Ada yang masih menantikan cerita ini? Pastinya ada donk. Pengen
tahu bagaimana nasib Bisma dan Nanda selanjutnya? Baca yuk, yuk, yuk ^_^
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Sya, kamu gila, ya?” seru Bisma, lantas mendorong Raisya
kembali ke tempat duduknya dengan sekuat tenaga. Namum Raisya masih nekat
menyongsong setir Bisma dan mencoba membelokkan setirnya kembali.
“Sya, kalau kamu kayak gini kita bisa mati!” tandas Bisma.
“Aku nggak peduli," teriak Raisya. Mata gadis itu
melotot seperti orang kesurupan. "Kalau aku nggak bisa milikin kamu, nggak
ada satu orang pun yang bisa milikin kamu. Jadi, lebih baik kamu mati
sekalian."
Wajah Bisma kian memucat. Debar jantungnya tak lagi
beraturan. Segala rasa tak enak menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat kepalanya
semakin pening dan otaknya mampet. Macet. Tak bisa berpikir apapun. Bahkan, dia
sampai lupa kalau di bawah kakinya ada rem yang kalau diinjak sudah pasti akan
menghentikan mobil itu. Tapi otak Bisma sudah buntu. Ia hanya ingat kalau ia
harus menjalankan mobilnya sesuai jalur.
"Cukup, Sya," sentak Bisma, namun tak cukup
mempan untuk menghentikan kenekatan gadis edan itu. Tangan Bisma yang sekuat
tenaga menahan stir agar tidak sampai oleng karena tarikan Raisya gemetaran.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya.
"Sya...," Bisma berteriak ketika Raisya berhasil
membelokkan mobil itu ke kiri dan...
"Aaaaaa......" Bisma benar-benar melepas stir
ketika mobilnya nyelonong ke arah sebuah bus pariwisata yang tengah parkir di
pinggir jalan. Tangannya reflek terangkat ke atas dan menyilang di depan muka,
sementara matanya langsung terpejam.
Ia sudah pasrah. Ia merasa hari inilah riwayatnya akan
selesai. Beberapa detik lagi. Ya, beberapa detik lagi mobil yang ia tumpangi
pasti akan menubruk bus di depan sana dan akan meremukkan seluruh tubuhnya
menjadi potongan-potongan kecil. Bisma benar-benar sudah pasrah. Dia akan mati,
dan Raisya akan lega karena melihat Bisma tidak jadi milik siapapun.
Tetapi tidak terjadi apa-apa setelah beberapa detik
menjelang. Bisma tidak mendengar ada dentuman keras. Ia juga tidak merasakan
tubuhnya remuk karena jepitan mobil yang saling bertabrakan. Ia masih baik-baik
saja. Begitukah?
Ia sedikit membuka matanya, lalu menurunkan tangannya, dan
menyadari kalau tubuhnya benar-benar masih dalam keadaan utuh. Ia juga
mendapati mobilnya dalam keadaan terhenti. Kelegaan membajiri hati Bisma.
Jantungnya yang sesaat lalu berdetak kencang kini berangsur memelan. Tidak
terjadi tabrakan. Tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak mati. Tapi kenapa?
Bukankah tadi... Pemuda itu melongok ke depan dan menemukan moncong mobilnya
hanya berjarak beberapa centi dari pantat bus di depannya. Nyaris saja.
Bisma menghempaskan badannya ke jok mobil di belakangnya,
sedikit beristirahat dari ketegangan yang memberangus jiwanya beberapa saat
lalu. Ketika pemuda itu memperbaiki letak kakinya, ia baru sadar kalau mobil
itu berhenti karena kakinya telah refleks menginjak rem. "Bego!"
Umpatnya pada diri sendiri. "Kenapa nggak ngerem dari tadi aja?"
Menyadari mobil masih dalam keadaan hidup dan sepertinya
Raisya tidak akan berhenti dari kenekatannya, Bisma langsung mematikan mobilnya
dan menyahut kunci dari lubangnya. Ia tidak mau kalau Raisya sampai menginjak
gas dan membuat mobil mereka menabrak mobil di depannya yang hanya berjarak
sejengkal itu.
"Kita ke rumahku sekarang, Bii," ujar Raisya
tiba-tiba. "Turuti apa yang aku bilang, atau aku akan berbuat hal yang
lebih nekat."
Bisma tak langsung menjawab. Ia melirik gadis di
sampingnya, dan menemukan Raisya menatap kosong ke arah stir mobil dengan napas
tersengal. Tangannya telah ia turunkan sekarang. Di wajahnya, peluh bercampur
air mata membanjir.
Bisma belum sempat berkata apa-apa ketika tiba-tiba,
Raisya berputar cepat dan membuka laci dashboard. Sebuah benda mengkilap berada
di tangannya, dan membuat jantung Bisma kembali berpacu.
"Kamu mau ngapain, Sya?" ucap Bisma, panik.
Raisya mengacungkan benda tajam itu ke arah Bisma dengan
penuh emosi. "Turuti omonganku, atau aku bener-bener akan ngelakuin hal
yang paling buruk ke kamu, Bii."
Desah nafas Bisma tak beraturan. Ia memundur-mundurkan
badannnya, mencoba menjauhkan dirinya dari benda tajam yang diacungkan Raisya.
"Sya, jangan berbuat nekat, Sya."
"Cepat nyalakan mobilnya, dan kita ke rumahku."
Tak ada lagi yang bisa Bisma pikirkan selain memutar tubuh
ke depan dan memasukkan kunci di tangannya ke lubang kembali. Bisma memutar
kunci dengan tangan gemetar. Dan setelah mobil menyala, pemuda itu memundurkan
mobil dan melaju ke arah rumah Raisya dengan pisau tajam mengacung ke arahnya.
‘* * *
* *
Sepanjang jalan menuju rumah Nanda, Rafa tak hentinya
mengeluarkan berentet-rentet kalimat untuk melampiaskan kekesalannya. Malam ini
benar-benar malam yang tak pernah ia duga. Ia tak menduga kalau di pesta itu ia
akan mendapat sebuah hidayah yang membuat hatinya hampir meleleh dan memaafkan
kekasihnya. Namun pada akhirnya, sebuah kejadian memuakkan yang terjadi pada
adiknya membuat hati Rafa membatu kembali. Ia tidak menyangka kalau di pesta
itu, perasaannya akan ditarik ulur oleh keadaan seperti itu, dan kenyataan itu
membuat seluruh persendian Rafa dipenuhi emosi.
Lebih emosi lagi saat melihat adiknya yang menurutnya
benar-benar bodoh oleh cinta Bisma. “Kakak nggak ngerti kenapa kamu tadi mau
mau aja dipeluk Bisma di depan umum seperti itu. Apa yang sebenarnya ada di
pikiran kamu, Dek?”
“Tanpa Nanda bilang, Kak Rafa sebenarnya tahu apa alasan
Nanda,” sahut Nanda, tanpa menoleh ke arah Rafa yang sedang menyetir dengan
tampang frustrasi.
“Kamu masih mencintainya. Dan apa yang kamu harapkan dari
cintamu itu? Bisma akan membalasnya? Jangan bodoh, Dek.”
“Bisma memang masih mencintai Nanda, Kak. Tanpa Nanda
meminta dan memohon pun, Bisma sudah melakukannya. Dia mencintai Nanda.”
“Atas dasar apa kamu yakin kayak gitu? Karena nyanyian
tadi? Atau karena dia meluk kamu? Atau...”
“Dia tadi bilang kalau dia masih untuk Nanda,” potong
Nanda. “Sampai kapanpun.”
“Dan kamu percaya sama omongannya?”
“Apa Kakak tadi nggak lihat ekspresinya? Nanda mungkin
emang nggak bisa lihat. Tapi dari suaranya yang tertekan, Nanda yakin dia dalam
keadaan lemah. Dia dalam masalah. Tapi Nanda nggak tahu apa masalahnya.”
“Satu satunya masalah cucurut sawah itu adalah dia
menginginkan kalian berdua. Kamu... dan si pshyco itu.” Nada suara Rafa tajam,
dan penuh amarah. “Kakak heran kenapa si brengsek itu menginginkan Raisya.”
Kalimat terakhir Rafa membuat Nanda yang sedari tadi
menghindari bertemu muka dengan Rafa seketika menengok. Dahinya melukis kerut,
“Kakak kenal Raisya?” tanyanya.
Rafa menghela nafas berat, lantas mengusap rambutnya
dengan tangan kanan. “Kakak memang belum cerita sama kamu,” ungkapnya. “Kamu
ingat dulu Kakak pernah diculik dan pulang dalam keadaan babak belur? Hampir
mati malah.” Rafa menoleh ke arah Nanda, dan menemukan wajah adiknya dipenuhi
kebingungan. “Raisya dan kawan-kawannya yang nyulik Kakak.”
“Raisya?”
“Ya,” sahut Rafa. “Raisya itu... nggak waras.” Rafa
mengatakannya dengan raut merenung. “Dia menginginkan Kakak.”
“Jadi sepupunya Kak Vita yang dulu bikin kaki kakak hampir
patah itu Raisya?”
“Ya.”
“Tapi kenapa?”
“Dia bilang dia suka sama Kakak. Dan seperti yang Kakak
bilang tadi. Dia menginginkan Kakak. Tapi, Kakak udah terpenjara di hati
sepupunya dan tidak bisa lari lagi. Jadi, mana mungkin Kakak bisa nerima dia?
Dan akhirnya, karena Kakak terang-terangan menolaknya dan bilang kalau Kakak
hanya bisa cinta sama Vita, dia nyulik Kakak, dan...,” ucapan Rafa menggantung
sejenak, lantas, “Dan berniat menyiksa Kakak sebelum menghabisi nyawa Kakak.
Dia memang udah nyiksa Kakak. Dia membawa Kakak ke sebuah rumah yang tak
berpenghuni, trus mengurung Kakak di ruangan yang gelap tanpa ada secercah
cahayapun yang bisa masuk. Lalu...,” Kalimat Rafa kembali berhenti. Wajahnya
tampak memucat. Keringat muncul di dahinya meski mobil yang mereka tumpangi
ber-AC. “Lalu di sana dia mukulin Kakak dengan membabi buta. Dan... astaga,
Kakak nggak mau mengingat itu lagi.”
Seperti Rafa, wajah Nanda juga ikut memucat. Ia
membayangkan betapa tersiksa kakaknya waktu itu. Di ruang gelap, dipukuli
habis-habisan. Dan terancam mati. Seluruh tubuh Nanda menegang. Ia membayangkan
kemungkinan Bisma juga diperlakukan sama oleh Raisya. Apa Raisya mengancam Bisma?
Pikir Nanda. Apa ini sebenarnya masalah Bisma.
“Jangan mencoba berpikir Bisma diancam akan diperlakukan seperti
Kakak atau semacamnya.” Suara Rafa kembali terdengar sebelum Nanda mengucapkan
apapun. “Kakak yakin itu tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Setelah kejadian itu, orang-orang yang nolongin Kakak
bawa dia dan teman-temannya ke kantor polisi.”
“Dia dipenjara?”
“Enggak. Polisi bilang dia mengalami kelainan jiwa, dan
menurut Kakak kayaknya emang benar. Lalu orang tuanya membawa dia ke psikiater
secara rutin. Menurut berita yang Kakak dengar Raisya udah nggak seperti dulu
lagi. Jadi dia tidak mungkin terobsesi sampai setengah gila seperti waktu itu.”
“Apa tidak ada kemungkinan dia kumat?”
“Ya ampun, Dek. Raisya itu bukan sakit paru-paru yang bisa
kumat-kumatan. Dia kelainan jiwa. Jadi kalau dia sudah dinyatakan sembuh, ya
dia sembuh.”
“Tapi....”
“Tapi apalagi?” tanya Rafa dengan tak sabaran. “Kamu masih
mencoba mencari alasan kenapa Bisma bisa bersama Raisya? Satu-satunya alasan
adalah Bisma memang menginginkan Raisya. Hanya itu.”
“Dia bersama Raisya, tapi dia tersiksa. Nanda yakin itu.”
Rafa kembali menghela napas, tak ingin mendebat lagi. Ia
sudah emosi sejak tadi. Kalau percakapan ini diteruskan, itu hanya akan
menambah emosinya dan pasti dia akan terjaga semalaman karena dia tidak bisa
tidur dalam keadaan emosi parah.
Rafa melajukan mobilnya tanpa suara, membiarkan Nanda
bermain-main dengan pikirannya sendiri. Besok, atau nanti setelah emosinya
mereda, ia akan mencoba memberi pengertian lagi pada Nanda. Ia sangat berharap
Nanda akan sadar dan tidak lagi berharap apapun pada Bisma.
“Kakak tadi bilang Raisya cewek pshyco.” Suasana hening
yang menyergap beberapa menit itu dipecah oleh suara Nanda yang sepertinya
belum puas dengan pemikiran Rafa. “Itu artinya Kakak masih nganggep Raisya
seperti yang dulu.”
“Julukan itu terlontar begitu saja dari mulut Kakak. Jadi
itu sama sekali tidak ada hubungannya sama anggapan Kakak.”
“Tapi...,” Nanda ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi.
Rafa pun tak berniat mengorek apa yang ingin dikatakannya. Jadi, mobil itu
kembali sunyi.
Dalam kesunyian itu, entah kenapa pikiran Rafa melayang
pada kemungkinan Bisma mendapat masalah karena kegilaan Raisya. Meski tadi dia
bilang pada Nanda kalau Raisya sudah benar-benar sembuh, tapi sebenarnya Rafa
juga tidak yakin Raisya sudah sembuh sepenuhnya. Bayangan Bisma yang menatap
Nanda dengan penuh kerinduan di atas panggung mengelebat begitu saja di benak
Rafa. Bisma memang sepertinya masih menaruh hatinya pada adiknya. Ah, tidak
mungkin. Elak Rafa, lantas membuang jauh-jauh pikiran tentang Bisma. Dia tidak
bisa membiarkan adik yang sangat disayanginya jatuh ke tangan cowok yang bahkan
tidak teguh pada pendiriannya seperti itu. Kalau memang Bisma tidak menginginkan
Raisya, seharusnya dia bisa menolak mentah-mentah seperti yang dulu dilakukan
Rafa. Tapi Bisma tidak. Dia malah meninggalkan Nanda dan menempel terus pada
Raisya seperti perangko. Jadi, Rafa memutuskan untuk tidak percaya kalau Bisma
benar-benar masih cinta sama Nanda seperti yang Nanda bilang.
‘* * *
* *
Reza melirik Diana yang menatap lurus ke depan dengan
pandangan melamun. Tangan kiri Diana bertelekan di pintu mobil, dengan jemari
menyangga dagu. Reza bisa memastikan kalau Bismalah yang mengisi pikiran Diana
saat ini. Gadis yang sangat menyayangi kakaknya itu pasti sedikit shock karena
kelakuan kakaknya di pesta tadi. Sejak Diana melihat Bisma memeluk Nanda,
sampai detik ini Diana belum mengelurkan sepatah kata pun. Dia mungkin sedang
berpikir apa sebenarnya yang ada di pikiran Bisma.
Merasa ada yang memperhatikannya, Diana memperbaiki
duduknya dan menghela napas. Tangannya telah ia turunkan dari pintu mobil. Ia
memutar tubuh agak menyamping, menghadap Reza.
“Menurut Kak Reza kenapa Kak Bisma tadi melakukan hal
semacam itu?”
Reza tak langsung menjawab. Ia memiringkan kepala, mencari
jawaban atas pertanyaan Diana. “Entahlah,” ujarnya. “Kakak juga nggak yakin
dengan tebakan Kakak. Tapi...”
“Apa tebakan Kakak?” tanya Diana tidak sabaran.
“Kayaknya Bisma masih mencintai Nanda. Dari apa yang
dilakukannya tadi, tidak mungkin Bisma sudah membuang jauh-jauh perasaannya ke
Nanda. Tadi juga dia nyanyi dengan sepenuh hati kayak gitu. Kakak tahu itu lagu
mereka berdua. Tidak mungkin Bisma nyanyi itu buat Raisya. Pasti buat Nanda.
Tapi Kakak masih nggak ngerti masalah apa yang terjadi sama mereka berdua
sampai Bisma ninggalin Nanda trus malah nyari pelarian seperti itu.”
“Jadi, menurut Kak Reza, pacar Kak Bisma yang sekarang itu
cuma pelarian?”
“Mungkin,” jawab Reza. “Kalau Kakak lihat, sebelum mereka
putus, kayaknya hubungan kakakmu sama Nanda baik-baik aja. Makanya Kakak kaget
waktu Bisma bilang kalau dia udah jadian sama orang lain.”
“Apa mungkin Kak Nanda selingkuh? Trus Kak Bisma nggak
terima?”
“Nanda? Selingkuh? Mana mungkin,” ujar Reza tak percaya.
“Meskipun Kakak belum lama kenal Nanda, tapi Kakak yakin Nanda bukan type
peselingkuh.”
“Tapi pagi itu—waktu Kak Bisma bilang sama kita dia udah
punya pacar baru—Diana lihat Kak Nanda jalan sama cowok lain. Mereka kelihatan
mesra. Dan... Kak Nanda kelihatan nyaman bersamanya.”
“Di mana kamu lihat mereka?”
“Di asrama.”
“Mana ada cowok yang boleh ke asrama pagi-pagi?”
“Diana juga nggak tahu. Tapi Diana benar-benar ngelihat
mereka.” Diana berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. “Tadi juga Diana lihat
Kak Nanda datang sama orang itu lagi.”
“Yang tadi nolongin Nanda maksudnya?”
“Iya. Yang itu. Waktu itu mereka jalan berdua
peluk-pelukan gitu. Apa mungkin....” Ucapan Diana dihentikan oleh tawa Reza.
Diana menatap Reza dengan kening berkerut, tak mengerti kenapa Reza malah
tertawa seperti itu. Kayaknya sejak tadi Diana tidak sedang melucu? Kenapa Reza
tertawa? “Apanya yang lucu?”
“Kamu sama kakak kamu tuh sama. Selalu salah paham sama
hubungan Nanda dan Reafael.”
Mata Diana membulat sempurna. “Kak Reza kenal sama orang
itu?”
“Dengar ya pacarku sayang, Rafael itu kakaknya Nanda,”
jelas Reza. “Mereka memang selalu mesra kayak gitu. Dan karena kemesraan mereka
itulah dulu Bisma sama Nanda hanyut ke laut.”
“Kakaknya?” Diana kembali merenung. Berarti pemikirannya
selama ini salah. Jadi apa sebenarnya masalah Bisma? Kenapa tadi dia kelihatan
tertekan seperti itu? Kenapa dia memutuskan untuk meninggalkan Nanda dan
memilih berhubungan dengan Raisya yang bahkan tidak bisa membuatnya bahagia? Kenapa
Bisma sampai tidak mau pulang dan menghindari orang tuanya? Kenapa akhir-akhir
ini dia juga sangat berubah? Kenapa? Segala macam pertanyaan bergelayut di hati
Diana, membuat napasnya sedikit sesak. Bahkan, wajahnya kini semakin murung.
Air matanya juga sudah mengintip dari balik kelopak matanya yang sendu.
Melihat ekspresi Diana yang tampak semakin gundah, Reza
meminggirkan mobilnya dan berhenti. Ia mengulurkan tangan ke arah Diana, lalu
menyelipkan jemarinya di bawah rambut Diana. Ibu jarinya mengelus pipi Diana
lembut, berharap bisa menyalurkan ketenangan untuk jiwa gundah kekasihnya itu.
“Kamu percaya sama Bisma, kan?” ujarnya, dengan senyum
manis tersemat di bibir. Diana tampak mengangguk di depannya. “Jadi kenapa kamu
harus sedih? Yakinlah, Bisma pasti bisa mengatasi semuanya. Dan pasti, apa yang
dilakukannya saat ini adalah untuk kebaikan semua orang. Untuk Nanda, untuk
orang tua kamu, juga untuk dirinya sendiri. Mungkin juga untuk kamu,” ucap Reza
dengan sangat lembut, selembut kain sutra.
Diana hanya diam sambil menatap ke dalam mata Reza. Segala
kecamuk di dadanya sedikit berkurang karena perkataan Reza barusan. Ia juga
bisa bernapas dengan lebih ringan. Kekalutannya telah jauh berkurang. Ia
kemudian mengembangkan senyum, lalu bergerak mendekati Reza dan memeluknya,
erat. “Terima kasih,” ucapnya.
Reza membalas pelukan kekasihnya, lantas mengangguk.
‘* * *
* *
Ilham keluar dari mobilnya, dan memutari separuh badan
mobil menuju sisi kiri. Selayaknya habis pulang kencan dengan pacarnya, Ilham
membukakan pintu untuk Fryda, dan menemukan gadis cantik itu menatapnya seraya
keluar dari mobil.
“Perlakuan lo ini bikin gue keinget sama cowok gue,” ujar
Fryda sambil tersenyum.
“Gue nggak keberatan kalau lo ngebayangin gue ini cowok
lo.”
Fryda malah tertawa. Tawa yang entah kenapa membuat detak
jantung Ilham berdetak tak biasa. Malam ini, Fryda telah benar-benar menyelamatkannya
nyaris dari semua hal. Dari pesta besar Morgan, dari ledekan kawan-kawannya,
juga dari emosi yang meledak-ledak karena Raisya. Ilham jadi berpikir sihir apa
yang digunakan Fryda sampai ia bisa meredakan emosinya yang menggelegak hanya
dengan beberapa kalimat.
“Ilham, mencintai itu adalah tentang pengorbanan, tentang
keikhlasan, dan tentang penerimaan,” ucap Fryda dalam mobil tadi, ketika mulut
Ilham tak berhenti mengumpati segala hal yang dilakukan Raisya malam ini.
“Kalau lo emang cinta sama dia, korbanin
semua ego lo buat bahagiain dia. Gue tahu lo nggak suka sama sikap
Raisya tadi. Tapi, bukankah kalau lo pengen milikin dia, lo musti terima semua
sifat yang melekat dalam dirinya? Lo hanya harus berdamai sama diri lo sendiri
buat menoleransi sifat dia yang menurut lo buruk. Tapi, lo nggak bakalan bisa
mengubah. Kalau emang lo nggak mau terima, buat apa lo cinta sama dia?”
“Gue juga nggak tahu buat apa gue cinta sama dia,” ucap
Ilham. “Bahkan gue nggak tahu kenapa gue bisa cinta sama dia.”
“Cinta
emang nggak perlu bilang di hati mana dan
kenapa dia harus hinggap. Dia
hanya akan mengikuti jalannya, dan ketika dia menemukan tempat yang nyaman
baginya untuk bersemayam, dia akan menetap di sana, mengorbankan segala hal
untuk hati yang ditempatinya, dan menerima dengan penuh keikhlasan semua hal
yang ada pada sang hati." Fryda menangkap wajah Ilham, dan membuat mereka
bersitatap. "Lo nggak perlu tanya kenapa. Karena lo nggak bakal tahu jawabannya.
Yang musti lo lakuin sekarang adalah ngebahagiain Raisya dengan cinta lo."
"Dia lagi sama Bisma. Gimana gue bisa
bahagiain dia?"
"Dengan selalu ada buat dia. Dengan care
sama dia. Dengan tetap berada di sisinya semuak apapun lo sama sikapnya. Gue
yakin lo bisa ngelakuin semua itu. Dan gue yakin dengan begitu, suatu saat
pasti Raisya bakal ngelihat lo."
Ilham terdiam. Kata-kata Fryda terdengar sangat
meyakinkan, hingga membuat Ilham juga yakin kalau apa yang Fryda katakan itu
memang benar. Ia hanya perlu membahagiakan Raisya agar dia juga ikut bahagia.
Dia hanya harus menenangkan Raisya saat Raisya tengah gundah, agar dia juga
ikut tenang. Meski Ilham pasti akan mendapat penolakan menyakitkan seperti yang
terjadi barusan, Ilham harus tetap melakukannya. Karena Raisya memang
membutuhkan Ilham. Karena Raisya memang butuh cinta yang sebenarnya.
"Heh!!!" Tangan Fryda bertepuk di
depan muka Ilham, membuat lamunan pemuda itu buyar. "Kok malah bengong,
sih?"
Ilham mengalihkan pandang dengan salah tingkah,
lantas tersenyum.
“Besok lo ada acara apa?” tanya Ilham kemudian.
“Menurut lo, di tempat yang gue nggak kenal ini,
gue bisa bikin acara apa?”
Ilham terbahak singkat. “Benar juga,” ujarnya.
“Besok jalan-jalan, yuk.”
Fryda menyipitkan mata dengan jidat berkerut.
“Jalan-jalan?”
“He em.” Ilham manggut-manggut. “Yach, lo tahu
sendiri kan, mood gue sekarang lagi jelek. Gue butuh refreshing. Jalan-jalan,
muter-muter Jakarta, main-main, makan-makan, kayaknya bisa bikin mood gue
membaik,” jelas Ilham. Ia menatap Fryda yang sepertinya tengah
menimbang-nimbang ajakannya.
“Buat gue gratis?”
Ilham kembali tertawa pelan, tak menyangka Fryda
akan mengajukan pertanyaan semacam itu. “Iya, iya. Buat lo gratis. Gue yang
traktir. Bonus lunch sama dinner juga. Plus tempat romantis.”
Fryda agaknya juga merasa geli dengan pertanyaan
konyolnya. Ia juga ikut tertawa, lantas berkata ,”Sebenernya nggak perlu tempat
romantis, sih. Yang penting buat gue makanannya enak, bikin kenyang, tempatnya
nyaman.”
“Iya gue besok nyari tempat dinner yang
makanannya enak, bikin kenyang, tempatnya nyaman, dan romantis. Yang keren deh
pokoknya.”
“Kalau kita sampai dinner, berarti kita
jalan-jalannya dari pagi sampai malem donk?”
“Enggak, besok kita dinner-nya sekalian berangkat
ke asrama aja. Kita ke asrama besok sore.”
“Oke. Gue ikut aja apa yang lo bilang. Yang
penting, gratis.”
“Ya Tuhan, Fryda, lo kedengeran kayak orang
susah tahu nggak. Hari gini apa-apa pengen gratis.”
“Biarin.” Seringaian Fryda membuat Ilham gemas,
dan secara refleks mengangkat tangan lantas menangkap dagu Fryda dan
menggoyang-goyangkannya, geregetan.
“Gue
anter ke dalem, ya.”
“Nggak perlu kali, Am. Gue...,”
“Udah, biarin,” potong Ilham, seraya meraih
tangan Fryda dan menggandengnya menuju lobi. “Gue kayak cowok brengsek kalau
nurunin cewek yang dikencaninnya di pinggir jalan kayak gini.”
“Ini tempat parkir, Ilham, bukan pinggir jalan.
Dan... apa yang lo bilang tadi? Kencan? Gue jadi kayak lagi selingkuh kalau
bilang kita abis kencan.”
Ilham tergelak. “Gue kan udah bilang, gue nggak
keberatan kalau lo ngebayangin gue ini cowok lo.”
“Nggak bisa. Lo beda jauh sama dia.”
“Jauh lebih ganteng, gitu?”
Fryda menghentikan langkah, lantas nyengir, tak percaya
kalau Ilham akan se-PD itu. Tapi akhirnya ia melangkah lagi setelah mendengar
gelak tawa Ilham. “Terserah lo, deh. Aduh....,” Tiba-tiba Ilham merasa
tangannya terseret ke bawah. Refleks, ia memutar tubuh ke belakang dan menangkap
tubuh Fryda yang hampir tersungkur.
“Hati-hati donk, Fry.” Ada nada kekhawatiran
dalam suara Ilham. Pemuda itu menunduk, memeriksa kaki Fryda. “Kamu nggak
pa-pa? Kenapa, sih?”
“Oleng,” jawab Fryda, singkat.
“Dasar cewek kampung. Pakai high heels aja pakai
oleng segala.”
“Ilham, lo nggak tahu betapa tersiksanya cewek
yang pakai high heels trus dateng ke standing party kayak tadi. Pegel, tahu.”
“Perasaan biasanya Kakak gue biasa aja kalau
abis dateng ke standing party temennya.”
“Kakak lo udah terbiasa pakai high heels pasti.
Lo kan tahu sendiri gue biasa pakai saput kets kemana-mana.”
Ilham tertawa kecil melihat Fryda
bersungut-sungut seperti itu. “Perlu gue gendong ke dalem nggak?”
“Enggak. Gue bisa sendiri.” Gadis itu melepas
tangan Ilham, dan melangkah mendahuluinya. Namun, siapa sangka ketika Fryda
hampir mencapai tangga di depan lobby, tiba-tiba dia oleng lagi, dan hampir
ambruk. Untung Ilham cepat tanggap dan langsung menangkapnya. Kalau enggak,
Fryda pasti sudah benar-benar terjengkang dan pantatnya nyium jalanan berbatu
di bawahnya.
“Tuh, kan!” seru Ilham. Ia membantu Fryda
berdiri lagi, dan mendengar Fryda menggumam-gumam nggak jelas seolah kesal
dengan high heels yang dipakainya. Ilham yang semakin gemas mendengar Fryda
menggerutu sambil manyun-manyun itu tersenyum, seraya mengacak rambut Fryda
dengan gemas. Tanpa permisi lagi, Ilham kembali menggandeng tangan Fryda dan
meneruskan perjalanan mereka.
Tepat saat mereka mencapai tangga teratas depan lobby, langkah Ilham terhenti. Pemuda itu melongo melihat pemandangan yang ada di hadapannya.
“Mama?” ujarnya, saat dirinya bisa memastikan
kalau sepasang suami istri yang kini duduk di sofa lobby beberapa langkah dari
tempatnya berdiri itu tak lain adalah kedua orang tuanya.
Bersambung
By: Novita SN
Fb: Vita Story
Twitter: @Novita_setyaN
Instagram: @vitasetya32
BB: 524F0DBF
WhatsApp: 085697581337
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Next>>
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang pengen baca KCBS dari part awal, klik disini
Yang pengen baca2 cerpen tentang smash, cerpen romantis dan pastinya keren (menurut yang nulis :-p) klik disini
------------------------------------------------------------------------------------------------------------