Tuesday, September 3, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 69


"Cantik, Ngga. Cantik banget." Ujar wanita paruh baya yang bernama Farah itu kemudian, lalu memeluk Shita dengan penuh kasih sayang. Rangga bisa benar-benar melihat ada air yang mengalir dari mata mamanya. Dan dari belakang tubuh Shita, Rangga juga bisa mendengar Shita telah terisak. Rangga jadi terenyuh melihat adegan itu.

Setelah pelukan itu terurai, Rangga berjalan ke belakang tubuh mamanya, dan memeluknya dari belakang. Dengan lembut, Rangga mencium pipi mamanya, dan tersenyum ke arah Shita.

“Jelas cantik donk, Ma. Pilihan siapa dulu donk.” Ujarnya, lalu terkekeh.

“Percaya deh, pilihan anak mama emang nggak bakal ngecewain.” Balas Tante Farah, membuat Shita tersenyum di antara derai air mata di pipinya. Melihat pipi Shita basah, tangan Rangga terangkat dan mengusapnya.

“Jangan nangis donk, sayang. Masa’ diketemuin sama camer malah nangis sih?”

“Itulah perempuan, Ngga. Kadang-kadang emang aneh. Sedih nangis, seneng juga nangis.”

“Iya. Cewek emang aneh.”

“Tapi selain aneh, cewek itu hebat kan? Bisa bikin hati cowok jadi aneh. Kadang-kadang uring-uringan nggak jelas gara-gara nggak bisa ketemu kita, kadang-kadang panas nggak jelas gara-gara ngeliat kita sama cowok lain, kadang-kadang kelimpungan sendiri gara-gara kita ngambek, iya kan?!” Gurau Tante Farah, membuat Rangga manyun karena merasa tersindir.

“Dan cowok itu lebih aneh lagi karena bisa klepek-klepek sama makhluk aneh kayak kita.” Shitapun menambahkan, dan tambahan gurauan Shita itu sukses membuat bibir Rangga semakin manyun.

“Iya deh iya. Kalah aku mah. Dikeroyok dua orang, sih. Mantu sama mertua kompakan ih.” Rangga nyengir, lalu mengekor di belakang kedua perempuan yang kini berjalan beriringan menuju kursi ruang tamu masih sambil memperdengarkan sisa tawa mereka.

Rangga tak menyangka kalau Shita akan mudah akrab dengan mamanya seperti itu. Di hadapannya sekarang, kedua wanita itu mengobrol dengan begitu asyik sambil sesekali melempar canda. Tante Farah juga memperlakukan Shita dengan sangat baik, layaknya memperlakukan anaknya sendiri. Dan itu membuat Rangga sangat senang, karena sepertinya Shita merasa nyaman bersama mamanya. Sesekali, Rangga juga ikut tertawa bersama mereka sambil berkali-kali menyucap syukur di dalam hati untuk kebahagiaan yang Tuhan beri kepada mereka malam ini. Tak lupa, ia juga berdoa mudah-mudahan suatu saat nanti hati papanya juga luluh dan akan memperlakukan Shita dengan sangat baik seperti yang dilakukan Tante Farah saat ini.

‘* * * * *

Kedua keluarga itu tengah menikmati makan malam mereka di ruang makan rumah keluarga Subroto. Banyak hidangan yang telah berjejer rapi di meja makan dengan tampilan elegan itu. Dan semua hidangan itu adalah masakan Nanda. Kecuali nasinya. Karena tadi tante Riska yang membuat nasi.

Di ujung meja, Om Subroto masih saja berkelakar dengan Om Feisal yang duduk di sisi kirinya. Kelakaran itu semakin seru saat Tante Riska yang berada di samping kanan Om Subroto dan Tante Fani yang duduk di samping kiri Om Feisal ikut nimbrung. Bisma sama Nanda yang kini sudah tidak begitu tegang lagi itu kini terlihat bercanda juga di salah satu sisi meja. Sementara Diana, dia hanya melongo di depan Bisma. Mukanya mengkerut, karena merasa diacuhkan.

“Masa’ gue jadi obat nyamuk jadinya?” Sungutnya dalam batin, dengan mata memandang dua sejoli di depannya yang tengah tertawa-tawa senang. Iapun menghela nafas, lalu meraih BBnya. Ia ganti status di BBnya dengan orang manyun dan tulisan ‘jadi obat nyamuk. Nyebelin’

Dan beberapa saat setelah status itu terupdate, Reza langsung BBM.

A’ay  : “Kok jadi obat nyamuk sih, Say?”
Me    : “Ikut Kak Bisma ke rumah Kak Nanda.”
A’ay : “hahahaaaa lagian orang pacaran diikutin. Kayak anak kecil aja.”
Me    : “Kan ke sininya sekeluarga. Sama mama sama papa. Tapi semua pada asyik ngobrol. Diana Cuma cengo L
A’ay : “Sekeluarga? Emang ada apaan? Kok tumben ke rumah Nanda sekeluarga? Mau lamaran?”
Me    : “Enggak, sih. Cuma main aja. Tadinya sih Diana seneng soalnya ini kejutan buat mereka berdua. Kak Nanda sama Kak Bisma nggak tau kalau kita mau ke rumah Kak Nanda. Eh, sampai sini malah jadi obat nyamuk. Ngeselin. L
Aay   : “Lagian udah dibilangin tadi nggak usah ikut pulang, di sini aja sama Kak Reza. Ngeyel sih.”
Me    : “Tapi kan kangen sama mama. Lagian kalau di asrama paling-paling ditinggalin melulu sama Kakak. Kakak kan sibuk mulu.”
A’ay : “Iya juga sih, ini kakak aja masih di kampus. Hehehe
Me    : “Tuh, kan L
A’ay : “Cup cup cup jangan sedih gitu donk. Ntar kakak cium lho kalau manyun aja.”
Me    : “Mau =D “
A’ay : “Jiaahhh,,,, malah kesenengan.”

“Heh!!!” Tiba-tiba ada tangan yang mengibas di depan muka Diana. “Senyam senyum sendiri. Eror ya?” Manyun di bibir Diana memang telah berubah jadi senyuman gaje saat membaca BBM Reza yang ingi menciumnya.

“Apaan sih, Kak Bisma nih. Ganggu aja deh.”

“Pasti lagi BBMan sama Si Reza.”

“Abisnya daripada cengo.”

“Hahahaa ngerasa dicuekin ya?”

“O iya, kalau Diana udah punya pacar belum, Nak?” Tante Riska berseru dari tempat duduknya. Tapi bukannya menjawab, Diana malah tersenyum malu. Jadi, Tante Fanilah yang menjawab.

“Katanya sih udah, Jeng. Temennya Bisma. Saya sama Papanya juga belum pernah lihat. Tapi Bisma bilang orangnya baik. Kita ya percaya sama Bisma aja. Kalau di sana kan Cuma Bisma yang tau kesehariannya Diana. Kalau dia bilang pilihannya Diana tepat, ya kita percaya aja. Lagian Bisma juga nggak mungkin ngijinin Diana pacaran kalau dia sendiri nggak srek sama orang yang ngedeketin Diana. Iya kan, Bii?”

“Iya tante. Pacarnya Diana baik kok orangnya.” Jawab Bisma, sembari melemparkan lirikan pada adiknya yang kini senyumnya semakin gaje.

Setelah percakapan itu merekapun memulai makan malam mereka. Tante Fani, Om Faisal, dan Diana yang baru pertama kali merasakan masakan Nanda itu terlihat takjub dengan hidangan di depan mereka. Berkali-kali Om Faisal memuji masakan Nanda, sampai Nanda tersipu-sipu sendiri di samping Bisma. Bisma juga mengeluarkan pujian untuk Nanda. Meski ia pernah makan masakan Nanda waktu di pulau, tapi masakan Nanda kali ini lebih enak daripada waktu di pulau. Mungkin karena bumbunya juga lebih lengkap.

“Wuaaahhh,,,, kalau Bisma tiap hari dikasih masakan seenak ini bisa-bisa Bisma cepat gemuk, Nda.” Ujar Om Faisal, usai meneguk minumannya.

“Makanya, Pa. Buru-buru nikahin Bisma sama Nanda. Biar Bisma cepat ge,,, aduh.” Kata-kata Bisma terpotong karena kaki Nanda telah menendang kakinya, membuat pemuda itu meringis.

“Tenang aja, Bi. Nanti kalau kuliah kamu udah selesai, trus kamu juga udah bisa pegang perusahaannya Papa, pasti Papa langsung nikahin kamu kok.”

“Yacchhh,,, nunggu Bisma bisa pegang perusahaannya Papa lama atuh, Pa.” Sungut Bisma, sambil menggosok-gosok kakinya yang terasa sakit karena tendangan Nanda.

“Whuuu,,, Kak Bisma nih sok-sokan mau nikah. Kayak udah bisa ngasih makan Kak Nanda aja.” Diana ikut angkat bicara, sambal mencibirkan bibirnya.

“Apaan sih, Dii? Anak kecil aja ikut-ikutan.”

“Diana udah gede, Kakaaakkkk.”

“Ngakunya udah gede. Masak aja nggak bisa. Kayak Kak Nanda donk. Pinter masak. Kasihan Si Reza. Ntar tuh anak nggak sispek lagi gara-gara jarang kamu kasih makan.”

“Enak aja. Diana juga bisa masak tauuuu,,,,”

“Masak apaan? Masak mie aja kematengan melulu.”

“Biarin.” Diana akhirnya manyun lagi karena ulah Bisma. Sementara, orang-orang di sekeliling mereka malah tertawa terpingkal melihat Diana lagi-lagi dibuat manyun oleh kakaknya.

* * * * *

Afra tengah duduk menghadap kedua orang tuanya di ruang tengah rumahnya. Ketiga adiknya sudah tidur sejak setengah jam yang lalu. Sedangkan pembantunya, ia diminta Afra untuk segera ke kamarnya karena Afra ingin berbicara serius dengan kedua orang tuanya.Malam ini Afra memang akan memberitahu orang tuanya tentang masalah yang ia hadapi selama ini. Di hadapannya, kedua orang paruh baya itu sepertinya masih belum bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh anak sulung mereka.

Mereka semua masih sama-sama terdiam belum membuka suara. Sepertinya Afra masih harus mempersiapkan hatinya untuk menerima kemungkinan-kemungkinan terburuk kalau kedua orang tuanya tidak bisa menerima keadaannya saat ini. Ia juga masih harus berfikir bagaimana ia meyakinkan orang tuanya kalau semua yang terjadi ini bukan sepenuhnya salah Morgan. Sebab, Afra yakin kalau orang tuanya pasti akan marah besar pada Morgan.

Sebenarnya tadi Morgan ingin ikut berbicara dengan kedua orang tua Afra. Tapi Afra belum mengijinkannya. Afra takut kalau papanya akan kalap dan melakukan yang tidak-tidak pada Morgan. Masih syukur kalau Morgan hanya dimarahi. Kalau dia sampai dipukuli oleh papanya yang terkadang kalap kalau lagi emosi itu bagaimana? Afra tidak mungkin tega melihat Morgan dihajar oleh Papanya di depan matanya.

“Sebenarnya kamu mau ngomong apa, Afra? Kok kita malah suruh lihat kamu jadi patung sih, Nak?” Ucapan Tante Maya, mamanya Afra, memecahkan kebisuan malam itu. Afra tersentak dari lamunannya. Dengan sedikit takut, gadis itu memberanikan diri untuk menatap kedua orang tuanya.

“Kamu mau ngomong apa, Fra?” Om Diko ikut bertanya, sambil menatap wajah Afra, intens. Jantung Afra jadi berdegup tak karuan melihat tatapan Om Diko itu. Tiba-tiba kata-kata Om Diko yang tidak mengijinkannya menikah dulu sebelum lulus kuliah mengiang begitu saja di kepalanya. Dan itu membuatnya semakin gusar. Tapi segusar apapun dia, gadis itu tetap harus bilang. Dia tidak boleh menyembunyikan permasalahan itu terlalu lama.

“Ma, Pa, Afra mau ngomong. Tapi Afra mohon, Papa sama Mama jangan marah.”

“Marah?”

“Emang sebenarnya kamu mau ngomong apa sih, Fra? Kok suasananya jadi tegang gini?” Om Diko sudah tidak sabaran.

“Gini Pa, Ma. Afraaa,,,” Ucapannya menggantung. Ia bingung mau mulai dari mana. Bodohnya dia, seharusnya sudah sedari kemarin dia merangkai kata untuk berbicara dengan orang tuanya. Jadi waktu dia di depan orang tuanya, dia sudah bisa berbicara dengan lancar. Tapi, kepalanya yang sering pusing, dan perutnya yang mual membuat gadis itu tidak punya waktu untuk berpikir. Jadi, beginilah jadinya. Dia grogi. Bingung.

“Kalau seandainya,,, Afra,,, menikah sekarang kira-kira gimana, Ma, Pa?” Akhirnya Afra melanjutkan juga kata-katanya.

“Menikah?” Dan mendengar kata itu, Om Diko kaget alang kepalang. “Kamu sudah lupa dengan apa yang Papa nasehatkan ke kamu selama ini? Urus kuliah kamu dulu, baru menikah, Afra. Pendidikan itu penting. Itu untuk masa depan kamu. Lagian Morgan juga masih kuliah. Kalau kalian menikah, kalian mau pada makan apa?"

"Sabar, Pa." Tante Maya mengelus lengan suaminya, mencoba memberi ketenangan. Tapi Om Diko sepertinya masih merasa kesal dengan penuturan Afra. "Fra, kok kamu tiba-tiba ngomong gitu sih, Nak? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?! Morgan nggak ngapa-ngapain kamu, kan?!"

Afra kembali tertunduk. Tiba-tiba saja, bening menggenang di pelupuk matanya. Dari omongan Papanya saja, dia sudah tau kalau papanya pasti akan marah besar. Tapi mau bagaimana lagi. Tidak mungkin dia menggugurkan kandungannya. Dia sudah sekali membuat dosa besar. Dan dia tidak boleh memperbesar dosanya dengan membunuh bayi yang ada di dalam kandungannya.

Dengan masih tertunduk, Afra mencoba menghimpun kekuatan, merangkai kata, dan mencari keberanian agar dia benar-benar mampu berbicara dan meyakinkan orang tuanya.

"Fra???" Sekali lagi, Tante Maya mengeluarkan suara.

Afrapun menghela nafas panjang, dan kembali menatap orang tuanya.

"Afra,,,," Gadis itu kembali menghela nafas, untuk menetralkan perasaannya. "Afra hamil, Ma." Ucapnya, bersama dengan sebulir air mata yang benar-benar jatuh.

"Apa?" Om Diko msemakin kaget dengan penuturan putrinya. Kini dadanya kembang kempis. Matanya membelalak, memandang kepada Afra yang kembali tertunduk. "Kamu tuh jangan main-main, Fra."

"Afra nggak main-main, Pa." Kali ini, gadis itu tidak berani menantang tatapan papanya. Dengan kepala menunduk, gadis itu menjelaskan semua hal yang ia alami waktu di Bandung. Ia juga menceritakan bagaimana shocknya Morgan saat mendapati tubuh mereka yang tak terbalut sehelai kainpun pagi itu. Tak lupa, Afra juga menyisipkan kata-kata yang menyatakan bahwa Morgan tidak bersalah dalam peristiwa yang menimpa dirinya. Bahkan, ia malah bilang kalau awalnya dialah yang memulai.

"Dan semua terjadi begitu saja. Maafin Afra, Pa. Maafin Afra." Pungkas Afra, dengan derai air mata di kedua belah pipinya.

Tapi meski Afra mengiba seperti itu, sepertinya Om Diko tetap kalap. Buktinya, kini mukanya memerah penuh amarah, dan matanya tambah melotot sampai hampir keluar dari kelopaknya. Dengan nafas tersengal, Om Diko bangkit dari duduknya, dan,,,

Plak!!!!!

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kanan Afra yang basah, sampai gadis itu tersungkur di lantai.

"Papa!!!" Seru Tante Maya, dan buru-buru menghampiri putrinya yang kini telah pasrah. "Papa apa-apaan, sih?" Wanita paruh baya itu mendekap putrinya yang kini tangisnya menjadi.

Afra memang telah benar-benar pasrah. Terserah Papanya mau memperlakukan dia seperti apa, dia tak peduli. Dia akan terima dengan ikhlas karena dia memang merasa salah. Yang penting, Papanya tidak sampai menyakiti Morgan.

Tapi, apa benar Om Diko tidak akan berbuat sesuatu pada Morgan? Sepertinya tidak. Tanpa mempedulikan kedua ibu dan anak yang saling berpeluk sambil sesenggukan itu, Om Diko langsung melangkahkan kakinya dengan geram menuju pintu keluar. Ia menyahut sebuah pedang yang menjadi pajangan di ruang tamu rumahnya sebelum benar-benar keluar dari rumah. Dan begitu ia menemukan mobilnya, Om Diko langsung melesat meninggalkan rumah. Ia ingin ke rumah Morgan secepat mungkin.

"Mama, Papa mau ke mana, Ma?" Ujar Afra, begitu ia sadar Papanya sudah tidak ada di ruang tengah lagi. Gadis itupun panik saat mendengar deru mobil yang terdengar menggeram dengan keras di depan rumah. Buru-buru, ia bangkit dan berlari menuju pintu keluar.

"Papaaaa,,,,, jangan sakiti Morgan Paa,,,, Afra mohon." Teriaknya, yang sama sekali tak digubris oleh Om Diko.

"Papaaaa,,,," Afra mencoba mengejar mobil Om Diko yang hampir keluar dari rumah. Dan karena ia kehilangan keseimbangan, gadis itu kembali tersungkur di depan gerbang. "Papaaa,,,," Teriaknya, tertahan.

Tiba-tiba saja, Afra merasa perutnya sangat sakit seperti diremas-remas. Ia cengkeram kuat-kuat baju di sekitar perutnya, untuk sedikit menghilangkan rasa sakit di perutnya. Tapi sia-sia. Semakin lama, perutnya malah semakin terasa sakit. Peluh telah membasahi wajah dan separuh tubuhnya.

Tapi seolah tak peduli dengan kesakitan yang ia rasakan, gadis itu mencoba bangkit lagi dan mengejar mobil yang telah menjauh itu. Tapi lagi-lagi ia jatuh tersungkur di jalanan.

"Papaaa,,,,," teriaknya lagi.

"Afraaa,,,," Dari dalam rumah, Tante Maya menyusul anaknya, dan berjongkok di samping Afra yang kini benar-benar tidak bisa bangun lagi. "Fra, kamu nggak pa-pa, Nak?"

"Ma, Papa pasti mau ke rumah Morgan, Ma. Pasti Papa mau menghajar Morgan. Afra nggak mau kalau sampai terjadi apa-apa sama Morgan, Ma. Arrrgghhh,,," Kembali, gadis itu mencengkeram perutnya.

"Fra, kamu tenang, Nak. Kamu nggak pa-pa? Perut kamu sakit?"

"Enggak, Ma. Afra nggak pa-pa. Sekarang mendingan kita susul Papa. Afra nggak mau kalau sampai Morgan kenapa-kenapa."

"Tapi wajah kamu pucat banget, Sayang. Lebih baik kamu istirahat. Biar Mama yang nyusul Papa."

"Enggak, Ma. Afra harus ikut."

"Tapi,,,"

"Afra mohon, Ma. Afra mohon."

Akhirnya Tante Maya mengalah. Setelah memanggil Pak Sirman untuk mengantarkan mereka menyusul Om Diko, merekapun melesat meninggalkan rumah, dan menuju ke rumah Morgan. Sakit di perut Afra belum juga reda. Peluhnya terus-terusan keluar di dalam mobil berAC itu, karena menahan sakit yang teramat sangat di perutnya.

"Jaga aku, anakku, dan ayah dari anakku, Ya Tuhan." Doa Afra, di sela kegelisahan dan kesakitannya.

'* * * * *

Bersambung
By: Novita SN


Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 68


Sabtu sore, saat Nanda baru menginjakkan kaki di rumahnya, ia langsung dihadang oleh tante Riska untuk membantu ibunya itu memasak. Bahkan, Bisma yang saat itu mengantarkan Nanda pulang itu langsung disuruh pulang ke rumahnya sama tante Riska, karena tante Riska bilang Nanda bakalan sibuk banget. Mereka memang pulang agak siangan. Tadi pagi, Bisma hanya ada satu mata kuliah. Kegiatan kampusnya juga lagi nyantai. Sedangkan Nanda, ia malah tidak ada kuliah hari ini. Begitupun Diana. Jadi mereka bisa pulang cepat.

Dengan bersungut-sungut, Nanda akhirnya mengikuti saja perintah Ibunya. Ibunya bilang akan ada saudara jauh yang datang ke rumah mereka untuk makan malam di rumah mereka. Tapi sampai sekarang, Nanda tidak diberitahu siapa saudara jauh yang ingin berkunjung ke tempat mereka itu.

Memangnya yang mau kesini siapa sih, Bu? Kok pakai ribet gini. Masakannya harus spesial lagi. Yang masak harus Nanda juga.” Nanda melontarkan pertanyaan itu sambil merengut, karena dia bingung semua masakan harus tangan dia yang masak. Dan pertanyaan itu disambut ibunya dengan santai.

Ya sekali-sekali kamu yang masak kan nggak pa-pa, Nda. Masa’ suruh ibu terus yang masak.”

Bukannya gitu Ibu, Nanda cuma pengen tau yang mau ke sini itu siapa? Kok kayaknya spesial banget gitu.”

Om kamu yang di Bogor. Udah lama mereka nggak ke sini. Jadi ibu pengen masak masakan yang spesial buat mereka." Nanda tampak mengingat-ingat, Om siapa yang dari Bogor itu. Tapi seingat Nanda, dia tidak punya Om yang tinggalnya di Bogor.

Yang dari Bogor yang mana sih, Bu?”

"Kamu nggak bakalan inget. Dulu waktu mereka ke sini kamu masih umur 3 tahun. Pokoknya sekarang masak aja yang enak. Ntar kamu juga dandan yang cantik, ya. Pakai baju yang spesial juga."
Ah,,, ibu. Mau ada saudara datang aja ribet gini.”

Eh, saudara itu penting, Nanda. Jangan dianggap remeh.”

Penting sih penting, Bu. Tapi nggak perlu terlalu lebay kayak gini juga kali.”

"Udah ah, Ibu nggak mau debat lagi sama kamu. Pokoknya selesaiin masakanmu, trus ntar kamu dandan yang cantik, Ok????" Ucap Tante Riska sambil mnegerlingkan mata, kemudian pergi dari dapur membiarkan Nanda masak sendirian.

Nandapun cuma bisa menghela nafas. Ia teruskan masakan yang tadi diminta sama Ibunya, masih dengan mengeluarkan dumelan sesekali.
Sekitar jam setengah tujuh malam, masakan Nanda sudah selesai. Ia beranjak ke kamarnya untuk mandi, membersihkan badannya dari bau dapur yang membelit sekujur tubuhnya. Lama ia berendam di dalam bathtub, bermain dengan busa-busa lembut dari sabun cair yang tadi ia tuangkan. Sampai-sampai, Ibunya menyusul ke kamarnya, dan mengingatkan agar tidak berlama-lama di kamar mandi. Mendengar suara Ibunya, Nanda jadi menghentikan mandinya, dan bersungut-sungut.

Di depan kaca, Nanda memperhatikan wajahnya yang manis berbalut kaus dan celana pendek. Begini juga sudah cantik kan? Ujarnya pada diri sendiri. Tapi begitu Ibunya masuk ke kamar dan melihat Nanda yang memakai pakaian seadanya, Ibunya protes.

Eh,,, kenapa pakai kaus doank. Ganti. Pakai pakaian yang bagus.”

Ah,,, ibu. Emangnya kenapa, sih?”

Pokoknya ganti. Ibu mau kamu dandan yang cantik. Suruh dandan yang cantik kok malah lusuh begitu. Ini rambutnya dikuncir kuda begini lagi. Diurai aja. Kamu cantik kalau rambut kamu diurai.”

"Ibu nih beneran lebay deh. Emang tamunya siapa sih, Bu??? Kok sampai segitunya???

"Ntar kamu juga tau. Dan kalau kamu nanti tau tamunya itu siapa, ntar kamu pasti bakalan nyesel kalau nggak dandan yang cantik."

Tante Riskapun memilihkan baju untuk Nanda, lalu menyuruhnya mengganti baju. Dengan sigap, Tante Riska mendandani anak semata wayangnya itu, hingga gadis cantik itu kini semakin cantik dengan gaun santai serta jepitan rambut kecil di atas rambutnya yang hitam legam.

Nah, begini kan cantik. Ayo ke bawah. Ayah kamu udah nungguin di bawah.”

Sebelum mengikuti ibunya ke bawah, Nanda memperhatikan lagi dirinya di kaca. Dia memang lebih cantik dari yang tadi. Senyumnya begitu manis dengan sedikit olesan lipice di bibirnya. Mukanya yang putih, bersih, tampak begitu menawan dengan dihias rambut hitam legam yang terurai. Poni lembutnya juga tampak menari-nari di dahinya, membuat wajah manis itu terlihat lebih cantik.

Puas melihat dirinya sendiri di cermin, Nanda menyusul ibunya. Dan di bawah, ia melihat ayahnya telah rapi juga dengan kemeja biru juga celana panjang. Ayahnya tampak lebih gagah dari biasanya. Ibunyapun berdandan tak kalah rapi dengan sang ayah. Nanda semakin bingung dengan semua ini. Kenapa malam ini semua begitu berbeda? Memangnya siapa sih tamunya. Pikir Nanda dalam hati, sambil tetap mematung di atas tangga.

Ayo turun. Kenapa malah mematung di situ?” Pinta ibunya kemudian. Dan Nandapun mulai menuruni tangga, menghampiri ibu dan ayahnya.

Begitu mendengar bunyi klakson mobil di ujung gerbang, Nanda mempercepat langkahnya, kemudian berlari ke pintu depan. Tante Riska dan Om Subroto hanya saling pandang, kemudian tersenyum nakal melihat anaknya yang sepertinya benar-benar penasaran. Di ambang pintu, Nanda bisa melihat Pak Min yang tergopoh-gopoh menuju pintu gerbang untuk membukakan gerbang.

Setelah pintu gerbang itu terkuak, mobil itu melaju ke tempat Nanda berdiri, dan seketika dahi Nanda mengernyit melihat mobil itu. Ia berharap apa yang dilihatnya itu salah. Tapi setelah mobil itu berhenti tepat di depan pintu masuk, dan satu persatu penumpang mobil itu keluar, ia baru benar-benar yakin dengan penglihatannya.

Om Feisal? Tante Fani? Diana? dan,,,,,,, Ya ampun,,,, ini apa maksudnya coba?” Desis Nanda, terkejut. Nandapun berlari kembali ke dalam dan menemui ibunya, meminta penjelasan tentang apa yang dilihatnya barusan.

Bu, kok yang ke sini keluarganya Bisma, sih???”

"Emang kenapa kalau mereka yang dateng???"

"Apa maksudnya coba mereka dateng sekeluarga begitu?"

Ibu sama ayah cuma ngundang mereka makan malam doank. Nggak ada maksud lain.”

"Tapi kenapa nggak bilang sama Nanda dulu kalau mau ngundang mereka?"

"Emang kalau Ayah sama Ibu mau ngundang temen buat makan malam di rumah harus minta ijin dulu sama kamu, gitu?" Om Subroto ikut menimpali.

Iyalah ayah. Mereka kan,,,,,,mereka,,,,,, ah,,,, Ayah sama Ibu nih.“

"Udah udah ah, daripada ribut di sini mendingan kita nyambut mereka. Nggak enak kan ngebiarin mereka lama-lama di luar."

Akhirnya, Nanda menghela napas di belakang ayah dan ibunya yang kini berjalan menuju pintu depan, lalu mengekor di belakang mereka. Meski masih kaget, tapi Nanda berusaha menghadirkan senyum termanisnya untuk tamu yang baru saja memberi surprise untuknya itu.

Selamat malam,,,,,” Suara Om Faisal terdengar menyapa di balik daun pintu yang sedikit terbuka oleh Nanda tadi.

Selamat malam,,,,” Sambut ayah dan Ibu Nanda berbarengan, sambil memperlebar daun pintu.

Jeng Fani,,,,,” Tante Riska cupika cupiki dengan orang yang dianggapnya calon besan itu kemudian.

Jeng Riska,,,”Seru Tante Fani pula.”O iya ini ada sedikit oleh-oleh dari kita, Jeng.” Kata Tante Fani kemudian, seraya menyerahkan sebuah bingkisan yang ada di tangannya.

Wah,,,, terima kasih ya, Jeng. Jeng Fani ni repot-repot aja.”

Ah,,, enggak Jeng.”

Nanda hanya terpaku menatap adegan di depannya. Kini ayahnya tampak saling berpeluk dengan Om Faisal. Di sebelahnya, Ibunya juga tak kalah heboh bercengkerama dengan Tante Fani. Di sebelahnya lagi, ada Diana yang tersenyum lebar melihat Mamanya. Dan di belakang Diana,,,,,, Nanda jadi merengut melihat wajah di belakang Diana. “Kenapa tadi dia nggak bilang kalau mau kesini? Pikir Nanda dalam hati. Nanda tak tau kalau sebenarnya Bisma juga bingung dengan adegan di depannya itu.

Nanda, kamu cantik sekali malam ini, Nak.” Suara Om Faisal mengagetkannya. Ia pun mendekat kepada Om Faisal, lalu mencium tangannya.

Malem Om,,,,” Sapanya, sambil mencium tangan yang sedikit kasar itu. “Malem Tante,,,,” Ia kemudian beralih ke Tante Fani, dan cupika cupiki. “Diana???” Kali ini, ia memeluk gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri itu.
Aku?” Gurau Bisma, mencondongkan Pipinya ke arah Nanda.

Kamu apa?” Tanya Nanda sambil menepuk pipi Bisma dengan tangannya yang lembut.

Aku kan juga mau.” Lagi, Bisma bergurau, membuat semua orang yang ada disana terbahak melihat lelucon di depan mereka.

Mereka pun dipersilahkan masuk, dan berjalan beriringan memasuki rumah Nanda. Om Subroto dan Om Faisal tampak memimpin di paling depan. Di belakangnya, ada Tante Riska dan Tante Fani. Diana juga bergabung bersama para Ibu itu. Dan di paling belakang, Bisma dan Nanda terlihat mengekor.

Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?” Bisik Nanda, saat mereka jalan beriringan mengikuti rombongan itu.

"Aku juga nggak tau kalau mereka mau bawa aku ke sini. Kayaknya mereka mau ngasih kejutan buat kita." Bisik Bisma, tak kalah lirih.

Usai membuatkan minum untuk tamu mereka, Nanda terduduk di sebelah Bisma, memandang ke semua orang yang ada di hadapannya tanpa ekspresi. Di sebelah kiri ada Ayahnya yang asyik mengobrol tentang bisnis bersama Om Faisal. Sesekali kedua lelaki tengah baya itu terbahak. Jauh di sebelah kanannya, ada Tante Fani yang entah megobrolkan apa dengan Ibunya, juga Diana. Sedangkan di sampingnya, Bisma juga hanya menatap semua itu tanpa berkata apapun, tanpa berbuat apapun meski Nanda kini sudah ada di sampingnya. Bisma juga sepertinya sedikit shock dengan kejutan yang diberikan keluarganya itu, sampai ia tak bisa berkata apapun.

Hey,,, kenapa kalian diem aja di situ? Mau jadi patung, ya?” Seru Tante Riska, melihat kedua insan muda yang tengah terduduk berdampingan di sofa itu diam tanpa kata.

"Sepertinya mereka masih shock karena kejutan kita, Jeng." Tante Fani ikut menimpali, kemudian tertawa. Om Subroto dan Om Faisal juga ikut terbahak mendengar gurauan wanita setengah baya yang masih terlihat cantik meski telah berumur itu.
Apa kalian perlu shock terapi, Kak?” Diana ikut menambahkan, seolah dia juga ikut ambil andil dalam peristiwa malam itu.

Nanda hanya tersenyum simpul mendengar gurauan mereka. Wajahnya memerah menahan malu. Di sampingnya, wajah Bisma pun memerah. Ia juga hanya bisa tersenyum simpul, lalu meraih HP di saku celananya, dan mengirimkan sebuah BBM untuk adiknya yang centil itu.

'Awas ya, ntar kakak karungin trus kakak lempar ke Bandung ke rumah Si Reza tau rasa kamu nanti.'

Beberapa saat setelah BBM itu terbaca, Diana membalas.

'Aaaa,,,, mau bangeeeettttt,,,,,,' Tulis Diana dalam BBMnya. Tak lupa, gadis itu menyematkan gambar orang terbahak di akhir balasannya.

"Jiaahhh,,,, malah kegirangan nih anak." Gumam Bisma, sambil nyengir aneh.

'* * * * *

Mobil sport hitam milik Rangga melaju pelan memasuki sebuah pelataran rumah besar dengan taman luas di depannya. Pemuda itu menghentikan mobilnya di salah satu sudut halaman, dan menengok gadis di sampingnya yang tampak bingung melihat suasana luar mobil. Rangga tersenyum melihat ekspresi wajah kekasihnya itu.

"Ini rumah siapa, Ngga???" Tanya gadis itu, masih dengan jidat berkerut.

"Rumah aku." Rangga menjawab santai. Dan mendengar jawaban Rangga itu, mata Shita membulat sempurna.

"Ka-kamu,,, ba-bawa aku ke rumahmu, Ngga?"

"Iya. Emang kenapa?"

"Tapi,,," Wajah Shita menengok ke pintu rumah yang kini masih tertutup. Ada rasa takut yang tiba-tiba mengelus hati terdalamnya.

"Nggak usah khawatir. Semua akan baik-baik aja." Ujar Rangga, sembari mengusap lembut pipi Shita."

"Kamu yakin bawa aku ke rumah kamu, Ngga?"

"Yakinlah. Kalau aku nggak yakin mana mungkin aku bawa kamu sampai ke sini?"

"Tapi Ngga, ntar kalau Papa kamu marah sama kamu gimana?"

"Papa aku lagi keluar kota. Di rumah cuma ada Mama. Maaf ya, untuk sementara belum bisa temuin kamu sama Papa. Tapi aku akan tetap berusaha ngeluluhin hati Papa." Ujar Rangga lembut. "Sekarang kita temuin Mama dulu. Mama pasti seneng lihat kamu."

"Seneng? Kamu yakin?"

"Yakin donk. Sebenarnya Mama sering nanyain kamu."

"Nanyain aku?"

"Iya." Rangga menghela nafas sebelum melanjutkan. "Awalnya sih Mama kayak Papa. Ngelarang juga. Soalnya Mama nggak mau lihat aku sama Papa bertengkar terus. Tapi belakangan, abis aku bilang kalau nggak ada orang yang aku cintai selain kamu, Mama jadi ngerti. Dan Mama bilang, Mama pengen ketemu kamu. Jadi ya,,, sekarang aku ajak kamu ke sini."

"Kok kamu nggak bilang sama aku dulu sih, Ngga? Kalau kamu bilang dulu kan aku bisa dandan yang lebih cantik."

Rangga tersenyum mendengar rajukan Shita itu. "Segini juga udah cantik kok. Aku sengaja nggak bilang-bilang sama kamu. Biar surprise gitu." Ujarnya, lalu terkekeh.

"Ngga,,,maaf ya, gara-gara aku kamu jadi bertengkar terus sama Papa kamu."

"Sssttt,,,, nggak usah dipikirin. Aku janji akan berusaha terus ngeluluhin hati Papa. Kamu tenang aja ya." Cup! Rangga mencium tangan Shita, lalu mengelus lembut rambutnya. "Udah yuk kita temuin Mama. Mama pasti udah nunggu." Shitapun mengangguk, dan mereka akhirnya keluar mobil untuk menemui Mamanya Rangga.

Rangga tak perlu mengetuk pintu lagi, karena biasanya jam-jam segini pintu rumah memang tidak pernah di kunci. Ia langsung membuka pintu besar itu, dan menggandeng Shita memasuki rumahnya yang besar.

"Mamaaa,,,,," Serunya, memanggil Mamanya. Tapi belum ada sahutan, sampai Rangga mengulangi panggilannya lagi. "Mamaaa,,,,, Rangga udah dateng sama Shita nih."

"Ngga, kok nggak disahut-sahut sih, Ngga? Jangan-jangan,,," Kata-kata Shita menggantung. Wajahnya kini bertambah pucat. Tubuhnyapun ia sembunyikan dibalik tubuh Rangga.

"Jangan khawatir." Rangga berbalik, dan tersenyum kepada kekasihnya. "Mungkin mama masih di kamar atas." Ujarnya lagi, lalu membelai lembut pipi Shita.

"Maa,,,,," Sekali lagi Rangga memanggil.

"Iya, Ngga. Mama lagi di atas. Bentar." Akhirnya ada sahutan juga dari mamanya.

Beberapa menit kemudian, seorang wanita paruh baya yang terlihat sangat cantik dengan gaun santainya menuruni tangga, dan menghampiri kedua sejoli itu.

"Nah, itu Mama." Ujar Rangga pada Shita.

Shita tak menyahut. Wajahnya masih terlihat pias. Tapi begitu melihat senyum manis yang tersungging di bibir wanita di depannya, sedikit demi sedikit kegusarannya menghilang. Apalagi saat Rangga menggeser tubuhnya, dan menyeret dia ke depan wanita itu. Senyum ramah dan aura kebahagiaan yang memancar di wajah Mamanya Rangga itu sukses membuat ketakutan Shita langsung hilang. Wanita itupun menangkup pipi Shita, dan mengelusnya lembut.

"Ini Shita, Ngga?" Tanyanya kemudian, dan dibalas anggukan oleh Rangga. Dan entah kenapa dari balik tubuh Shita, Rangga bisa melihat mata mamanya berair. Wanita paruh baya itu masih saja mengelus wajah Shita, sambil memperhatikan dalam-dalam. "Cantik, Ngga. Cantik banget." Ujarnya kemudian, lalu memeluk Shita dengan penuh kasih sayang. Rangga bisa benar-benar melihat ada air yang mengalir dari mata mamanya. Dan dari belakang tubuh Shita, Rangga juga bisa mendengar Shita telah terisak. Rangga jadi terenyuh melihat adegan itu.

Setelah pelukan itu terurai,,,,,,,

Bersambung

By: Novita SN

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 67


Morgan yang ngelakuin aneh-aneh, kok jadi kita yang kena getahnya sih?” Sungut Bisma, yang kini tengah manyun di pembatas teras bersama Rangga.

Tau nih. Padahal kitakan nggak ngelakuin lebih. Paling mentok nyium doank. Masa’ mereka segitu takutnya?” Rangga ikut menggerutu.

Saat ini, Shita dan Nanda memang menolak didekati gara-gara mereka masih shock dengan apa yang terjadi pada Afra. Kedua gadis itu merasa sangat takut tiap kali para kekasihnya hendak menyentuh mereka. Jangankan menyentuh yang lain, menyentuh tangan saja mereka langsung teriak gaje. Jadi sekarang, Bisma sama Rangga hanya pasrah. Mereka membiarkan kedua gadis itu terduduk di kursi depan kamarnya. Sesekali, kedua gadis itu melirik takut-takut ke arah mereka.

Kalian masa’ nggak percaya sama kita, sih?” Ujar Rangga, memecah kebisuan yang beberapa saat mengiringi kebersamaan mereka. “Kalian kan tau sendiri kita nggak pernah berbuat lebih. Coba ingat-ingat, selama setahun ini kita pacaran, pernah nggak aku bilang pengen yang lebih? Enggak kan?!”

Kamu masih ingat juga nggak Nda, waktu di pulau. Waktu itu kita juga Cuma berdua doank. Kalau aku niat mau ngelakuin sesuatu sama kamu, pasti waktu itu udah aku lakuin. Waktu itu kita Cuma berdua doank. Kalau aku ngelakui sesuatu ke kamu nggak bakalan ada yang peduli. Tapi nyatanya aku nggak ngapa-ngapain, kan? Mau nyium aja ijin dulu.” Bisma ikut menimpali. Bibirnya masih saja manyun.

Tak ada jawaban dari kedua gadis itu. Keduanya hanya memandangi Rangga dan Bisma, tanpa berucap sepatah katapun. Tapi meski tak mengeluarkan suara, sepertinya mereka mulai berpikir. Terlihat dari raut muka mereka yang sepertinya terlihat mengingat-ingat. Dan begitu mereka merasa apa yang Rangga dan Bisma bilang itu benar, mereka serempak menghela nafas, lalu saling pandang.

Bener juga sih, Ta,” Bisik Nanda, di dekat telinga Shita. “Waktu di pulau Bisma emang nggak ngapa-ngapain gue. Padahal kan waktu itu kesempatannya gede banget. Tapi dia nggak ngapa-ngapain selain nyium gue. Bahkan waktu mau nyium juga dia ijin dulu.” Lanjutnya.

Rangga juga selama ini nggak pernah minta yang aneh-aneh sih, Nda.” Shita berbisik tak kalah lirih.

Trus gimana donk?” Nanda masih berusaha berbicara sepelan mungkin, agar tidak didengar oleh kedua pemuda yang masih saja menyandarkan tubuhnya di pembatas teras dengan muka terlipat itu.

Ya trus kalian musti percaya lagi sama kita donk.” Tapi sepertinya, suara Nanda masih bisa ditangkap juga oleh telinga Bisma. Buktinya Bisma langsung nyahut. “Trus ijinin kita deketin kalian lagi. Masa dari tadi kita dikacangin sih?” Lanjut Bisma, seraya beranjak dari sandarannya dan hendak melangkahkan kaki untuk mendekati Nanda. Ranggapun mengikuti Bisma. Tapi belum sampai dua langkah mereka mengayunkan kaki, tiba-tiba dua buah tangan terangkat.

Jangan deketin dulu, jangan deketin dulu.” Nanda dan Shita berseru kompak, seraya mengakat tangan mereka.

Kalian di situ aja. Jangan deket-deket dulu.” Shita.

Iiishhh,,, kalian mah.” Dengan gontai, Bisma memundurkan langkahnya lagi dan menyandarkan tubuhnya di pembatas teras.

Pemuda itu melirik ke dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka. Lewat celah pintu itu, Bisma bisa melihat Morgan yang kini tengah berpelukan dengan Afra. Terlihat juga Morgan yang kini tengah mengelus perut Afra sambil tersenyum senang. Pemandangan itu membuat pemuda itu mendengus.

Kayaknya mereka udah baikan tuh.” Bisik Bisma, membuat Rangga ikut mengintip juga ke dalam kamar.

Pakai acara peluk-pelukan lagi.” Rangga ikut menggumam.

Trus kita???”

Cengo.”

Fiuhh,,, kedua pemuda itu sama-sama menghela nafas, lalu sama-sama menyandarkan kepala mereka di kepala satu sama lain. Pandangan mereka tertuju pada kedua gadis yang kini malah asyik berbisik-bisik di kursi. Entah apa yang mereka bicarakan, Bisma dan Rangga juga tidak tau. Tapi sepertinya, gadis itu belum juga mempunyai niat untuk mendekati mereka.

* * * * *

Sedari tadi, BB Reza bordering-dering tanda ada telpon masuk. Sudah beberapa kali pemuda itu memencet tombol reject, agar si penelpon tau kalau Reza tidak ingin mengangkat telponnya. Tapi sepertinya, si penelpon tetap ngotot ingin menghubungi Reza. Sebab, berkali-kali panggilannya ditolak, ia masih saja mencoba menelpon. Reza sampai gemas dengan ulah si penelpon itu. Dan akhirnya, ia memilih untuk menon-aktifkan BBnya.

Siapa sih, Kak? Kok nggak mau angkat?” Diana yang sedang duduk di sebrangnya itu bertanya. Sekarang mereka memang tengah makan malam di kafe depan kampus. Hanya berdua, karena jatah traktiran untuk Nanda dan Bisma sudah habis sejak tiga hari yang lalu.

Nggak tau. Nomornya di private. Jadi males ngangkatnya.”

Coba sini Diana yang angkat.”

Enggak usahlah. Ngapain? Paling orang iseng. Lagian HPnya Kak Reza juga udah mati. Low bat.” Bohongnya. Tak hanya bohong kalau HPnya low bat, Reza juga merahasiakan siapa yang menelponnya tadi.

Nomor telpon orang yang menghubungi Reza itu sebenarnya tidak diprivate. Namanya terpampang jelas di layar HP Reza. Tapi Reza tidak ingin lagi berurusan dengan orang itu. Malas. Cuma buang-buang waktu, tenaga, dan setelah itu pasti pikiran Reza juga akan ikut tersita. Jadi daripada rugi sendiri, Reza memilih untuk tak menggubris orang itu.

Makan yang bener kenapa sih, Sayang, gelepotan gitu.” Ujar Reza, saat dilihatnya, ada kecap yang menempel di hidung Diana. Tangan Reza pun terangkat, dan mengusap pelan hidung Diana. Setelah hidung bangir itu benar-benar bersih, Reza menowel bibir Diana dengan usilnya, lalu tertawa kecil.

Kebiasaan deh kakak nih. Selalu aja nowel-nowel bibir.” Sungut Diana, lalu mengambil tisu dan membersihkan mukanya sendiri. Gadis itu mengeluarkan dumelan-dumelan nggak jelas sambil mengelap sekitar bibirnya.

Abisnya bibir kamu tuh ngegemesin, sih.” Reza terkekeh lagi, dan kekehannya itu membuat bibir Diana manyum. Reza sangat suka dengan bibir manyun Diana itu, hingga pemuda itu tak bisa lagi menahan hasratnya untuk menowel bibir Diana sekali lagi.

Kak Reza,,, Rrrr,,,,” Gemas Diana, membuat Reza akhirnya tergelak.

* * * * *

Untuk ke sekian kalinya, Ilham mengajak Raisya untuk ke luar asrama usai menyelesaikan tugas di kegiatannya. Kedua orang itu kini telah lebih dekat. Raisya semakin sering berinteraksi dengan Ilham. Bahkan bersama Ilham gadis itu terlihat lebih ceria. Ia tak begitu lagi mempedulikan Bisma saat mereka menjalani kegiatan kampus itu bersama. Di dalam ruangan mereka, Raisya tampak lebih dekat dengan Ilham. Hanya sesekali gadis itu menyapa Bisma, itupun kalau dia memang perlu.

Ilham merasa sangat senang dengan perubahan Raisya itu. Apalagi sekarang Raisya sudah jarang menangisi Bisma. Sepertinya gadis itu mulai menerima kalau Bisma sudah milik orang lain. Dan karena itu, Ilham ingin mencoba masuk ke hati Raisya. Ia tidak ingin hanya jadi teman curhat yang setiap saat mendengar keluh kesah Raisya tentang Bisma. Ia ingin lebih. Ia ingin rasa di hatinya dilihat oleh Raisya. Ia juga ingin Raisya merasakan simpatinya. Ia ingin Raisya merasa nyaman dan bahagia bersamanya. Dan melihat sikap Raisya saat ini, ia hampir yakin kalau Raisya memang nyaman bersamanya.

Saat ini, Ilham membawa Raisya ke sebuah kafe milik temannya yang kini tengah launcing menu makanan baru. Raisya tampak menikmati suasana kafe itu. Gadis itu sama sekali tidak mengungkit-ungkit soal Bisma. Belakangan ini, dia memang sudah jarang membicarakan soal Bisma. Dan itu membuat Ilham sangat senang.

Gue seneng, Sya, akhirnya lo sekarang udah bisa move on dari Bisma.” Ungkap Ilham dengan senyum manis tersungging di bibir. Ia menyesap minuman di hadapannya, menunggu tanggapan Raisya yang kini masih mengunyah makanannya.

Siapa bilang gue udah move on dari bisma?’ Sahutan gadis itu membuat Ilham mengernyitkan dahi. “Jangan pikir selama ini gue diem kayak gini karena gue udah bisa ngelepas Bisma, Am. Selama ini gue Cuma mau ngasih kesempatan Nanda aja buat seneng dulu sama Bisma, sebelum gue beneran ngerebut Bisma dari dia.”

Batin Ilham tersentak mendengar penuturan Raisya itu. baru saja pemuda itu merasa senang karena malam minggu nanti, ia ingin mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada gadis itu.dan sekarang, kata-kata yang meluncur bebas dari mulut gadis itu membuat seluruh rangkaian katanya yang akan ia ucapkan seolah buyar.

Ilham sama sekali tak menyangka kalau ternyata sampai sekarang Raisya masih saja terobsesi dengan Bisma. Bagaimana mungkin pertemuan yang terbilang singkat itu bisa membekaskan cinta yang begitu dalam seperti itu di hati Raisya? Bagaimana bisa Raisya sampai tergila-gila seperti itu pada Bisma? Padalah jelas-jelas Bisma tak pernah merespon dia. Kenapa Raisya sebegitu cintanya pada Bisma? Batin Ilham berkecamuk, seiring dengan kekecewaan mendalam yang dirasakannya.

Jadi lo masih ingin ngejar Bisma?” Tanya Ilham, kali ini dengan nada dingin.

Ya.” Raisya menjawab singkat.

Buat apa sih, Sya. Buat apa lo kayak orang stress ngejar-ngejar Bisma yang jelas-jelas nggak ngasih respon ke lo kayak gitu?”

Karena gue cinta sama dia, Am. Udah berapa kali gue bilang ke elo. Gue cinta sama dia?”

Apa yang membuat lo cinta sama dia? Sikapnya ke lo aja selalu dingin kayak gitu. Kenapa lo nggak nyoba buka hati lo buat orang lain, Sya? Dia udah punya cewek. Dan dia cinta banget sama ceweknya. Lo nggak mau kan dicap sebagai perusak hubungan orang?”

Gue mau. Dicap apapun gue mau. Dan gue nggak peduli sama omongan orang. Masa bodoh sama apa yang mereka bilang Yang penting gue bisa dapetin Bisma.”

Pikiran lo tuh beneran udah nggak beres, Sya.”

Emang kenapa kalau pikiran gue nggak beres, Am? Apa urusannya sama lo?” Raisya kini menatap tajam pada Ilham. “Trus kenapa lo jadi marah-marah nggak jelas kayak gitu? Kalau lo nggak mau ngedukung gue, ya udah. Lo nggak usah sok care sama gue.”

Gue Cuma nggak habis pikir sama jalan pikiran lo, Sya.” Pungkas Ilham, yang kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berlalu dari hadapan Raisya. Pemuda itu menghampiri pemilik kafe yang kini tengah mengobrol dengan kawannya juga di meja depan panggung. Di tempat duduknya, Raisya hanya menatap kepergian Ilham dengan raut bingung. Bahkan makanan Ilham baru ia makan beberapa suap. Tapi Ilham sudah meninggalkannya begitu saja.

* * * * *

Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Mereka harus segera kembali ke kamar mereka kalau tidak mau kena paket seratus seperti yang dulu. Dengan gamitan tangan Afra di sampingnya, Morgan keluar dari kamar dengan senyum sumringah. Senyum Afrapun terlihat sangat manis. Sepertinya mereka sangat bahagia.

Enak ya, udah baikan.” Celetuk Bisma, dengan nada datar.

Tinggal kita nih yang kayak kambing bego. Dicuekin melulu.” Rangga ikut menyahut.

Sory, sory.” Morgan meminta maaf, dengan masih tersenyum. “Gue bukannya mau nyuekin kalian. Lagian kan gue pikir ada Nanda sama Shita juga. Jadi kalian bisa mesra-mesraan sama mereka.”

Mesra-mesraan apaan? Dikacangin mah iya.”

Kok dikacangin?” Afra mengernyit bingung, seraya melemparkan pandang pada kedua gadis yang kini telah berdiri dari duduknya.

Gara-gara Morgan tuh.”

Kok jadi gara-gara gue?” Morgan juga bingung tiba-tiba dituduh seperti itu. “Kalian marahan?” Tanyanya, tapi tak ada yang menjawab. “Trus apa hubungannya sama gue?”

Ya ada lah.”

Enggak kok, Gan. Kita nggak pa-pa. Tadi Cuma,,,” Nanda tak meneruskan kata-katanya. Gadis itu menatap kekasihnya, lalu melangkahkan kaki mendekatinya. Dan dengan sedikit ragu, Nanda memberanikan diri menggamit tangan Bisma. “Maaf.” Ucapnya singkat, seraya menatap mata Bisma. Agaknya gadis itu telah benar-benar menyadari kalau apa yang ia pikirkan beberapa saat lalu itu salah. Dan mendengar permintaan maaf dari Nanda itu, raut muka Bisma yang sedari tadi merengut itu langsung sumringah. Kini, pemuda itu tersenyum lebar.

Iya deh, aku maafin. Tapi kamu beneran percaya sama aku, kan? Kalau di hati kamu tiba-tiba ada rasa nggak percaya sama kau, inget aja waktu kita di pulau. Pasti kamu bakalan tau kalau aku beneran selalu berusaha buat jadi yang terbaik buat kamu.” Ujar Bisma panjang lebar, dan dibalas anggukan oleh Nanda.

Maaf juga ya, Ngga.” Shita ikut-ikutan mendekati Rangga dan minta maaf. Seperti Bisma, Ranggapun tersenyum senang mendengar permintaan maaf Shita, dan langsung meraih tangan Shita, lalu menggamit pundak gadis itu.

Iya aku maafin.” Balas Rangga, masih dengan tersenyum.

Udah belum nih acara maaf-maafannya?” Morgan yang sedari tadi tak mengerti tentang apa yang terjadi pada teman-temannya itu akhirnya membuyarkan kemesraan di depannya. “Udah malem nih. Kita musti balik ke kamar.”

Iya, iya, gue tau.” Sahut Bisma dan Rangga berbarengan.

Ya udah, aku balik ke kamar, ya.” Pamit Morgan pada Afra. Afrapun mengangguk dan tersenyum. Sesaat kemudian, tangan Morgan yang tadinya memegangi pundak Afra itu turun, dan beralih ke perut Afra. “Jaga dia baik-baik, ya.” Lagi-lagi Afra mengangguk.

Pemuda itupun beralih menghadap empat orang temannya yang kini nyengir gaje melihatnya. “Kalian pada kenapa?”

Enggak.” Keempatnya menggeleng kompak, dengan tampang polos.

Kalau gitu kita balik ke kamar. O iya Nda, Ta, gue titip Afra ya. Tolong bantu jagain dia. Mungkin selama dia masih di asrama, dia bakalan banyak ngerepotin kalian berdua. Tapi gue harap kalian nggak keberatan direpotin.”

Iya, Gan. Nyantai aja. Kita nggak keberatan kok.”

Makasih ya. Gue tau kalian emang sahabat terbaiknya Afra.” Ucap Morgan, tulus. “Kalau ntar ada apa-apa, jangan sungkan telpon gue. Tapi gue minta sih jangan ada yang jealous kalau cewek-cewek ini ada yang telpon gue.”

Gue tadi nggak jealous kok.” Bisma menyahut tiba-tiba.

Emang siapa yang bilang kalau lo tadi jealous. Gue kan Cuma minta jangan ada yang jealous. Kalau emang kalian nggak jealous ya udah. Nggak perlu nyerobot gitu kali.”


Lo tuh tiba-tiba nyerobot kayak gitu malah jadi ketahuan kalau tadi lo ngerasa panas hati lho, Bii.” Rangga ikut menyahut.

Enggak kok, serius. Gue tadi nggak ngerasa gimana-gimana.”

Alaaahh,,, bo’ong lo. Gue tuh tau banget ekspresi lo tadi, Bii. Lo kagetnya agak lebay gitu. Ngaku aja deh lo.”

Ayo ngaku. Emang tadi jealous gitu waktu aku telpon Morgan?” Kini, Nanda yang menanyai.

Sebenernya iya sih. Tapi Cuma dikit. Dikit banget kok.” Akhirnya Bisma mengaku sambil nyengir gaje. “Abisnya aneh aja kamu tiba-tiba telpon Morgan. Tapi abis aku tau yang sebenarnya aku nggak jealous lagi kok. Serius.” Jelas Bisma, sembari menegakkan jari telunjuk dan jari tengahnya di depan Nanda.
Beberapa saat kemudian, mereka benar-benar pergi dari asrama putri, meniggalkan gadis-gadis itu. Morgan sebenarnya merasa lega karena sekarang, ia tidak dicueki Afra lagi. Ia juga senang karena ternyata, Afra menerima kehamilannya itu. Saat Morgan menerima pesan singkat yang hanya berisi satu kalimat pemberitahuan tentang kehamilan itu, Morgan sempat berpikir kalau Afra tidak menerima kehamilannya dan akan berbuat nekat. Tapi setelah bertemu dengannya tadi, Morgan tau kalau ternyata Afra merasa bahagia, meski ia yakin ada penyesalan dan kegusaran di dalam hatinya.

Sekarang Morgan harus mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan kalau-kalau orang tua Afra ngamuk padanya. Ia harus bisa meyakinkan kedua orang tua Afra kalau kejadian itu benar-benar di luar kendalinya.

'* * * * *

Sekitar jam setengah sepuluh malam Rafa baru sampai di rumah Vita. Barusan, kedua insan muda itu pergi ke kafe dulu untuk makan malam sekalian melepas rindu sebelum pulang ke rumah.

"Yachh,,,, udah nyampe rumah." Keluh Rafa, begitu ia menghentikan mobilnya di depan pintu rumah Vita. Tapi meski telah sampai, agaknya pemuda itu masih enggan membuka pintu untuk gadisnya. Bahkan, ia masih saja mengaktifkan kunci pintu mobilnya.

"Besok kan masih bisa ketemu lagi."

"Nunggu seenggaknya 18 jam lagi. Lama." Keluhnya lagi. "Besok kamu main ke kantorku donk."

"Kalau aku main ke kantormu, ntar kamu nggak jadi kerja donk."

"Ya kamu datengnya pas jam makan siang aja. Sekalian bawain aku makan siang."

"Eumm,,,, gimana ya???" Vita tampak berpikir, sementara Rafa malah mendengus. "Iya deh iya. Besok aku main."

"Beneran???" Rafa jadi tersenyum girang.

"Iya."

"Waaahhh,,, makasih, sayang." Ujarnya, kemudian merengkuh kepala Vita dan mencium keningnya.

"Raf, kok kamu sekarang jerawatan sih?" Vita bertanya saat ia melihat ada jerawat di pipi kiri Rafa.

"Iya nih. Gara-gara nahan kangen jadi jerawatan."

"Sini, aku obatin biar cepet sembuh." Gadis itupun mendekatkan wajahnya ke wajah Rafa, dan mencium lembut pipi kiri Rafa yang ada jerawat kecil memerah itu. Menerima perlakuan kekasihnya itu, Rafa jadi senyam senyum gaje.

"Nih, bibir aku juga kering lho. Lihat deh. Obatin juga donk."

"Mau banget ya, diobatin bibirnya???"

"Iya, biar cepet sembuh. Perih tau rasanya."

"Ya udah kalau gitu kamu merem dulu deh."

"Waaahhh,,, mau dikasih beneran. Iya deh iya. Aku merem." Rafapun memejamkan matanya, dan menyodorkan mukanya ke dekat muka Vita. Dan dengan isengnya, gadis itu menempelkan sebuah permen kiss ke bibir Rafa.

"Nih. Dasar omes."

"Kok permen sih??"

"Abisnya, modus mulu kerjaannya. Udah gih buruan buka pintunya udah malem. Pengen istirahat nih."

"Dasar pelit." Gerutu Rafa, yang kemudian membuka kunci pintu mobilnya.

Pemuda itu juga mengeluarkan koper kecil yang tadi dibawa Vita. Dan melihat koper kecil itu, dahi Rafa jadi mengernyit.

"Kok kamu bawa barang dikit amat? Emang barang-barang kamu nggak kamu bawa pulang semua? Kan kamu udah nggak balik lagi ke sana?"

Mendengar pertanyaan itu, Vita tersentak. Gadis itu mendadak jadi gugup. "Emm,,, itu Raf. Emm,, mungkin besok mau dipaketin aja. Sa,,sama te,,temenku." Bohongnya.

"Ooo,,," Rafa manggut-manggut, meski sebenarnya masih ada yang mengganjal di benaknya. Sebenarnya Rafa sudah merasakan banyak hal yang aneh dengan Vita. Kepulangannya yang mundur sampai dua minggu tanpa alasan jelas, dan sekarang, barang-barang yang cuma sedikit dibawanya pulang, itu membuat Rafa curiga. Tapi ia ingin berusaha percaya pada kekasihnya itu, meski hatinya terkadang bertanya-tanya.

'* * * * *

Bersambung

By: Novita SN