“Eh,
Ir. Ilham tuh. Duh, gantengnya,,,,” Shella berujar dengan mata berbinar saat
melihat Ilham, kapten tim basket yang sangat terkenal seantero sekolah itu
memasuki kantin dengan pakaian kebesarannya, pakaian tim basket.
Deg,,,
hatiku tiba-tiba bergetar melihat orang yang selama dua tahun lebih menjadi
hiasan dalam setiap kata di diaryku itu ternyata mengarahkan bola matanya ke
arah tempatku terduduk bersama Shella, sahabatku. Apalagi melihat senyumnya
yang eksotik itu. Dan senyum yang sangat menawan itu ternyata memang untukku.
Eh bukan. Dia melihatku dan Shella. Entah senyum itu ditujukan untuk siapa.
“Hai
Shella,,,,” Sapanya, membuat mata Shella semakin berbinar.
“Hai
Am,,,” Shella membalas. Hatiku jadi melemas lunglai. Jadi untuk Shella? Tapi
tunggu,,,
“Hai
Irma,,,,” Terdengar dia juga menyapaku. Jadi, senyum itu untuk siapa? Lama aku
menatapnya tanpa kedip. Entah apa yang menghipnotisku sampai aku demikian
terkesima dengan cowok itu.
“Irma.”
Senggolan Shella di bahuku membuatku tersadar. Dan beberapa meter di depanku, Ilham
masih menatapku, seperti menanti balasan. Aku hanya membalas dengan senyuman. Dan
sekali lagi, Ilham tersenyum begitu manis. Nyaris membuatku terbang melayang.
Sang idola sekolah yang juga mahir di bidang Fisika itu hanya mengambil minuman
di kulkas kantin, lalu berlalu dari sana setelah membayar minuman yang
diambilnya.
“Ir,
kita kan udah kelas Sebelas nih. Udah pantes pacaran kali. Kita pacarin Ilham
aja yuk. Kayaknya dia suka ngasih signal juga ke kita tuh. Pasti dia akan
respek sama salah satu dari kita. Secara, kita kan cantik-cantik gini. Termasuk
pelajar terbaik lagi sejak awal masuk
ke sekolah ini.” Shella berceloteh panjang, sementara mataku membola.
“Maksud
kamu, kita joinan gitu pacarannya?”
“Ya
enggaklah. Gini, peringkat kita kan sering kejar-kejaran tuh. Kalau nggak kamu
yang peringkat satu, ya aku peringkat satunya. Gimana kalau akhir semester ini
kita buat perjanjian. Siapa yang peringkat satu, dia yang bisa ngedeketin Ilham.”
Aku
berpikir sejenak. Kalau nanti Shella yang peringkat satu, relakah aku kalau Ilham
pacaran dengannya? Tapi,,,
“Baiklah.
Kali ini kita nggak cuma kompetisi nilai. Tapi kompetisi untuk mendapatkan hati
Sang Pangeran Ilham.” Akhirnya aku menerimanya. Tak peduli nanti hasilnya
seperti apa. Kalau toh memang Ilham harus jadi miliknya Shella, aku akan
merelakan. Untuk sahabat terbaikku sendiri, kenapa enggak?
“Deal?”
Aku mengacungkan kelingkingku, yang disambut oleh Shella.
“Deal.”
‘* *
* * *
Tapi
kata rela itu mungkin hanyalah sekedar ucapan saja. Karena setelah Ilham
benar-benar dekat dengan Shella, aku tak dapat menahan gejolak panas di hatiku.
Apalagi, kedekatan Shella bukan karena dia berhasil menduduki peringkat satu.
Tapi karena memang Ilham sepertinya jatuh cinta pada Shella.
Meskipun
aku berhasil menjadi rangking satu, tapi kemampuan Fisikaku tak sebaik Shella.
Menjelang akhir semester kemarin, ada kompetisi Fisika sepropinsi yang
melibatkan Shella dan Ilham. Semenjak itulah Shella jadi lebih dekat dengan Ilham.
Awalnya, mereka hanya bertemu untuk sekedar berdiskusi tentang Fisika. Tapi
setelah kompetisi itu usaipun, mereka masih sering terlihat jalan berdua.
Bahkan di ujung semesterpun, saat Shella tau kalau aku peringkat satu, ia
seolah melupakan perjanjian itu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia seolah
tak pernah mengerti bagaimana perasaanku. Dia seolah telah amnesia tentang masa
lalu kita. Dia lupa aku juga menaruh hati pada Ilham.
Dan
siang itu, Shella dengan PDnya mengajak aku untuk pulang bersama mereka karena
mereka akan dijemput oleh kakaknya Ilham yang telah kuliah. Di depanku, Shella
menyanjung-nyanjung kakaknya Ilham yang bernama Reza itu dengan antusias.
Seolah dia ingin memberi pengertian kepadaku kalau kakaknya Ilham itu tak lebih
buruk dari Ilham. Apa maksudnya coba? Dia kira semudah itu apa melupakan Ilham?
“Enggak
ah. Aku ada urusan.” Tolakku, dengan wajah dingin seperti biasanya.
“Ada
urusan apa sih? Nanti biar kita anter deh. Kamu ada urusan di mana?” Shella
masih ngotot ingin aku pulang bersama mereka.
“Nggak
perlu tau.”
“Kamu
ini kenapa sih, Ir? Belakangan ini kok aneh gini.” Suara Shella terdengar
jengkel. Sebenarnya tak hanya sekarang dia menanyaiku seperti itu dengan gemas
bercampur kesal.
“Udahlah.
Nggak perlu ngurusin aku. Aku bisa pulang sendiri. Kalau kamu mau ikut dia ya
silahkan.”
Kusahut
tasku yang telah selesai aku rapikan, dan berlalu dari hadapan mereka. Terlihat
ada guratan kecewa di wajah Ilham. Sebegitu inginkah dia menjodohkan aku dengan
kakaknya? Apa dia juga tidak tau perasaanku? Mungkin memang enggak.
‘* *
* * *
Hampir
satu bulan aku cuek pada Shella. Aku merasa muak tiap kali melihatnya. Apalagi
saat Ilham menunjukkan perhatiannya pada Shella. Rasa muakku kian menjadi.
“Irma,
kamu kenapa sih? Kenapa kamu nyuekin aku?” Keluhnya padaku suatu kali, tapi
sama sekali tak aku hiraukan. Dia benar-benar bodoh atau memang amnesia sih?
Apa dia tidak bisa menangkap rasa cemburu di dalam hatiku? Kenapa perasannya
nggak peka seperti itu?
Hingga
pada suatu sore, saat aku tengah menikmati siomay
di bawah pohon kelapa depan taman
komplek, aku menangkap pemandangan tak sedap. Shella keluar dari sebuah mobil
sedan berwarna hitam bersama Ilham. Ada seorang cowok yang tak kalah keren
dengan Ilham yang datang bersama mereka. Itu pasti Reza. Untuk apa mereka
menyusulku ke sini? Apa mereka benar-benar serius mau nyomblangin aku sama
Reza?
“Shella
memang keterlaluan.” Geramku, dalam hati. Saking geramnya, aku sampai meremas
botol kecap dari plastik di hadapanku
sampai botol itu mengkerut dan isinya sedikit tumpah mengenai tanganku.
Tanpa
mempedulikan tanganku yang gelepotan, aku berdiri dari dudukku dan hendak
beranjak dari sana. Tapi belum sampai aku menjauh, tangan seseorang menahan
kepergianku dengan mencengkeram pergelangan tanganku.
“Tunggu
Irma.” Itu suara Ilham? Apa aku nggak salah dengar?
“Kamu
salah paham. Apa yang kamu tulis di diarymu beberapa waktu belakangan ini tuh
salah.”
“Diary?”
Gumamku, lirih. Aku memang selalu meluapkan apa yang aku rasakan selama ini
pada diaryku. Termasuk rasa sakit hatiku pada Shella belakangan ini. Tapi aku
bingung, kenapa Ilham tau tentang diary itu?
“Sory
Ir, aku terpaksa memperlihatkan ini padanya. Aku tadi mampir ke rumahmu dan
mengambil ini.” Jelas Shella, seraya memperlihatkan diaryku yang kini berada di
tangannya. Aku hanya bisa terbelalak.
“Jangan
salahkan dia. Dia hanya ingin meyakinkan aku kalau kamu juga mempunyai perasaan
yang sama denganku. Belakangan ini aku dekat dengannya karena aku ingin tau
tentang kamu.”
“Lagian,
Shella kan udah jadi pacar aku sejak seminggu yang lalu.” Cowok di samping Shella
ikut berujar, membuat aku semakin terkejut.
“Jadi,,,”
“Jadi
sebenarnya selama ini aku suka sama kamu.” Ilham memotong kalimatku. “Dan aku
ingin kamu jadi pacarku.”
Seketika
mataku membola, tak percaya dengan semua hal yang terjadi sore itu. Api yang
membara di hatiku serasa terguyur salju.
“Kamu
mau kan Ir, jadi pacarku?” Ilham kembali bertanya. Dan dengan tersenyum malu,
aku mengangguk. Tanda kalau aku mau jadi pacar Ilham, orang yang namanya selalu
terukir tak hanya di diaryku, tapi juga di hati terdalamku.
TAMAT
By: Novita SN
@Novita_setyaN
No comments:
Post a Comment