Saking
terlenanya dalam cinta kemesraan mereka, Bisma dan Nanda sampai tidak
sadar kalau ternyata ada dua pasang mata yang tengah mengawasi mereka
sedari tadi.
“Ehm,,,,,”
Si pemilik mata itu berdehem karena sudah gerah melihat adegan di
depannya. Tapi setelah Bisma melirik ke arah pintu dan tau siapa
orang yang memperhatikan mereka, Bisma hanya cuek. Ia tetap memeluk
kekasihnya, tanpa punya niat untuk melepaskan. Sudah kepalang
tanggung, jadi tontonan biarin aja jadi tontonan.
“Kenapa?
Kepengen, ngeliat gue mesra-mesraan sama pacar gue?”
“Enggak.
Ngapain gue kepengen. Gue juga bisa mesra-mesraan kayak gitu.”
Orang yang ternyata adalah Reza itu segera meraih tubuh Diana yang
ada di sampingnya, dan mencium pipi Diana begitu saja tanpa peduli
dengan reaksi Bisma setelah itu. “Tuh kan gue juga bisa.”
“Apaan
sih Kak Reza. Main cium aja.” Diana berpura menolak, meski
sebenarnya ada sesuatu rasa senang yang membuncah di hatinya ketika
bibir Reza menempel di pipinya.
“Apa-apaan
lo, Za? Main cium adek gue kayak gitu? Nggak sopan amat jadi orang?”
Kali ini Bisma bangkit, hendak menjitak kepala orang yang kini
bersembunyi di balik tubuh Diana. Sebelum sampai di tempat kedua
orang yang mengintipnya tadi, Bisma menyambar tisu di meja Diana, dan
mengusap-ngusap pipi adiknya.
“Bersihin
pipi kamu, Dii. Ntar muka kamu jadi jerawatan lagi abis dicium sama
cucunguk ini.” Suruh Bisma, sembari mengusap-usap pipi Diana dengan
tisu di tangannya. “Denger ya, gue nggak mau kalau adik cantik gue
mukanya jadi jerawatan gara-gara lo.” Akhirnya, sebuah jitakan
benar-benar mendarat mulus di kepala Reza, membuat Reza mengaduh.
“Sembarangan
kalau ngomong lo, Bii. Emang di bibir gue ada bakterinya, apa?”
Sungut Reza, sambil meringis-ringis dan mengusap kepalanya yang habis
terkena jitakan dari Bisma.
“Lo
mau ngapain ikut-ikutan ke sini? Ganggu acara gue aja lo.”
“Gue
mau ngapelin Diana?”
“Apa?”
“Apanya
yang apa? Masalah ya kalau gue ngapelin adik lo?”
“Ya
jelas masalahlah. Tadi pagi aja lo ngomel-ngomelin adek gue. Sekarang
lo apel-apelin. Seenaknya aja lo merlakuin adek gue.” Reza hanya
mengulum senyum mendengar Bisma mengungkit-ungkit masalah tadi pagi.
“Bukan
salahnya Kak Reza, Kakak.” Diana membela.
“Kamu
tuh ya. Udah diperlakuin seenak jidat begitu tapi masih tetep aja
belain dia.”
“Tapi
emang bukan salahnya Kak Reza.” Diana masih keukeuh, membuat Bisma
berdecak dan melempar pandang kepada pemuda yang kini tengah
menyimpan senyum bangganya.
“Bukan
gue yang minta dibela. Tapi dia sendiri yang pengen belain gue.”
Ujar Reza, melihat tatapan Bisma seolah menuduhnya.
“Trus
lo tadi ke sini beneran Cuma mau nemuin Diana?”
“Salah
satu tujuan gue sih itu. Tapi utamana enggak. Gue lagi tugas ngecek
asrama putrid. Biasanya malam minggu sama malam senin kan perlu
patrol. Takut ada yang mesuk di dalam asrama. Dan ternyata, gue
bener-bener nemuin ada yang mesum.”
“Emang
lo tadi lihat kalau gue lagi mesum?” Ucap Bisma, kesal.
“Kan
gue nggak bilang kalau itu elo. Udah deh, nggak usah ribut lagi. Gini
aja mendingan. Ijinin Diana nemenin gue keliling asrama putrid, dan
gue bakalan ngebiarin lo di sini sama Nanda. Gimana?”
“Lo
nyuruh gue nuker kemesraan gue mala mini sama adek gue?”
“Bukannya
gitu. Kan kita jadinya sama-sama enak. Kalau istilah IPAnya simbiosis
mutualisme gitu. Daripada Diana di sini bengong aja kayak orang bego
nungguin lo? Pasti dia lebih happy kalau keliling asrama bareng gue.
Iya kan, Dii?” Diana tak menjawab. Ia hanya menatap mata Bisma,
memohon kepada kakaknya lewat tatapan mata itu. “ Tenang aja, Bii.
Diana nggak bakalan gue apa-apain. Percaya deh sama gue.”
“Gue
mau percaya gimana? Tadi pagi aja gue abis denger lo ngomelin dia.
Trus tadi di depan gue lo berani nyium-nyium dia. Gue mau percaya
gimana coba. Siapa yang bisa jamin kalau lo nggak bakal ngelakuin
apa-apa sama dia kalau di depan gue aja lo berani kayak gitu?”
“Diana
jaminannya, Kak. Diana janji nggak bakal mau diapa-apain sama Kak
Reza.”
“Jadi
kamu beneran pengen ikut dia?” Mendengar adiknya mengiba, Bisma
akhirnya tak tega juga. Dan di depannya, Dianapun mengangguk ragu.
Tatapan Bisma kini beralih kepada Nanda yang kini telah berdiri di
sampingnya, seolah meminta pendapat kepada kekasihnya itu. Tapi,
Nanda hanya tersenyum sambil angkat bahu.
“Ya
udah deh.”Ucap Bisma, pada akhirnya. “Tapi lo musti ngembaliin
Diana ke sini dalam keadaan utuh ya, Za. Awas kalau adek gue sampai
kenapa-kenapa.”
“Tenang,
Bii. Gue juga bukan manusia kanibal kali. Nggak bakalan gue
memutilasi adek lo.” Canda Reza, seraya menggandeng tangan Diana
untuk diajaknya keliling asrama. “Ntar selesai keliling gue kembali
ke sini. Kita balik ke asrama bareng aja ntar ya.” Seru Reza
setelah ia melangkah beberapa meter.
Bisma
hanya memandang kedua insan di depannya tanpa komentar. Ia biarkan
saja tangan Diana digandeng oleh Reza, karena dilihatnya, Diana
begitu senang, bercanda, tertawa dengan Reza. Mereka tampak bahagia,
seolah tak ada beban di hati mereka.
Nanda
mendekati Bisma yang masih tertegun di tempatnya kemudian. Begitu
sampai di dekatnya, Nanda ikut memandang jauh, di depan Bisma.
“Apa
kamu mau mulai mempertimbangkan Reza jadi adik ipar kita?”
“Kayaknya
emang nggak ada salahnya kan?!”
Memang
tidak ada salahnya kalau Bisma membiarkan adiknya dekat dengan Reza.
Reza pemuda yang baik. Bertanggung jawab. Dari segi otak, dia juga
tidak terlalu bodoh. Dia juga bukan orang sembarangan. Pengurus senat
mahasiswa. Bukankah memang orang-orang yang ikut dalam pengurus
organisasi paling bergengsi seantero kampus itu adalah orang-orang
pilihan? Nggak mungkin kan kalau mahasiswa pemalas, dapat menembus
kursi kepengurusan dalam organisasi itu?
Kalau
soal kemarahan Reza tadi pagi, mungkin karena itu efek kekesalannya
saja. Dan mungkin memang adiknya yang salah. Sebab, berkali-kali
Diana bilang kalau dia yang salah. Memang agak nggak ikhlas sih,
kalau ada orang yang marah-marah begitu pada adiknya. Tapi
sepertinya, meski dikeselin seperti itu, Diana sepertinya tetap
senang-senang saja bersama Reza. Dan itu cukup membuat Bisma tau
kalau memang Reza yang bisa membahagiakan Diana. Lagi pula, Reza
adalah sahabatnya. Kebersamaan mereka di dalam satu asrama, dengan
kamar yang berdekatan membuat Bisma banyak tau tentang pemuda itu.
Dan Bisma pikir, Reza kini telah banyak berubah.
Dulu
hanya satu yang Bisma pertimbangkan saat ia meminta adiknya untuk
menjauhi Reza, yaitu kebiasaan buruknya yang playboy. Tapi bukankah
sekarang Reza tak mempunyai pacar satu orangpun. Dia telah
benar-benar membuktikan kata-katanya waktu itu. Dia benar-benar
memutuskan pacar-pacarnya. Dan dia bilang itu karena Diana. Karena
dia mulai merasakan cinta pada adik Bisma.
Bisma
masih memperhatikan Diana dan Reza yang berjalan beriringan. Mereka
masih menyelipkan canda pada langkah mereka.
“Nda,
ada lagu kamu tuh.” Ujar Bisma saat gendang telinganya menangkap
sayup-sayup suara lagu milik Hello yang dinyanyikan Nanda waktu itu.
“Dansa yuk.”
“Dansa?
Disini?”
“Iya.”
“Kamu
pengen jadi tontonan orang seasrama?”
“Biarin
aja. Kalau mereka ngomongin kita, pasti Cuma karena mereka iri kamu
bisa dapet pacar seganteng aku.” Bisma tergelak, membuat Nanda
kembali mencibir. Bisma meraih tubuh di depannya kemudian, dan
benar-benar mengajak Nanda berdansa tanpa mempedulikan
berpasang-pasang mata yang tengah mengawasi mereka. Di depan kamar
Diana itu, mereka terus bermesraan sambil menyenandungkan lagu yang
paling bersejarah dalam cinta mereka.
“Nda,
aku bakal buktiin cinta aku ke kamu biar kamu benar-benar yakin
dengan cintaku, dan nggak akan pernah ragu lagi.” Ujar Bisma, di
sela dansanya.
“Mau
kamu buktiin dengan cara apa?”
“Dengan
lamaranku.”
“Ha???”
Nanda malah melongo dan menghentikan dansanya.
“Kenapa?
Nggak mau?”
“Masih
terlalu dini, Bisma.” Jawabnya, kemudian kembali melanjutkan
dansanya. “Aku belum mau menikah.”
“Dilamar
kan belum tentu menikah.”
Nanda
menghentikan dansanya lagi. “Masa’ sudah dilamar nggak mau
dinikahin?” Kali ini dahinya mengernyit.
“Maksudnya
kita tidak langsung menikah. Kita bisa bertunangan, dan menikah
beberapa tahun lagi setelah kamu siap.”
“Jangan
macam-macam. Ibuku pasti shock kalau melihat kamu tiba-tiba ngelamar
aku.”
“Shock
kenapa? Karena dapet menantu kece kayak aku?”
“Aku
serius, Bisma. Jangan lakukan itu sekarang. Aku belum siap.”
“Apa
itu artinya kamu menolak lamaranku?”
“Bukan
menolak. Hanya menunda. Dan akan aku terima kalau saatnya sudah
tepat.”
“Masa
bodoh. Aku akan tetap meminta orang tuaku untuk datang ke rumahmu dan
memintamu dari orang tuamu.” Bisma mengangkat tubuh Nanda kemudian,
dan membawanya berputar-putar. Ia tampak sangat bahagia. Gadis dalam
bopongannya pun tak bisa menyembunyikan rona kebahagiaannya. Ia
tergelak-gelak dalam bopongan Bisma. Dan di petang itu, mereka
benar-benar menikmati cinta mereka yang kini menghangat kembali.
Mereka
tak menyadari kalau jauh di belakang mereka ada sepasang mata basah
yang tengah mengawasi mereka. Mata basah itu menyorot tajam,
menggambarkan hatinya yang bercampur aduk antara marah, kesal,
cemburu, dan sakit. Tangannya mengepal, mencoba memberikan kekuatan
kepada tubuhnya yang seakan melemas. Dan saat tubuh itu hampir
terhuyung, tiba-tiba ada seseorang yang menopang tubuh itu.
“Nggak
usah dilihat kalau itu bikin hati lo sakit.” Ujar pemuda itu,
seraya mengeratkan pegangan tangannya di lengan gadis yang hampir
ambruk itu. Gadis itupun memutar tubuhnya, dan menyembunyikan
kepalanya di dada pemuda yang menghampirinya.
“Nggak
tau kenapa hati gue sakit banget, Am.” Ujarnya, dengan terisak di
dada Ilham. Dan Ilham, dia tak berkata apapun lagi. Hanya dekapan
hangat yang bisa ia berikan sebagai rasa simpatinya kepada gadis itu
untuk saat ini. Hatinya pun sakit, sesakit gadis di dalam dekapannya.
Selain karena ikut merasakan kepedihan hati gadis itu, Ilham juga
merasa sakit karena sampai sekarangpun, hati gadis itu ternyata belum
juga bisa ia ambil dari pemuda yang membuat gadis itu menangis
seperti ini.
“Kapan
lo mau lihat gue, Sya??” Batinnya, pedih. Ia lirik kedua sejoli
yang kini masih saja saling tertawa bahagia di ujung sana. Dan
melihat adegan itu, hati Ilham seakan teriris. Kesal, iri, tapi juga
tak bisa berbuat apa-apa. Ini memang bukan sepenuhnya salah Bisma.
Kawannya itu telah menjelaskan kepada gadis yang di dekapnya ini.
Hanya saja, gadis ini telah terlalu jauh terperangkap dalam pesonanya
Bisma. Jadi kalau sudah seperti ini, siapa yang mau disalahkan?
Entahlah.
Ilham
mengeratkan pelukannya, saat dirasanya, tubuh dalam dekapannya
terguncang-guncang karena tangisnya. Ia belai lembut kepala Raisya,
mencoba memberi ketenangan pada gadis yang sebenarnya ia cintai itu.
Sekali lagi, ia melirik Bisma yang tengah tertawa bersama Nanda.
“Suasananya kontras banget.” Batin Ilham lagi.
‘* *
* * *
Morgan
tertegun di kamarnya dengan muka muram. Ia bingung harus bagaimana
menjelaskan kepada orang tua Afra kalau Afra sampai hamil. Pasalnya,
orang tua Afra sangat percaya padanya sejak pertama kali Morgan
mendekati Afra. Mereka percaya kalau Morgan anak yang baik, dan tak
akan mungkin berbuat macam-macam pada anaknya. Tapi sekarang, Morgan
telah menodai Afra. Dia telah mengkhianati kepercayaan orang tua
Afra. Meski sebenarnya itu bukan sepenuhnya kemauan dia, tapi
kesucian Afra benar-benar telah hilang. Dan itu karena dia.
Morgan
menghela nafas dalam-dalam. Pikirannya melayang pada ingatan di saat
ia mengantarkan Afra pulang tadi. Afra yang memang shock dan tak mau
bicara sama sekali dengannya itu hanya masuk rumah begitu saja tanpa
memperdulikan Mama dan papanya yang saat itu tengah bersantai di
teras depan. Dan karena itu, kedua paruh baya yang telah menganggap
Morgan seperti anak sendiri itu menanyai Morgan.
“Kalian
marahan?” Mamanya Afra yang bertanya. Dan Morgan hanya mengulum
senyum tanpa menjawab. Tapi tanpa jawabanpun, Mamanya Afra tau kalau
jawaban Morgan itu iya. “Afra ngambek sama kamu?”
“Eumm,,,,
itu karena Morgan salah tante.”
“Kamu
tuh emang beneran anak baik ya. Mau ngakuin kesalahan kamu kayak
gitu? Kalau emang kamu salah, ntar jelasin aja ke Afra baik-baik.
Tante yakin kamu nggak bermaksud ngelakuin kesalahan itu.” Ujar
Mamanya Afra, lembut dengan menyunggingkan senyumnya. Dan senyum
Mamanya Afra itu semakin membuat hati Morgan merasa sangat bersalah.
Kalau seandainya beliau tau apa yang sebenarnya terjadi, apa dia akan
tetap bilang kalau Morgan anak yang baik?
Lagi-lagi,
Morgan menghela nafas dalam. Pemuda itu semakin frustasi saat
mengingat Afra yang benar-benar shock karena kejadian itu. Bahkan
tadi pagi, Afra mengurung dirinya di kamar mandi selama hampir dua
jam untuk membersihkan dirinya. Dan karena khawatir dengan keadaan
Afra, Morgan sampai nekat mendobrak pintu kamar mandi itu. Dan di
dalam, ia melihat Afra yang terbungkus selimut tengah terduduk di
bawah shower dengan tangis berderai-derai bercampur dengan air yang
mengucur dari shower. Saat itu, bibir Afra telah membiru karena
dinginnya air puncak yang menyiram tubuhnya.
Bahkan
saking shocknya, Afra sampai tak peduli dengan Morgan yang
membopongnya ke ranjang, dan mengganti bajunya. Saat itu, Morgan
hampir mati karena diserang kekhawatiran dan rasa bersalah yang
mendalam. Jadi saat mengganti baju Afra, pikiran omes sama sekali tak
mampir di kepalanya. Yang ia pikirkan hanyalah membuat Afra hangat
dengan bajunya, dan membuat gadis itu tenang. Tapi apa yang terjadi?
Afra masih terus menangis tanpa mau bicara sama sekali. Dan itu
membuat perasaan Morgan semakin tak karu-karuan.
“Aku
mau pulang.” Hanya tiga kata itu yang tadi sempat keluar dari mulut
Afra. Dan akhirnya, Morgan membatalkan niatnya untuk menyusul
keluarganya ke villa yang mereka gunakan untuk liburan.
Sempat
mamanya Morgan bertanya kenapa mereka buru-buru pulang tanpa ketemu
sama keluarganya seperti itu. Sebab, Bian dan istrinya ingin sekali
bertemu Afra. Tapi Morgan tak menjawab. Ia belum berani menjelaskan
kepada siapapun tentang kejadian semalam.
Dan
dalam perjalanan pulang itu, Afra sama sekali tak bicara. Bahkan saat
Morgan mengajaknya mampir untuk makan siang di sebuah rumah makanpun,
Afra tetap bergeming di tempat duduknya. Tanpa berbicara, tanpa
bergerak, hanya menatap kosong ke arah depan dengan wajah datar.
Mengingat wajah datar itu, batin Morgan kembali seperti dicambuki.
“Arrggghhh,,,,
apa yang musti gue lakuin???” Geramnya, sambil menjambak rambutnya
sendiri. Dan saat itu, tiba-tiba ada orang yang menyeruak masuk ke
dalam kamarnya tanpa permisi lagi.
Morgan
masih tak sadar kalau ada wanita paruh baya yang menyambangi
kamarnya, karena frustrasi yang melandanya. Wanita paruh baya yang
ternyata adalah Tante Mella mamanya Morgan itupun mendekati anaknya
yang terduduk di ranjang dalam keadaan acak-acakan itu.
“Morgan?”
Dengan wajah khawatir, Tante Mella menghampiri Morgan, dan duduk di
sisi kanan anaknya. “Kamu kenapa?” Tanyanya kemudian.
"Mama???"
Morgan tampak kaget melihat mamanya sudah terduduk di sampingnya.
"Kamu
kenapa??" Sekali lagi, tante Mella bertanya.
Morgan
diam tak menjawab. Hanya hembusan nafas berat yang membuat Tante
Mella tau kalau anak keduanya itu tengah ada masalah saat ini.
"Kamu
kenapa? Ngomong sama Mama."
Masih
tak ada jawab hingga beberapa menit berselang. Hingga kemudian, Tante
Mella meraih kepala anaknya dan memeluk Morgan dengan penuh kasih
sayang. Baru setelah mendapat pelukan Mamanya, pemuda itu mau membuka
mulutnya yang beberapa saat terkunci.
"Semalem
Morgan ngelakuin kesalahan fatal, Ma." Rintih Morgan, di pelukan
sang mama.
"Kesalahan
fatal? Maksud kamu apa?"
"Afra,
Ma."
"Afra?"
Tante Mella mengurai pelukannya, dan memperhatikan wajah putranya
yang kini tertunduk. "Ada apa sama Afra? Cerita sama Mama."
Memang
sedikit ada keraguan di hati Morgan untuk terbuka tentang apa yang
terjadi semalam kepada mamanya. Tapi karena ia sudah tidak tahan
memendam masalah itu sendirian, dan ia juga memang perlu solusi untuk
masalahnya itu, akhirnya Morgan bercerita juga pada mamanya.
Pemuda
itu menceritakan secara gamblang apa yang terjadi sama mereka mulai
dari perjalanan mereka ke Bandung, sampai ia mengantarkan Afra ke
rumahnya. Dan dalam ceritanya, Morgan mengaku tidak tau apa yang
menyebabkannya bisa kebablasan sampai merenggut kesucian Afra seperti
itu. Ia juga tidak tau kenapa dia tidak bisa menahan hasratnya.
Padahal biasanya, dia tidak pernah merasa sampai seperti itu. Dan
yang lebih membuatnya bingung lagi, kenapa Afra bisa seagresif itu
semalam.
Morgan
memang sampai sekarang belum tau tentang teh itu. Saat mereka mau
pulang, Pak Marwan memilih bungkam daripada harus diomeli apalagi
sampai dipecat. Jadi, Pak Marwan memilih untuk merahasiakan tentang
teh itu.
"Kamu
harus tanggung jawab, Gan." Ujar Tante Mella, di ujung cerita
Morgan.
"Iya,
Ma. Morgan tau. Morgan pasti mempertanggung jawabkan apa yang udah
Morgan lakuin. Lagian Morgan juga cinta banget sama Afra. Nggak
mungkin Morgan ninggalin dia. Tapi masalahnya, gimana caranya Morgan
ngejelasin sama orang tuanya Afra? Mereka pasti kecewa banget sama
Morgan. Mereka udah percaya banget sama Morgan, Ma."
"Gimana
kalau kalian menikah aja sebelum Afra terlanjur hamil? Mereka pasti
akan lebih menerima kamu kalau kamu menikahi anaknya, daripada mereka
harus tau kalau kamu udah menodai anaknya."
"Papanya
nggak ngijinin Afra untuk menikah sebelum Afra lulus kuliah, Ma.
Lagian Afra juga nggak pengen nikah muda."
"Trus
gimana donk? Ntar kalau Afra sampai hamil, urusannya malah tambah
ribet lho."
"Justru
itu yang membuat Morgan bingung, Ma. Apalagi sekarang Afra shock
banget. Diajakin ngomong nggak bisa. Jadi Morgan juga nggak bisa
nanyain dia apa yang dia mau sekarang."
"Afra
nggak mau bicara sama kamu?"
"Sama
sekali nggak mau, Ma. Dia shock berat. Abis kejadian itu, dia cuma
diem aja kayak patung. Sampai sekarang aja dia nggak mau ngangkat
telponnya Morgan." Pemuda itu semakin terlihat frustrasi saat
mengingat kekasihnya yang sampai sekarang memang tidak mau diajak
bicara.
Melihat
guratan resah, rasa bersalah,dan rasa khawatir, yang tercampur aduk
di wajah anaknya, Tante Mella jadi iba. Dan dari wajah itu, Tante
Mella percaya sepenuhnya bahwa Morgan memang tidak sengaja melakukan
perbuatan laknat itu. Sekali lagi, Tante Mella meraih tubuh anaknya,
dan memeluknya.
"Nanti
Mama coba bicara sama papa kamu. Kita cari solusinya sama-sama."
"Jangan
Ma. Jangan ngomong sama Papa dulu. Papa pasti bakalan mencak-mencak
kalau tau Morgan kebablasan kayak gitu."
"Nanti
Mama ngomongnya pelan-pelan, biar papa kamu ngerti dan percaya kalau
kamu nggak bermaksud ngelakuin semua itu." Ujar Tante Mella,
dengan penuh kelembutan. Wanita paruh baya itu kemudian mengurai
pelukannya, dan menangkup kedua pipi Morgan, hingga mereka saling
berhadapan. "Pokoknya kamu tenang aja. Semua masalah pasti ada
solusinya."
"Terima
kasih, Ma. Terima kasih udah percaya sama Morgan." Tante Mella
tersenyum mendengar ucapan terimakasih dari anaknya itu, lalu
menganggukkan kepalanya. Dan kembali, Tante Mella memeluk putranya,
mencoba memberi ketenangan lewat pelukannya.
*
* * * *
Reza mengajak Diana duduk berdua di
sebuah bangku taman asrama putri usai berkeliling. Meski hanya
dibantu oleh cahaya temaram yang dipancarkan oleh lampu taman, Reza
tetap bisa menikmati kecantikan wajah di sampingnya itu. Wajah itu,,,
ah Reza juga tidak tau apa yang istimewa di wajah itu. Ia telah
banyak bertemu dan berhubungan dengan wanita cantik, bahkan ada yang
lebih canti dari wajah milik orang yang terduduk di sampingnya itu.
Tapi baru wajah ini yang berhasil membuat matanya kecanduan. Tak
hanya wajahnya, tapi semua yang ada pada diri orang di sampingnya itu
nyaris menjadi candu yang memabukkan untuk Reza.
“Kak Reza?? Hello,,, Kak Reza???”
Sebuah tepukan di pipi Reza dari tangan halus milik Diana
menyentakkan lamunan Reza. “Kok ngeliatin Diananya gitu amat sih?
Ada yang aneh sama muka Diana ya?” Ujar Diana, dengan muka polos.
Gadis itu kemudian menangkup mukanya sendiri, takut kalau ada yang
tidak beres pada mukanya.
“Iya. Wajah kamu memang aneh.”
Tatapan Reza masih belum beralih dari wajah itu. “Aneh karena bisa
bikin hati Kak Reza jadi cenat cenut kayak gini.” Ucapan Reza itu
ternyata membuat Diana tersipu.
“Ngegombal aja kerjaannya.” Gadis
itu menahan senyumnya. Untung lampu di taman tidak terlalu terang.
Jadi merah di pipi Diana tidak terlalu ketara.
“Kak Reza nggak lagi ngegombal. Cuma
ngerayu.”
“Ngegombal sama ngerayu itu sebelas
dua belas Kak Reza,,,,” Protes Diana, kali ini benar-benar tak bisa
menahan senyumnya. Reza pun telah terkekeh di samping Diana.
Suasana kembali hening untuk sesaat,
karena Reza memilih untuk menikmati senyum manis Diana yang
benar-benar menerbangkan angannya itu. Senyum yang tadi pagi hampir
saja terhapus oleh mendung yang diakibatkan oleh dirinya sendiri.
Mengingat kejadian tadi pagi, Reza jadi
kesal sendiri. Kenapa dia harus berbicara dengan keras kepada Diana
seperti itu? Ia tidak seharusnya kasar pada Diana. Tapi cemburu buta
membuatnya hilang kendali. Ia bahkan tak ingat kapan kepalanya mulai
memanas. Tau-tau, hatinya sudah dongkol dan tersulut api. Dan itu
karena Dicky. Ah,,, Dicky. Teman Diana itu memang sering membuat hati
Reza memanas. Meski berulang kali Diana bilang kalau tidak ada apapun
antara Diana dengan Dicky, tapi Reza tidak yakin kalau tidak ada
apapun di hati Dicky untuk Diana. Walabagaimanapun, Dicky itu lelaki.
Lelaki normal seperti Reza. Dan Reza bisa menangkap dari gelagat
Dicky kalau ada sesuatu di balik hati Dicky. Raut muka kesal Dicky
tiap kali melihat Diana bersama Reza bukan tanpa alasan. Dan Reza
yakin, alasan dari setiap kesalnya Dicky itu karena rasa di dalam
hatinya untuk orang yang Reza cintai ini.
Makanya tadi pagi sewaktu Diana mengaku
kalau ternyata Diana mengacuhkan Reza hanya karena tengah
telpon-telponan dengan pemuda menyebalkan itu, hati Reza langsung
mendidih, dan emosinya tak dapat dikontrol lagi. Mungkin juga karena
efek dongkolnya semalam. Tapi mendengar pengakuan Diana siang tadi,
Reza jadi tau kalau di hati Diana tidak menyimpan apapun untuk Dicky.
Dan dari setiap kalimat Diana yang terdengar mengiba padanya, Reza
tau kalau virus merah jambu yang melanda hati Diana hanyalah
untuknya. Bukan untuk Dicky, atau lelaki manapun.
Tapi meskipun Reza telah benar-benar
yakin kalau ada cinta di hati Diana untuknya, dan iapun yakin kalau
Diana tau di hati Reza ada cinta untuk Diana, Reza tetap ingin
menyatakan cintanya, biar semuanya jelas. Hubungan mereka yang mereka
jalin tanpa status ini harus dibuat status yang jelas agar tidak ada
keraguan lagi. Mungkin sekarang Diana akan tetap teguh pada cintanya
untuk Reza. Tapi bukan tidak mungkin suatu saat gadis itu akan gamang
dengan cintanya karena Reza tak pernah memperjelas hubungan mereka.
Maka dari itu, malam ini Reza bertekad
untuk mengakhiri HTSnya dengan Diana, dan ingin mengganti status
hubungan mereka agar lebih jelas. Sesiangan tadi, pemuda itu telah
berpikir dan memutuskan. Harus malam ini. Kalau tidak cepat-cepat,
dia akan kecolongan start. Dan akhirnya, perjuangannya selama ini
akan sia-sia. Tiba-tiba, bayangan kesialanannya beberapa waktu lalu
berseliweran di benaknya. Ditampar cewek, di siram jus, ditumplekin
mie, ah,,,, dia tidak ingin semuanya itu sia-sia. Tak terbayangkan
bagaiman frustrasinya Reza kalau seandainya setelah perjuangan Reza
itu, tiba-tiba Diana malah jatuh ke tangan Dicky.
“Kenapa Dicky lagi?” Batin Reza,
karena sedari tadi pemuda itu parno sendiri tiap kali mengingat Diana
telponan dengan Dicky.
Setelah lama saling diam, Reza
diam-diam meraih tangan Diana dan menggenggamnya. “Dii,,, “
Ucapnya, membuat Diana menoleh ke arahnya. Kini, mereka saling
berhadapan. “Mungkin suasananya memang kurang romantis, tapi Kak
Reza nggak bisa cari tempat yang lebih romantis lagi selain taman
ini.” Dahi Diana mengernyit. Tapi gadis itu tak berbicara apapun
karena ia ingin menunggu perkataan Reza selanjutnya.
“Dii, mungkin tanpa Kak Reza
ngomongpun kamu tau apa yang ada di hati Kak Reza buat kamu. Tapi Kak
Reza tetap pengen ngomong sama kamu Dii. Biar kamu tau lebih jelas
isi hati Kak Reza.” Pemuda itu sedikit memberikan jeda. “ Kak
Reza cinta sama kamu, Dii. Kak Reza sayang sama kamu. Dan,,, I want
you to be my girl, to be my special girl, to be my spirit, my
inspiration, to be my everything. Karena Cuma kamu yang bisa membuat
hati Kak Reza tenang, Dii. Mungkin Kak Reza nggak sempurna. Sejarah
cintanya Kak Reza juga parah banget. Tapi itu Kak Reza lakuin karena
Kak Reza pengen nyari sosok yang kayak gini, Dii. Yang kayak kamu.
Dan Kak Reza udah nemuin. Jadi Kak Reza pengen kamu selalu ada di
sisi Kak Reza selalu. Untuk nyemangatin Kak Reza. Untuk nenangin hati
Kak Reza. Untuk jadi seseorang yang special buat Kak Reza.” Kata
Reza, dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Kedua tangannya masih
erat menggenggam kedua telapak tangan Diana, dengan mata yang menatap
mata berlian Diana yang kini tampak menyorot padanya tanpa kedip.
Tubuh Dianapun mendadak menjadi patung.
“Dii????” Gumaman Reza itu
menyentak Diana yang sesaat terpaku.
Kalau boleh jujur, sebenarnya
belakangan ini Diana memang agak meragukan cinta Reza untuknya.
Pasalnya, pemuda itu tak pernah mengungkapkan apapun padanya. Pernah
terlintas di pikiran Diana kalau mungkin Reza itu hanya menganggapnya
adik, tidak lebih. Tapi entah apa yang membuat Diana selalu yakin
kalau pikirannya itu salah. Dan malam ini, sekarang ini, Reza
benar-benar membuktikan kalau apa yang Diana pikirkan itu salah. ‘I
want you to be my girl’ Kata-kata Reza itu mengiang di telingan
Diana. ‘To be my special girl’ Diana jadi tersanjung mengingat
kata-kata Reza itu. Dan saat disadarinya kalau dia harus menjawab,
Diana langsung menghela nafas, mencoba menghalau debar yang memenuhi
ruangan di balik dadanya.
“Mungkin Kak Reza juga udah tau apa
yang ada di hati Diana untuk Kak Reza. Diana juga cinta sama Kak
Reza. Diana juga sayang sama Kak Reza. Bahkan sebelum Kak Reza
ngerasain cinta ke Diana. Tapi,,,”
“Tapi kenapa????” Sahut Reza, tidak
sabaran. Tadi, hatinya hampir berteriak girang mendengar kata cinta
Diana. Tapi saat kata ‘Tapi’ itu meluncur di ujung kalimat Diana,
tiba-tiba Reza mencium perasaan tak enak.
“Tapi kalau mau macarin Diana, Kak
Reza musti ngomong dulu sama Kak Bisma.” Tuh, kan benar ada yang
bikin nggak enak hati. Batin Reza menggerutu.
“Ngomong dulu? Minta ijin maksudnya?”
Diana mengangguk. “Harus ya?” Reza sudah parno duluan
membayangkan wajah sangar Bisma setelah ia mengutarakan maksudnya
nanti.
“Harus. Walaubagaimanapun, Kak Bisma
itu kakaknya Diana. Dan Diana nggak pengen kalau nanti hubungan
pacarnya Diana sama Kakaknya Diana nggak baik. Jadi siapapun yang
pengen jadi pacarnya Diana, harus berani ngomong dan berhubungan baik
sama Kak Bisma, kakaknya Diana. Artinya, kalau Diana mau pacaran,
harus ada restu dulu dari Kak Bisma.”
“Dii, kayaknya Kak Reza mendingan
ngomong sama mama papa kamu aja deh Dii, daripada sama Bisma.” Reza
beneran parno. “Lagian hubungannya Kak Reza sama kakak kamu juga
udah baik kok. Percaya deh.”
Diana ngotot tetap menggeleng.
“Pokoknya Kak Reza musti ngomong sama Kak Bisma dulu.”
Akhirnya Reza menyerah, dan bilang Ok.
Sebenarnya bukannya kenapa-kenapa. Bisma yang kadang-kadang tengil
itu pasti ntar minta yang aneh-aneh sebelum ia benar-benar merestui
hubungannya dengan Diana. Dan Reza tidak mau Bisma mengerjainya. Anak
itu, kalau keluar tengilnya, pasti sukanya ngerjain orang. Masih
mending kalau dia Cuma suruh nraktir makan. Kalau suruh ngelakuin
yang lebih aneh lagi kan bikin kemalangan Reza bertambah saja. Tapi
sepertinya, kemalangan Reza untuk mendapatkan Diana memang belum
cukup. Ia masih harus dihadang oleh kemalangan yang akan ditimbulkan
Bisma nantinya. Kalau soal restu, sebenarnya Reza sudah bisa menebak
kalau kakaknya Diana itu sekarang telah lebih lunak. Terlihat dari
sikapnya yang tadi tak berkomentar apapun saat Reza menggandeng
tangan Diana. Kalau memang Bisma masih belum ikhlas dengan kedekatan
Reza dengan Diana, pemuda itu pasti bakal mencak-mencak seperti waktu
itu.
“Mudah-mudahan, tuh anak nggak reseh
sama gue.” Batin Reza, seraya mengeluarkan ponselnya. Pemuda itu
sibuk mencari-cari nomor, kemudian menempelkan benda mungil itu ke
telinganya.
“Telpon siapa,Kak?”
“Kakak kamu. Pengen tau di mana dia
sekarang. Kak Reza pengen ngomong sama dia sekarang.”
“Nggak perlu sekarang kali, Kak.
Masih banyak waktu.”
“Nggak mau. Takut kamu malah diambil
orang.”
“Mau diambil sama siapa?”
“Tuh, Si Dicky tiap hari nelpon
kamu.” Diana terkesiap saat Reza masih saja membahas Dicky. Tapi
sebelum ia membuka mulut untuk protes, ternyata telepon telah
tersambung. Alhasil, Diana menelan kata-katanya kembali.
“Bii, lo di mana?”
“Masih di kamar Diana. Kenapa?”
“Lo tunggu di situ. Gue mau ngomong
sama lo.” Klek. Reza segera mematikan HPnya, sebelum mendengar
tanggapan Bisma. Dan buru-buru, pemuda itu meraih tangan Diana untuk
diajaknya menemui Bisma.
“Mumpung masih ada Nanda. Kakak
iparmu itu pasti bakal bantuin Kak Reza ngomong sama Kakak kamu.”
Gumam Reza di sela langkahnya menuju kamar Diana.
‘* * * * *
“Beneran nggak sopan nih Si Reza.
Telpon main dimatiin aja.” Gerutu Bisma, saat Reza mematikan ponsel
seenaknya. “Mau ngomong apa lagi ya nih anak? Jangan-jangan ada
apa-apa sama Diana.”
“Jangan negative thinking donk, Bii.
Reza tuh bakalan ngejagain Diana sebaik mmungkin. Percaya deh sama
aku.” Nanda yang menggelendot manja di lengan Bisma itu tampak
menenangkan kekasihnya.
Dan beberapa saat kemudian, Reza datang
dengan menggandeng Diana. Kini, mereka terduduk berempat saling
berhadapan. Reza duduk bersama Diana di ranjang Diana, sedangkan
Bisma duduk berdua dengan Nanda di ranjang yang lain. Untuk sekian
menit Reza hanya diam, menata kata. Sementara Bisma dan Nanda saling
lirik, seolah bertanya satu sama lain apa yang sebenarnya akan
dikatakan Reza. Dianapun hanya diam di samping Reza, sambil sesekali
melirik kakaknya.
“Gini, Bii.” Ucap Reza, setelah
menghela nafas. “Gue tau lo pernah nggak suka kalau gue deketan
sama adek lo. Soalnya lo tau betul siapa gue. Dan itu wajar lo lakuin
karena lo sayang sama adek lo.” Sampai sini, Bisma sudah bisa
menebak apa yang akan dibicarakan Reza. Pemuda itu melirik Nanda yang
sekarang tersenum tipis, menatap ke arahnya. “Tapi mungkin lo juga
tau kalau belakangan ini gue udah banyak berubah. Gue udah berusaha
merubah sikap gue. Gue udah berusaha memperbaiki apapun yang rusak di
diri gue. Gue nyadarin kalau gue nggak sempurna. Dan kalau lo lihat,
mungkin nggak ada orang yang sempurna kan di dunia ini? Termasuk lo
ataupun gue.”
“Berbelit-belit deh lo, Za. To the
point aja kenapa sih?” Bisma tak sabaran mendengar ceramah panjang
lebar Reza.
“Kalau gue to the point, gue nggak
yakin kalau lo nggak bakal nolak gue mentah-mentah, Bii. Makanya gue
ceramah dulu biar lo nggak mencak-mencak. Siapa tau dengan ceramahan
gue, hati lo jadi adem dan nggak kalap.”
“Lo ngomong panjang lebar kayak gitu
malah bikin hati gue tambah nges-ngesan tau nggak?” Mendengar
perkataan Bisma itu, ceramahan Reza yang tadi telah tersusun rapi itu
mendadak ambyar dan mencelat kemana-mana. Bisma memilih to the point,
dan akhirnya Rezapun langsung ke topic.
“Gue cinta sama Diana. Gue pengen
Diana jadi pacar gue. Gue juga pengen serius sama dia. Jadi lo
siap-siap jadi kakak ipar gue ya,,, “ Tawa Nanda dan Bisma hampir
meledak melihat ekspresi Reza saat mengungkapkan kata-kata itu.
Melas, penuh permohonan, dan polooossss,,,, banget. Bisma nggak
nyangka kalau Reza bakal sepolos ini di depannya. “Gue serius.
Kalian malah ketawa kayak gitu.” Sungut Reza, saat dilihatnya Bisma
dan Nanda menahan tawa di depannya.
“Lanjutin.” Singkat Bisma, masih
dengan susah payah menahan tawanya.
“Gue tau lo nggak bakal ngelepasin
adek lo gitu aja buat gue. Tapi tolong, jangan minta yang aneh-aneh
ya, Bii. Lo boleh ngajuin syarat apa aja deh. Yang penting nggak yang
aneh-aneh.”
“Sebenarnya sih, gue tadi mau ngasih
Diana Cuma-Cuma. Tapi berhubung lo ngomong kayak gitu, berhubung lo
ngingetin gue kalau gue musti ngajuin syarat, jadi terpaksa gue mau
ngasih syarat buat lo.”
“Ah,, lo mah ,Bii. Gue nggak ngomong
kaya gitu juga pasti lo bakalan ngajuin syarat. Sok sok nuduh gue
salah ngomong lagi.” Reza kembali menggerutu.
“Sebenarnya lo ikhlas nggak sih, mau
jadi adik ipar gue?”
“Sebenarnya gue nggak ikhlas jadi
adek ipar lo, Bii. Tapi gue ikhlas banget jadi pacar Diana.” Reza
menggumam-gumam nggak jelas, hampir tak terdengar oleh siapapun.
“Apa lo bilang? Lo ngedumel lagi?”
“Enggak enggak, Bii. Iya. Gue ikhlas,
ikhlas banget.” Ujar Reza, geregetan. Dan melihat tampang tengil
Bisma yang sepertinya menemukan sesuatu yang menarik, Reza bisa
menebak kalau kemalangan sudah pasti akan menimpanya lagi. “Tuh,
kan. Tampang tengil lo udah keluar gitu, pasti deh mau nyiksa gue.”
Reza akhirnya kembali menggerutu. Bisma malah benar-benar tergelak
mendengar gerutuan Reza itu.
“Enggak, Za. Permintaan gue
normal-normal aja kok. Tenang aja.” Pemuda itu kembali tertawa
sebelum meneruskan kata-katanya. “Sebenarnya gue juga udah tau
kalau lo banyak berubah sih, Za. Awalnya gue emang agak was-was kalau
Diana deket-deket sama lo. Tapi sekarang, kayaknya gue mulai percaya
kalau lo adalah orang yang tepat buat Diana.” Ujar Bisma, mantap.
Dan sumpah demi apapun, hati Reza tengah bergoyang dombret di balik
dadanya. Reza girang bukan kepalang karena sepertinya, Bisma telah
benar-benar memberi lampu hijau pada Reza. Bahkan Bisma bilang kalau
Reza orang yang tepat buat Diana. Wajah Reza yang tampan kini tambah
berseri-seri karena perkataan Bisma, begitupun wajah manis di
sebelahnya.
“Jadi,,, lo ngerestuin kita nih?”
Seru Reza, begitu bersemangat.
“Eit,,, jangan seneng dulu. Gue tetap
masih punya syarat buat lo.” Meski Bisma bicara seperti itu, hati
Reza tetap terlonjak girang tanpa mau bergeming. Hati yang kini
tengah senang bukan kepalang itu seolah menari hula-hula meski
kemalangan tuannya telah siap menghadang di depan. Reza memang
senang. Kata ‘Orang yang tepat’ yang keluar dari mulut Bisma itu
membuat Reza tau kalau sebenarnya, Bisma juga senang karena adiknya
mendapatkan orang seperti Reza. Dan itu membuat hati Reza tak mau
berhenti berjingkrak-jingkrak.
“Lo mau tau syaratnya nggak? Jangan
senyam senyum aja lo.”
“Mau mau mau. Apapun syaratnya gue
lakuin deh.” Jawab Reza, masih dengan tersenyum kegirangan.
“Pertama, lo musti ngasih seluruh
cinta lo ke adek gue. Nggak boleh ada cewek lain selain adek gue. Dan
lo musti sayang sama dia. Jangan pernah bikin dia nangis.”
“Ok. Sanggup. Trus????”
“Trus lo musti ngelindungin adek gue.
Ngejaga adek gue. Kalau kalian lagi marahan trus dia lagi galau, lo
musti ngikutin dia kalau dia keluar dari asrama. Soalnya kalau lagi
galau kebiasaannya tuh jelek banget.”
“Suka ngelamun di jalanan ya? Iya gue
tau. Gue pasti jagain dia. Gue nggak bakal tinggalin dia. Gue janji.”
“Jangan asal janji aja lo. Sekarang
janji, ntar jangan-jangan adek gue dibikin nangis lagi.”
“Enggak, Bii. Enggak. Gue bakalan
tahan emosi gue deh, tenang aja. Lagian Diana juga selalu bisa
ngeredain emosi gue kok.”
“Ok. Gue pegang omongan lo.” Ujar
Bisma, serius. “Selanjutnya,,,,,mmmm,,,, apa ya?” Bisma tampak
berpikir sejenak. Lalu,,,,”Ah,,, gue tau.”
“Pasti permintaan nyeleneh.”
Bisma tertawa melihat raut muka Reza
yang tadinya tersenyum sumringah mendadak cemberut. “Nggak nyeleneh
kok. Gue Cuma pengen ditraktir sama lo. Lo musti nraktir gue sama
Nanda selama seminggu. Gimana?”
Fiuh,,, lega. Kirain syarat apaan. “Ok.
Baru juga seminggu. Sebulan juga gue mau dah. Cuma traktir doank.”
“Ya udah kalau gitu sebulan deh.”
Reza seketika melongo. “Lo mau bikin
gue bangkrut, Bii?”
“Katanya tadi sebulan juga mau.
Gimana sih?”
“Nggak jadi. Kalau sebulan mah, bisa
bangkrut beneran gue.”
“Dasar labil lo.” Bisma melempar
bantal dengan kesal ke arah Reza dan ditangkap oleh pemuda itu.
“Labil labil gini gue calon adek ipar
lo kali, Bii.” Pemuda itu tergelak, seraya mengangkat bantal di
tangannya untuk menutupi mukanya, takut Bisma melempar barang-barang
lagi ke arahnya.
“Iya deh iya, adek ipar. Mulai hari
ini, lo resmi jadi adek ipar gue dah.” Ucap Bisma, dan itu membuat
Reza semakin kegirangan.
“Jadi,,, gue boleh macarin adek lo
nih?” Reza bertanya dengan senyum sumringah.
“Iyeee,,,” Jawab Bisma.
Seketika, Reza menengok kepada Diana
yang juga tersenyum senang di sampingnya. Pemuda itupun meraih kedua
tangan Diana, dan menciumnya sangatttt lama. Lalu, ia raih tubuh
Diana dan ia dekap erat-erat. Dianapun membalas dekapan Reza itu,
tanpa mempedulikan kakaknya yang kini tengah tertegun mengawasi
mereka.
Tapi sepertinya Bisma tidak ada maksud
untuk mengusik mereka. Ia hanya diam memandangi kebahagiaan adiknya
itu tanpa komentar. Dan saat dirasanya Nanda tiba-tiba merangkul
tangannya, Bisma menengok kekasihnya itu. Nanda terlihat tersenyum
pada Bisma, seraya manggut-manggut, seolah membenarkan tindakan
Bisma. Dan melihat anggukan Nanda itu, Bisma juga ikut tersenyum. Ia
raih pundak Nanda, dan merangkul kekasihnya itu, lalu mengecup lembut
kepalanya. Kembali, mereka melihat adegan di depan mereka. Kini,
terlihat Reza tengah mencium kening Diana dengan penuh kasih sayang.
Beberapa saat kemudian, Reza kembali memeluk Diana.
“Ehm. Sebenarnya masih ada satu lagi
syarat yang musti lo penuhin sih, Za.” Ujar Bisma, membuyarkan
kemesraan di depannya. Seketika itu, Reza mengurai pelukannya dan
memandang ke arah Bisma. Tiba-tiba Ia mencium rasa tidak enak. Pasti
syarat paling rese nih. Batinnya.
“Apa itu?” Sahut Reza, dengan
tatapan menyelidik. Dan di depannya, Bisma tampak menahan senyumnya,
membuat Reza semakin curiga.
“Lo musti panggil gue kakak.” Bisma
berkata dengan jail, lalu menaik turunkan alisnya sambil terkekeh.
“Kakak?” Reza bertanya dengan muka
berkerut. “Kak Bisma gitu maksudnya?”
“Ya iyalah. Lo kan adek ipar gue.”
“Ihhh,,, apa banget deh lo, Bii.
Masa’ gue musti manggil lo kakak. Anak-anak bisa ngetawain gue Bii,
kalau gue manggil lo kakak.”
“Jadi nggak mau??”
“Bukannya nggak mau. Tapi,,, ah,,,
masa’ manggil lo kakak sih, Bii?”
“Kalau nggak mau ya udah, gue cabut
nih restu gue.”
“Ahh,,, lo mah.” Reza yang kini
mukanya tertekuk lagi itu menoleh ke samping, ke arah Diana. Dan di
sana, Diana terlihat mengangguk-anggukan kepala, tanda kalau Reza
memang harus menuruti kakaknya. Reza berdecak. “Lo jadi kelihatan
tua kalau gue panggil kakak, Bii.” Reza masih saja mencari alasan
karena tidak mau memanggil Bisma dengan sebutan kakak.
“Panggil gue kakak, atau restunya gue
cabut.”
“Issshhh,,,, lo mah.” Reza membuang
pandang, kesal dengan syarat terakhir yang diajukan Bisma. Pemuda itu
bisa membayangkan bagaimana anak-anak seasrama akan mentertawakan dia
kalau dia harus memanggil pemuda mungil ini dengan sebutan kakak. Ia
jadi bingung sendiri karena tidak ada pilihan. “Ya udah deh iya.
Gue panggil lo kakak.”
“Coba tes.” Dengan isengnya Bisma
meminta Reza mencoba panggilan barunya untuk dia itu. Dan dengan
ragu, Rezapun mengucapkannya.
“Hmmm,,,” Reza menghela nafas dulu
sebelum bicara. “Kak Bisma.” Ucapnya, setengah hati.
Dan seketika, tawa Nanda dan Bisma
meledak usai Reza mengucapkan dua kata itu. Reza semakin jengkel saja
karena dilihatnya, Dianapun tampak terkikik-kikik mentertawakan Reza.
“Tuh, kan. Kalian aja pada ketawa.
Apalagi anak-anak entar, Bii. Mereka pasti bakalan ketawa juga kalau
gue panggil lo kakak. Udah deh Bii. Syaratnya ganti aja. Gue malu,
Bii.”
“Malu kalau lo jadi adek ipar gue?
Kalau malu, ngapain lo mau macarin adek gue?”
“Bukan begitu, Bii. Gue malu manggil
lo kakak.” Sungut Reza, sambil manyun-manyun nggak jelas.
“Ya namanya juga adek, ya harus
manggil kakak donk. Lo nggak mau kan jadi adek durhaka?”
“Iya sih, Bii. Tapi masa’ manggil
lo kakak sih?” Reza masih ngedumel.
“Udah deh, nggak usah ngedumel kayak
gitu. Terima aja.” Ujar Bisma sekali lagi, masih sambil cekikikan,
membuat Reza semakin manyun.
Tapi meski manyun seperti itu,
sebenarnya Reza sangat bahagia malam ini. Bisma tidak mengajukan
syarat yang terlalu berat. Syarat paling berat hanya harus
memanggilnya kakak. Sebenarnya itu syarat berat juga sih, buat Reza.
Secara, Bisma itu sebaya dengan dia, teman akrab pula. Masa’
sekarang harus manggil kakak sih? Tapi mau bagaimana lagi? Daripada
restunya dicabut?
“Heuhh,,, masa’ Kak Bisma.”
Gerutu Reza sekali lagi.
‘* * * * *
Bersambung
By: Novita SN
No comments:
Post a Comment