Monday, August 19, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 62


Saking terlenanya dalam cinta kemesraan mereka, Bisma dan Nanda sampai tidak sadar kalau ternyata ada dua pasang mata yang tengah mengawasi mereka sedari tadi.

Ehm,,,,,” Si pemilik mata itu berdehem karena sudah gerah melihat adegan di depannya. Tapi setelah Bisma melirik ke arah pintu dan tau siapa orang yang memperhatikan mereka, Bisma hanya cuek. Ia tetap memeluk kekasihnya, tanpa punya niat untuk melepaskan. Sudah kepalang tanggung, jadi tontonan biarin aja jadi tontonan.

Kenapa? Kepengen, ngeliat gue mesra-mesraan sama pacar gue?”

Enggak. Ngapain gue kepengen. Gue juga bisa mesra-mesraan kayak gitu.” Orang yang ternyata adalah Reza itu segera meraih tubuh Diana yang ada di sampingnya, dan mencium pipi Diana begitu saja tanpa peduli dengan reaksi Bisma setelah itu. “Tuh kan gue juga bisa.”

Apaan sih Kak Reza. Main cium aja.” Diana berpura menolak, meski sebenarnya ada sesuatu rasa senang yang membuncah di hatinya ketika bibir Reza menempel di pipinya.

Apa-apaan lo, Za? Main cium adek gue kayak gitu? Nggak sopan amat jadi orang?” Kali ini Bisma bangkit, hendak menjitak kepala orang yang kini bersembunyi di balik tubuh Diana. Sebelum sampai di tempat kedua orang yang mengintipnya tadi, Bisma menyambar tisu di meja Diana, dan mengusap-ngusap pipi adiknya.

Bersihin pipi kamu, Dii. Ntar muka kamu jadi jerawatan lagi abis dicium sama cucunguk ini.” Suruh Bisma, sembari mengusap-usap pipi Diana dengan tisu di tangannya. “Denger ya, gue nggak mau kalau adik cantik gue mukanya jadi jerawatan gara-gara lo.” Akhirnya, sebuah jitakan benar-benar mendarat mulus di kepala Reza, membuat Reza mengaduh.

Sembarangan kalau ngomong lo, Bii. Emang di bibir gue ada bakterinya, apa?” Sungut Reza, sambil meringis-ringis dan mengusap kepalanya yang habis terkena jitakan dari Bisma.

Lo mau ngapain ikut-ikutan ke sini? Ganggu acara gue aja lo.”

Gue mau ngapelin Diana?”

Apa?”

Apanya yang apa? Masalah ya kalau gue ngapelin adik lo?”

Ya jelas masalahlah. Tadi pagi aja lo ngomel-ngomelin adek gue. Sekarang lo apel-apelin. Seenaknya aja lo merlakuin adek gue.” Reza hanya mengulum senyum mendengar Bisma mengungkit-ungkit masalah tadi pagi.

Bukan salahnya Kak Reza, Kakak.” Diana membela.

Kamu tuh ya. Udah diperlakuin seenak jidat begitu tapi masih tetep aja belain dia.”

Tapi emang bukan salahnya Kak Reza.” Diana masih keukeuh, membuat Bisma berdecak dan melempar pandang kepada pemuda yang kini tengah menyimpan senyum bangganya.
Bukan gue yang minta dibela. Tapi dia sendiri yang pengen belain gue.” Ujar Reza, melihat tatapan Bisma seolah menuduhnya.

Trus lo tadi ke sini beneran Cuma mau nemuin Diana?”

Salah satu tujuan gue sih itu. Tapi utamana enggak. Gue lagi tugas ngecek asrama putrid. Biasanya malam minggu sama malam senin kan perlu patrol. Takut ada yang mesuk di dalam asrama. Dan ternyata, gue bener-bener nemuin ada yang mesum.”

Emang lo tadi lihat kalau gue lagi mesum?” Ucap Bisma, kesal.

Kan gue nggak bilang kalau itu elo. Udah deh, nggak usah ribut lagi. Gini aja mendingan. Ijinin Diana nemenin gue keliling asrama putrid, dan gue bakalan ngebiarin lo di sini sama Nanda. Gimana?”

Lo nyuruh gue nuker kemesraan gue mala mini sama adek gue?”

Bukannya gitu. Kan kita jadinya sama-sama enak. Kalau istilah IPAnya simbiosis mutualisme gitu. Daripada Diana di sini bengong aja kayak orang bego nungguin lo? Pasti dia lebih happy kalau keliling asrama bareng gue. Iya kan, Dii?” Diana tak menjawab. Ia hanya menatap mata Bisma, memohon kepada kakaknya lewat tatapan mata itu. “ Tenang aja, Bii. Diana nggak bakalan gue apa-apain. Percaya deh sama gue.”

Gue mau percaya gimana? Tadi pagi aja gue abis denger lo ngomelin dia. Trus tadi di depan gue lo berani nyium-nyium dia. Gue mau percaya gimana coba. Siapa yang bisa jamin kalau lo nggak bakal ngelakuin apa-apa sama dia kalau di depan gue aja lo berani kayak gitu?”

Diana jaminannya, Kak. Diana janji nggak bakal mau diapa-apain sama Kak Reza.”

Jadi kamu beneran pengen ikut dia?” Mendengar adiknya mengiba, Bisma akhirnya tak tega juga. Dan di depannya, Dianapun mengangguk ragu. Tatapan Bisma kini beralih kepada Nanda yang kini telah berdiri di sampingnya, seolah meminta pendapat kepada kekasihnya itu. Tapi, Nanda hanya tersenyum sambil angkat bahu.

Ya udah deh.”Ucap Bisma, pada akhirnya. “Tapi lo musti ngembaliin Diana ke sini dalam keadaan utuh ya, Za. Awas kalau adek gue sampai kenapa-kenapa.”

Tenang, Bii. Gue juga bukan manusia kanibal kali. Nggak bakalan gue memutilasi adek lo.” Canda Reza, seraya menggandeng tangan Diana untuk diajaknya keliling asrama. “Ntar selesai keliling gue kembali ke sini. Kita balik ke asrama bareng aja ntar ya.” Seru Reza setelah ia melangkah beberapa meter.

Bisma hanya memandang kedua insan di depannya tanpa komentar. Ia biarkan saja tangan Diana digandeng oleh Reza, karena dilihatnya, Diana begitu senang, bercanda, tertawa dengan Reza. Mereka tampak bahagia, seolah tak ada beban di hati mereka.

Nanda mendekati Bisma yang masih tertegun di tempatnya kemudian. Begitu sampai di dekatnya, Nanda ikut memandang jauh, di depan Bisma.

Apa kamu mau mulai mempertimbangkan Reza jadi adik ipar kita?”

Kayaknya emang nggak ada salahnya kan?!”

Memang tidak ada salahnya kalau Bisma membiarkan adiknya dekat dengan Reza. Reza pemuda yang baik. Bertanggung jawab. Dari segi otak, dia juga tidak terlalu bodoh. Dia juga bukan orang sembarangan. Pengurus senat mahasiswa. Bukankah memang orang-orang yang ikut dalam pengurus organisasi paling bergengsi seantero kampus itu adalah orang-orang pilihan? Nggak mungkin kan kalau mahasiswa pemalas, dapat menembus kursi kepengurusan dalam organisasi itu?

Kalau soal kemarahan Reza tadi pagi, mungkin karena itu efek kekesalannya saja. Dan mungkin memang adiknya yang salah. Sebab, berkali-kali Diana bilang kalau dia yang salah. Memang agak nggak ikhlas sih, kalau ada orang yang marah-marah begitu pada adiknya. Tapi sepertinya, meski dikeselin seperti itu, Diana sepertinya tetap senang-senang saja bersama Reza. Dan itu cukup membuat Bisma tau kalau memang Reza yang bisa membahagiakan Diana. Lagi pula, Reza adalah sahabatnya. Kebersamaan mereka di dalam satu asrama, dengan kamar yang berdekatan membuat Bisma banyak tau tentang pemuda itu. Dan Bisma pikir, Reza kini telah banyak berubah.

Dulu hanya satu yang Bisma pertimbangkan saat ia meminta adiknya untuk menjauhi Reza, yaitu kebiasaan buruknya yang playboy. Tapi bukankah sekarang Reza tak mempunyai pacar satu orangpun. Dia telah benar-benar membuktikan kata-katanya waktu itu. Dia benar-benar memutuskan pacar-pacarnya. Dan dia bilang itu karena Diana. Karena dia mulai merasakan cinta pada adik Bisma.

Bisma masih memperhatikan Diana dan Reza yang berjalan beriringan. Mereka masih menyelipkan canda pada langkah mereka.

Nda, ada lagu kamu tuh.” Ujar Bisma saat gendang telinganya menangkap sayup-sayup suara lagu milik Hello yang dinyanyikan Nanda waktu itu. “Dansa yuk.”

Dansa? Disini?”

Iya.”

Kamu pengen jadi tontonan orang seasrama?”

Biarin aja. Kalau mereka ngomongin kita, pasti Cuma karena mereka iri kamu bisa dapet pacar seganteng aku.” Bisma tergelak, membuat Nanda kembali mencibir. Bisma meraih tubuh di depannya kemudian, dan benar-benar mengajak Nanda berdansa tanpa mempedulikan berpasang-pasang mata yang tengah mengawasi mereka. Di depan kamar Diana itu, mereka terus bermesraan sambil menyenandungkan lagu yang paling bersejarah dalam cinta mereka.

Nda, aku bakal buktiin cinta aku ke kamu biar kamu benar-benar yakin dengan cintaku, dan nggak akan pernah ragu lagi.” Ujar Bisma, di sela dansanya.

Mau kamu buktiin dengan cara apa?”

Dengan lamaranku.”

Ha???” Nanda malah melongo dan menghentikan dansanya.

Kenapa? Nggak mau?”

Masih terlalu dini, Bisma.” Jawabnya, kemudian kembali melanjutkan dansanya. “Aku belum mau menikah.”

Dilamar kan belum tentu menikah.”

Nanda menghentikan dansanya lagi. “Masa’ sudah dilamar nggak mau dinikahin?” Kali ini dahinya mengernyit.

Maksudnya kita tidak langsung menikah. Kita bisa bertunangan, dan menikah beberapa tahun lagi setelah kamu siap.”

Jangan macam-macam. Ibuku pasti shock kalau melihat kamu tiba-tiba ngelamar aku.”

Shock kenapa? Karena dapet menantu kece kayak aku?”

Aku serius, Bisma. Jangan lakukan itu sekarang. Aku belum siap.”

Apa itu artinya kamu menolak lamaranku?”

Bukan menolak. Hanya menunda. Dan akan aku terima kalau saatnya sudah tepat.”

Masa bodoh. Aku akan tetap meminta orang tuaku untuk datang ke rumahmu dan memintamu dari orang tuamu.” Bisma mengangkat tubuh Nanda kemudian, dan membawanya berputar-putar. Ia tampak sangat bahagia. Gadis dalam bopongannya pun tak bisa menyembunyikan rona kebahagiaannya. Ia tergelak-gelak dalam bopongan Bisma. Dan di petang itu, mereka benar-benar menikmati cinta mereka yang kini menghangat kembali.

Mereka tak menyadari kalau jauh di belakang mereka ada sepasang mata basah yang tengah mengawasi mereka. Mata basah itu menyorot tajam, menggambarkan hatinya yang bercampur aduk antara marah, kesal, cemburu, dan sakit. Tangannya mengepal, mencoba memberikan kekuatan kepada tubuhnya yang seakan melemas. Dan saat tubuh itu hampir terhuyung, tiba-tiba ada seseorang yang menopang tubuh itu.

Nggak usah dilihat kalau itu bikin hati lo sakit.” Ujar pemuda itu, seraya mengeratkan pegangan tangannya di lengan gadis yang hampir ambruk itu. Gadis itupun memutar tubuhnya, dan menyembunyikan kepalanya di dada pemuda yang menghampirinya.

Nggak tau kenapa hati gue sakit banget, Am.” Ujarnya, dengan terisak di dada Ilham. Dan Ilham, dia tak berkata apapun lagi. Hanya dekapan hangat yang bisa ia berikan sebagai rasa simpatinya kepada gadis itu untuk saat ini. Hatinya pun sakit, sesakit gadis di dalam dekapannya. Selain karena ikut merasakan kepedihan hati gadis itu, Ilham juga merasa sakit karena sampai sekarangpun, hati gadis itu ternyata belum juga bisa ia ambil dari pemuda yang membuat gadis itu menangis seperti ini.

Kapan lo mau lihat gue, Sya??” Batinnya, pedih. Ia lirik kedua sejoli yang kini masih saja saling tertawa bahagia di ujung sana. Dan melihat adegan itu, hati Ilham seakan teriris. Kesal, iri, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Ini memang bukan sepenuhnya salah Bisma. Kawannya itu telah menjelaskan kepada gadis yang di dekapnya ini. Hanya saja, gadis ini telah terlalu jauh terperangkap dalam pesonanya Bisma. Jadi kalau sudah seperti ini, siapa yang mau disalahkan? Entahlah.

Ilham mengeratkan pelukannya, saat dirasanya, tubuh dalam dekapannya terguncang-guncang karena tangisnya. Ia belai lembut kepala Raisya, mencoba memberi ketenangan pada gadis yang sebenarnya ia cintai itu. Sekali lagi, ia melirik Bisma yang tengah tertawa bersama Nanda. “Suasananya kontras banget.” Batin Ilham lagi.

* * * * *
Morgan tertegun di kamarnya dengan muka muram. Ia bingung harus bagaimana menjelaskan kepada orang tua Afra kalau Afra sampai hamil. Pasalnya, orang tua Afra sangat percaya padanya sejak pertama kali Morgan mendekati Afra. Mereka percaya kalau Morgan anak yang baik, dan tak akan mungkin berbuat macam-macam pada anaknya. Tapi sekarang, Morgan telah menodai Afra. Dia telah mengkhianati kepercayaan orang tua Afra. Meski sebenarnya itu bukan sepenuhnya kemauan dia, tapi kesucian Afra benar-benar telah hilang. Dan itu karena dia.

Morgan menghela nafas dalam-dalam. Pikirannya melayang pada ingatan di saat ia mengantarkan Afra pulang tadi. Afra yang memang shock dan tak mau bicara sama sekali dengannya itu hanya masuk rumah begitu saja tanpa memperdulikan Mama dan papanya yang saat itu tengah bersantai di teras depan. Dan karena itu, kedua paruh baya yang telah menganggap Morgan seperti anak sendiri itu menanyai Morgan.

Kalian marahan?” Mamanya Afra yang bertanya. Dan Morgan hanya mengulum senyum tanpa menjawab. Tapi tanpa jawabanpun, Mamanya Afra tau kalau jawaban Morgan itu iya. “Afra ngambek sama kamu?”

Eumm,,,, itu karena Morgan salah tante.”

Kamu tuh emang beneran anak baik ya. Mau ngakuin kesalahan kamu kayak gitu? Kalau emang kamu salah, ntar jelasin aja ke Afra baik-baik. Tante yakin kamu nggak bermaksud ngelakuin kesalahan itu.” Ujar Mamanya Afra, lembut dengan menyunggingkan senyumnya. Dan senyum Mamanya Afra itu semakin membuat hati Morgan merasa sangat bersalah. Kalau seandainya beliau tau apa yang sebenarnya terjadi, apa dia akan tetap bilang kalau Morgan anak yang baik?

Lagi-lagi, Morgan menghela nafas dalam. Pemuda itu semakin frustasi saat mengingat Afra yang benar-benar shock karena kejadian itu. Bahkan tadi pagi, Afra mengurung dirinya di kamar mandi selama hampir dua jam untuk membersihkan dirinya. Dan karena khawatir dengan keadaan Afra, Morgan sampai nekat mendobrak pintu kamar mandi itu. Dan di dalam, ia melihat Afra yang terbungkus selimut tengah terduduk di bawah shower dengan tangis berderai-derai bercampur dengan air yang mengucur dari shower. Saat itu, bibir Afra telah membiru karena dinginnya air puncak yang menyiram tubuhnya.

Bahkan saking shocknya, Afra sampai tak peduli dengan Morgan yang membopongnya ke ranjang, dan mengganti bajunya. Saat itu, Morgan hampir mati karena diserang kekhawatiran dan rasa bersalah yang mendalam. Jadi saat mengganti baju Afra, pikiran omes sama sekali tak mampir di kepalanya. Yang ia pikirkan hanyalah membuat Afra hangat dengan bajunya, dan membuat gadis itu tenang. Tapi apa yang terjadi? Afra masih terus menangis tanpa mau bicara sama sekali. Dan itu membuat perasaan Morgan semakin tak karu-karuan.

Aku mau pulang.” Hanya tiga kata itu yang tadi sempat keluar dari mulut Afra. Dan akhirnya, Morgan membatalkan niatnya untuk menyusul keluarganya ke villa yang mereka gunakan untuk liburan.

Sempat mamanya Morgan bertanya kenapa mereka buru-buru pulang tanpa ketemu sama keluarganya seperti itu. Sebab, Bian dan istrinya ingin sekali bertemu Afra. Tapi Morgan tak menjawab. Ia belum berani menjelaskan kepada siapapun tentang kejadian semalam.

Dan dalam perjalanan pulang itu, Afra sama sekali tak bicara. Bahkan saat Morgan mengajaknya mampir untuk makan siang di sebuah rumah makanpun, Afra tetap bergeming di tempat duduknya. Tanpa berbicara, tanpa bergerak, hanya menatap kosong ke arah depan dengan wajah datar. Mengingat wajah datar itu, batin Morgan kembali seperti dicambuki.

Arrggghhh,,,, apa yang musti gue lakuin???” Geramnya, sambil menjambak rambutnya sendiri. Dan saat itu, tiba-tiba ada orang yang menyeruak masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi lagi.

Morgan masih tak sadar kalau ada wanita paruh baya yang menyambangi kamarnya, karena frustrasi yang melandanya. Wanita paruh baya yang ternyata adalah Tante Mella mamanya Morgan itupun mendekati anaknya yang terduduk di ranjang dalam keadaan acak-acakan itu.

Morgan?” Dengan wajah khawatir, Tante Mella menghampiri Morgan, dan duduk di sisi kanan anaknya. “Kamu kenapa?” Tanyanya kemudian.

"Mama???" Morgan tampak kaget melihat mamanya sudah terduduk di sampingnya.

"Kamu kenapa??" Sekali lagi, tante Mella bertanya.

Morgan diam tak menjawab. Hanya hembusan nafas berat yang membuat Tante Mella tau kalau anak keduanya itu tengah ada masalah saat ini.

"Kamu kenapa? Ngomong sama Mama."

Masih tak ada jawab hingga beberapa menit berselang. Hingga kemudian, Tante Mella meraih kepala anaknya dan memeluk Morgan dengan penuh kasih sayang. Baru setelah mendapat pelukan Mamanya, pemuda itu mau membuka mulutnya yang beberapa saat terkunci.

"Semalem Morgan ngelakuin kesalahan fatal, Ma." Rintih Morgan, di pelukan sang mama.

"Kesalahan fatal? Maksud kamu apa?"

"Afra, Ma."

"Afra?" Tante Mella mengurai pelukannya, dan memperhatikan wajah putranya yang kini tertunduk. "Ada apa sama Afra? Cerita sama Mama."

Memang sedikit ada keraguan di hati Morgan untuk terbuka tentang apa yang terjadi semalam kepada mamanya. Tapi karena ia sudah tidak tahan memendam masalah itu sendirian, dan ia juga memang perlu solusi untuk masalahnya itu, akhirnya Morgan bercerita juga pada mamanya.

Pemuda itu menceritakan secara gamblang apa yang terjadi sama mereka mulai dari perjalanan mereka ke Bandung, sampai ia mengantarkan Afra ke rumahnya. Dan dalam ceritanya, Morgan mengaku tidak tau apa yang menyebabkannya bisa kebablasan sampai merenggut kesucian Afra seperti itu. Ia juga tidak tau kenapa dia tidak bisa menahan hasratnya. Padahal biasanya, dia tidak pernah merasa sampai seperti itu. Dan yang lebih membuatnya bingung lagi, kenapa Afra bisa seagresif itu semalam.

Morgan memang sampai sekarang belum tau tentang teh itu. Saat mereka mau pulang, Pak Marwan memilih bungkam daripada harus diomeli apalagi sampai dipecat. Jadi, Pak Marwan memilih untuk merahasiakan tentang teh itu.

"Kamu harus tanggung jawab, Gan." Ujar Tante Mella, di ujung cerita Morgan.

"Iya, Ma. Morgan tau. Morgan pasti mempertanggung jawabkan apa yang udah Morgan lakuin. Lagian Morgan juga cinta banget sama Afra. Nggak mungkin Morgan ninggalin dia. Tapi masalahnya, gimana caranya Morgan ngejelasin sama orang tuanya Afra? Mereka pasti kecewa banget sama Morgan. Mereka udah percaya banget sama Morgan, Ma."

"Gimana kalau kalian menikah aja sebelum Afra terlanjur hamil? Mereka pasti akan lebih menerima kamu kalau kamu menikahi anaknya, daripada mereka harus tau kalau kamu udah menodai anaknya."

"Papanya nggak ngijinin Afra untuk menikah sebelum Afra lulus kuliah, Ma. Lagian Afra juga nggak pengen nikah muda."

"Trus gimana donk? Ntar kalau Afra sampai hamil, urusannya malah tambah ribet lho."

"Justru itu yang membuat Morgan bingung, Ma. Apalagi sekarang Afra shock banget. Diajakin ngomong nggak bisa. Jadi Morgan juga nggak bisa nanyain dia apa yang dia mau sekarang."

"Afra nggak mau bicara sama kamu?"

"Sama sekali nggak mau, Ma. Dia shock berat. Abis kejadian itu, dia cuma diem aja kayak patung. Sampai sekarang aja dia nggak mau ngangkat telponnya Morgan." Pemuda itu semakin terlihat frustrasi saat mengingat kekasihnya yang sampai sekarang memang tidak mau diajak bicara.

Melihat guratan resah, rasa bersalah,dan rasa khawatir, yang tercampur aduk di wajah anaknya, Tante Mella jadi iba. Dan dari wajah itu, Tante Mella percaya sepenuhnya bahwa Morgan memang tidak sengaja melakukan perbuatan laknat itu. Sekali lagi, Tante Mella meraih tubuh anaknya, dan memeluknya.

"Nanti Mama coba bicara sama papa kamu. Kita cari solusinya sama-sama."

"Jangan Ma. Jangan ngomong sama Papa dulu. Papa pasti bakalan mencak-mencak kalau tau Morgan kebablasan kayak gitu."

"Nanti Mama ngomongnya pelan-pelan, biar papa kamu ngerti dan percaya kalau kamu nggak bermaksud ngelakuin semua itu." Ujar Tante Mella, dengan penuh kelembutan. Wanita paruh baya itu kemudian mengurai pelukannya, dan menangkup kedua pipi Morgan, hingga mereka saling berhadapan. "Pokoknya kamu tenang aja. Semua masalah pasti ada solusinya."

"Terima kasih, Ma. Terima kasih udah percaya sama Morgan." Tante Mella tersenyum mendengar ucapan terimakasih dari anaknya itu, lalu menganggukkan kepalanya. Dan kembali, Tante Mella memeluk putranya, mencoba memberi ketenangan lewat pelukannya.


* * * * *

Reza mengajak Diana duduk berdua di sebuah bangku taman asrama putri usai berkeliling. Meski hanya dibantu oleh cahaya temaram yang dipancarkan oleh lampu taman, Reza tetap bisa menikmati kecantikan wajah di sampingnya itu. Wajah itu,,, ah Reza juga tidak tau apa yang istimewa di wajah itu. Ia telah banyak bertemu dan berhubungan dengan wanita cantik, bahkan ada yang lebih canti dari wajah milik orang yang terduduk di sampingnya itu. Tapi baru wajah ini yang berhasil membuat matanya kecanduan. Tak hanya wajahnya, tapi semua yang ada pada diri orang di sampingnya itu nyaris menjadi candu yang memabukkan untuk Reza.

“Kak Reza?? Hello,,, Kak Reza???” Sebuah tepukan di pipi Reza dari tangan halus milik Diana menyentakkan lamunan Reza. “Kok ngeliatin Diananya gitu amat sih? Ada yang aneh sama muka Diana ya?” Ujar Diana, dengan muka polos. Gadis itu kemudian menangkup mukanya sendiri, takut kalau ada yang tidak beres pada mukanya.

“Iya. Wajah kamu memang aneh.” Tatapan Reza masih belum beralih dari wajah itu. “Aneh karena bisa bikin hati Kak Reza jadi cenat cenut kayak gini.” Ucapan Reza itu ternyata membuat Diana tersipu.

“Ngegombal aja kerjaannya.” Gadis itu menahan senyumnya. Untung lampu di taman tidak terlalu terang. Jadi merah di pipi Diana tidak terlalu ketara.

“Kak Reza nggak lagi ngegombal. Cuma ngerayu.”

“Ngegombal sama ngerayu itu sebelas dua belas Kak Reza,,,,” Protes Diana, kali ini benar-benar tak bisa menahan senyumnya. Reza pun telah terkekeh di samping Diana.

Suasana kembali hening untuk sesaat, karena Reza memilih untuk menikmati senyum manis Diana yang benar-benar menerbangkan angannya itu. Senyum yang tadi pagi hampir saja terhapus oleh mendung yang diakibatkan oleh dirinya sendiri.

Mengingat kejadian tadi pagi, Reza jadi kesal sendiri. Kenapa dia harus berbicara dengan keras kepada Diana seperti itu? Ia tidak seharusnya kasar pada Diana. Tapi cemburu buta membuatnya hilang kendali. Ia bahkan tak ingat kapan kepalanya mulai memanas. Tau-tau, hatinya sudah dongkol dan tersulut api. Dan itu karena Dicky. Ah,,, Dicky. Teman Diana itu memang sering membuat hati Reza memanas. Meski berulang kali Diana bilang kalau tidak ada apapun antara Diana dengan Dicky, tapi Reza tidak yakin kalau tidak ada apapun di hati Dicky untuk Diana. Walabagaimanapun, Dicky itu lelaki. Lelaki normal seperti Reza. Dan Reza bisa menangkap dari gelagat Dicky kalau ada sesuatu di balik hati Dicky. Raut muka kesal Dicky tiap kali melihat Diana bersama Reza bukan tanpa alasan. Dan Reza yakin, alasan dari setiap kesalnya Dicky itu karena rasa di dalam hatinya untuk orang yang Reza cintai ini.

Makanya tadi pagi sewaktu Diana mengaku kalau ternyata Diana mengacuhkan Reza hanya karena tengah telpon-telponan dengan pemuda menyebalkan itu, hati Reza langsung mendidih, dan emosinya tak dapat dikontrol lagi. Mungkin juga karena efek dongkolnya semalam. Tapi mendengar pengakuan Diana siang tadi, Reza jadi tau kalau di hati Diana tidak menyimpan apapun untuk Dicky. Dan dari setiap kalimat Diana yang terdengar mengiba padanya, Reza tau kalau virus merah jambu yang melanda hati Diana hanyalah untuknya. Bukan untuk Dicky, atau lelaki manapun.

Tapi meskipun Reza telah benar-benar yakin kalau ada cinta di hati Diana untuknya, dan iapun yakin kalau Diana tau di hati Reza ada cinta untuk Diana, Reza tetap ingin menyatakan cintanya, biar semuanya jelas. Hubungan mereka yang mereka jalin tanpa status ini harus dibuat status yang jelas agar tidak ada keraguan lagi. Mungkin sekarang Diana akan tetap teguh pada cintanya untuk Reza. Tapi bukan tidak mungkin suatu saat gadis itu akan gamang dengan cintanya karena Reza tak pernah memperjelas hubungan mereka.

Maka dari itu, malam ini Reza bertekad untuk mengakhiri HTSnya dengan Diana, dan ingin mengganti status hubungan mereka agar lebih jelas. Sesiangan tadi, pemuda itu telah berpikir dan memutuskan. Harus malam ini. Kalau tidak cepat-cepat, dia akan kecolongan start. Dan akhirnya, perjuangannya selama ini akan sia-sia. Tiba-tiba, bayangan kesialanannya beberapa waktu lalu berseliweran di benaknya. Ditampar cewek, di siram jus, ditumplekin mie, ah,,,, dia tidak ingin semuanya itu sia-sia. Tak terbayangkan bagaiman frustrasinya Reza kalau seandainya setelah perjuangan Reza itu, tiba-tiba Diana malah jatuh ke tangan Dicky.

“Kenapa Dicky lagi?” Batin Reza, karena sedari tadi pemuda itu parno sendiri tiap kali mengingat Diana telponan dengan Dicky.

Setelah lama saling diam, Reza diam-diam meraih tangan Diana dan menggenggamnya. “Dii,,, “ Ucapnya, membuat Diana menoleh ke arahnya. Kini, mereka saling berhadapan. “Mungkin suasananya memang kurang romantis, tapi Kak Reza nggak bisa cari tempat yang lebih romantis lagi selain taman ini.” Dahi Diana mengernyit. Tapi gadis itu tak berbicara apapun karena ia ingin menunggu perkataan Reza selanjutnya.

“Dii, mungkin tanpa Kak Reza ngomongpun kamu tau apa yang ada di hati Kak Reza buat kamu. Tapi Kak Reza tetap pengen ngomong sama kamu Dii. Biar kamu tau lebih jelas isi hati Kak Reza.” Pemuda itu sedikit memberikan jeda. “ Kak Reza cinta sama kamu, Dii. Kak Reza sayang sama kamu. Dan,,, I want you to be my girl, to be my special girl, to be my spirit, my inspiration, to be my everything. Karena Cuma kamu yang bisa membuat hati Kak Reza tenang, Dii. Mungkin Kak Reza nggak sempurna. Sejarah cintanya Kak Reza juga parah banget. Tapi itu Kak Reza lakuin karena Kak Reza pengen nyari sosok yang kayak gini, Dii. Yang kayak kamu. Dan Kak Reza udah nemuin. Jadi Kak Reza pengen kamu selalu ada di sisi Kak Reza selalu. Untuk nyemangatin Kak Reza. Untuk nenangin hati Kak Reza. Untuk jadi seseorang yang special buat Kak Reza.” Kata Reza, dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Kedua tangannya masih erat menggenggam kedua telapak tangan Diana, dengan mata yang menatap mata berlian Diana yang kini tampak menyorot padanya tanpa kedip. Tubuh Dianapun mendadak menjadi patung.

“Dii????” Gumaman Reza itu menyentak Diana yang sesaat terpaku.

Kalau boleh jujur, sebenarnya belakangan ini Diana memang agak meragukan cinta Reza untuknya. Pasalnya, pemuda itu tak pernah mengungkapkan apapun padanya. Pernah terlintas di pikiran Diana kalau mungkin Reza itu hanya menganggapnya adik, tidak lebih. Tapi entah apa yang membuat Diana selalu yakin kalau pikirannya itu salah. Dan malam ini, sekarang ini, Reza benar-benar membuktikan kalau apa yang Diana pikirkan itu salah. ‘I want you to be my girl’ Kata-kata Reza itu mengiang di telingan Diana. ‘To be my special girl’ Diana jadi tersanjung mengingat kata-kata Reza itu. Dan saat disadarinya kalau dia harus menjawab, Diana langsung menghela nafas, mencoba menghalau debar yang memenuhi ruangan di balik dadanya.

“Mungkin Kak Reza juga udah tau apa yang ada di hati Diana untuk Kak Reza. Diana juga cinta sama Kak Reza. Diana juga sayang sama Kak Reza. Bahkan sebelum Kak Reza ngerasain cinta ke Diana. Tapi,,,”

“Tapi kenapa????” Sahut Reza, tidak sabaran. Tadi, hatinya hampir berteriak girang mendengar kata cinta Diana. Tapi saat kata ‘Tapi’ itu meluncur di ujung kalimat Diana, tiba-tiba Reza mencium perasaan tak enak.

“Tapi kalau mau macarin Diana, Kak Reza musti ngomong dulu sama Kak Bisma.” Tuh, kan benar ada yang bikin nggak enak hati. Batin Reza menggerutu.

“Ngomong dulu? Minta ijin maksudnya?” Diana mengangguk. “Harus ya?” Reza sudah parno duluan membayangkan wajah sangar Bisma setelah ia mengutarakan maksudnya nanti.

“Harus. Walaubagaimanapun, Kak Bisma itu kakaknya Diana. Dan Diana nggak pengen kalau nanti hubungan pacarnya Diana sama Kakaknya Diana nggak baik. Jadi siapapun yang pengen jadi pacarnya Diana, harus berani ngomong dan berhubungan baik sama Kak Bisma, kakaknya Diana. Artinya, kalau Diana mau pacaran, harus ada restu dulu dari Kak Bisma.”

“Dii, kayaknya Kak Reza mendingan ngomong sama mama papa kamu aja deh Dii, daripada sama Bisma.” Reza beneran parno. “Lagian hubungannya Kak Reza sama kakak kamu juga udah baik kok. Percaya deh.”

Diana ngotot tetap menggeleng. “Pokoknya Kak Reza musti ngomong sama Kak Bisma dulu.”

Akhirnya Reza menyerah, dan bilang Ok. Sebenarnya bukannya kenapa-kenapa. Bisma yang kadang-kadang tengil itu pasti ntar minta yang aneh-aneh sebelum ia benar-benar merestui hubungannya dengan Diana. Dan Reza tidak mau Bisma mengerjainya. Anak itu, kalau keluar tengilnya, pasti sukanya ngerjain orang. Masih mending kalau dia Cuma suruh nraktir makan. Kalau suruh ngelakuin yang lebih aneh lagi kan bikin kemalangan Reza bertambah saja. Tapi sepertinya, kemalangan Reza untuk mendapatkan Diana memang belum cukup. Ia masih harus dihadang oleh kemalangan yang akan ditimbulkan Bisma nantinya. Kalau soal restu, sebenarnya Reza sudah bisa menebak kalau kakaknya Diana itu sekarang telah lebih lunak. Terlihat dari sikapnya yang tadi tak berkomentar apapun saat Reza menggandeng tangan Diana. Kalau memang Bisma masih belum ikhlas dengan kedekatan Reza dengan Diana, pemuda itu pasti bakal mencak-mencak seperti waktu itu.

“Mudah-mudahan, tuh anak nggak reseh sama gue.” Batin Reza, seraya mengeluarkan ponselnya. Pemuda itu sibuk mencari-cari nomor, kemudian menempelkan benda mungil itu ke telinganya.

“Telpon siapa,Kak?”

“Kakak kamu. Pengen tau di mana dia sekarang. Kak Reza pengen ngomong sama dia sekarang.”

“Nggak perlu sekarang kali, Kak. Masih banyak waktu.”

“Nggak mau. Takut kamu malah diambil orang.”

“Mau diambil sama siapa?”

“Tuh, Si Dicky tiap hari nelpon kamu.” Diana terkesiap saat Reza masih saja membahas Dicky. Tapi sebelum ia membuka mulut untuk protes, ternyata telepon telah tersambung. Alhasil, Diana menelan kata-katanya kembali.

“Bii, lo di mana?”

“Masih di kamar Diana. Kenapa?”

“Lo tunggu di situ. Gue mau ngomong sama lo.” Klek. Reza segera mematikan HPnya, sebelum mendengar tanggapan Bisma. Dan buru-buru, pemuda itu meraih tangan Diana untuk diajaknya menemui Bisma.

“Mumpung masih ada Nanda. Kakak iparmu itu pasti bakal bantuin Kak Reza ngomong sama Kakak kamu.” Gumam Reza di sela langkahnya menuju kamar Diana.

‘* * * * *

“Beneran nggak sopan nih Si Reza. Telpon main dimatiin aja.” Gerutu Bisma, saat Reza mematikan ponsel seenaknya. “Mau ngomong apa lagi ya nih anak? Jangan-jangan ada apa-apa sama Diana.”

“Jangan negative thinking donk, Bii. Reza tuh bakalan ngejagain Diana sebaik mmungkin. Percaya deh sama aku.” Nanda yang menggelendot manja di lengan Bisma itu tampak menenangkan kekasihnya.

Dan beberapa saat kemudian, Reza datang dengan menggandeng Diana. Kini, mereka terduduk berempat saling berhadapan. Reza duduk bersama Diana di ranjang Diana, sedangkan Bisma duduk berdua dengan Nanda di ranjang yang lain. Untuk sekian menit Reza hanya diam, menata kata. Sementara Bisma dan Nanda saling lirik, seolah bertanya satu sama lain apa yang sebenarnya akan dikatakan Reza. Dianapun hanya diam di samping Reza, sambil sesekali melirik kakaknya.

“Gini, Bii.” Ucap Reza, setelah menghela nafas. “Gue tau lo pernah nggak suka kalau gue deketan sama adek lo. Soalnya lo tau betul siapa gue. Dan itu wajar lo lakuin karena lo sayang sama adek lo.” Sampai sini, Bisma sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan Reza. Pemuda itu melirik Nanda yang sekarang tersenum tipis, menatap ke arahnya. “Tapi mungkin lo juga tau kalau belakangan ini gue udah banyak berubah. Gue udah berusaha merubah sikap gue. Gue udah berusaha memperbaiki apapun yang rusak di diri gue. Gue nyadarin kalau gue nggak sempurna. Dan kalau lo lihat, mungkin nggak ada orang yang sempurna kan di dunia ini? Termasuk lo ataupun gue.”

“Berbelit-belit deh lo, Za. To the point aja kenapa sih?” Bisma tak sabaran mendengar ceramah panjang lebar Reza.

“Kalau gue to the point, gue nggak yakin kalau lo nggak bakal nolak gue mentah-mentah, Bii. Makanya gue ceramah dulu biar lo nggak mencak-mencak. Siapa tau dengan ceramahan gue, hati lo jadi adem dan nggak kalap.”

“Lo ngomong panjang lebar kayak gitu malah bikin hati gue tambah nges-ngesan tau nggak?” Mendengar perkataan Bisma itu, ceramahan Reza yang tadi telah tersusun rapi itu mendadak ambyar dan mencelat kemana-mana. Bisma memilih to the point, dan akhirnya Rezapun langsung ke topic.

“Gue cinta sama Diana. Gue pengen Diana jadi pacar gue. Gue juga pengen serius sama dia. Jadi lo siap-siap jadi kakak ipar gue ya,,, “ Tawa Nanda dan Bisma hampir meledak melihat ekspresi Reza saat mengungkapkan kata-kata itu. Melas, penuh permohonan, dan polooossss,,,, banget. Bisma nggak nyangka kalau Reza bakal sepolos ini di depannya. “Gue serius. Kalian malah ketawa kayak gitu.” Sungut Reza, saat dilihatnya Bisma dan Nanda menahan tawa di depannya.

“Lanjutin.” Singkat Bisma, masih dengan susah payah menahan tawanya.

“Gue tau lo nggak bakal ngelepasin adek lo gitu aja buat gue. Tapi tolong, jangan minta yang aneh-aneh ya, Bii. Lo boleh ngajuin syarat apa aja deh. Yang penting nggak yang aneh-aneh.”

“Sebenarnya sih, gue tadi mau ngasih Diana Cuma-Cuma. Tapi berhubung lo ngomong kayak gitu, berhubung lo ngingetin gue kalau gue musti ngajuin syarat, jadi terpaksa gue mau ngasih syarat buat lo.”

“Ah,, lo mah ,Bii. Gue nggak ngomong kaya gitu juga pasti lo bakalan ngajuin syarat. Sok sok nuduh gue salah ngomong lagi.” Reza kembali menggerutu.

“Sebenarnya lo ikhlas nggak sih, mau jadi adik ipar gue?”

“Sebenarnya gue nggak ikhlas jadi adek ipar lo, Bii. Tapi gue ikhlas banget jadi pacar Diana.” Reza menggumam-gumam nggak jelas, hampir tak terdengar oleh siapapun.

“Apa lo bilang? Lo ngedumel lagi?”

“Enggak enggak, Bii. Iya. Gue ikhlas, ikhlas banget.” Ujar Reza, geregetan. Dan melihat tampang tengil Bisma yang sepertinya menemukan sesuatu yang menarik, Reza bisa menebak kalau kemalangan sudah pasti akan menimpanya lagi. “Tuh, kan. Tampang tengil lo udah keluar gitu, pasti deh mau nyiksa gue.” Reza akhirnya kembali menggerutu. Bisma malah benar-benar tergelak mendengar gerutuan Reza itu.

“Enggak, Za. Permintaan gue normal-normal aja kok. Tenang aja.” Pemuda itu kembali tertawa sebelum meneruskan kata-katanya. “Sebenarnya gue juga udah tau kalau lo banyak berubah sih, Za. Awalnya gue emang agak was-was kalau Diana deket-deket sama lo. Tapi sekarang, kayaknya gue mulai percaya kalau lo adalah orang yang tepat buat Diana.” Ujar Bisma, mantap. Dan sumpah demi apapun, hati Reza tengah bergoyang dombret di balik dadanya. Reza girang bukan kepalang karena sepertinya, Bisma telah benar-benar memberi lampu hijau pada Reza. Bahkan Bisma bilang kalau Reza orang yang tepat buat Diana. Wajah Reza yang tampan kini tambah berseri-seri karena perkataan Bisma, begitupun wajah manis di sebelahnya.

“Jadi,,, lo ngerestuin kita nih?” Seru Reza, begitu bersemangat.

“Eit,,, jangan seneng dulu. Gue tetap masih punya syarat buat lo.” Meski Bisma bicara seperti itu, hati Reza tetap terlonjak girang tanpa mau bergeming. Hati yang kini tengah senang bukan kepalang itu seolah menari hula-hula meski kemalangan tuannya telah siap menghadang di depan. Reza memang senang. Kata ‘Orang yang tepat’ yang keluar dari mulut Bisma itu membuat Reza tau kalau sebenarnya, Bisma juga senang karena adiknya mendapatkan orang seperti Reza. Dan itu membuat hati Reza tak mau berhenti berjingkrak-jingkrak.

“Lo mau tau syaratnya nggak? Jangan senyam senyum aja lo.”

“Mau mau mau. Apapun syaratnya gue lakuin deh.” Jawab Reza, masih dengan tersenyum kegirangan.

“Pertama, lo musti ngasih seluruh cinta lo ke adek gue. Nggak boleh ada cewek lain selain adek gue. Dan lo musti sayang sama dia. Jangan pernah bikin dia nangis.”

“Ok. Sanggup. Trus????”

“Trus lo musti ngelindungin adek gue. Ngejaga adek gue. Kalau kalian lagi marahan trus dia lagi galau, lo musti ngikutin dia kalau dia keluar dari asrama. Soalnya kalau lagi galau kebiasaannya tuh jelek banget.”

“Suka ngelamun di jalanan ya? Iya gue tau. Gue pasti jagain dia. Gue nggak bakal tinggalin dia. Gue janji.”

“Jangan asal janji aja lo. Sekarang janji, ntar jangan-jangan adek gue dibikin nangis lagi.”

“Enggak, Bii. Enggak. Gue bakalan tahan emosi gue deh, tenang aja. Lagian Diana juga selalu bisa ngeredain emosi gue kok.”

“Ok. Gue pegang omongan lo.” Ujar Bisma, serius. “Selanjutnya,,,,,mmmm,,,, apa ya?” Bisma tampak berpikir sejenak. Lalu,,,,”Ah,,, gue tau.”

“Pasti permintaan nyeleneh.”

Bisma tertawa melihat raut muka Reza yang tadinya tersenyum sumringah mendadak cemberut. “Nggak nyeleneh kok. Gue Cuma pengen ditraktir sama lo. Lo musti nraktir gue sama Nanda selama seminggu. Gimana?”

Fiuh,,, lega. Kirain syarat apaan. “Ok. Baru juga seminggu. Sebulan juga gue mau dah. Cuma traktir doank.”

“Ya udah kalau gitu sebulan deh.”

Reza seketika melongo. “Lo mau bikin gue bangkrut, Bii?”

“Katanya tadi sebulan juga mau. Gimana sih?”

“Nggak jadi. Kalau sebulan mah, bisa bangkrut beneran gue.”

“Dasar labil lo.” Bisma melempar bantal dengan kesal ke arah Reza dan ditangkap oleh pemuda itu.

“Labil labil gini gue calon adek ipar lo kali, Bii.” Pemuda itu tergelak, seraya mengangkat bantal di tangannya untuk menutupi mukanya, takut Bisma melempar barang-barang lagi ke arahnya.

“Iya deh iya, adek ipar. Mulai hari ini, lo resmi jadi adek ipar gue dah.” Ucap Bisma, dan itu membuat Reza semakin kegirangan.

“Jadi,,, gue boleh macarin adek lo nih?” Reza bertanya dengan senyum sumringah.

“Iyeee,,,” Jawab Bisma.

Seketika, Reza menengok kepada Diana yang juga tersenyum senang di sampingnya. Pemuda itupun meraih kedua tangan Diana, dan menciumnya sangatttt lama. Lalu, ia raih tubuh Diana dan ia dekap erat-erat. Dianapun membalas dekapan Reza itu, tanpa mempedulikan kakaknya yang kini tengah tertegun mengawasi mereka.

Tapi sepertinya Bisma tidak ada maksud untuk mengusik mereka. Ia hanya diam memandangi kebahagiaan adiknya itu tanpa komentar. Dan saat dirasanya Nanda tiba-tiba merangkul tangannya, Bisma menengok kekasihnya itu. Nanda terlihat tersenyum pada Bisma, seraya manggut-manggut, seolah membenarkan tindakan Bisma. Dan melihat anggukan Nanda itu, Bisma juga ikut tersenyum. Ia raih pundak Nanda, dan merangkul kekasihnya itu, lalu mengecup lembut kepalanya. Kembali, mereka melihat adegan di depan mereka. Kini, terlihat Reza tengah mencium kening Diana dengan penuh kasih sayang. Beberapa saat kemudian, Reza kembali memeluk Diana.

“Ehm. Sebenarnya masih ada satu lagi syarat yang musti lo penuhin sih, Za.” Ujar Bisma, membuyarkan kemesraan di depannya. Seketika itu, Reza mengurai pelukannya dan memandang ke arah Bisma. Tiba-tiba Ia mencium rasa tidak enak. Pasti syarat paling rese nih. Batinnya.

“Apa itu?” Sahut Reza, dengan tatapan menyelidik. Dan di depannya, Bisma tampak menahan senyumnya, membuat Reza semakin curiga.

“Lo musti panggil gue kakak.” Bisma berkata dengan jail, lalu menaik turunkan alisnya sambil terkekeh.

“Kakak?” Reza bertanya dengan muka berkerut. “Kak Bisma gitu maksudnya?”

“Ya iyalah. Lo kan adek ipar gue.”

“Ihhh,,, apa banget deh lo, Bii. Masa’ gue musti manggil lo kakak. Anak-anak bisa ngetawain gue Bii, kalau gue manggil lo kakak.”

“Jadi nggak mau??”

“Bukannya nggak mau. Tapi,,, ah,,, masa’ manggil lo kakak sih, Bii?”

“Kalau nggak mau ya udah, gue cabut nih restu gue.”

“Ahh,,, lo mah.” Reza yang kini mukanya tertekuk lagi itu menoleh ke samping, ke arah Diana. Dan di sana, Diana terlihat mengangguk-anggukan kepala, tanda kalau Reza memang harus menuruti kakaknya. Reza berdecak. “Lo jadi kelihatan tua kalau gue panggil kakak, Bii.” Reza masih saja mencari alasan karena tidak mau memanggil Bisma dengan sebutan kakak.

“Panggil gue kakak, atau restunya gue cabut.”

“Issshhh,,,, lo mah.” Reza membuang pandang, kesal dengan syarat terakhir yang diajukan Bisma. Pemuda itu bisa membayangkan bagaimana anak-anak seasrama akan mentertawakan dia kalau dia harus memanggil pemuda mungil ini dengan sebutan kakak. Ia jadi bingung sendiri karena tidak ada pilihan. “Ya udah deh iya. Gue panggil lo kakak.”

“Coba tes.” Dengan isengnya Bisma meminta Reza mencoba panggilan barunya untuk dia itu. Dan dengan ragu, Rezapun mengucapkannya.

“Hmmm,,,” Reza menghela nafas dulu sebelum bicara. “Kak Bisma.” Ucapnya, setengah hati.

Dan seketika, tawa Nanda dan Bisma meledak usai Reza mengucapkan dua kata itu. Reza semakin jengkel saja karena dilihatnya, Dianapun tampak terkikik-kikik mentertawakan Reza.

“Tuh, kan. Kalian aja pada ketawa. Apalagi anak-anak entar, Bii. Mereka pasti bakalan ketawa juga kalau gue panggil lo kakak. Udah deh Bii. Syaratnya ganti aja. Gue malu, Bii.”

“Malu kalau lo jadi adek ipar gue? Kalau malu, ngapain lo mau macarin adek gue?”

“Bukan begitu, Bii. Gue malu manggil lo kakak.” Sungut Reza, sambil manyun-manyun nggak jelas.

“Ya namanya juga adek, ya harus manggil kakak donk. Lo nggak mau kan jadi adek durhaka?”

“Iya sih, Bii. Tapi masa’ manggil lo kakak sih?” Reza masih ngedumel.

“Udah deh, nggak usah ngedumel kayak gitu. Terima aja.” Ujar Bisma sekali lagi, masih sambil cekikikan, membuat Reza semakin manyun.

Tapi meski manyun seperti itu, sebenarnya Reza sangat bahagia malam ini. Bisma tidak mengajukan syarat yang terlalu berat. Syarat paling berat hanya harus memanggilnya kakak. Sebenarnya itu syarat berat juga sih, buat Reza. Secara, Bisma itu sebaya dengan dia, teman akrab pula. Masa’ sekarang harus manggil kakak sih? Tapi mau bagaimana lagi? Daripada restunya dicabut?

“Heuhh,,, masa’ Kak Bisma.” Gerutu Reza sekali lagi.

‘* * * * *

Bersambung
By: Novita SN

No comments:

Post a Comment