Beberapa pelayan di sebuah
restoran yang terbilang mewah itu menyambut kedatangan sepasang kekasih yang
baru saja memasuki pelatarannya. Dengan senyum ramah, pemuda yang tampak gagah
dengan balutan kemeja berwarna hitam bergaris menyapa para pelayan, dan dibalas
anggukan oleh mereka. Di samping pemuda itu, kekasihnya yang tampak cantik
dengan gaun biru selutut terlihat menggamit mesra lengan kirinya. Rambutnya
yang hitam legam tergerai indah dengan hiasan rambut keperakan di sisi kanan
kepalanya.
“Pasangan yang manis.” Batin
salah seorang pelayan yang sampai sekarang masih mempertahankan senyum ramahnya
itu.
Hari ini adalah anniversary
ke tujuh untuk sepasang kekasih yang baru saja memasuki restoran itu. Dua hari
lalu, Rafael sengaja membooking salah satu meja di restoran itu untuk merayakan
hari jadinya. Setiap tahun mereka berdua memang selalu merayakan hari jadi
mereka. Tapi biasanya, mereka merayakannya di sebuah kafe tempat mereka memulai
jalinan kasih mereka tujuh tahun yang lalu. Baru kali ini Rafael mengajak Vita
merayakan anniversarynya di restoran mewah begini.
Saat memasuki restoran, Vita
sudah bisa merasakan hawa romantis yang disuguhkan oleh tempat dinner mereka
itu. Lampu kerlap kerlip yang temaram, lagu cinta yang tiba-tiba terlantun
melalui speaker restoran sesaat setelah mereka masuk, juga lilin-lilin yang
tampak menyala anggun di meja yang akan mereka tempati.
Di sepanjang jalan menuju
meja mereka, Rafael terdengar berdendang mengikuti musik yang mengalun indah di
seluruh ruangan itu. Dengan tetap berdendang, Rafael melempar senyum kepada
gadis di sampingnya, sambil sesekali menciumi kepala gadis itu. Dan di sampingnya Vita hanya terkekeh melihat
tingkah kekasihnya.
“Silahkan duduk my sweety,,,”
Rafael menyeretkan kursi untuk Vita, dan
mempersilahkannya duduk begitu mereka sampai di meja yang akan mereka
tempati.
“Thanx my dear,,,,” Dengan
senyum manis terkembang, gadis itupun duduk di kursinya.
“Tumben malam ini Rafa
romantisnya nggak ketulungan kayak gini?” Pikir gadis itu. “Hmmm,,, anniversary
kali ini jadi berasa lain.”
Lebih dari satu jam mereka
habiskan untuk mengenang semua hal yang mereka jalani selama tujuh tahun ini,
sambil menikmati dinner mereka. Terkadang mereka tertawa kalau mengingat hal
lucu yang menyelingi kisah kasih mereka. Tapi sesekali, sang gadis juga merajuk
saat kesal dengan kenangan menyebalkan yang pernah dilakukan pemuda di sebrang
mejanya. Tapi dari kesemuanya itu, mereka merasakan keindahan dari setiap hal yang
mewarnai jalinan kasih mereka. Dan itu membuat keduanya merasakan kenyamanan
yang amat sangat. Mereka merasakan cinta yang kian hari kian tambah besar
seiring dengan berjalannya waktu. Tak ada rasa bosan, tak ada rasa jenuh.
Bahkan, keduanya merasa terlengkapi dengan kehadiran masing-masing.
Dan seusai menikmati
dinnernya, Rafael tampak memberi isyarat kepada seorang pelayan untuk
memutarkan sebuah lagu. Sebuah lagu milik Daniel Bedingfield terdengar
mengalun.
If you’re not the one, then
why does my soul feel glad today?
(Jika kau bukan seseorang
itu, kenapa jiwaku merasa gembira hari ini?)
If you’re not the one, then
why does my hand fit yours this way?
(Jika kau bukan seseorang
itu, lalu kenapa tanganku begitu pas dengan tanganmu?
“Dansa yuk.” Ajak Rafael,
seraya beranjak dari duduknya, dan melumahkan tangannya di hadapan Vita. Dan
dengan tersenyum manis, gadis itu menerima uluran tangan kekasihnya.
I never know what the future
brings
(Aku tak pernah tau apa yang
terjadi di masa depan)
But I know you’re here with
me now
(Tapi aku tahu kau di sini
bersamaku saat ini)
We’ll make it through and I
hope
(Kita akan melewati ini dan
kuharap)
You are the one I share my
life with
(Kaulah seseorang yang akan
berbagi hidup denganku)
Sembari menikmati dansanya
dengan Vita, Rafael terus ikut menyenandungkan lagu yang terputar itu di dekat
telinga Vita, seolah ia ingin mengungkapkan segala rasa di hatinya lewat lagu
itu. Awalnya Vita bersikap biasa saja, dan berdansa mengikuti Rafael yang
mendekap erat tubuhnya. Tapi setelah beberapa saat menikmati dansanya, gadis
itu baru menyadari kalau ada sesuatu yang sebenarnya ingin diungkapkan
kekasihnya lewat lagu itu.
If you’re not for me, the why
do Idream of you as my wife?
(Jika kamu bukan untukku,
kenapa aku memimpikanmu menjadi istriku?)
I don’t khow why you’re so
far away
(Aku tak tau kenapa kau
bagitu jauh)
But I khow that this much is
true
(Tapi aku tahu semua ini
benar)
We’ll make it through and I
hope
(Kita kan melewati ini dan
kuharap)
You are the one I share my
life with
(Kaulah seseorang yang akan
berbagi hidup denganku)
Rafael melepas pelukannya,
dan menghentikan dansanya. Dengan menggenggam kedua tangan gadis yang kini
mematung dengan raut muka terkejut itu, Rafael terus menyenandungkan lagu
romantisnya.
And I wish that you could be
the one I die with
(Dan kuharap kau bisa jadi
seseorang yang menemaniku hingga mati)
And I pray that you’re the
one I build my home with
(Dan ku berdoa kaulah
seseorang yang akan membangun rumah bersamaku)
I hope I love you all my life
(Kuharap aku mencintaimu
selama hidupku)
I don’t wanna run away but I
can’t take it, I don’t understand
(Aku tak ingin berlari tapi
aku tak kuat menahannya, aku tak mengerti)
Dan tiba-tiba saja, Rafael
berlutut di hadapan Vita yang kini hatinya tengan dag dig dug tak karuan. Gadis
itu merasa akan ada hal besar yang terjadi di anniversarynya kali ini. Ia bisa
menebak apa yang sebenarnya dimaui Rafael. Dan itu membuat jantungnya berdetak
tak menentu.
If I’m not made for you, then
why does my heart tell me that I am?
(Jika kamu tidak ditakdirkan untukku, lalu kenapa hatiku mengatakan
bahwa akulah takdirmu?)
Is there anyway that I can
stay in your arm?
(Adakah cara agar aku bisa
terus kau dekap?)
“Mungkin dengan cara
menikahimu aku akan mendapat jawab atas semua tanyaku. Mungkin dengan cara
menikahimu aku akan bisa mewujudkan apa yang aku inginkan?” Rafael sedikit
menghadirkan jeda, dan,,,”Menikahlah denganku, Vit.” Ungkap Rafael, di sela
lagu yang kini masih menyenandung menjadi back ground lamarannya malam ini.
Mendengar ungkapan Rafael itu, tubuh Vita seakan melemas. Dari awal dia datang
ke sini, gadis itu sama sekali belum mencium kejutan besar ini. Baru beberapa
detik yang lalu ia menyadarinya. Dan ia benar-benar sangat terkejut. Saking
terkejutnya, sampai-sampai sekarang ia tak bisa berkata apapun. Ia hanya
menatap Rafael dengan tampang kagetnya.
“Menikahlah denganku.” Sekali
lagi, Rafael berkata. Dan itu membuat Vita tergagap.
“Raf????
Kamu,,,,ngelamar,,,,aku?” Susah payah, gadis itu mengeluarkan kalimat tanya
itu. Dan terlihat di depannya, pemuda itu mengangguk.
“Raf,,,,,” Suara gadis itu
seolah tercekat. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya bening yang terlihat
menyembul yang mengiringi anggukan gadis itu, dan itu membuat Rafa cukup tau
kalau lamarannya diterima.
Pemuda itu kemudian merogoh
saku celananya, dan mengambil sebuah cincin keperakan untuk dipakaikannya
kepada gadis itu. Hati Vita semakin tak menentu. Ini benar-benar surprised yang
sama sekali tak ia duga. Ia benar-benar tak kepikiran kalau malam ini, Rafael
akan melamarnya.
“Cincin ini sebagai tanda
kalau aku ingin menjadikanmu satu-satunya wanita dalam hidupku. Satu-satunya
wanita yang ingin aku ajak berbagi. Satu-satunya wanita yang ingin aku
bahagiakan sepanjang hidupnya. Dan satu-satunya wanita yang ingin aku ajak
berbahagia dalam hidupku, untuk selamanya.” Ujarnya, seraya memakaikan cincin
itu di jari manis Vita. “Aku mencintaimu, Vit. Dulu , sekarang, nanti, dan
sampai kapanpun.” Pemuda itu kemudian bangkit, dan mencium lembut kening
kekasihnya. Kemudian, ia raih tubuh yang masih tampak shock itu, dan ia
sematkan di dada bidangnya. Di ruangan yang agak remang itu, musik milik Daniel
Bedingfield masih saja menggema.
I don’t wanna run away but I
can’t take it, I don’t understand
If I’m not made for you, then
why does my heart tell me that I am?
Is there anyway that I can
stay in your arm?
Di ujung lagu itu, Rafael
baru menyadari kalau ternyata kekasihnya telah terisak dalam pelukannya.
“Kok nangis?” Kaget, pemuda
itu langsung melepas pelukannya, dan memperhatikan wajah gadis itu. Tapi
sepertinya Vita masih ingin berpeluk. Karena tanpa menghiraukan pertanyaan
kekasihnya, gadis itu kembali merengkuh tubuh tegap di hadapannya, dan semakin
terisak di dalam dekapan pemuda itu.
“Kamu kenapa?”
“Kaget, Raf.”
“Kaget kok nangis?”
“Kagetnya udah tingkat akut. Jadi nangis deh.” Jawabnya, masih
dengan terisak. “Raf, kakiku lemas. Aku pengen duduk.”
Pemuda itupun menggiring
gadisnya menuju meja mereka, dan mendudukkannya di kursi. Dengan tangan masih
memegangi tangan Vita, Rafael berjongkok di depan gadis itu. Ia ciumi telapak
tangan mulus yang kini telah terisi cincinnya itu berkali-kali, lalu ia
mendangak memperhatikan wajah yang kini dibanjiri tangis itu. Dengan ujung ibu
jarinya, Rafael mengusap lembut air di pipi Vita.
“Kok nggak bilang-bilang,
sih?”
“Kan mau ngasih surprise.
Masa’ bilang-bilang?”
“Pasti karena sindiran Om
Subroto kemarin, ya?”
“Enggak juga. Sebenarnya aku
udah nyiapin cincin itu dua bulan yang lalu. Aku memang ingin melamarmu malam
ini.” Pemuda itu berdiri dari jongkoknya, dan mengelus kepala Vita dengan
lembut, lalu mencium keningnya. Vita hanya menatap Rafael yang kini kembali ke
tempat duduknya.
“Tapi Raf, sebenarnya,,,,
aku,,,, belum ingin menikah dalam waktu dekat.”
“Aku tau kok. Urusanmu di
Malaysia belum kelar kan?! Aku juga udah kepikir. Jadi nanti, kita resmiin
pertunangan kita setelah kamu menyelesaikan urusanmu di Malaysia. Dan untuk
pernikahannya, akan kita langsungkan di anniversary kita yang ke delapan. Gimana?”
“Setahun lagi donk?”
“Iya. Kenapa? Kelamaan ya?”
“Enggak enggak, Raf. Aku Cuma,,,,
aku Cuma nggak nyangka kalau ternyata kamu udah mikir sejauh itu. Udah mikir
sampai pernikahan. Aku nggak nyangka sama sekali, Raf.”
Pemuda itu tersenyum. “Kita
udah cukup umur untuk memikirkan semua itu, Vit. Lagian kita udah lama pacaran.
Kita udah cukup mengenal diri kita masing-masing. Jadi, tidak ada salahnya kan,
kalau kita menuju ke jenjang yang lebih jauh?”
Sambil tetap mempertahankan
senyumnya, tangan pemuda itu terangkat, dan mengelus lembut pipi kekasihnya. Dan
di seberangnya, Vita pun tersenyum manis, seraya menganggukkan kepala.
‘*
* * *
*
Saat Bisma sama Rangga
memasuki kamarnya usai mengikuti kegiatan mereka, mereka menemukan Morgan yang
tampak senyam senyum di atas ranjangnya. Hari ini Morgan memang free. Tidak ada
kegiatan yang membebaninya seharian ini. Tapi hanya seharian ini. Besok dia
harus mengikuti bakti sosial lagi bersama rekan-rekannya.
Melihat Morgan yang
memelototi HPnya sambil senyam senyum tanpa memperhatikan kedatangan kedua
sahabatnya, insting usil kedua pemuda itupun tiba-tiba keluar. Dengan jailnya, Rangga
merebut HP yang kini di pegang Morgan, dan dibawanya lari menjauh. Dengan
sigap, Bisma menangkap tubuh Morgan yang hendak mengejar Rangga.
“Apaan sih lo, Ngga. Main
rebut aja. Sini balikin HP gue.”
“Enggak. Gue pengen lihat. Lo
senyum-senyum kenapa, sih?” Dengan muka penasaran, Rangga menancapkan pandangannya
pada layar mungil di tangannya. “Cieeeehhh,,,, Afra.”
“Bacain, Ngga. Bacain. Gue
juga pengen tau.”
“Apaan sih? Lepas, Bii.”
Morgan mencoba meronta, tapi Bisma tetap ngotot menahannya. “Sini balikin HP
gue, Ngga.” Kali ini, pemuda itu berusaha menggapai Rangga, tapi tangan Bisma
kembali mencegahnya.
“Nih, gue bacain ya, Bii.
Ehm,, ehm,,, Yank, kangen.” Rangga membaca pesan singkat itu dengan nada Alay.
“Cieeee,,,,, yang lagi
kangen.” Bisma tergelak kemudian.
“Aku juga kangen banget nih,
Yank. Beberapa hari nggak ketemu aja rasanya kayak bertahun-tahun.” Rangga.
“Jiaaahhhh,,,,, keluar deh
lebaynya.”
“Apaan, sih. Sini balikin,
Ngga.”
“Enggak. Gue masih pengen
baca.”
“Lanjot, Ngga. Mumpung gue
masih kuat nahannya nih.”
“Ok, Bii. Gue lanjut nih.
‘Kapan ya, Yank, kita bisa sama-sama terus biar nggak nahan kangen kayak gini?”
“Rangga, udah stop!!!!”
“Ntar kali, Yank, kalau kita
udah nikah, trus kita udah hidup bareng,,,,
“Rangga,,,, gue bilang
stoooooppppppp!!!!!” Morgan kembali meronta-ronta, tapi masih tetap ditahan
oleh Bisma. Kedua temannya malah tergelak-gelak melihat Morgan yang kini
mukanya telah memerah menahan kesal itu.
“Lanjut terus, Ngga.”
“Ntar kalau kita udah tinggal
serumah kan kita bisa tiap hari ketemu, Yank.”
“Ranggaaaaaa,,,,,,,,”
“Yank, kok tumben nggak
telpon sih??? Sory sayang, pulsa lagi miris nih,,,,,” Belum sampai Rangga
menyelesaikan kalimatnya, Morgan telah berhasil lepas dari Bisma, dan langsung
merebut HPnya di tangan Rangga. Tapi sepertinya, kedua pemuda itu telah merasa
puas bisa mengerjai sahabatnya. Buktinya sampai sekarang, mereka masih saja
tergelak-gelak.
“Halahhhhh,,,,,, miskin lo,
Gan. Nggak modal.” Ujar Bisma, disela tawanya.
“Gue bukannya nggak modal.
Tapi gue mau isi pulsa nggak bisa. Jaringan lagi trouble. Isi pulsa nggak
masuk-masuk. Terpaksa deh cuma bisa tulis-tulisan kayak gini. Dan celakanya,
ternyata temen-temen gue pada rese. Nyebelin.”
Kembali, kedua pemuda itu
tergelak-gelak mendengar Morgan bersungut-sungut seperti itu. *Dasar iseng
(-_-‘)
Kedua pemuda itupun ngeloyor
ke kamar mandi untuk membersihkan badan dengan masih meneruskan tawa mereka,
membiarkan Morgan ngedumel-dumel nggak jelas di ranjangnya. Agaknya, pemuda itu
gemas juga sama kedua temannya.
“Awas, ntar gue bales lo
berdua.” Ujar Morgan, di sela dumelannya.
‘* *
* * *
Semilir angin malam menerpa
wajah murung gadis yang tengah tercenung di balkon kamarnya itu. Sejak
kepulangannya bersama Nanda kemarin, Shita memang merasa sangat gusar. Entah
kenapa dia tiba-tiba kepikir kenapa Rangga tak pernah memperkenalkan dia dengan
orang tuanya.
“Apa Rangga malu ya, pacaran
sama gue?” Gumamnya. “Tapi kenapa dia malu? Apa gue kurang cantik? Apa gue,,, ah,,
mungkin cuma perasaan gue aja. Mungkin Rangga cuma belum kepikiran mau bawa gue
ke orang tuanya. Tapi,,, udah enam bulan kita pacaran. Masa’ belum kepikir
ngenalin gue ke orang tuanya, sih?”
Gadis itu menghela nafas
beratnya, mencoba menenangkan hatinya yang memang tengah gundah. Terlintas lagi
dalam benaknya, saat mamanya Bisma sangat memperhatikan Nanda waktu itu.
“Pengen deh, kayak gitu. Apa
gue tanya aja sama Rangga ya??”
Setelah menimbang-nimbang
sejenak, gadis itu akhirnya memutuskan untuk meraih HP di saku bajunya, dan
mencari nomor kekasihnya. Agak ragu, ia memencet tombol hijau dan menempelkan
benda mungil itu di telinganya. Tapi sepertinya, hati Shita masih saja ragu
untuk melaksanakan niatnya. Begitu panggilan itu connected, Shita malah
memencet tombol merah.
“Enggak ah. Masa’ gue tanya,
sih? Tapi gue beneran penasaran. Hmmmm,,,, apa yang musti gue lakuin??”
Tubuh gadis itu kini merosot,
hingga ia terduduk di bawah pembatas balkon kamarnya. Ia sandarkan tubuhnya di
pembatas balkon, dengan mata menerawang jauh entah kemana.
“Jangan-jangan Rangga nggak
serius sama gue. Kalau emang dia nggak serius, gimana? Gue udah beneran cinta
sama dia. Nggak tau gue kalau musti kehilangan dia,,,”
Belum sampai ia menuntaskan
ceracauan batinnya, tiba-tiba ia dibuyarkan oleh bunyi HPnya yang mencericit.
Rangga. Sejenak, ia memandangi layar HP mungilnya yang kini tengah menampilkan
foto Rangga yang tersenyum begitu manis. Senyum yang tak kalah manis terkembang
di bibir Shita melihat ketampanan wajah kekasihnya, meski hanya dalam foto itu.
“Hallo,,,,” Sapanya, setelah
ia memencet tombl hijau di HPnya.
“Allow,,,
chuayuaaanngggg,,,,,”
“Ihhh,,,, lebay deh, Ngga.”
“Hehehehe biarin. Biar lebay
yang penting kan disayang terus sama kamu. Hahaha”
“Apaan coba??? Siapa juga
yang sayang?”
“Beneran nih, nggak sayang??
Serius? Nggak nyesel, kalau nanti Mr. Specta ini diambil orang?” Mendengar
perkataan Rangga itu, Shita tertegun. Baru saja dia berpikir kalau dia tak akan
pernah bisa kalau harus kehilangan Rangga, dan sekarang, Rangga malah bilang
seperti ini. “Hey,,, kok diem sih?” Suara Rangga menyentakkan Shita dari lamunannya.
“ O iya. Tadi kenapa kok cuma miss call?”
“Eng,,,,,” Shita jadi bingung
harus jawab apa. Haruskah dia mengakui saja kalau sekarang dia tengah diserang
galau memikirkan hal yang membuatnya gundah tadi? Haruskah dia sekarang tanya
aja sama Rangga tentang kegundahan hatinya? Tapi sepertinya, Shita masih
terlalu ragu untuk menanyakannya. “Enggak kenapa-kenapa kok. Cuma,,,kangen
aja.”
“Ecieee cieee,,,, ada yang
kangen ya ternyata. Katanya tadi nggak sayang? Sekarang bilang kangen? Gimana
sih ayangku ini? Nggak konsisten deh. Jadi sebenarnya kangen apa nggak sayang
nih?”
“Kangen, Ranggaaaa,,,, kangen
kangen kangen kangeeeennnnn.”
Di seberang sana, Rangga
malah tertawa mendengar Shita bilang kangen seperti itu. “Kok kayaknya
cewek-cewek hari ini lagi diserang virus malarindu ya? Barusan Afra yang bilang
kangen sama Morgan. Sekarang kamu. Kita emang cowok cowok kece sih, ya. Jadi
ya,,, dikangenin gitu deh.”
“Ihhh,,, apa banget deh,
Ngga. PD tingkat dewa.”
“PD tapi emang kebukti kan?!”
Lagi, Rangga tergelak-gelak, tanpa curiga kalau sebenarnya, kekasihnya itu
tengah menahan risau saat ini. Tapi meskipun begitu, Shita tetap ikut tertawa
juga dengan Rangga, mencoba menyembunyikan resah di dalam hatinya. Ia telah
memutuskan untuk tidak memberitahukan kerisauannya itu pada Rangga.
“Kalau memang dia serius,
pada saatnya nanti juga pasti dia ngenalin gue ke orang tuanya kok. Mungkin
sekarang belum waktunya aja.” Batin Shita, seraya meneruskan obrolannya dengan
kekasihnya itu.
‘* *
* * *
Melihat kedua temannya sibuk
sendiri dengan urusan mereka, Bisma memilih untuk keluar kamar. Sedari kemarin,
Bisma mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Reza, orang yang telah
membuat adiknya murung sampai sekarang. Kebetulan saat ini Reza juga tidak ada
kegiatan. Dia hanya bersantai di kamarnya, mengobrol bersama Very sambil
menikmati kopi.
“Za, jalan-jalan bentar yuk.”
Reza sedikit bingung melihat Bisma tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan seperti
itu.
“Mampus gue. Pasti mau
diomelin nih, gue.” Batinnya.
“Mau jalan-jalan kemana, Bii.
Malam-malam juga.”
“Ya,,,, muter-muter aja di
asrama. Ayo buruan.”Paksa Bisma, sambil menarik tangan Reza.
“Kok gue nggak diajak, sih?” Very
menyeloroh saat dilihatnya, Bisma hanya menarik tangan Reza tanpa
mempedulikannya.
“Ah,,, lo tunggu di kamar
saja. Tuh sama Morgan. Dia juga lagi bengong juga tu di kamar.” Ujar Bisma, seraya
mendorong muka Very masuk ke dalam kamarnya lagi.
Kedua pemuda itu berjalan
beriringan, memutari koridor-koridor asrama. Untuk beberapa saat mereka berdua
saling diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka, seolah
mereka disibukkan dengan pikiran masing-masing. Atau mungkin Bisma sedang
merangkai kata untuk bicara dengan Reza. Sedangkan Reza, pemuda itu tengah sibuk
menata hati, takut ia bermasalah dengan teman yang sudah ia anggap seperti
keluarga sendiri itu. Begitu mereka sampai di tangga turun, Bisma menghentikan
langkahnya, dan duduk di tangga itu. Reza pun mengikutinya.
“Za, sebenarnya gue nggak
pengen ada masalah di antara kita. Tapi gue cuma nggak mau kalau lo nyakitin
hati adek gue.” Bisma memulai pembicaraan. “Gue nggak pengen ngomong buruk
tentang hobby lo yang doyan ngerentengin pacar itu. gue nggak peduli. Itu hak
lo. Itu urusan lo. Nggak ada hubungannya sama gue. Tapi kalau yang lo deketin
selanjutnya itu adek gue, gue berhak ngelarang lo, sebagai kakaknya adek gue.”
Reza masih jadi pendengar setia. Ia tak membela, tak mengelak, ataupun mencari
alasan. Ia masih tetap diam.
“Jujur, gue nggak suka kalau
lo deketin Diana. Gue nggak suka kalau lo bikin Diana jatuh cinta sama lo. Gue
dulu nitipin dia ke lo biar dia lo jaga. Bukan lo bikin jatuh cinta sama lo
kayak gini, Za. Please, jangan beri dia harapan apapun tentang lo.” Panjang
lebar Bisma berbicara. Reza masih tetap diam. Lama jeda itu berselang, hingga
kemudian Reza bicara juga.
“Sorry, Bii. Sebenarnya gue
juga tau kalau lo pasti nggak bakalan suka kalau gue deket sama Diana. Awalnya
gue juga nggak pengen ngedeketin dia. Tapi nggak tau kenapa, gue selalu aja
pengen ketemu sama adek lo. Gue juga nggak pengen ngasih perhatian lebih ke
dia. Tapi nggak tau kenapa gue nggak bisa nahan keinginan hati gue untuk
ngelakuin apapun buat dia. Gue nggak tau kenapa, Bii. Beneran Bii, gue nggak
ada niat sama sekali buat mainin Diana. Karena gue mandang lo. Karena Diana
adek lo. Sahabat gue. Tapi gue juga nggak ngerti kenapa perasaan gue kayak
gini.”
“Ah,,, klise, Za. Selalu aja
lo bilang kayak gitu kalau mau ngedeketin cewek.”
“Ini lain, Bii. Gue,,,”
“Apanya yang lain??”
“Kayaknya,,, gue,,,, ah,,
udahlah. Percuma gue ngejelasin ke elo. Lo tetep nggak bakal percaya sama gue.”
Lagi-lagi ada jeda.
Reza memang telah dibuat
bingung dengan perasannya sendiri. Selama hampir tiga minggu ia mengenal Diana,
entah kenapa ia mulai punya perasaan lain pada adik kawannya itu. Ia ingin
sering-sering ngobrol dengan dia, membicarakan apa saja yang menurutnya
menarik, ingin selalu tau kabarnya, dan ingin selalu dekat apabila ada
kesempatan. Ia merasakan ada sesuatu yang lain kalau berdekatan dengan gadis
itu. Tidak pernah ia merasakan hal semacam ini kalau dia dekat dengan
pacar-pacarnya.
“Adek lo itu,,, beda, Bii.
Sama kayak lo.” Ujar Reza, lirih.
Ingatan Reza kemudian
melayang pada tindakan Diana waktu itu. Tidak pernah ada gadis yang mengutarakan
kekecewaannya dengan sehalus itu. biasanya kalau ada yang melihat dia berduaan
dengan gadis lain seperti itu, orang yang pernah didekatinya akan mencak-mencak
nggak karuan. Atau dia akan bersedia diduakan, tapi suatu saat mendesak Reza
untuk menjadikannya nomor satu. Semua model orang yang dipacarinya selalu saja
begitu. Tidak ada yang seperti Diana. Dan tidak ada juga yang bisa membuat dia
betah berlama-lama ngobrol seperti Diana.
“Maksud lo apa, Za?”
“Ya,,, pokoknya beda. Jauh
berbeda dengan cewek-cewek yang pernah gue kenal sebelumnya. Gue ngerasa,,,
hati gue nyaman banget kalau lagi sama Diana.”
“Maksud lo???? Jangan bilang
kalau lo,,, ah,,, Za. Gue tetap nggak bakal nyerahin Diana gitu aja ke lo, Za.”
“Iya, gue tau. Pasti lo nggak
bakal ngijinin gue deket sama Diana. Tapi seenggaknya, tolong ijinin gue
ngomong sama dia, Bii. Sekali ini,,, aja. Kalau nanti nanti udah nggak boleh ya
nggak pa-pa. Tapi sekarang, gue pengen ngomong sama dia. Gue cuma pengen minta
maaf.”
“Ya silahkan. Kalau pengen ngomong
doank mah gue nggak ngelarang. Tapi cukup ngomong. Jangan bikin dia jatuh
cinta.”
“Beneran, Bii. Gue boleh
ngomong sama dia?” mata Reza tampak berbinar, dan Bismapun membalasnya dengan
anggukan. “Tapi masalahnya, dia sekarang nggak mau ngomong sama gue, Bii. Sejak
siang itu, dia nggak pernah mau angkat telpon gue. BBM gue juga nggak pernah
dibales sama dia. Jadi,,,,” Reza tampak ragu melanjutkan kata-katanya.
“Jadi kenapa?”
“Jadi,,, tolong telponin dia
pakai HP lo donk, Bii. Ntar gue ngomong sama dia pakai HP lo aja.” Reza
nyengir.
“Baguslah kalau Diana
sekarang udah sadar kalau cintanya salah sasaran.” Ujar Bisma, seraya merogoh
HP di kantong celananya.” Nih,,, gue telponin dia. Tapi ingat ya, Za, jangan
sekali-sekali bikin dia jatuh cinta sama lo. Dan perasaan lo itu,,, simpan di
hati lo aja deh. Jangan diumbar ke dia.” Bisma mulai menelpon adiknya.
“Emang kenapa, Bii?”
“Ya karena hobby lo itu.
Hobby lo itu,,, kalau nggak mau dibilang jelek ya,,, agak-agak nyimpang gitu
lah. Jadi gue nggak mau kalau Diana bernasib sama kayak cewek-cewek lain yang
deket sama lo.” Jelas Bisma, sembari menempelkan HPnya di telinga.
“SSssssttt,,, udah diangkat.” Bisiknya. “Hallo sayangg,,,,, lagi ngapain?”
“Halloooo??? Ini,,,, Kak
Bisma, kan?!”
“Iyalah. Siapa lagi?”
“Iihhh,,, Kak Bisma. Lagian
pakai sayang-sayangan. Norak tau.”
“Kok norak, sih? Wajar kali.
Kakak kan emang sayang sama kamu. O iya, kamu lagi ngapain? Berisik amat
kayaknya?”
“Lagi latihan buat acara
penyambutan mahasiswa baru, Kak. Nih, Diana lagi sama temen-temen di aula
kampus.”
“O,, kirain masih nangis
aja.”
“Enggaklah, Kak. Masa’ mau
nangis terus. Kakak ada apa telpon? Tumben?”
“Nih ada yang mau ngomong
sama kamu nih.”
“Siapa Kak? Kak Nanda, ya?”
“Bukan!! Kakak ipar kamu itu
belum ke sini. Dia baliknya ntar kalau udah mau masuk kuliah.”
“Trus siapa donk?”
“Ada deh,,, nih ngomong
sendiri nih.” Bisma menyerahkan HPnya pada Reza. Dan dengan hati berdebar, Reza
menerima benda mungil itu dari tangan Bisma. Agaknya, pemuda itu sedikit ragu
untuk berbicara. Ia takut kalau HPnya akan langsung dimatikan kalau dia
mengeluarkan suara.
“Halo? Haloooo?” Diana
mencoba menyapa dari seberang. Suaranya terdengar renyah, membuat Reza ingin
terus mendengarnya. “Halo??? Kok nggak mau ngomong, sih?”
“Ayo buruan ngomong. Pulsa
jalan terus tuh.” Bisik Bisma kepada orang yang mendadak jadi pendiam itu.
“Halo,,,, “ Akhirnya Reza
bicara.
“Siapa?”
“Ini,,, aku, Dii.”
“Kak,,, Re,,, za???” Suara di
sebrang agak terbata.
“Iya, Dii. Tolong jangan
ditutup telponnya. Kak Reza mau ngomong.”
“Iya. Ada apa, Kak?”
“Kak Reza,,,, Cuma mau minta
maaf, Dii. Maafin Kak Reza udah ngecewain kamu.” Tak ada jawaban dari sebrang.
Jantung Reza jadi berdetak tak menentu dengan kediaman Diana itu. Ia
benar-benar merasa bersalah telah membuat gadis itu kecewa. “Dii?”
“Iya, Kak. Diana maafin kok.”
“Jadi, apa Diana masih mau
terima telpon Kakak?”
“Mmmm,,,, lihat aja nanti,
Kak.”
“Kok lihat nanti? Berarti
Diana belum maafin Kak Reza donk.”
“Mmmm,,,, mungkin Diana masih
sedikit kecewa, Kak. Diana masih malas ngomong sama Kakak. Mendingan, Kakak
jangan BBM atau telpon Diana dulu deh. Dan,,,, saran Diana, kalau bisa jangan
mempermainkan perasaan orang seperti itu, Kak. Sakit tau. Ntar ada yang bales
lho.” UJar Diana, membuat Reza sedikit tertohok. “Udah ya Kak, Diana udah
dipanggil sama teman-teman. Diana mau latihan dulu.” Klek. Langsung, telpon
dimatikan begitu saja oleh Diana, tanpa menunggu tanggapan Reza selanjutnya. Reza
tertunduk lesu mendengar perkataan Diana barusan. Ia merasa akan kehilangan
orang yang bisa menyenangkan hatinya itu untuk selamanya. Baru kali ini ada
orang yang bisa membuat hatinya terpukau. Tapi, semua harus berakhir begitu
singkat.
Di sampingnya, Bisma hanya
menatap lekat kawan di sampingnya. Sepertinya, Bisma menangkap guratan penyesalan,
dan kelemahan pada wajah kawannya itu.
“Apa Reza beneran jatuh cinta
sama Diana, ya?” Pikirnya. Sepertinya meskipun diputus sama pacarnya sekalipun,
Reza selalu menanggapinya dengan santai. Bahkan dia selalu bilang mati satu
tumbuh seribu. Belum pernah ia melihat Reza begitu lesu seperti itu hanya
karena Diana yang kecewa padanya. Tapi meskipun Reza benar-benar telah jatuh
cinta sama adiknya, Bisma tetap tidak akan mengijinkan adiknya jadi pacar Reza.
Takut cinta itu hanya sesaat. Biasanya playboy kan begitu.
Reza menghela napas kemudian.
Ia memang belum pernah selemah ini menghadapi seorang gadis, karena memang dia
belum pernah merasakan hatinya bergetar seperti itu. Sudah berpuluh-puluh kali
dia pacaran. Tapi tidak ada satu orangpun yang bisa menggetarkan hatinya
seperti itu. Tidak pernah sekalipun ia mencintai pacar-pacarnya. Tapi kali ini,
Diana telah bisa menggetarkan hatinya. Telah bisa membuatnya tertunduk lesu,
memikirkan gadis itu.
“Sorry, Za. Bukannya gue
ngelarang lo buat jatuh cinta. Tapi gue cuma nggak pengen lo jatuh hati sama
adek gue. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama Diana. Gue sayang banget sama dia,
Za. Rasa sayang gue ke dia ngelebihin apapun yang ada di dunia ini. gue bakal
terus ngejagain dia biar dia nggak disakitin sama siapapun. Gue akan selalu
ngelindungin dia dengan segenap nyawa gue. Bahkan kalau gue harus ngorbanin
hidup gue, gue rela. Karena gue sangat menyayangi dia.”
“Gue tau, Bii. Diana udah
cerita banyak tentang lo. Dia sangat kagum sama lo. Bahkan waktu gue tanya
siapa orang yang paling pantas dia sebut pahlawan, dia nyebutin nama lo. Maafin
gue ya, Bii, gue mungkin udah bikin salah sama lo.”
“Iya gue maafin, tenang aja.
Yang penting jangan ngulangin kesalahan yang sama aja.” Ujar Bisma, seraya
beranjak dari tempat duduknya, lalu menyambar HP yang berada di tangan Reza.
“Udah ah. Balik ke kamar yuk. Udah malem. Banyak nyamuk.” Lanjutnya kemudian,
lalu meninggalkan tempat itu. Reza masih saja terpaku di tempatnya. Menundukkan
kepalanya begitu dalam, dengan raut muka lesu. “Za?? Ayo.”
“Gue masih pengen di sini,
Bii. Lo duluan aja deh.” Balasnya, masih tetap tertunduk, merasakan hatinya
yang tengah kacau balau gara-gara adik perempuan Bisma. Bisma hanya menatap
kawannya itu, tanpa mau membuka suara lagi. Dan setelah menghela nafas panjang,
pemuda itupun meninggalkan Reza di sana sendirian, merenungi setiap kesalahan
yang pernah ia perbuat selama ini.
‘* *
* * *
No comments:
Post a Comment