Tuesday, April 23, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 14

“Ehm,,,,”Tiba-tiba, terdengar suara orang berdehem. Merekapun berbarengan menengok ke arah suara itu. Dan di ambang pintu, terlihat mamanya Afra berdiri di sana memperhatikan mereka. 

“Mama????” Seru Afra, yang kemudian melepaskan pelukan Morgan. Morganpun segera menjauh dari Afra. Dan karena ia tak sadar kalau ranjang yang ia duduki terlalu sempit, pemuda itu terjengkang dan jatuh terjerembab di lantai. 

“Morgan???” Afra berseru lagi, seraya melongok ke bawah ranjangnya dan melihat Morgan yang tengah meringis-ringis sambil memegangi pingganganya yang baru saja beradu dengan lantai. “Kamu nggak pa-pa?” Morgan hanya menggeleng, tapi wajahnya masih tetap meringis menahan sakit. 

Dari balik ranjang Afra, Morgan mengintip ke arah mamanya Afra yang tampak menahan tawa di belakang pintu. 

“Eh tante. Maaf tante,,, tadi,,,, eemmmm,,,, tadi Morgan nggak ngapa-ngapain kok. Beneran deh.” Ujar Morgan terbata, kemudian menegakkan telunjuk dan jari tengahnya. “Tadi,,, engg,,, tadi,,, Morgan Cuma,,, itu,,, anu,,,, apa,,,” Morgan bingung harus bilang apa. 

“Iya, tante tau kok Nak Morgan nggak mungkin ngapa-ngapain anak tante.” Wanita tengah baya itupun akhirnya mendekat ke ranjang anaknya. “Nak Morgan kan anak yang baik. Jadi tante percaya sama Nak Morgan.” Mamanya Afra masih tetap tersenyum. 

“Terima kasih tante udah percaya sama Morgan.” Morgan nyengir, seraya berdiri masih sambil memegangi pinggangnya yang terasa ngilu. 

“Iya. Tante memang percaya kok sama Nak Morgan. Tapi, jangan sampai Nak Morgan khianatin kepercayaan tante ya.” 

“Iya tante. Morgan pasti akan selalu jaga kepercayaan tante.” 

Mereka sama-sama tersenyum. Sementara di ranjangnya, Afra tampak memandangi percakapan di depannya itu dengan muka bersemu merah. 

“Apa Mama mengira kalau kemarin-kemarin aku sama Morgan udah pacaran ya? Kok tadi Mama ngebiarin dia berduaan aja sama aku di kamar ini? Trus kayaknya Mama udah percaya banget sama dia begitu lagi.” Batin Afra, yang kemudian ikut mengembangkan senyum bersama mereka. 

‘* * * * * 

‘Nda, gw k RS skrg ya. Ntar lo nyusul ja k RS. Gw dsna smpe sore.’ 

Shita mengirim pesan singkat itu kepada sahabatnya usai mengikuti kuliah. Tak berselang lama, pesan singkat itupun berbalas. 

‘Ok deh. Ntar siang gw nyusul. Gw cuma ada dua mata kuliah. Yg ntar sore dosennya g da.’ 

“Ngga, Nanda mau nyusulnya ntar siang katanya. Lo kasih tau Bisma gih.” Ternyata saat ini, Shita sedang bersama Rangga. Mereka berdua akan menjenguk Afra bersama. Sengaja, Shita meninggalkan Nanda karena Rangga bilang, Bisma ingin mencoba membujuk Nanda lagi agar mau ikut bersamanya. 

“Ok deh. Ntar gue kasih tau Bisma.” 

Mobil Rangga melaju ke arah rumah sakit tempat Afra dirawat. Di dalam mobil yang hanya terisi mereka berdua itu, mereka tak henti-hentinya melemparkan canda. Rangga yang orangnya memang humoris itu nyaris membuat Shita tak henti tertawa karena candaannya. 

“Kalau kata temen-temen gue, gue tuh kayak reinkarnasinya raja dangdut. Hahaha,,, jadi kalau ada lagu dangdut dikit udah deh. Ogel-ogelan tuh badan gue.” Ujar Rangga seraya meledakkan tawanya. 

Baru saja ia bercerita bahwa dia kadang-kadang reflek berjoged kalau denger lagu dangdut. Padahal sebenarnya dia tak terlalu maniak dangdut. Tapi entah kenapa badannya suka bergoyang-goyang sendiri kalau ada lagu dangdut mampir ke telinganya. 

“Ahahahaha sumpah lo tuh lucu banget, Ngga.” Shita terpingkal mendengar cerita Rangga. 

“Trus gue juga punya goyangan khas lho. Gini nih goyangannya.” Rangga mengangkat kedua tangannya, dan ia taruh di belakang kepalanya, seraya menyibak rambut belakangnya yang sedikit memanjang. Sementara itu badannya bergoyang-goyang persis seperti ulet bulu yang lagi jalan di aspalan. Terang saja Shita tambah terpingkal melihat tingkah Rangga. 

Apalagi saat Rangga bergoyang sambil menyanyikan sebuah lagu dangdut. “Selamat malam duhai kekasih, sebutlah namaku menjelang tidur,,,,” 

Shita sampai tertawa sambil memegang perutnya yang kini telah tegang karena terlalu banyak tertawa. Suasana itu kontan membuat mereka jadi pusat perhatian orang-orang di jalanan karena mobil Rangga yang terbuka. 

“Ngga, setir Ngga, setir.” Ucap Shita ngap-ngapan, saat disadarinya Rangga membiarkan begitu saja setir mobilnya. Shita masih terus melanjutkan tawanya. Ia serasa tak bisa menyetop tawanya karena candaan Rangga. 

Sementara itu, Rangga malah terkesima melihat Shita yang terus tertawa itu. Kini tangan Rangga kembali memegang setir dengan mata yang masih terus menancap pada wajah di sampingnya. Tawanyapun kini tak terdengar lagi. Suaranya juga telah hilang. Kini, ia hanya ingin menikmati pemandangan yang menurutnya menakjubkan di sebelahnya. 

“Gue seneng Shit, bisa bikin lo ketawa kayak gitu. Gue seneng lihat lo seneng. Apalagi lo seneng karena gue. Hhmm,,,, lo cantik banget sih Shit. Jadi makin kesensem gue sama lo. Kalau gue ngomong suka sama dia sekarang, kira-kira terlalu cepet nggak ya. Kita kan kenalnya belum terlalu lama. Tapi beneran deh, gue udah beneran cinta sama lo Shit. Tau nggak sih lo Shit. Gue tu cinta sama lo. Dengerin gue donk Shit,,,” Mana Shita mau denger. Rangga ngomongnya Cuma di batin doank. Hadeehhhh @_@ 

“Rangga awaaassss,,,,,,,” Tiba-tiba, Shita berteriak, membuat Rangga tersentak dari lamunannya. 

“Aaaaa,,,,,,,,” 

Ciiiiiittttttt,,,,,,,,,,,,, 

Untung Rangga bisa langsung menginjak rem, dan mobil itupun berhenti secepat kilat. Kalau tidak, pasti bapak-bapak yang mau menyebrang jalan itu sudah tertabrak mobilnya Rangga. Bukannya menyingkir, Bapak-bapak itu malah berdiri mematung di depan mobilnya Rangga yang sekarang jaraknya tinggal beberapa centimeter lagi dari tubuhnya. Muka bapak-bapak itu membelalak. Mungkin shock. 

Sementara di dalam mobil, Shita tampak menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan. Di sebelah Shita, Rangga tampak ngos-ngosan. Sepertinya dia juga tak kalah shock sama bapak-bapak itu. 

Begitu semua tersadar, bapak-bapak itu mendekati Rangga dan berdiri di samping mobilnya. Dengan gemas, ia memelintir telinganya Rangga sekuat tenaga. 

"Aduh,, duh,, duh,, duh,,, sakit pak, sakit,,," 

"Biarin. Biar tau rasa." Ujar Bapak tua itu, dengan tetap menarik telinga Rangga tanpa ampun. "Makanya kalau nyetir tuh yang bener. Jalanan tuh di depan. Bukan di samping. Masa' mobil jalan ke depan kok matanya malah lihat ke samping?" 

"Maaf Pak, tadi lagi ngelamun." 

"Kalau mau ngelamun ya jangan nyetir. Kalau mau nyetir jangan ngelamun. Jangan nyetir sambil ngelamun." 

"Iya iya Pak maaf. Tapi lepasin donk Pak. Telinga saya sakit nih pak. Ntar kalau telinga saya panjang kayak telinganya pinokio gimana Pak?" 

"Pinokio itu yang panjang hidungnya kali, Ngga. Bukan telinganya." Shita yang sekarang telah membuka wajahnya itu ikut menyela. Seketika, Bapak tua itu menengok ke arah Shita. Shita tersenyum melihat bola mata yang kelopaknya telah sedikit keriput itu mengarah kepadanya. 

"Pantesan nengok kesitu terus." Hanya itu yang dikatakan Bapak tua itu, lalu ia melepaskan jeweran tangannya di telinga Rangga. Bapak itu kemudian pergi meninggalkan mereka tanpa berkata apapun lagi. 

"Lo sih, Ngga. Ngeliatin ke gue terus. Mau nabrak kan jadinya?" 

"Kok gue? Jelas-jelas itu yang salah lo." Tangkis Rangga, ngasal. 

"Kok jadi gue? Kan yang nyetir lo. Salah gue apa coba?" 

"Mau tau salah lo?" Rangga masih ngotot menyalahkan Shita. "Wajah lo tu bikin gue kesensem. Bikin gue pengen ngeliat lo terus. Tawa lo tadi juga tuh. Bikin gue nggak konsen nyetir. Bikin hati gue deg-degan. Bikin angan gue melayang-layang. Dan kecantikan lo tuh. Bikin gue cinta sama lo. Makanya mata gue,,, nggak bisa,,,, lepas,,, dari,,, lo,,," Di akhir kalimatnya, suara Rangga semakin lama semakin lirih, persis radio yang kehabisan batre. Ia merasa telah kelepasan bicara. 

Shita terkesiap mendengar semua omongan Rangga. Ia menatap Rangga dengan tajam, tanpa menanggapinya sepatah katapun. Untuk sesaat kedua orang itu seperti patung yang saling berhadapan. Diam tak bergeming sedikitpun. Hingga kemudian, Shita bergerak dari bengongnya, dan mengubah posisinya menghadap ke depan. Gadis itu masih tak bicara apa-apa. 

Merasa tak ada tanggapan apapun dari manusia di sebelahnya, Ranggapun menginjak gasnya, dan meneruskan perjalanan mereka ke rumah sakit. 

"Sory,,, gue nggak bermaksud,,," ah percuma Rangga menjelaskan. Toh kata-kata itu telah keluar dari mulutnya. Tak bisa ditarik lagi. Jadi ia memilih diam dan menunggu tanggapan Shita. Tapi, gadis itupun masih terdiam tak bicara apapun. 

15 menit mobil yang awalnya dipenuhi dengan gelak tawa itu diisi keheningan. Kedua penghuninya diam dalam pikiran mereka masing-masing. 

"Shit, gue salah bicara ya?" Rangga membuka suara saat ia merasa tak tahan lagi dengan kebekuan itu. 

"Lo cinta sama gue, Ngga?" 

Rangga diam sesaat. Tapi kemudian, ia menjawab juga pertanyaan Shita. "Iya. Salah ya, Shit kalau gue bilang gue cinta sama lo?" 

"Enggak sih, Ngga. Cuma,,," 

"Cuma apa Shit? Kok lo kayaknya shock gitu denger gue bilang cinta?" 

"Gue emang shock, Ngga. Gue kaget lo tiba-tiba bilang cinta sama gue." 

"Lo nggak cinta sama gue ya Shit?" 

"Bukan gitu, Ngga,,," 

"Jadi lo cinta juga sama gue." 

"Enggak gitu juga?" 

"Trus apa donk? Ini enggak itu enggak? Atau jangan-jangan, lo udah punya tambatan hati yang lain ya?" 

"Bukan gitu juga, Rangga." 

"Trus apa Shita????" 

"Gue cuma perlu waktu. Ini terlalu cepet, Ngga. Kita kenal belum lama. Gue perlu waktu buat ngeyakinin perasaan gue ke lo." 

Rangga menghela nafas, dan menghembuskannya dengan pelan. Wajahnya berubah serius. Sepertinya pemuda itu sedikit kecewa. 

"Sory, Ngga. Bukan maksud gue mau ngecewain lo. Tapi ini beneran terlalu cepet. Kita musti ngeyakini perasaan kita masing-masing. Gue cuma butuh waktu buat kenal lebih deket sama lo." 

Rangga terdiam lagi. Tapi kemudian, pemuda berpipi cubby itu mengangkat wajahnya, dan menengok ke arah Shita sambil menyunggingkan senyum. 

"Nggak pa-pa kok Shit. Gue ngerti. Itu artinya lo pengen jalin hubungan yang serius. Nggak main-main. Makanya lo mau yakinin semuanya dulu. Iya kan?!" 

Shita hanya menatap mata Rangga. Ia tak percaya kalau pemuda di depannya itu akan sepengertian itu padanya. Dan di mata Rangga, ia bisa menemukan ketulusan di sana. 

"Gue bakalan nunggu lo, Shit. Nunggu sampai lo yakin sama perasaan lo ke gue. Dan asal lo tau. Kalau soal perasaan gue, gue emang bener-bener yakin kalau ada cinta di hati gue buat lo. Lo nggak perlu raguin perasaan gue. Lo cuma perlu ngeyakinin perasaan lo." Pungkas Rangga, yang hanya dapat balasan kediaman dari Shita. 

Mobil sport hitam itu melaju menyusuri jalanan menuju rumah sakit. Beberapa saat dalam keseriusan, Rangga kembali melontarkan candaan lagi, membuat suasana kembali cair. Shita bisa tertawa-tawa lagi, meski ia tetap memikirkan apa yang Rangga bilang tadi. 

* * * * * 

Begitu keluar dari kelasnya, Nanda telah disambut cengiran Bisma di depan kelasnya. Pemuda itu telah nongkrong di sana entah sejak kapan. Tanpa menyapa, Nanda langsung melanjutkan jalannya menjauh dari kelasnya. Tapi Bisma tak peduli sama kecuekan Nanda. Iapun mengikuti langkah Nanda, tanpa dikomando lagi. 

"Heran deh gue sama lo. Tiap kali gue keluar kelas, selalu aja ada lo. Sebenernya lo tuh di sini kuliah beneran, apa cuma mau nampang sih? Heran gue." 

"Mau kuliah sekalian nampang juga nggak ada yang ngelarang, kan?!" Bisma kembali nyengir. 

"Emang beneran nyebelin deh lo." 

"Terserah deh lo mau bilang apa. O iya lo mau ke rumah sakit jengukin Afra, kan?! Kita bareng aja ya." 

"Bareng? Emang lo juga mau kesono? Mau ngapain?" 

"Ya jengukin Afra jugalah. Masa mau ngapain?" 

"Maksud gue, ngapain lo jengukin sohib gue?" 

"Ya biarin donk. Suka-suka gue. Lagian gue juga mau lihatin Morgan. Semalem kan dia nginep di rumah sakit tuh. Siapa tau dia butuh sesuatu." 

"Si Chiness semalem nginep di rumah sakit? Ngapain?" 

"Ya nungguin Afralah. Masa' mau dinner? Sekarang ayo buruan kalau mau kesono. Gue udah bawa motor nih." Bisma meraih tangan Nanda, dan menariknya untuk mengikuti langkahnya. 

"Ehh,,, lepasin gue. Siapa juga yang mau bareng sama lo." Nanda berhasil menarik tangannya, hingga cengkeraman tangan Bisma terlepas. 

"Lo tu gimana sih? Kemarin katanya kalau gue pakai motor lo mau ikut gue. Sekarang gue bawa motor beneran lo masih nggak mau juga. Mau lo apa?" 

"Mau gue, lo jauh-jauh dari gue. Males gue ngeliat lo." 

"Nggak bisa. Gue nggak bisa jauh dari lo. Sekarang lo harus ikut gue. Titik." Paksa Bisma, lalu kembali meraih tangan Nanda. 

"Lepasin gue,,,, gue nggak mau ikut sama lo." Nanda meronta. 

"Pokoknya harus mau. Kemarin kan lo yang bilang sendiri kalau gue pakai motor lo mau ikut." 

"Kapan gue ngomongnya?" 

"Jangan pura-pura amnesia deh. Sekarang mendingan lo nurut sama gue." Bisma tetap keukeuh memaksa Nanda ikut dengannya, tanpa peduli dengan Nanda yang meronta-ronta dan memukuli lengannya. Tapi kemudian,,,, 

"Auw,,,auw,,, auw,,, sakiiiittt auw,,,," Teriak Bisma kesakitan. Pemuda itu melepaskan cengkeraman tangannya seketika. Ternyata, Nanda telah menggigit tangan Bisma. 

"Sukur lo." Ucap Nanda begitu puas, lalu berlari meninggalkan Bisma yang mengibas-ngibaskan tangannya karena kesakitan. 

"Aduh,,, bener-bener kayak macan lo ya? Mainnya gigit-gigitan. Udah galak. Suka ngegigit lagi. Aduh,,, tangan gue sakit banget." Bisma mengumpat-ngumpat seraya mengibas-ngibaskan tangannya yang terkena gigitan Nanda. 

"Aduuh,,, kenapa sih tuh cewek susah banget dideketinnya? Apa ini karma buat gue ya? Gue kan sering banget nyuekin cewek yang suka sama gue. Dan sekarang gue dicuekin gini sama orang yang gue suka. Ternyata dicuekin tuh nggak enak banget. Tapi kan dulu gue nggak pernah ngegigitin cewek-cewek yang gue cuekin. Kok sekarang gue kena gigit sih?? Aduh, sakit banget tangan gue." 

Begitu menyadari Nanda telah berlari menjauhinya, Bismapun kembali mengejarnya. 

"Hei,,, embem, tungguin gue,,, kita ke rumah sakit bareng aja." Teriak Bisma, mencoba mengejar Nanda kembali. 

"Ogah gue bareng sama lo. Dan denger ya, jangan panggil gue embem. Gue nggak suka." 

"Abisnya lo nggak ngasih tau nama lo ke gue." 

Bisma masih mrngikuti langkah Nanda yang memburu. Sesampai di gerbang kampus, pemuda itu menepuk jidatnya sendiri. 

"Motor gue,,,,Arrgghhh,,,, siaalll,,,," Gerutunya seraya mengadukan giginya. "Embem,,, tungguin gue. Gue ambil motor dulu,,," 

"Penting banget gue nungguin lo?" Ujar Nanda, sok cuek, membuat Bisma semakin geram. 

Dengan ngedumel-dumel nggak jelas, Bisma melangkan kaki menuju parkiran untuk mengambil motornya. 

Tak lebih dari 5 menit, motor Bisma keluar dari gerbang kampus dan sampai di depan halte. Tapi terlambat. Nanda sudah menyetop angkot dan menumpanginya. 

"Mbeemmmm,,,,,, tungguin gue. Lo bareng sama gue aja." Teriak Bisma, yang tak ada sahutan apapun lagi dari Nanda. Dan itu membuatnya semakin kesal. "Arggghhh,,,, sial sial siaaalll,,,"Ia memukulkan tangannya ke tangki motornya, membuat semua orang di halte memperhatikan tingkahnya. 

"Apa lo lihat-lihat? Pada belum pernah lihat orang teriak-teriak di jalanan?" Kesal Bisma, saat ia menyadari kalau ia telah jadi pusat perhatian. 

Akhirnya, ia meluncur mengikuti angkotnya Nanda. 

* * * * * 

"Kira-kira Bisma bisa nggak ya bujukin Nanda biar mau ikut sama dia?" Ujar Rangga, yang saat ini telah berada di rumah sakit bersama Shita. Sudah sejak satu jam yang lalu kedua anak itu berada di sana. Mamanya Afra tak terlihat di ruangan Afra. Entah kemana wanita paruh baya itu saat ini. 

"Kok gue nggak yakin ya, Nanda mau ikut sama Bisma." Shita meragukan. 

"Kalau menurut gue, sebenernya Nanda tuh juga ada hati sama Bisma. Cuma dia terlalu gengsi buat bilang. Lagian Bisma juga sih, ngedeketinnya terlalu over. Nggak pelan-pelan. Grasak grusuk. Jadi illfeel kan Nanda jadinya." Tambah Afra, panjang lebar. 

"Tapi kalau emang dia udah ada hati sama Bisma, suatu saat dia pasti juga luluh kok." Morgan ikut angkat bicara. 

"Tapi butuh waktu lama." 

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan cepat, menimbulkan bunyi decit yang menyayat hati karena pintu yang menggesek lantai di bawahnya. 

"Lo bisa pelan nggak sih Bii kalau buka pintu? Kaget gue jadinya." Sungut Rangga, merasa tersentak dengan tingkah Bisma. 

"Si Embem belum nyampe sini?" 

"Lha ini Si Embem." Morgan menunjuk Rangga. 

"Apaan sih lo, Gan. Rese deh" Ujar Rangga, tak terima. 

"Bukan yang ini, Embem yang cewek." 

"Jadi lo nggak sama dia?" 

"Menurut lo?" Kesal Bisma, seraya menutup kembali pintu kamar rawat Afra. "Kalau gue sama dia, gue nggak bakal tanyain dia kali." 

"Ah,,, payah lo Bii. Nggak berhasil melulu." 

"Abisnya temen kalian tuh aneh tau nggak. Kemarin dia bilang gue suruh pakai motor. Baru dia mau ikut. Sekarang gue udah pakai motor masih nggak mau ikut juga. Aneh kan? Sekarang biarin aja dia. Sukurin. Pasti dia kena macet tuh di perempatan tadi. Ngeselin juga lama-lama. Udah keras kepala, galak, judes, cuek, tapi cantik sih. Gue suka. Hihihihi,,,," *Gubrak!!!!* 

"Dasar lo Bii. Udah ngehina-hina, ujung-ujungnya suka juga. Sebenernya yang aneh tu lo apa dia sih?" Morgan berujar setelah menepuk jidatnya sendiri. 

"Mereka tuh sama-sama aneh. Jadi serasi gitu deh." Rangga menambahkan. 

"Tapi serius deh. Gue lama-lama gedek juga sama dia. Ngeselin banget. Heran gue. Kenapa sih, dia nggak mau ikut juga sama gue. Padahal gue kan ganteng, mobil gue keren, motor gue cakep. Kurang apa coba." *Hadeeuuuhhh,,,, si mamang kumat sombongnya (-_-') 

"Lo tadi maksa-maksa dia kali Bii. Biasanya kan lo tukang paksa gitu. Jadi illfeel deh dia sama lo." 

"Abisnya gue udah kesel. Ya udah gue paksa aja dia ikut gue." 

"Jadi lo beneran maksa dia?" Afra dan Shita berseru kompak. 

"Abisnya gue bingung musti gimana." 

"Haduh Bii,,, Bii,,, cewek tuh nggak suka dipaksa-paksa, Bii. Lo tuh mustinya pelan-pelan. Kalau lo maksa terus, dia bakalan tambah illfeel sama lo." 

"Iya nih Si Bisma parah banget. Mustinya pelan-pelan aja Bii,,,," 

Belum sampai Rangga menyelesaikan kalimatnya, pintu ruang rawat Afra kembali terbuka. Dan sata kelima orang itu menengok ke arah pintu, mata mereka menemukan Nanda yang berdiri di ambang pintu dengan muka kesal. 

"Kenapa ninggalin gue???" Serunya seketika. 

Semua dahi mengernyit, tak terkecuali Bisma. 

"Kok jadi gue yang ninggalin lo? Bukannya tadi lo yang nyelonong naik angkot duluan? Suruh bareng gue nggak mau?" 

"Tapi kan tadi lo ngikutin gue. Lo ada di belakang mobil angkot gue? Kenapa malah duluan?" 

"Harusnya????" 

"Harusnya kan lo ngikutin gue aja." 

Semua terperangah mendengar ucapan Nanda. Mereka menatap Nanda tak percaya. Semua diam. Tak ada yang berucap, karena mereka sama-sama menikmati kekagetan mereka itu. Sementara yang jadi obyek pemandangan, ia tampak gelisah karena merasa telah kelepasan bicara. Tangannya meremas-remas gagang pintu, bingung harus bicara apa untuk meralat kata-katanya. 

"Bego,,, kenapa gue ngomong gitu sih?" Batinnya. 

"Jadi lo pengen dia ngikutin lo terus??" Morgan yang membuka suara. 

"Eng,,, eng,,,ya nggak gitu juga." Nanda terbata. "Cuma,,, cuma,,, gue kesel aja,,, emmm,,, kesel dia duluan yang sampai sini." Gadis itu sepertinya sudah kehabisan kata untuk memperbaiki kalimat-kalimat yang ia ucapkan beberapa menit lalu. 

"Halah,,, bilang aja lo ngarepin gue kan?!" 

"Siapa bilang? Gue nggak ngarepin lo. Gue cuma,,, cuma,,," 

"Cuma apa? Cuma pengen gue kintitin terus? Ngaku deh lo." 

"Apaan sih? Enggak." Judes Nanda, seraya menutup pintu dan berjalan perlahan-lahan menuju ranjang Afra dengan muka memerah menahan malu. 

"Iya juga. Nggak mau ngaku lagi. Ahahahaha,,,, ternyata Si Embem ngarepin gue juga." 

"Kata siapa? Jangan keGRan deh lo. Dasar cungkring. Dan denger ya, berhenti lo panggil gue Si Embem." 

"Biarin aja. Orang lo emang embem kok. Sama kayak Rangga." 

Seketika, Rangga menengok ke arah Bisma. "Lo kalau mau ngeledekin dia, ngeledekit dia aja. Nggak usah nowel-nowel gue." Rangga tak terima. 

"Lha emangh bener kok. Kalian kan sama-sama embem. Hahahahaha" 

Mereka jadi sama-sama tergelak mendengar gurauan Bisma itu, kecuali Nanda dan Rangga yang kini malah bersungut-sungut. Nanda sudah mengeluarkan dumelan-dumelannya yang tak digubris oleh siapapun. 

* * * * *

Bersambung,,,, 
By: Novita SN

No comments:

Post a Comment