Wednesday, January 13, 2016

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 84



Ada yang masih menantikan cerita ini? Pastinya ada donk. Pengen tahu bagaimana nasib Bisma dan Nanda selanjutnya? Baca yuk, yuk, yuk ^_^

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Sya, kamu gila, ya?” seru Bisma, lantas mendorong Raisya kembali ke tempat duduknya dengan sekuat tenaga. Namum Raisya masih nekat menyongsong setir Bisma dan mencoba membelokkan setirnya kembali.

“Sya, kalau kamu kayak gini kita bisa mati!” tandas Bisma.

“Aku nggak peduli," teriak Raisya. Mata gadis itu melotot seperti orang kesurupan. "Kalau aku nggak bisa milikin kamu, nggak ada satu orang pun yang bisa milikin kamu. Jadi, lebih baik kamu mati sekalian."

Wajah Bisma kian memucat. Debar jantungnya tak lagi beraturan. Segala rasa tak enak menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat kepalanya semakin pening dan otaknya mampet. Macet. Tak bisa berpikir apapun. Bahkan, dia sampai lupa kalau di bawah kakinya ada rem yang kalau diinjak sudah pasti akan menghentikan mobil itu. Tapi otak Bisma sudah buntu. Ia hanya ingat kalau ia harus menjalankan mobilnya sesuai jalur.

"Cukup, Sya," sentak Bisma, namun tak cukup mempan untuk menghentikan kenekatan gadis edan itu. Tangan Bisma yang sekuat tenaga menahan stir agar tidak sampai oleng karena tarikan Raisya gemetaran. Peluh membasahi sekujur tubuhnya.

"Sya...," Bisma berteriak ketika Raisya berhasil membelokkan mobil itu ke kiri dan...

"Aaaaaa......" Bisma benar-benar melepas stir ketika mobilnya nyelonong ke arah sebuah bus pariwisata yang tengah parkir di pinggir jalan. Tangannya reflek terangkat ke atas dan menyilang di depan muka, sementara matanya langsung terpejam.

Ia sudah pasrah. Ia merasa hari inilah riwayatnya akan selesai. Beberapa detik lagi. Ya, beberapa detik lagi mobil yang ia tumpangi pasti akan menubruk bus di depan sana dan akan meremukkan seluruh tubuhnya menjadi potongan-potongan kecil. Bisma benar-benar sudah pasrah. Dia akan mati, dan Raisya akan lega karena melihat Bisma tidak jadi milik siapapun.

Tetapi tidak terjadi apa-apa setelah beberapa detik menjelang. Bisma tidak mendengar ada dentuman keras. Ia juga tidak merasakan tubuhnya remuk karena jepitan mobil yang saling bertabrakan. Ia masih baik-baik saja. Begitukah?

Ia sedikit membuka matanya, lalu menurunkan tangannya, dan menyadari kalau tubuhnya benar-benar masih dalam keadaan utuh. Ia juga mendapati mobilnya dalam keadaan terhenti. Kelegaan membajiri hati Bisma. Jantungnya yang sesaat lalu berdetak kencang kini berangsur memelan. Tidak terjadi tabrakan. Tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak mati. Tapi kenapa? Bukankah tadi... Pemuda itu melongok ke depan dan menemukan moncong mobilnya hanya berjarak beberapa centi dari pantat bus di depannya. Nyaris saja.

Bisma menghempaskan badannya ke jok mobil di belakangnya, sedikit beristirahat dari ketegangan yang memberangus jiwanya beberapa saat lalu. Ketika pemuda itu memperbaiki letak kakinya, ia baru sadar kalau mobil itu berhenti karena kakinya telah refleks menginjak rem. "Bego!" Umpatnya pada diri sendiri. "Kenapa nggak ngerem dari tadi aja?"

Menyadari mobil masih dalam keadaan hidup dan sepertinya Raisya tidak akan berhenti dari kenekatannya, Bisma langsung mematikan mobilnya dan menyahut kunci dari lubangnya. Ia tidak mau kalau Raisya sampai menginjak gas dan membuat mobil mereka menabrak mobil di depannya yang hanya berjarak sejengkal itu.

"Kita ke rumahku sekarang, Bii," ujar Raisya tiba-tiba. "Turuti apa yang aku bilang, atau aku akan berbuat hal yang lebih nekat."

Bisma tak langsung menjawab. Ia melirik gadis di sampingnya, dan menemukan Raisya menatap kosong ke arah stir mobil dengan napas tersengal. Tangannya telah ia turunkan sekarang. Di wajahnya, peluh bercampur air mata membanjir.

Bisma belum sempat berkata apa-apa ketika tiba-tiba, Raisya berputar cepat dan membuka laci dashboard. Sebuah benda mengkilap berada di tangannya, dan membuat jantung Bisma kembali berpacu.

"Kamu mau ngapain, Sya?" ucap Bisma, panik.

Raisya mengacungkan benda tajam itu ke arah Bisma dengan penuh emosi. "Turuti omonganku, atau aku bener-bener akan ngelakuin hal yang paling buruk ke kamu, Bii."

Desah nafas Bisma tak beraturan. Ia memundur-mundurkan badannnya, mencoba menjauhkan dirinya dari benda tajam yang diacungkan Raisya. "Sya, jangan berbuat nekat, Sya."

"Cepat nyalakan mobilnya, dan kita ke rumahku."

Tak ada lagi yang bisa Bisma pikirkan selain memutar tubuh ke depan dan memasukkan kunci di tangannya ke lubang kembali. Bisma memutar kunci dengan tangan gemetar. Dan setelah mobil menyala, pemuda itu memundurkan mobil dan melaju ke arah rumah Raisya dengan pisau tajam mengacung ke arahnya.

‘*     *     *     *     *

Sepanjang jalan menuju rumah Nanda, Rafa tak hentinya mengeluarkan berentet-rentet kalimat untuk melampiaskan kekesalannya. Malam ini benar-benar malam yang tak pernah ia duga. Ia tak menduga kalau di pesta itu ia akan mendapat sebuah hidayah yang membuat hatinya hampir meleleh dan memaafkan kekasihnya. Namun pada akhirnya, sebuah kejadian memuakkan yang terjadi pada adiknya membuat hati Rafa membatu kembali. Ia tidak menyangka kalau di pesta itu, perasaannya akan ditarik ulur oleh keadaan seperti itu, dan kenyataan itu membuat seluruh persendian Rafa dipenuhi emosi.

Lebih emosi lagi saat melihat adiknya yang menurutnya benar-benar bodoh oleh cinta Bisma. “Kakak nggak ngerti kenapa kamu tadi mau mau aja dipeluk Bisma di depan umum seperti itu. Apa yang sebenarnya ada di pikiran kamu, Dek?”

“Tanpa Nanda bilang, Kak Rafa sebenarnya tahu apa alasan Nanda,” sahut Nanda, tanpa menoleh ke arah Rafa yang sedang menyetir dengan tampang frustrasi.

“Kamu masih mencintainya. Dan apa yang kamu harapkan dari cintamu itu? Bisma akan membalasnya? Jangan bodoh, Dek.”

“Bisma memang masih mencintai Nanda, Kak. Tanpa Nanda meminta dan memohon pun, Bisma sudah melakukannya. Dia mencintai Nanda.”

“Atas dasar apa kamu yakin kayak gitu? Karena nyanyian tadi? Atau karena dia meluk kamu? Atau...”

“Dia tadi bilang kalau dia masih untuk Nanda,” potong Nanda. “Sampai kapanpun.”

“Dan kamu percaya sama omongannya?”

“Apa Kakak tadi nggak lihat ekspresinya? Nanda mungkin emang nggak bisa lihat. Tapi dari suaranya yang tertekan, Nanda yakin dia dalam keadaan lemah. Dia dalam masalah. Tapi Nanda nggak tahu apa masalahnya.”

“Satu satunya masalah cucurut sawah itu adalah dia menginginkan kalian berdua. Kamu... dan si pshyco itu.” Nada suara Rafa tajam, dan penuh amarah. “Kakak heran kenapa si brengsek itu menginginkan Raisya.”

Kalimat terakhir Rafa membuat Nanda yang sedari tadi menghindari bertemu muka dengan Rafa seketika menengok. Dahinya melukis kerut, “Kakak kenal Raisya?” tanyanya.

Rafa menghela nafas berat, lantas mengusap rambutnya dengan tangan kanan. “Kakak memang belum cerita sama kamu,” ungkapnya. “Kamu ingat dulu Kakak pernah diculik dan pulang dalam keadaan babak belur? Hampir mati malah.” Rafa menoleh ke arah Nanda, dan menemukan wajah adiknya dipenuhi kebingungan. “Raisya dan kawan-kawannya yang nyulik Kakak.”

“Raisya?”

“Ya,” sahut Rafa. “Raisya itu... nggak waras.” Rafa mengatakannya dengan raut merenung. “Dia menginginkan Kakak.”

“Jadi sepupunya Kak Vita yang dulu bikin kaki kakak hampir patah itu Raisya?”

“Ya.”

“Tapi kenapa?”

“Dia bilang dia suka sama Kakak. Dan seperti yang Kakak bilang tadi. Dia menginginkan Kakak. Tapi, Kakak udah terpenjara di hati sepupunya dan tidak bisa lari lagi. Jadi, mana mungkin Kakak bisa nerima dia? Dan akhirnya, karena Kakak terang-terangan menolaknya dan bilang kalau Kakak hanya bisa cinta sama Vita, dia nyulik Kakak, dan...,” ucapan Rafa menggantung sejenak, lantas, “Dan berniat menyiksa Kakak sebelum menghabisi nyawa Kakak. Dia memang udah nyiksa Kakak. Dia membawa Kakak ke sebuah rumah yang tak berpenghuni, trus mengurung Kakak di ruangan yang gelap tanpa ada secercah cahayapun yang bisa masuk. Lalu...,” Kalimat Rafa kembali berhenti. Wajahnya tampak memucat. Keringat muncul di dahinya meski mobil yang mereka tumpangi ber-AC. “Lalu di sana dia mukulin Kakak dengan membabi buta. Dan... astaga, Kakak nggak mau mengingat itu lagi.”

Seperti Rafa, wajah Nanda juga ikut memucat. Ia membayangkan betapa tersiksa kakaknya waktu itu. Di ruang gelap, dipukuli habis-habisan. Dan terancam mati. Seluruh tubuh Nanda menegang. Ia membayangkan kemungkinan Bisma juga diperlakukan sama oleh Raisya. Apa Raisya mengancam Bisma? Pikir Nanda. Apa ini sebenarnya masalah Bisma.

“Jangan mencoba berpikir Bisma diancam akan diperlakukan seperti Kakak atau semacamnya.” Suara Rafa kembali terdengar sebelum Nanda mengucapkan apapun. “Kakak yakin itu tidak mungkin.”

“Kenapa tidak mungkin?”

“Setelah kejadian itu, orang-orang yang nolongin Kakak bawa dia dan teman-temannya ke kantor polisi.”

“Dia dipenjara?”

“Enggak. Polisi bilang dia mengalami kelainan jiwa, dan menurut Kakak kayaknya emang benar. Lalu orang tuanya membawa dia ke psikiater secara rutin. Menurut berita yang Kakak dengar Raisya udah nggak seperti dulu lagi. Jadi dia tidak mungkin terobsesi sampai setengah gila seperti waktu itu.”

“Apa tidak ada kemungkinan dia kumat?”

“Ya ampun, Dek. Raisya itu bukan sakit paru-paru yang bisa kumat-kumatan. Dia kelainan jiwa. Jadi kalau dia sudah dinyatakan sembuh, ya dia sembuh.”

“Tapi....”

“Tapi apalagi?” tanya Rafa dengan tak sabaran. “Kamu masih mencoba mencari alasan kenapa Bisma bisa bersama Raisya? Satu-satunya alasan adalah Bisma memang menginginkan Raisya. Hanya itu.”

“Dia bersama Raisya, tapi dia tersiksa. Nanda yakin itu.”

Rafa kembali menghela napas, tak ingin mendebat lagi. Ia sudah emosi sejak tadi. Kalau percakapan ini diteruskan, itu hanya akan menambah emosinya dan pasti dia akan terjaga semalaman karena dia tidak bisa tidur dalam keadaan emosi parah.

Rafa melajukan mobilnya tanpa suara, membiarkan Nanda bermain-main dengan pikirannya sendiri. Besok, atau nanti setelah emosinya mereda, ia akan mencoba memberi pengertian lagi pada Nanda. Ia sangat berharap Nanda akan sadar dan tidak lagi berharap apapun pada Bisma.

“Kakak tadi bilang Raisya cewek pshyco.” Suasana hening yang menyergap beberapa menit itu dipecah oleh suara Nanda yang sepertinya belum puas dengan pemikiran Rafa. “Itu artinya Kakak masih nganggep Raisya seperti yang dulu.”

“Julukan itu terlontar begitu saja dari mulut Kakak. Jadi itu sama sekali tidak ada hubungannya sama anggapan Kakak.”

“Tapi...,” Nanda ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Rafa pun tak berniat mengorek apa yang ingin dikatakannya. Jadi, mobil itu kembali sunyi.

Dalam kesunyian itu, entah kenapa pikiran Rafa melayang pada kemungkinan Bisma mendapat masalah karena kegilaan Raisya. Meski tadi dia bilang pada Nanda kalau Raisya sudah benar-benar sembuh, tapi sebenarnya Rafa juga tidak yakin Raisya sudah sembuh sepenuhnya. Bayangan Bisma yang menatap Nanda dengan penuh kerinduan di atas panggung mengelebat begitu saja di benak Rafa. Bisma memang sepertinya masih menaruh hatinya pada adiknya. Ah, tidak mungkin. Elak Rafa, lantas membuang jauh-jauh pikiran tentang Bisma. Dia tidak bisa membiarkan adik yang sangat disayanginya jatuh ke tangan cowok yang bahkan tidak teguh pada pendiriannya seperti itu. Kalau memang Bisma tidak menginginkan Raisya, seharusnya dia bisa menolak mentah-mentah seperti yang dulu dilakukan Rafa. Tapi Bisma tidak. Dia malah meninggalkan Nanda dan menempel terus pada Raisya seperti perangko. Jadi, Rafa memutuskan untuk tidak percaya kalau Bisma benar-benar masih cinta sama Nanda seperti yang Nanda bilang.

‘*     *     *     *     *

Reza melirik Diana yang menatap lurus ke depan dengan pandangan melamun. Tangan kiri Diana bertelekan di pintu mobil, dengan jemari menyangga dagu. Reza bisa memastikan kalau Bismalah yang mengisi pikiran Diana saat ini. Gadis yang sangat menyayangi kakaknya itu pasti sedikit shock karena kelakuan kakaknya di pesta tadi. Sejak Diana melihat Bisma memeluk Nanda, sampai detik ini Diana belum mengelurkan sepatah kata pun. Dia mungkin sedang berpikir apa sebenarnya yang ada di pikiran Bisma.

Merasa ada yang memperhatikannya, Diana memperbaiki duduknya dan menghela napas. Tangannya telah ia turunkan dari pintu mobil. Ia memutar tubuh agak menyamping, menghadap Reza.

“Menurut Kak Reza kenapa Kak Bisma tadi melakukan hal semacam itu?”

Reza tak langsung menjawab. Ia memiringkan kepala, mencari jawaban atas pertanyaan Diana. “Entahlah,” ujarnya. “Kakak juga nggak yakin dengan tebakan Kakak. Tapi...”

“Apa tebakan Kakak?” tanya Diana tidak sabaran.

“Kayaknya Bisma masih mencintai Nanda. Dari apa yang dilakukannya tadi, tidak mungkin Bisma sudah membuang jauh-jauh perasaannya ke Nanda. Tadi juga dia nyanyi dengan sepenuh hati kayak gitu. Kakak tahu itu lagu mereka berdua. Tidak mungkin Bisma nyanyi itu buat Raisya. Pasti buat Nanda. Tapi Kakak masih nggak ngerti masalah apa yang terjadi sama mereka berdua sampai Bisma ninggalin Nanda trus malah nyari pelarian seperti itu.”

“Jadi, menurut Kak Reza, pacar Kak Bisma yang sekarang itu cuma pelarian?”

“Mungkin,” jawab Reza. “Kalau Kakak lihat, sebelum mereka putus, kayaknya hubungan kakakmu sama Nanda baik-baik aja. Makanya Kakak kaget waktu Bisma bilang kalau dia udah jadian sama orang lain.”

“Apa mungkin Kak Nanda selingkuh? Trus Kak Bisma nggak terima?”

“Nanda? Selingkuh? Mana mungkin,” ujar Reza tak percaya. “Meskipun Kakak belum lama kenal Nanda, tapi Kakak yakin Nanda bukan type peselingkuh.”

“Tapi pagi itu—waktu Kak Bisma bilang sama kita dia udah punya pacar baru—Diana lihat Kak Nanda jalan sama cowok lain. Mereka kelihatan mesra. Dan... Kak Nanda kelihatan nyaman bersamanya.”

“Di mana kamu lihat mereka?”

“Di asrama.”

“Mana ada cowok yang boleh ke asrama pagi-pagi?”

“Diana juga nggak tahu. Tapi Diana benar-benar ngelihat mereka.” Diana berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. “Tadi juga Diana lihat Kak Nanda datang sama orang itu lagi.”

“Yang tadi nolongin Nanda maksudnya?”

“Iya. Yang itu. Waktu itu mereka jalan berdua peluk-pelukan gitu. Apa mungkin....” Ucapan Diana dihentikan oleh tawa Reza. Diana menatap Reza dengan kening berkerut, tak mengerti kenapa Reza malah tertawa seperti itu. Kayaknya sejak tadi Diana tidak sedang melucu? Kenapa Reza tertawa? “Apanya yang lucu?”

“Kamu sama kakak kamu tuh sama. Selalu salah paham sama hubungan Nanda dan Reafael.”

Mata Diana membulat sempurna. “Kak Reza kenal sama orang itu?”

“Dengar ya pacarku sayang, Rafael itu kakaknya Nanda,” jelas Reza. “Mereka memang selalu mesra kayak gitu. Dan karena kemesraan mereka itulah dulu Bisma sama Nanda hanyut ke laut.”

“Kakaknya?” Diana kembali merenung. Berarti pemikirannya selama ini salah. Jadi apa sebenarnya masalah Bisma? Kenapa tadi dia kelihatan tertekan seperti itu? Kenapa dia memutuskan untuk meninggalkan Nanda dan memilih berhubungan dengan Raisya yang bahkan tidak bisa membuatnya bahagia? Kenapa Bisma sampai tidak mau pulang dan menghindari orang tuanya? Kenapa akhir-akhir ini dia juga sangat berubah? Kenapa? Segala macam pertanyaan bergelayut di hati Diana, membuat napasnya sedikit sesak. Bahkan, wajahnya kini semakin murung. Air matanya juga sudah mengintip dari balik kelopak matanya yang sendu.

Melihat ekspresi Diana yang tampak semakin gundah, Reza meminggirkan mobilnya dan berhenti. Ia mengulurkan tangan ke arah Diana, lalu menyelipkan jemarinya di bawah rambut Diana. Ibu jarinya mengelus pipi Diana lembut, berharap bisa menyalurkan ketenangan untuk jiwa gundah kekasihnya itu.

“Kamu percaya sama Bisma, kan?” ujarnya, dengan senyum manis tersemat di bibir. Diana tampak mengangguk di depannya. “Jadi kenapa kamu harus sedih? Yakinlah, Bisma pasti bisa mengatasi semuanya. Dan pasti, apa yang dilakukannya saat ini adalah untuk kebaikan semua orang. Untuk Nanda, untuk orang tua kamu, juga untuk dirinya sendiri. Mungkin juga untuk kamu,” ucap Reza dengan sangat lembut, selembut kain sutra.

Diana hanya diam sambil menatap ke dalam mata Reza. Segala kecamuk di dadanya sedikit berkurang karena perkataan Reza barusan. Ia juga bisa bernapas dengan lebih ringan. Kekalutannya telah jauh berkurang. Ia kemudian mengembangkan senyum, lalu bergerak mendekati Reza dan memeluknya, erat. “Terima kasih,” ucapnya.

Reza membalas pelukan kekasihnya, lantas mengangguk.

‘*     *     *     *     *

Ilham keluar dari mobilnya, dan memutari separuh badan mobil menuju sisi kiri. Selayaknya habis pulang kencan dengan pacarnya, Ilham membukakan pintu untuk Fryda, dan menemukan gadis cantik itu menatapnya seraya keluar dari mobil.

“Perlakuan lo ini bikin gue keinget sama cowok gue,” ujar Fryda sambil tersenyum.

“Gue nggak keberatan kalau lo ngebayangin gue ini cowok lo.”

Fryda malah tertawa. Tawa yang entah kenapa membuat detak jantung Ilham berdetak tak biasa. Malam ini, Fryda telah benar-benar menyelamatkannya nyaris dari semua hal. Dari pesta besar Morgan, dari ledekan kawan-kawannya, juga dari emosi yang meledak-ledak karena Raisya. Ilham jadi berpikir sihir apa yang digunakan Fryda sampai ia bisa meredakan emosinya yang menggelegak hanya dengan beberapa kalimat.

“Ilham, mencintai itu adalah tentang pengorbanan, tentang keikhlasan, dan tentang penerimaan,” ucap Fryda dalam mobil tadi, ketika mulut Ilham tak berhenti mengumpati segala hal yang dilakukan Raisya malam ini. “Kalau lo emang cinta sama dia, korbanin  semua ego lo buat bahagiain dia. Gue tahu lo nggak suka sama sikap Raisya tadi. Tapi, bukankah kalau lo pengen milikin dia, lo musti terima semua sifat yang melekat dalam dirinya? Lo hanya harus berdamai sama diri lo sendiri buat menoleransi sifat dia yang menurut lo buruk. Tapi, lo nggak bakalan bisa mengubah. Kalau emang lo nggak mau terima, buat apa lo cinta sama dia?”

“Gue juga nggak tahu buat apa gue cinta sama dia,” ucap Ilham. “Bahkan gue nggak tahu kenapa gue bisa cinta sama dia.”

“Cinta emang nggak perlu bilang di hati mana dan kenapa dia harus hinggap. Dia hanya akan mengikuti jalannya, dan ketika dia menemukan tempat yang nyaman baginya untuk bersemayam, dia akan menetap di sana, mengorbankan segala hal untuk hati yang ditempatinya, dan menerima dengan penuh keikhlasan semua hal yang ada pada sang hati." Fryda menangkap wajah Ilham, dan membuat mereka bersitatap. "Lo nggak perlu tanya kenapa. Karena lo nggak bakal tahu jawabannya. Yang musti lo lakuin sekarang adalah ngebahagiain Raisya dengan cinta lo."

"Dia lagi sama Bisma. Gimana gue bisa bahagiain dia?"

"Dengan selalu ada buat dia. Dengan care sama dia. Dengan tetap berada di sisinya semuak apapun lo sama sikapnya. Gue yakin lo bisa ngelakuin semua itu. Dan gue yakin dengan begitu, suatu saat pasti Raisya bakal ngelihat lo."

Ilham terdiam. Kata-kata Fryda terdengar sangat meyakinkan, hingga membuat Ilham juga yakin kalau apa yang Fryda katakan itu memang benar. Ia hanya perlu membahagiakan Raisya agar dia juga ikut bahagia. Dia hanya harus menenangkan Raisya saat Raisya tengah gundah, agar dia juga ikut tenang. Meski Ilham pasti akan mendapat penolakan menyakitkan seperti yang terjadi barusan, Ilham harus tetap melakukannya. Karena Raisya memang membutuhkan Ilham. Karena Raisya memang butuh cinta yang sebenarnya.

"Heh!!!" Tangan Fryda bertepuk di depan muka Ilham, membuat lamunan pemuda itu buyar. "Kok malah bengong, sih?"

Ilham mengalihkan pandang dengan salah tingkah, lantas tersenyum.

“Besok lo ada acara apa?” tanya Ilham kemudian.

“Menurut lo, di tempat yang gue nggak kenal ini, gue bisa bikin acara apa?”

Ilham terbahak singkat. “Benar juga,” ujarnya. “Besok jalan-jalan, yuk.”

Fryda menyipitkan mata dengan jidat berkerut. “Jalan-jalan?”

“He em.” Ilham manggut-manggut. “Yach, lo tahu sendiri kan, mood gue sekarang lagi jelek. Gue butuh refreshing. Jalan-jalan, muter-muter Jakarta, main-main, makan-makan, kayaknya bisa bikin mood gue membaik,” jelas Ilham. Ia menatap Fryda yang sepertinya tengah menimbang-nimbang ajakannya.

“Buat gue gratis?”

Ilham kembali tertawa pelan, tak menyangka Fryda akan mengajukan pertanyaan semacam itu. “Iya, iya. Buat lo gratis. Gue yang traktir. Bonus lunch sama dinner juga. Plus tempat romantis.”

Fryda agaknya juga merasa geli dengan pertanyaan konyolnya. Ia juga ikut tertawa, lantas berkata ,”Sebenernya nggak perlu tempat romantis, sih. Yang penting buat gue makanannya enak, bikin kenyang, tempatnya nyaman.”

“Iya gue besok nyari tempat dinner yang makanannya enak, bikin kenyang, tempatnya nyaman, dan romantis. Yang keren deh pokoknya.”

“Kalau kita sampai dinner, berarti kita jalan-jalannya dari pagi sampai malem donk?”

“Enggak, besok kita dinner-nya sekalian berangkat ke asrama aja. Kita ke asrama besok sore.”

“Oke. Gue ikut aja apa yang lo bilang. Yang penting, gratis.”

“Ya Tuhan, Fryda, lo kedengeran kayak orang susah tahu nggak. Hari gini apa-apa pengen gratis.”

“Biarin.” Seringaian Fryda membuat Ilham gemas, dan secara refleks mengangkat tangan lantas menangkap dagu Fryda dan menggoyang-goyangkannya, geregetan.

 “Gue anter ke dalem, ya.”

“Nggak perlu kali, Am. Gue...,”

“Udah, biarin,” potong Ilham, seraya meraih tangan Fryda dan menggandengnya menuju lobi. “Gue kayak cowok brengsek kalau nurunin cewek yang dikencaninnya di pinggir jalan kayak gini.”

“Ini tempat parkir, Ilham, bukan pinggir jalan. Dan... apa yang lo bilang tadi? Kencan? Gue jadi kayak lagi selingkuh kalau bilang kita abis kencan.”

Ilham tergelak. “Gue kan udah bilang, gue nggak keberatan kalau lo ngebayangin gue ini cowok lo.”

“Nggak bisa. Lo beda jauh sama dia.”

“Jauh lebih ganteng, gitu?”

Fryda menghentikan langkah, lantas nyengir, tak percaya kalau Ilham akan se-PD itu. Tapi akhirnya ia melangkah lagi setelah mendengar gelak tawa Ilham. “Terserah lo, deh. Aduh....,” Tiba-tiba Ilham merasa tangannya terseret ke bawah. Refleks, ia memutar tubuh ke belakang dan menangkap tubuh Fryda yang hampir tersungkur.

“Hati-hati donk, Fry.” Ada nada kekhawatiran dalam suara Ilham. Pemuda itu menunduk, memeriksa kaki Fryda. “Kamu nggak pa-pa? Kenapa, sih?”

“Oleng,” jawab Fryda, singkat.

“Dasar cewek kampung. Pakai high heels aja pakai oleng segala.”

“Ilham, lo nggak tahu betapa tersiksanya cewek yang pakai high heels trus dateng ke standing party kayak tadi. Pegel, tahu.”

“Perasaan biasanya Kakak gue biasa aja kalau abis dateng ke standing party temennya.”

“Kakak lo udah terbiasa pakai high heels pasti. Lo kan tahu sendiri gue biasa pakai saput kets kemana-mana.”

Ilham tertawa kecil melihat Fryda bersungut-sungut seperti itu. “Perlu gue gendong ke dalem nggak?”

“Enggak. Gue bisa sendiri.” Gadis itu melepas tangan Ilham, dan melangkah mendahuluinya. Namun, siapa sangka ketika Fryda hampir mencapai tangga di depan lobby, tiba-tiba dia oleng lagi, dan hampir ambruk. Untung Ilham cepat tanggap dan langsung menangkapnya. Kalau enggak, Fryda pasti sudah benar-benar terjengkang dan pantatnya nyium jalanan berbatu di bawahnya.

“Tuh, kan!” seru Ilham. Ia membantu Fryda berdiri lagi, dan mendengar Fryda menggumam-gumam nggak jelas seolah kesal dengan high heels yang dipakainya. Ilham yang semakin gemas mendengar Fryda menggerutu sambil manyun-manyun itu tersenyum, seraya mengacak rambut Fryda dengan gemas. Tanpa permisi lagi, Ilham kembali menggandeng tangan Fryda dan meneruskan perjalanan mereka.

Tepat saat mereka mencapai tangga teratas depan lobby, langkah Ilham terhenti. Pemuda itu melongo melihat pemandangan yang ada di hadapannya.

“Mama?” ujarnya, saat dirinya bisa memastikan kalau sepasang suami istri yang kini duduk di sofa lobby beberapa langkah dari tempatnya berdiri itu tak lain adalah kedua orang tuanya.

Bersambung
By: Novita SN
Twitter: @Novita_setyaN 
Instagram: @vitasetya32 
BB: 524F0DBF
WhatsApp: 085697581337

------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Next>>
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang pengen baca KCBS dari part awal, klik disini
Yang pengen baca2 cerpen tentang smash, cerpen romantis dan pastinya keren (menurut yang nulis :-p) klik disini 
  ------------------------------------------------------------------------------------------------------------