, ke sini?” Pemuda itu hanya mengangguk, masih dengan mengulaskan senyum menawannya. Dan Vita, ia masih mematung bingung di depan Rafa. 
“Mau diem aja di situ? Nggak mau dipeluk nih?” Goda Rafa, dan membuta Vita kembali melangkah mendekatinya. Tapi gadis itu sepertinya masih tak percaya dengan penglihatannya. Sebab setelah ia benar-benar sampai tepat di depan Rafa, ia mengangkat tangannya dan menangkup kedua pipi Rafa, lalu mengelusnya. 
“Ini beneran kamu ya?” 
“Ya iyalah sayang,,,, emang siapa lagi?” Karena sedari tadi Vita tak kunjung memeluknya, akhirnya Rafa mendekap tubuh mungil itu duluan. 
“Kamu kok ke sini nggak bilang-bilang sih?” Tanyanya, di dalam dekapan pemuda itu. Mukanya masih mendangak, memperhatikan wajah kekasihnya. 
“Kan mau bikin surprise. Biar kamu kaget.” Rafa terkekeh. 
“Hobby banget sih bikin surprise.” Sungutnya, kemudian membalas pelukan kekasihnya itu. Gadis itu kemudian melirik sebuah koper yang teronggok di samping Rafa. Dan dengan raut kembali bingung, ia mendangakkan mukanya lagi.“ Kok bawa koper segala? Emang mau lama di sini?” 
“Engg,,, mungkin semingguan.” 
“Lama banget?” 
“Kenapa emang? Nggak suka kalau aku lama-lama di sini?” 
“Bukan begitu,,,,” Kali ini, Vita mengurai pelukannya. “Tumben aja gitu kamu ke sini, nggak bilang-bilang, trus lama lagi di sininya. Biasanya kan Cuma minggu doank, malam senin pulang.” Ujarnya, seraya memasukkan kode apartemen dan membuka pintu apartemennya. 
“Aku ada kerjaan di sini. Ada proyek kerjasama sama pengusaha Malaysia. Minggu-minggu ini opening proyek kerja sama itu di Kuala lumpur.” Jelas Rafa seraya menenteng kopernya memasuki apartemen tempat singgah Vita selama di Malaysia itu. “Sebenarnya sih bisa aja aku datang pas openingnya doank. Tapi aku minta ijin sama Papa buat di sini seminggu. Sekalian ketemu kamu. Dan untungnya Papa ngertiin. Jadi ya,,, diijinin deh.” Pemuda itu duduk di sofa ruang tamu tanpa diminta lagi, seolah dia telah terbiasa di apartemen itu. 
“Mau kemana?” Rafa meraih tangan Vita yang hendak pergi meniggalkannya, dan menyeret gadis itu agar duduk di sebelahnya. “Di sini aja dulu. Kangen tau,,,” Pemuda itu mendekap kekasihnya lagi, lalu mencium pipinya dengan gemas. 
“Cuma mau ke dapur bikinin kamu minum, Raf. Kamu pasti haus kan?!” 
“Hanya dengan melihat wajah sejukmu, hausku serasa hilang entah kemana.” 
“Aiishhhh,,,, keluar deh gombalnya.” 
“Aku serius. Nggak ngegombal.” Vita malah mencibir, seraya memalingkan wajahnya. “Bibirnya pake dicibir-cibirin kayak gitu pengen di C deh kayaknya.” 
“Apaan di C?” Vita menengok Rafa seketikan, sambil mengerutkan jidat. 
“Nihhh,,,,” Sambil memonyongkan bibirnya, Rafa mendekatkan wajahnya kepada Vita, membuat gadis itu nyengir dan mengangkat tangannya mendorong muka Rafa. 
“Apaan deh, Raf. Yadong banget otaknya.” Gadis itu akhirnya berdiri dan benar-benar meninggalkan Rafa terduduk sendirian di sofa. “Aku buatin kamu minum dulu. Trus ntar kalau kamu udah istirahat aku temenin kamu nyari hotel.” Seru Vita, sambil berlalu dari hadapan Rafa. 
‘* * * * *
Saat mobil Bisma tiba di pertigaan yang memisahkan jalur ke rumah Nanda dan Bisma, Bisma membelokkan mobil sedan warna hitam itu ke kiri. Padahal kalau mau ke rumah Nanda, seharusnya mobil belok ke kanan. 
“Kok ke kiri? Kamu nggak mau nganter aku pulang dulu?” Tanya Nanda dengan dahi mengernyit. 
“Kita ke rumah aku dulu. Mama pengen ketemu kamu.” 
“Ntar kalau ibu nyariin gimana?” 
“Aku tadi udah telpon ibu kamu. Aku bilang kamu mau aku bawa ke rumah aku dulu. Soalnya Mama pengen ketemu kamu.” 
“Trus ibu bilang boleh?” 
“Boleh donk.” Mendengar jawaban Bisma, Nanda mendengus. “Kenapa? Nggak mau ketemu mama aku?” 
“Bukannya nggak mau ketemu sama mama kamu. Tapi aku males lama-lama sama kamu.” 
“O ya? Emang nggak kangen gitu sama aku?” Bisma sudah benar-benar bisa bergurau sekarang. Tapi sepertinya, gurauan Bisma masih belum diindahkan oleh Nanda. Karena setelah itu, Nanda menyuguhkan muka yang begitu masam sambil melirik ke arah Bisma. 
“Ngapain aku kangen sama kamu?” 
“Jangan bohong. Ada yang bilang kalau kamu lagi kangen berat sama aku.” 
“Siapa yang bilang?” Muka masam Nanda kini berubah terkejut. Matanya membulat. 
“Tuh yang di belakang.” Jawab Bisma santai, sambil tersenyum-senyum. Seketika itu, Nanda menengok ke jok belakang. Dan di sana, terlihat Diana yang tengah nyengir gaje ke arah Nanda. 
“Pinter amat sih bikin kakaknya keGRan?” Batin Nanda, sebelum ia mengeluarkan dengusan lagi. Nandapun membalikkan badannya ke depan lagi, tanpa berkata apapun. Gadis yang masih saja sedikit manyun itu tak berkilah, ataupun mendebat apa yang dikatakan Bisma. Ia biarkan Bisma senyam-senyum penuh kemenangan di sampingnya. 
Begitu sampai di rumah Bisma, mama dan papa Bisma telah berada di teras rumah menunggu mereka. Mungkin sepasang suami istri itu tadi mendengar klakson nyaring yang dibunyikan Bisma. Mereka tampak begitu senang melihat anak-anaknya pulang. Seolah anak-anak itu habis pergi jauh dan bertahun-tahun tak bertemu. 
Mama Bisma memeluk anaknya satu persatu, tak terkecuali Nanda. Ia juga mendapatkan pelukan dan kecupan hangat di pipinya dari mamanya Bisma. Dan kehangatan kasih yang diberikan oleh mamanya Bisma itulah yang membuat dia harus menyediakan senyum termanis, meski hatinya masih sedikit dongkol pada anak laki-laki dari perempuan paruh baya itu. 
Orang tua Bisma sepertinya benar-benar welcome dengan kedatangan Nanda. Terbukti dari sikap mereka yang sepertinya tak membedakan antara Nanda dan anak-anaknya. Bahkan saat masuk ke dalam rumah, mamanya Bisma tampak menggamit pinggang Nanda, dan menuntunnya menuju ruang tengah. Nanda benar-benar dianggap seperti keluarga di sini. Ia tidak diampirkan ke ruang tamu, tapi langsung dibawa masuk ke ruang tengah, tempat keluarga itu sering bersantai. Sikap hangat keluarga Bisma itulah yang sering menjadi pegangan Nanda untuk terus bertahan pula pada cintanya. Sebab, menurut dia sangat jarang seorang yang baru pacaran seperti mereka langsung bisa diterima dengan hangat, disayangi seperti anaknya sendiri seperti ini. 
“Kok Nanda diam aja sih? Kenapa, Nak? Kamu sakit?” Tanya Tante Fani, saat menyadari Nanda tak banyak bicara meskipun mereka berempat mengobrol dengan asyiknya di ruang tengah. Bisma memang belum masuk ke kamarnya. Diana juga. 
“Lagi sariawan tuh, Ma?” Sergah Bisma sambil tertawa, berusaha membuat Nanda tersenyum di tengah keluarganya. 
“Kok bisa sariawan, sih? Banyak-banyak minum vitamin donk, Nda. Di sana kan jauh dari orang tua. Kalau sakit nggak ada yang rawat. Jaga kesehatan. Jaga kondisi. Jangan sampai sakit.” Nanda hanya tersenyum malu sambil melirik Bisma yang tengah cengar cengir di samping adiknya. 
“Iya Tante.” Jawab Nanda singkat, masih dengan mempertahankan senyumnya. 
‘* * * * * 
Villa kecil itu terlihat sepi. Tak ada tanda-tanda kalau ada penghuni di dalamnya. Morgan jadi mengernyitkan dahi. Biasanya kalau mereka liburan ke puncak seperti ini, mereka akan menghabiskan waktu di luar Villa sambil bakar-bakaran, atau sekedar ngobrol. Tapi entah kenapa kali ini suasananya lain.
Morgan segera memarkirkan mobilnya di garasi. Dan di sana, ia tak menemukan mobil lain. 
"Pada ke mana ya?" Pikir Morgan. "Masa' malam-malam begini pada jalan-jalan." 
Sejenak, Pemuda itu menengok kekasihnya yang kini tertidur pulas di sampingnya. Afra memang sedari tadi mengeluhkan kepalanya yang pening. Jadi, Morgan menyuruhnya untuk tidur saja selama perjalanan. Setelah mengelus lembut rambut kekasihnya dan mencium pipinya, Morgan keluar dari mobil. 
Ia sapukan pandangannya ke seluruh penjuru Villa. Dan saat ia memandang ke pintu samping villa, terlihat seorang pria tengah baya tergopoh-gopoh menghampirinya. 
"Den Morgan??" 
"Pak Marwan?" 
"Den Morgan ke sini sendiri aja? Mau nginep?" 
"Emang Mama sama Papa nggak ke sini, Pak?" 
"Enggak Den. Mereka nggak ke sini." 
Morgan semakin bingung. "Kok mereka nggak ke sini?" 
"Emang tadi janjian mau ke sini, Den?" 
"Mereka katanya mau ke sini pagi tadi, Pak." 
"Tapi dari kemarin nyonya nggak bilang apa-apa, Den. Biasanya kalau mau nginep rame-rame, nyonya selalu bilang suruh siap-siap. Tapi nyonya nggak telpon-telpon Bapak, Den." 
"Apa ke villa yang satunya ya?" 
"Mungkin iya kali Den, coba ditelpon aja." 
"Iya deh, Pak. Saya telpon mama dulu." Pemuda itu merogoh kantong celananya, dan mengambil benda mungil dari sana. 
"Mau masuk ke dalem dulu nggak, Den? Biar bapak siapin minum?" 
"Enggak Pak. Nggak usah. Terima kasih." Ujarnya seraya menempelkan benda mungil yang ia pegang ke telinga kanannya. 
Tapi belum sampai telponnya nyambung, Morgan berbalik dan menemukan Afra telah berdiri di belakangnya dengan muka pucat. 
"Gan,,," Rintih Afra, dan seketika, gadis itu ambruk tak sadarkan diri. 
"Fra,,, Afra,,, Fra??? Bangun, Fra. Kamu kenapa?" 
"Bawa masuk aja, Den. Mbak Afra kayaknya pingsan." 
"Iya, Pak. Tolong bukain pintunya, Pak." Morgan segera membopong gadis itu menuju Villa, mengikuti Pak Marwan sang penjaga Villa keluarga Winata itu. "Sekalian kamarnya bukain ya, Pak." 
"Iya, Den." Sahut penjaga villa itu, yang kemudian membuka pintu Villa dan membiarkan anak majikannya itu memasuki kawasan yang ia jaga. 
Morgan segera membaringkan Afra di ranjang begitu mereka sampai di kamar. 
"Fra, kamu kenapa???" Morgan meraih tangan Afra dan mengelusnya. Ia sibak poni yang menghias dahi gadis itu, dan menempelkan punggung tangannya di sana. Tapi suhu badannya normal. Hanya tangannya yang terasa sangat dingin. 
"Pasti tekanan darahnya turun lagi." Pikirnya. 
"Perlu diambilin minyak angin nggak, Den?" Pak Marwan yang sedari tadi berdiri di belakang Morgan itu menawarkan. 
"Iya, Pak. Tolong ambilin kotak obatnya." Pinta Morgan, dan penjaga Villa itupun langsung mengikuti perintahnya. 
* * * * *
Bersambung

By: Novita SN

No comments:

Post a Comment