Thursday, June 6, 2013

Saat Hati Berselimut Cemburu


“Eh, Ir. Ilham tuh. Duh, gantengnya,,,,” Shella berujar dengan mata berbinar saat melihat Ilham, kapten tim basket yang sangat terkenal seantero sekolah itu memasuki kantin dengan pakaian kebesarannya, pakaian tim basket.
Deg,,, hatiku tiba-tiba bergetar melihat orang yang selama dua tahun lebih menjadi hiasan dalam setiap kata di diaryku itu ternyata mengarahkan bola matanya ke arah tempatku terduduk bersama Shella, sahabatku. Apalagi melihat senyumnya yang eksotik itu. Dan senyum yang sangat menawan itu ternyata memang untukku. Eh bukan. Dia melihatku dan Shella. Entah senyum itu ditujukan untuk siapa.
“Hai Shella,,,,” Sapanya, membuat mata Shella semakin berbinar.
“Hai Am,,,” Shella membalas. Hatiku jadi melemas lunglai. Jadi untuk Shella? Tapi tunggu,,,
“Hai Irma,,,,” Terdengar dia juga menyapaku. Jadi, senyum itu untuk siapa? Lama aku menatapnya tanpa kedip. Entah apa yang menghipnotisku sampai aku demikian terkesima dengan cowok itu.
“Irma.” Senggolan Shella di bahuku membuatku tersadar. Dan beberapa meter di depanku, Ilham masih menatapku, seperti menanti balasan. Aku hanya membalas dengan senyuman. Dan sekali lagi, Ilham tersenyum begitu manis. Nyaris membuatku terbang melayang. Sang idola sekolah yang juga mahir di bidang Fisika itu hanya mengambil minuman di kulkas kantin, lalu berlalu dari sana setelah membayar minuman yang diambilnya.
“Ir, kita kan udah kelas Sebelas nih. Udah pantes pacaran kali. Kita pacarin Ilham aja yuk. Kayaknya dia suka ngasih signal juga ke kita tuh. Pasti dia akan respek sama salah satu dari kita. Secara, kita kan cantik-cantik gini. Termasuk pelajar terbaik lagi sejak awal masuk ke sekolah ini.” Shella berceloteh panjang, sementara mataku membola.
“Maksud kamu, kita joinan gitu pacarannya?”
“Ya enggaklah. Gini, peringkat kita kan sering kejar-kejaran tuh. Kalau nggak kamu yang peringkat satu, ya aku peringkat satunya. Gimana kalau akhir semester ini kita buat perjanjian. Siapa yang peringkat satu, dia yang bisa ngedeketin Ilham.”
Aku berpikir sejenak. Kalau nanti Shella yang peringkat satu, relakah aku kalau Ilham pacaran dengannya? Tapi,,,
“Baiklah. Kali ini kita nggak cuma kompetisi nilai. Tapi kompetisi untuk mendapatkan hati Sang Pangeran Ilham.” Akhirnya aku menerimanya. Tak peduli nanti hasilnya seperti apa. Kalau toh memang Ilham harus jadi miliknya Shella, aku akan merelakan. Untuk sahabat terbaikku sendiri, kenapa enggak?
“Deal?” Aku mengacungkan kelingkingku, yang disambut oleh Shella.
“Deal.”
‘*     *     *     *     *
Tapi kata rela itu mungkin hanyalah sekedar ucapan saja. Karena setelah Ilham benar-benar dekat dengan Shella, aku tak dapat menahan gejolak panas di hatiku. Apalagi, kedekatan Shella bukan karena dia berhasil menduduki peringkat satu. Tapi karena memang Ilham sepertinya jatuh cinta pada Shella.
Meskipun aku berhasil menjadi rangking satu, tapi kemampuan Fisikaku tak sebaik Shella. Menjelang akhir semester kemarin, ada kompetisi Fisika sepropinsi yang melibatkan Shella dan Ilham. Semenjak itulah Shella jadi lebih dekat dengan Ilham. Awalnya, mereka hanya bertemu untuk sekedar berdiskusi tentang Fisika. Tapi setelah kompetisi itu usaipun, mereka masih sering terlihat jalan berdua. Bahkan di ujung semesterpun, saat Shella tau kalau aku peringkat satu, ia seolah melupakan perjanjian itu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia seolah tak pernah mengerti bagaimana perasaanku. Dia seolah telah amnesia tentang masa lalu kita. Dia lupa aku juga menaruh hati pada Ilham.
Dan siang itu, Shella dengan PDnya mengajak aku untuk pulang bersama mereka karena mereka akan dijemput oleh kakaknya Ilham yang telah kuliah. Di depanku, Shella menyanjung-nyanjung kakaknya Ilham yang bernama Reza itu dengan antusias. Seolah dia ingin memberi pengertian kepadaku kalau kakaknya Ilham itu tak lebih buruk dari Ilham. Apa maksudnya coba? Dia kira semudah itu apa melupakan Ilham?
“Enggak ah. Aku ada urusan.” Tolakku, dengan wajah dingin seperti biasanya.
“Ada urusan apa sih? Nanti biar kita anter deh. Kamu ada urusan di mana?” Shella masih ngotot ingin aku pulang bersama mereka.
“Nggak perlu tau.”
“Kamu ini kenapa sih, Ir? Belakangan ini kok aneh gini.” Suara Shella terdengar jengkel. Sebenarnya tak hanya sekarang dia menanyaiku seperti itu dengan gemas bercampur kesal.
“Udahlah. Nggak perlu ngurusin aku. Aku bisa pulang sendiri. Kalau kamu mau ikut dia ya silahkan.”
Kusahut tasku yang telah selesai aku rapikan, dan berlalu dari hadapan mereka. Terlihat ada guratan kecewa di wajah Ilham. Sebegitu inginkah dia menjodohkan aku dengan kakaknya? Apa dia juga tidak tau perasaanku? Mungkin memang enggak.
‘*     *     *     *     *
Hampir satu bulan aku cuek pada Shella. Aku merasa muak tiap kali melihatnya. Apalagi saat Ilham menunjukkan perhatiannya pada Shella. Rasa muakku kian menjadi.
“Irma, kamu kenapa sih? Kenapa kamu nyuekin aku?” Keluhnya padaku suatu kali, tapi sama sekali tak aku hiraukan. Dia benar-benar bodoh atau memang amnesia sih? Apa dia tidak bisa menangkap rasa cemburu di dalam hatiku? Kenapa perasannya nggak peka seperti itu?
Hingga pada suatu sore, saat aku tengah menikmati siomay di bawah pohon kelapa depan taman komplek, aku menangkap pemandangan tak sedap. Shella keluar dari sebuah mobil sedan berwarna hitam bersama Ilham. Ada seorang cowok yang tak kalah keren dengan Ilham yang datang bersama mereka. Itu pasti Reza. Untuk apa mereka menyusulku ke sini? Apa mereka benar-benar serius mau nyomblangin aku sama Reza?
“Shella memang keterlaluan.” Geramku, dalam hati. Saking geramnya, aku sampai meremas botol kecap dari plastik di hadapanku sampai botol itu mengkerut dan isinya sedikit tumpah mengenai tanganku.
Tanpa mempedulikan tanganku yang gelepotan, aku berdiri dari dudukku dan hendak beranjak dari sana. Tapi belum sampai aku menjauh, tangan seseorang menahan kepergianku dengan mencengkeram pergelangan tanganku.
“Tunggu Irma.” Itu suara Ilham? Apa aku nggak salah dengar?
“Kamu salah paham. Apa yang kamu tulis di diarymu beberapa waktu belakangan ini tuh salah.”
“Diary?” Gumamku, lirih. Aku memang selalu meluapkan apa yang aku rasakan selama ini pada diaryku. Termasuk rasa sakit hatiku pada Shella belakangan ini. Tapi aku bingung, kenapa Ilham tau tentang diary itu?
“Sory Ir, aku terpaksa memperlihatkan ini padanya. Aku tadi mampir ke rumahmu dan mengambil ini.” Jelas Shella, seraya memperlihatkan diaryku yang kini berada di tangannya. Aku hanya bisa terbelalak.
“Jangan salahkan dia. Dia hanya ingin meyakinkan aku kalau kamu juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Belakangan ini aku dekat dengannya karena aku ingin tau tentang kamu.”
“Lagian, Shella kan udah jadi pacar aku sejak seminggu yang lalu.” Cowok di samping Shella ikut berujar, membuat aku semakin terkejut.
“Jadi,,,”
“Jadi sebenarnya selama ini aku suka sama kamu.” Ilham memotong kalimatku. “Dan aku ingin kamu jadi pacarku.”
Seketika mataku membola, tak percaya dengan semua hal yang terjadi sore itu. Api yang membara di hatiku serasa terguyur salju.

“Kamu mau kan Ir, jadi pacarku?” Ilham kembali bertanya. Dan dengan tersenyum malu, aku mengangguk. Tanda kalau aku mau jadi pacar Ilham, orang yang namanya selalu terukir tak hanya di diaryku, tapi juga di hati terdalamku.

TAMAT

By: Novita SN
@Novita_setyaN

No comments:

Post a Comment