"Cantik,
Ngga. Cantik banget." Ujar wanita paruh baya yang bernama Farah itu
kemudian, lalu memeluk Shita dengan penuh kasih sayang. Rangga bisa benar-benar
melihat ada air yang mengalir dari mata mamanya. Dan dari belakang tubuh Shita,
Rangga juga bisa mendengar Shita telah terisak. Rangga jadi terenyuh melihat
adegan itu.
Setelah pelukan
itu terurai, Rangga berjalan ke belakang tubuh mamanya, dan memeluknya dari
belakang. Dengan lembut, Rangga mencium pipi mamanya, dan tersenyum ke arah
Shita.
“Jelas cantik
donk, Ma. Pilihan siapa dulu donk.” Ujarnya, lalu terkekeh.
“Percaya deh,
pilihan anak mama emang nggak bakal ngecewain.” Balas Tante Farah, membuat
Shita tersenyum di antara derai air mata di pipinya. Melihat pipi Shita basah,
tangan Rangga terangkat dan mengusapnya.
“Jangan nangis
donk, sayang. Masa’ diketemuin sama camer malah nangis sih?”
“Itulah
perempuan, Ngga. Kadang-kadang emang aneh. Sedih nangis, seneng juga nangis.”
“Iya. Cewek
emang aneh.”
“Tapi selain
aneh, cewek itu hebat kan? Bisa bikin hati cowok jadi aneh. Kadang-kadang
uring-uringan nggak jelas gara-gara nggak bisa ketemu kita, kadang-kadang panas
nggak jelas gara-gara ngeliat kita sama cowok lain, kadang-kadang kelimpungan
sendiri gara-gara kita ngambek, iya kan?!” Gurau Tante Farah, membuat Rangga
manyun karena merasa tersindir.
“Dan cowok itu
lebih aneh lagi karena bisa klepek-klepek sama makhluk aneh kayak kita.”
Shitapun menambahkan, dan tambahan gurauan Shita itu sukses membuat bibir
Rangga semakin manyun.
“Iya deh iya.
Kalah aku mah. Dikeroyok dua orang, sih. Mantu sama mertua kompakan ih.” Rangga
nyengir, lalu mengekor di belakang kedua perempuan yang kini berjalan
beriringan menuju kursi ruang tamu masih sambil memperdengarkan sisa tawa
mereka.
Rangga tak
menyangka kalau Shita akan mudah akrab dengan mamanya seperti itu. Di
hadapannya sekarang, kedua wanita itu mengobrol dengan begitu asyik sambil
sesekali melempar canda. Tante Farah juga memperlakukan Shita dengan sangat
baik, layaknya memperlakukan anaknya sendiri. Dan itu membuat Rangga sangat
senang, karena sepertinya Shita merasa nyaman bersama mamanya. Sesekali, Rangga
juga ikut tertawa bersama mereka sambil berkali-kali menyucap syukur di dalam
hati untuk kebahagiaan yang Tuhan beri kepada mereka malam ini. Tak lupa, ia
juga berdoa mudah-mudahan suatu saat nanti hati papanya juga luluh dan akan
memperlakukan Shita dengan sangat baik seperti yang dilakukan Tante Farah saat
ini.
‘* * * * *
Kedua keluarga
itu tengah menikmati makan malam mereka di ruang makan rumah keluarga Subroto.
Banyak hidangan yang telah berjejer rapi di meja makan dengan tampilan elegan
itu. Dan semua hidangan itu adalah masakan Nanda. Kecuali nasinya. Karena tadi
tante Riska yang membuat nasi.
Di ujung meja,
Om Subroto masih saja berkelakar dengan Om Feisal yang duduk di sisi kirinya.
Kelakaran itu semakin seru saat Tante Riska yang berada di samping kanan Om
Subroto dan Tante Fani yang duduk di samping kiri Om Feisal ikut nimbrung. Bisma
sama Nanda yang kini sudah tidak begitu tegang lagi itu kini terlihat bercanda
juga di salah satu sisi meja. Sementara Diana, dia hanya melongo di depan
Bisma. Mukanya mengkerut, karena merasa diacuhkan.
“Masa’ gue jadi
obat nyamuk jadinya?” Sungutnya dalam batin, dengan mata memandang dua sejoli
di depannya yang tengah tertawa-tawa senang. Iapun menghela nafas, lalu meraih
BBnya. Ia ganti status di BBnya dengan orang manyun dan tulisan ‘jadi obat
nyamuk. Nyebelin’
Dan beberapa
saat setelah status itu terupdate, Reza langsung BBM.
A’ay :
“Kok jadi obat nyamuk sih, Say?”
Me : “Ikut Kak Bisma ke rumah Kak Nanda.”
A’ay : “hahahaaaa lagian orang pacaran diikutin.
Kayak anak kecil aja.”
Me : “Kan ke sininya sekeluarga. Sama mama sama
papa. Tapi semua pada asyik ngobrol. Diana Cuma cengo L
A’ay : “Sekeluarga? Emang ada apaan? Kok tumben ke
rumah Nanda sekeluarga? Mau lamaran?”
Me : “Enggak, sih. Cuma main aja. Tadinya sih
Diana seneng soalnya ini kejutan buat mereka berdua. Kak Nanda sama Kak Bisma
nggak tau kalau kita mau ke rumah Kak Nanda. Eh, sampai sini malah jadi obat
nyamuk. Ngeselin. L
Aay : “Lagian udah dibilangin tadi nggak usah ikut
pulang, di sini aja sama Kak Reza. Ngeyel sih.”
Me : “Tapi kan kangen sama mama. Lagian kalau di
asrama paling-paling ditinggalin melulu sama Kakak. Kakak kan sibuk mulu.”
A’ay : “Iya juga sih, ini kakak aja masih di kampus.
Hehehe
Me : “Tuh, kan L
A’ay : “Cup cup cup jangan sedih gitu donk. Ntar
kakak cium lho kalau manyun aja.”
Me : “Mau =D “
A’ay : “Jiaahhh,,,, malah kesenengan.”
“Heh!!!”
Tiba-tiba ada tangan yang mengibas di depan muka Diana. “Senyam senyum sendiri.
Eror ya?” Manyun di bibir Diana memang telah berubah jadi senyuman gaje saat
membaca BBM Reza yang ingi menciumnya.
“Apaan sih, Kak
Bisma nih. Ganggu aja deh.”
“Pasti lagi
BBMan sama Si Reza.”
“Abisnya
daripada cengo.”
“Hahahaa
ngerasa dicuekin ya?”
“O iya, kalau
Diana udah punya pacar belum, Nak?” Tante Riska berseru dari tempat duduknya.
Tapi bukannya menjawab, Diana malah tersenyum malu. Jadi, Tante Fanilah yang
menjawab.
“Katanya sih
udah, Jeng. Temennya Bisma. Saya sama Papanya juga belum pernah lihat. Tapi
Bisma bilang orangnya baik. Kita ya percaya sama Bisma aja. Kalau di sana kan
Cuma Bisma yang tau kesehariannya Diana. Kalau dia bilang pilihannya Diana
tepat, ya kita percaya aja. Lagian Bisma juga nggak mungkin ngijinin Diana
pacaran kalau dia sendiri nggak srek sama orang yang ngedeketin Diana. Iya kan,
Bii?”
“Iya tante.
Pacarnya Diana baik kok orangnya.” Jawab Bisma, sembari melemparkan lirikan
pada adiknya yang kini senyumnya semakin gaje.
Setelah
percakapan itu merekapun memulai makan malam mereka. Tante Fani, Om Faisal, dan
Diana yang baru pertama kali merasakan masakan Nanda itu terlihat takjub dengan
hidangan di depan mereka. Berkali-kali Om Faisal memuji masakan Nanda, sampai
Nanda tersipu-sipu sendiri di samping Bisma. Bisma juga mengeluarkan pujian
untuk Nanda. Meski ia pernah makan masakan Nanda waktu di pulau, tapi masakan
Nanda kali ini lebih enak daripada waktu di pulau. Mungkin karena bumbunya juga
lebih lengkap.
“Wuaaahhh,,,,
kalau Bisma tiap hari dikasih masakan seenak ini bisa-bisa Bisma cepat gemuk,
Nda.” Ujar Om Faisal, usai meneguk minumannya.
“Makanya, Pa.
Buru-buru nikahin Bisma sama Nanda. Biar Bisma cepat ge,,, aduh.” Kata-kata
Bisma terpotong karena kaki Nanda telah menendang kakinya, membuat pemuda itu
meringis.
“Tenang aja,
Bi. Nanti kalau kuliah kamu udah selesai, trus kamu juga udah bisa pegang
perusahaannya Papa, pasti Papa langsung nikahin kamu kok.”
“Yacchhh,,,
nunggu Bisma bisa pegang perusahaannya Papa lama atuh, Pa.” Sungut Bisma,
sambil menggosok-gosok kakinya yang terasa sakit karena tendangan Nanda.
“Whuuu,,, Kak
Bisma nih sok-sokan mau nikah. Kayak udah bisa ngasih makan Kak Nanda aja.”
Diana ikut angkat bicara, sambal mencibirkan bibirnya.
“Apaan sih,
Dii? Anak kecil aja ikut-ikutan.”
“Diana udah
gede, Kakaaakkkk.”
“Ngakunya udah
gede. Masak aja nggak bisa. Kayak Kak Nanda donk. Pinter masak. Kasihan Si
Reza. Ntar tuh anak nggak sispek lagi gara-gara jarang kamu kasih makan.”
“Enak aja.
Diana juga bisa masak tauuuu,,,,”
“Masak apaan?
Masak mie aja kematengan melulu.”
“Biarin.” Diana
akhirnya manyun lagi karena ulah Bisma. Sementara, orang-orang di sekeliling
mereka malah tertawa terpingkal melihat Diana lagi-lagi dibuat manyun oleh
kakaknya.
* * * * *
Afra tengah
duduk menghadap kedua orang tuanya di ruang tengah rumahnya. Ketiga adiknya
sudah tidur sejak setengah jam yang lalu. Sedangkan pembantunya, ia diminta
Afra untuk segera ke kamarnya karena Afra ingin berbicara serius dengan kedua
orang tuanya.Malam ini Afra memang akan memberitahu orang tuanya tentang
masalah yang ia hadapi selama ini. Di hadapannya, kedua orang paruh baya itu
sepertinya masih belum bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh anak sulung
mereka.
Mereka semua
masih sama-sama terdiam belum membuka suara. Sepertinya Afra masih harus
mempersiapkan hatinya untuk menerima kemungkinan-kemungkinan terburuk kalau
kedua orang tuanya tidak bisa menerima keadaannya saat ini. Ia juga masih harus
berfikir bagaimana ia meyakinkan orang tuanya kalau semua yang terjadi ini
bukan sepenuhnya salah Morgan. Sebab, Afra yakin kalau orang tuanya pasti akan
marah besar pada Morgan.
Sebenarnya tadi
Morgan ingin ikut berbicara dengan kedua orang tua Afra. Tapi Afra belum
mengijinkannya. Afra takut kalau papanya akan kalap dan melakukan yang
tidak-tidak pada Morgan. Masih syukur kalau Morgan hanya dimarahi. Kalau dia
sampai dipukuli oleh papanya yang terkadang kalap kalau lagi emosi itu
bagaimana? Afra tidak mungkin tega melihat Morgan dihajar oleh Papanya di depan
matanya.
“Sebenarnya
kamu mau ngomong apa, Afra? Kok kita malah suruh lihat kamu jadi patung sih,
Nak?” Ucapan Tante Maya, mamanya Afra, memecahkan kebisuan malam itu. Afra
tersentak dari lamunannya. Dengan sedikit takut, gadis itu memberanikan diri
untuk menatap kedua orang tuanya.
“Kamu mau
ngomong apa, Fra?” Om Diko ikut bertanya, sambil menatap wajah Afra, intens.
Jantung Afra jadi berdegup tak karuan melihat tatapan Om Diko itu. Tiba-tiba
kata-kata Om Diko yang tidak mengijinkannya menikah dulu sebelum lulus kuliah
mengiang begitu saja di kepalanya. Dan itu membuatnya semakin gusar. Tapi
segusar apapun dia, gadis itu tetap harus bilang. Dia tidak boleh
menyembunyikan permasalahan itu terlalu lama.
“Ma, Pa, Afra
mau ngomong. Tapi Afra mohon, Papa sama Mama jangan marah.”
“Marah?”
“Emang
sebenarnya kamu mau ngomong apa sih, Fra? Kok suasananya jadi tegang gini?” Om
Diko sudah tidak sabaran.
“Gini Pa, Ma.
Afraaa,,,” Ucapannya menggantung. Ia bingung mau mulai dari mana. Bodohnya dia,
seharusnya sudah sedari kemarin dia merangkai kata untuk berbicara dengan orang
tuanya. Jadi waktu dia di depan orang tuanya, dia sudah bisa berbicara dengan
lancar. Tapi, kepalanya yang sering pusing, dan perutnya yang mual membuat
gadis itu tidak punya waktu untuk berpikir. Jadi, beginilah jadinya. Dia grogi.
Bingung.
“Kalau
seandainya,,, Afra,,, menikah sekarang kira-kira gimana, Ma, Pa?” Akhirnya Afra
melanjutkan juga kata-katanya.
“Menikah?” Dan
mendengar kata itu, Om Diko kaget alang kepalang. “Kamu sudah lupa dengan apa
yang Papa nasehatkan ke kamu selama ini? Urus kuliah kamu dulu, baru menikah,
Afra. Pendidikan itu penting. Itu untuk masa depan kamu. Lagian Morgan juga
masih kuliah. Kalau kalian menikah, kalian mau pada makan apa?"
"Sabar,
Pa." Tante Maya mengelus lengan suaminya, mencoba memberi ketenangan. Tapi
Om Diko sepertinya masih merasa kesal dengan penuturan Afra. "Fra, kok
kamu tiba-tiba ngomong gitu sih, Nak? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?! Morgan
nggak ngapa-ngapain kamu, kan?!"
Afra kembali
tertunduk. Tiba-tiba saja, bening menggenang di pelupuk matanya. Dari omongan
Papanya saja, dia sudah tau kalau papanya pasti akan marah besar. Tapi mau
bagaimana lagi. Tidak mungkin dia menggugurkan kandungannya. Dia sudah sekali
membuat dosa besar. Dan dia tidak boleh memperbesar dosanya dengan membunuh bayi
yang ada di dalam kandungannya.
Dengan masih
tertunduk, Afra mencoba menghimpun kekuatan, merangkai kata, dan mencari
keberanian agar dia benar-benar mampu berbicara dan meyakinkan orang tuanya.
"Fra???"
Sekali lagi, Tante Maya mengeluarkan suara.
Afrapun
menghela nafas panjang, dan kembali menatap orang tuanya.
"Afra,,,,"
Gadis itu kembali menghela nafas, untuk menetralkan perasaannya. "Afra
hamil, Ma." Ucapnya, bersama dengan sebulir air mata yang benar-benar
jatuh.
"Apa?"
Om Diko msemakin kaget dengan penuturan putrinya. Kini dadanya kembang kempis.
Matanya membelalak, memandang kepada Afra yang kembali tertunduk. "Kamu
tuh jangan main-main, Fra."
"Afra
nggak main-main, Pa." Kali ini, gadis itu tidak berani menantang tatapan
papanya. Dengan kepala menunduk, gadis itu menjelaskan semua hal yang ia alami
waktu di Bandung. Ia juga menceritakan bagaimana shocknya Morgan saat mendapati
tubuh mereka yang tak terbalut sehelai kainpun pagi itu. Tak lupa, Afra juga
menyisipkan kata-kata yang menyatakan bahwa Morgan tidak bersalah dalam
peristiwa yang menimpa dirinya. Bahkan, ia malah bilang kalau awalnya dialah
yang memulai.
"Dan semua
terjadi begitu saja. Maafin Afra, Pa. Maafin Afra." Pungkas Afra, dengan
derai air mata di kedua belah pipinya.
Tapi meski Afra
mengiba seperti itu, sepertinya Om Diko tetap kalap. Buktinya, kini mukanya
memerah penuh amarah, dan matanya tambah melotot sampai hampir keluar dari
kelopaknya. Dengan nafas tersengal, Om Diko bangkit dari duduknya, dan,,,
Plak!!!!!
Sebuah tamparan
mendarat mulus di pipi kanan Afra yang basah, sampai gadis itu tersungkur di
lantai.
"Papa!!!"
Seru Tante Maya, dan buru-buru menghampiri putrinya yang kini telah pasrah.
"Papa apa-apaan, sih?" Wanita paruh baya itu mendekap putrinya yang kini
tangisnya menjadi.
Afra memang
telah benar-benar pasrah. Terserah Papanya mau memperlakukan dia seperti apa,
dia tak peduli. Dia akan terima dengan ikhlas karena dia memang merasa salah.
Yang penting, Papanya tidak sampai menyakiti Morgan.
Tapi, apa benar
Om Diko tidak akan berbuat sesuatu pada Morgan? Sepertinya tidak. Tanpa
mempedulikan kedua ibu dan anak yang saling berpeluk sambil sesenggukan itu, Om
Diko langsung melangkahkan kakinya dengan geram menuju pintu keluar. Ia
menyahut sebuah pedang yang menjadi pajangan di ruang tamu rumahnya sebelum
benar-benar keluar dari rumah. Dan begitu ia menemukan mobilnya, Om Diko
langsung melesat meninggalkan rumah. Ia ingin ke rumah Morgan secepat mungkin.
"Mama,
Papa mau ke mana, Ma?" Ujar Afra, begitu ia sadar Papanya sudah tidak ada
di ruang tengah lagi. Gadis itupun panik saat mendengar deru mobil yang
terdengar menggeram dengan keras di depan rumah. Buru-buru, ia bangkit dan
berlari menuju pintu keluar.
"Papaaaa,,,,,
jangan sakiti Morgan Paa,,,, Afra mohon." Teriaknya, yang sama sekali tak
digubris oleh Om Diko.
"Papaaaa,,,,"
Afra mencoba mengejar mobil Om Diko yang hampir keluar dari rumah. Dan karena
ia kehilangan keseimbangan, gadis itu kembali tersungkur di depan gerbang.
"Papaaa,,,," Teriaknya, tertahan.
Tiba-tiba saja,
Afra merasa perutnya sangat sakit seperti diremas-remas. Ia cengkeram kuat-kuat
baju di sekitar perutnya, untuk sedikit menghilangkan rasa sakit di perutnya.
Tapi sia-sia. Semakin lama, perutnya malah semakin terasa sakit. Peluh telah
membasahi wajah dan separuh tubuhnya.
Tapi seolah tak
peduli dengan kesakitan yang ia rasakan, gadis itu mencoba bangkit lagi dan
mengejar mobil yang telah menjauh itu. Tapi lagi-lagi ia jatuh tersungkur di
jalanan.
"Papaaa,,,,,"
teriaknya lagi.
"Afraaa,,,,"
Dari dalam rumah, Tante Maya menyusul anaknya, dan berjongkok di samping Afra
yang kini benar-benar tidak bisa bangun lagi. "Fra, kamu nggak pa-pa,
Nak?"
"Ma, Papa
pasti mau ke rumah Morgan, Ma. Pasti Papa mau menghajar Morgan. Afra nggak mau
kalau sampai terjadi apa-apa sama Morgan, Ma. Arrrgghhh,,," Kembali, gadis
itu mencengkeram perutnya.
"Fra, kamu
tenang, Nak. Kamu nggak pa-pa? Perut kamu sakit?"
"Enggak,
Ma. Afra nggak pa-pa. Sekarang mendingan kita susul Papa. Afra nggak mau kalau
sampai Morgan kenapa-kenapa."
"Tapi
wajah kamu pucat banget, Sayang. Lebih baik kamu istirahat. Biar Mama yang
nyusul Papa."
"Enggak,
Ma. Afra harus ikut."
"Tapi,,,"
"Afra
mohon, Ma. Afra mohon."
Akhirnya Tante
Maya mengalah. Setelah memanggil Pak Sirman untuk mengantarkan mereka menyusul
Om Diko, merekapun melesat meninggalkan rumah, dan menuju ke rumah Morgan.
Sakit di perut Afra belum juga reda. Peluhnya terus-terusan keluar di dalam
mobil berAC itu, karena menahan sakit yang teramat sangat di perutnya.
"Jaga aku,
anakku, dan ayah dari anakku, Ya Tuhan." Doa Afra, di sela kegelisahan dan
kesakitannya.
'* * * * *
Bersambung
By: Novita SN