Thursday, July 18, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 61


Sedari tadi, Bisma menguap-nguap terus karena semalaman dia tidak bisa tidur. Hampir sepanjang malam pemuda itu terjaga karena memikirkan Nanda. Memikirkan bahwa gadis itu sudah hampir memaafkan kesalahannya. Bisma tinggal menunggu waktu yang tepat untuk berbicara yang lebih lama dengan Nanda, tinggal memberi waktu beberapa saat lagi untuk Nanda menata hati. Dan Bisma tidak sabar menanti saat itu, hingga matanya tak bisa terpejam sepanjang malam.

Sebenarnya pagi ini, ia ingin pergi ke rumah Nanda, mengajak gadis itu jalan-jalan, dan meminta maaf lagi agar ia segera bisa melihat senyum Nanda. Tapi sayang, tiba-tiba saja papanya malah mengajaknya mancing bersama. Ia tidak bisa menolak. Memang sudah lama Bisma tidak melakukan kegiatan itu bersama papanya. Padahal dulu, hampir setiap minggu mereka melakukan kegiatan itu bersama. Jadi kali ini, Bisma tidak bisa menolak permintaan papanya. Mungkin papanya juga rindu beradu pancing lagi dengannya.

Semalem kamu nggak tidur ya, Bii?” Tanya Om Faisal, saat melihat tatapan anaknya yang sepertinya sayu. Bisma hanya menoreh seulas senyum, sambil memutar-mutar senar pancingnya yang sepertinya telah ditarik ikan. “Kamu marahan sama Nanda?” Mendengar pertanyaan itu, Bisma jadi menghentikan kegiatannya, dan menatap papanya.

Kok Papa tanya gitu?”

Papa perhatiin semalem kayaknya Nanda agak lain. Kayaknya dia lagi marah sama kamu ya? Emang kamu ngapain?”

Engg,,, enggak ngapa-ngapain kok, Pa. Lagian juga kita nggak berantem kok.” Bohong Bisma. Pemuda itu berusaha bersikap sebiasa mungkin agar kebohongannya tidak tercium oleh papanya. Bukannya apa-apa. Bisma Cuma tidak ingin orang tuanya tau kalau dia lagi marahan sama Nanda. Sebab, kedua orang tuanya itu selalu saja heboh kalau ada kejadian buruk yang menimpa hubungannya dengan Nanda. Entah kenapa, mereka berdua sangat antusias ingin menjadikan Nanda menantu mereka. Mungkin tak hanya Bisma yang telah jatuh cinta sama Nanda. Kedua orang tuanya pun telah jatuh hati kepada gadis itu. Jadi sebisa mungkin Bisma menyembunyikan pertengkarannya dengan Nanda itu, agar kedua orang tuanya tidak terlalu khawatir.

Beneran nggak berantem?” Tapi sepertinya, Om Faisal masih saja curiga.

Enggak Papa. Beneran.”

Tapi kayaknya semalem Nanda diam juga bukan karena sariawan kan?” Setelah membolakan mata, Bisma tergelak karena papanya masih inget aja sama celetukan ngasalnya Bisma semalam.

Bukan sih, Pa. Tapi mungkin Nanda lagi capek aja. Kegiatan di kampus banyak, Pa. Jadi nguras tenaga banget. Kemarin Nanda abis ada kegiatan langsung pulang. Mungkin dia masih letih. Jadi diem aja kayak gitu.”

Oooo,,, kirain. Tapi, kalau emang ada masalah sama kalian berdua, segera selesaiin, Bii. Jangan sampai kalian putus. Nanda itu udah yang terbaik buat kamu. Papa udah banyak denger tentang dia dari kedua orang tuanya. Dan papa kira omongan Pak Subroto nggak mengada-ada. Nanda emang anak yang baik. Jadi jangan sampai kamu kehilangan dia Cuma karena masalah sepele yang sebenarnya bisa kalian selesaiin. Papa rasa kalian udah pada gede. Bisa menyikapi masalah dengan pikiran dewasa. Papa juga tau kalau kalian sama-sama cocok. Jadi Papa harap kalian bisa tetap bersama sampai ke pelaminan.” Ujar Om Faisal panjang lebar, membuat hati Bisma mendesir.

Itulah salah satu yang Bisma suka dari kegiatan mancing yang sering ia lakoni dengan papanya itu. Selain ia bisa lebih dekat dengan papanya, dalam kegiatan itu pulalah Bisma sering mendapat wejangan-wejangan bijak dari papanya. Terkadang papanya akan menasehatinya tentang sekolah, tentang hidup keseharian, tentang bisnis, bahkan juga seperti tadi, tentang cinta. Dari kegiatan mancing ini, Bisma bisa mengetahui banyak hal dari papanya.

Tapi nasehat Om Faisal kali ini sepertinya membuat Bisma sedikit tertohok. Om Faisal sepertinya tetap tak percaya kalau tidak ada masalah antara dia dengan Nanda. Terlihat dari kata-kata Om Faisal yang sarat akan permintaan agar Bisma segera menyelesaikan masalahnya. Dan satu lagi yang membuat hati Bisma mendesir adalah kalimat terakhir papanya. ‘Papa harap kalian bisa tetap bersama sampai ke pelaminan’. Kalimat itu benar-benar membuat Bisma senang bercampur resah. Senang karena sepertinya orang tuanya itu memang telah memberi jalan tol untuk hubungannya dengan Nanda, tapi juga resah mengingat karena kesalahannya, Bisma hampir saja kehilangan Nanda.

Iya Papa. Bisma akan berusaha jaga hubungan Bisma sama Nanda semampu Bisma. Bisma janji.” Janji Bisma kepada papanya. Dan di depannya, Om Faisal tampak tersenyum bangga pada anaknya.

* * * * *

Jam dua siang, Bisma dan Om Faisal baru nyampai rumah lagi. Bisma yang memang belum sempat tidur dari semalam itu tampak letih. Sekarang, ia diserang kantuk yang amat berat. Tanpa mandi ataupun ganti baju, pemuda itu langsung ambruk di kasurnya. Bahkan sepatunyapun belum sempat dia lepas.

Baru, saat jam menunjukkan pukul setengah lima, Bisma terbangun. Ia baru ingat kalau harus ke rumah Nanda. Buru-buru, pemuda itu mandi dan ganti baju.

Tapi entah kenapa sebelum ia berangkat ke rumah Nanda, ia ingin sekali menelpon ke rumah Nanda dulu, untuk memastikan keberadaannya. Dan mungkin memang sebuah firasat, Tante Riska mengatakan bahwa Nanda ternyata sudah kembali ke asrama. Baru beberapa menit yang lalu Nanda berangkat dengan diantar sopir. Kecewa hati Bisma bukan kepalang saat mendengar kabar itu. Padahal dia berencana untuk kembali ke asrama besok pagi. Dia tidak akan bisa menunggu selama itu. Bisa-bisa nanti malam dia akan terjaga lagi karena memikirkan Nanda.

Bismapun kembali ke atas, ke kamar adiknya. Saat itu, Diana masih tertidur pulas. Dengan tanpa dosa, pemuda itu mengobrak-abrik acara tidur siang Diana yang sengaja Diana molorkan sampai sore.
Diana bangun.” Bisma langsung menyingkap bad cover yang membungkus tubuh adiknya tanpa permisi. Dan dengan sigap, pemuda itu mengangkat tubuh adik mungilnya, hingga Diana terduduk tegak. Diana jadi seperti orang linglung karena dibangunkan paksa oleh kakaknya seperti itu. Matanyapun masih setengah merem. “Bangun, Dii.” Kali ini, Bisma menepuk-nepuk pipi adiknya.

Saat Diana tau kalau ternyata Kakak laki-lakinyalah yang membuyarkan sisa mimpi siang bolongnya, Diana jadi manyun.

Apaan sih, Kak. Ganggu aja deh.” Gadis itu membaringkan tubuhnya kembali, masih dengan merengut.

Bangun, Dii. Kita kembali ke asrama sekarang.”

Nggak mau. Katanya mau baliknya besok pagi.” Tolaknya, seraya merapatkan bad covernya lagi, hingga menutupi seluruh badannya hingga ke kepala.

Kita musti balik ke sana sekarang, Dii. Kak Nanda udah balik ke sana. Kita musti nyusulin dia.”

Kakak aja yang nyusul. Diana besok aja. Biar dianter sopir.”

Nggak bisa, Diana. Kakak harus balik sama kamu.”

Tapi Diana nggak mau, Kak. Diana masih pengen di rumah.”

Ayolah, Dii. Kakak mohon. Kalau kamu ikut kakak sekarang, kamu boleh minta apa aja dari kakak deh.” Diana tak menjawab. Dia masih bersembunyi di balik bad cover yang menyelimutinya. Tapi tiba-tiba, gadis itu terkesiap menyadari kata terakhir kakaknya.

Beneran boleh minta apa aja?” Kini, Diana bangkit tanpa diminta lagi. Bismapun mengangguk.

Iya. Apa aja deh.”

Kalau gitu Diana minta sepatu rodanya kakak yang dari Paris.” Diana memang sudah lama mengincar sepatu roda yang Bisma dapatkan waktu dia jalan-jalan ke Paris bersama Rangga dan Morgan tahun lalu itu. Tapi mendengar permintaan Diana itu, sepertinya Bisma lupa sama kata-katanya sendiri yang katanya mau ngasih apa aja ke Diana.

Jangan yang itu donk, Dii. Itu kan sepatu roda kesayangan kakak.”

Ya udah kalau nggak mau. Diana juga nggak mau ikut kakak.” Diana menjatuhkan tubuhnya lagi ke kasur, lalu menutup tubuhnya dengan bad cover.

Iiihhh,,, kamu mah. Please deh, Dii. Kakak mohon.”

Sepatu rodanya dulu, baru Diana mau ikut.”

Pinjem aja deh, ya?”

NGGAK MA U.” Diana menekankan kata-katanya.

Akhirnya Bisma mengalah. Daripada ribut kelamaan, buang-buang waktu, iapun segera ke kamarnya sambil sedikit ngedumel. Dan beberapa saat kemudian, ia kembali ke kamar Diana dengan membawa sepasang sepatu roda yang diinginkan adiknya itu. Di balik bad cover yang menyelimutinya, Diana mengintip kakaknya yang menjatuhkan begitu saja sepatu roda di tangannya. Sebenarnya Bisma nggak ikhlas melepaskan sepatu roda kesayangannya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Demi Nanda, apapun akan ia lepaskan. Dia memang ingin buru-buru bertemu dengan Nanda, dan untuk itu dia butuh bantuan Diana.

Tuh.” Ucap Bisma, dengan muka terlipat.

Wuah,,,,,,, akhirnya,,,,,” Gadis yang tadinya merengut karena dibangunkan paksa oleh kakaknya itu kini bersorak kegirangan melihat sepatu roda yang telah lama diincarnya. Matanya yang tadi setengah merem kini membola, persis seperti mata kucing, tanpa peduli dengan kakaknya yang bersungut-sungut di sampingnya. “Terima kasih ya, Kak. Kak Bisma tuh emang kakak pualing buaaiiiikkk sedunia.” Dianapun bangkit dan mencium pipi kakaknya. Tapi, ciumannya itu ternyata tetap tak bisa menghapus sungut di wajah Bisma.

Sekarang buruan kemasi barang-barang yang mau kamu bawa.”

Diana mandi dulu donk Kak.”

Kalau gitu siapin aja barang yang mau kamu bawa. Ntar kakak yang masukin ke tas kamu.”

Dianapun nurut. Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, ia memang bertekat untuk menuruti apapun mau kakaknya.

Dengan beriringan, kakak beradik itu menuruni tangga saat Om Faisal dan Tante Fani tengah bersantai di ruang tengah. Mereka terkejut melihat kedua anak mereka yang berpakaian rapi dan menggendong tas besar di punggung.

Pada mau kemana? Kok bawa-bawa tas?”

Balik ke asrama, Ma.”

Katanya mau besok pagi? Kok mendadak berubah?”

Tau nih Ma, Kak Bisma. Dia yang ribut, Diana ikutan ribet.”

Ribut? Ribut sama siapa?”

Sama Kak,,,,hmmbbb hmmbbb,” Secepat kilat, Bisma membungkam mulut adiknya.

Sama teman, Ma.” Jawab Bisma, nyengir kuda. “Bentar ya Ma. Bisma ambil minum dulu di dapur.” Ijinnya, sembari menyeret adiknya dalam keadaan mulut masih terbekap oleh tangannya. Diana sampai tempalingan mengikuti kakaknya.

Jangan bilang-bilang ke Mama sama Papa kalau kakak baru perang dingin sama Kak Nanda.” Gemas Bisma, kepada adiknya.

Emang kenapa sih, Kak?”

Kakak pokoknya nggak mau Mama sama Papa tau. Awas kalau sampai bilang-bilang sama mereka. Kakak ambil lagi sepatu rodanya ntar.”

Iya iya. Diana nggak bilang.”
* * * * *

Dengan senyum manis terulas di bibir, gadis itu memandangi mahkota di tangannya. Sebuah mahkota kertas buatan Bisma yang selalu bisa mengobati rindunya, menawarkan gelisah di dadanya. Mahkota yang selalu mengingatkannya pada peristiwa malam itu. Malam di mana Bisma menyatakan cintanya untuk pertama kali.

Tiap kali mengingat malam itu, hati Nanda selalu luluh. Ingin rasanya ia menelpon Bisma dan menyatakan rasa kangennya yang mendalam kalau saja bayangan Raisya tak mengayun-ngayun di pelupuk matanya.

Nanda beranjak ke depan kaca besar yang terpampang di lemari. Di sana, ia bisa melihat bayangan wajahnya yang teramat cantik dengan mahkota yang ia sematkan di kepalanya. Di depan cermin itu pula dulu Bisma meledeknya. Mengatainya kalau ia terlalu gendut, pipinya gembil. Nanda jadi tersenyum mengingat semua itu. Dan senyumnya itu, membuat pipinya membulat. Ia memencet pipinya sendiri, menirukan apa yang dulu dilakukan Bisma padanya.

Tiba-tiba saja, rindu itu kembali menyeruak ke dalam hati Nanda. Ia lirik HP yang tergeletak di kasur, berharap Bisma menghubunginya. Tapi hampa. Sedari tadi pagi, Bisma tak menghubunginya. Padahal biasanya, Bisma bisa mengirim berpuluh-puluh sms untuknya dalam sehari. Meskipun tak ditanggapi, Bisma masih tetap ngotot sms dia. Tapi hari ini, entah kenapa Bisma tak sedikitpun menanyakan kabarnya. Hal itu membuat Nanda semakin rindu.

Kalau boleh jujur, meski Nanda cuek pada Bisma, tapi sebenarnya ia selalu menantikan sms dari kekasihnya itu. Sebab, sms dari Bisma itu menunjukkan betapa banyak perhatian Bisma tercurah untuknya. Baru sehari Bisma tak memberi kabar saja, hati Nanda sudah gelisah setengah mati.

"Apalagi Bisma yang aku cueki berhari-hari, bahkan berminggu-minggu ya?" Ucapnya dalam hati. Ia jadi merasa bersalah juga telah membiarkan kekasihnya dalam kekalutan sekian lama seperti itu. Tapi mau menghubunginya duluanpun ia tak mau. Takut membuat Bisma keGRan.

Kak Nanda,,,” Sebuah suara tiba-tiba mencabik angan yang tengah memutar memory romantisme Nanda. Diana?? Dahi Nanda mengernyit mengetahui pemilik suara itu. Buru-buru, ia menyimpan mahkotanya ke dalam lemari lagi.

Diana? Kamu udah kesini juga?”

Iya Kak. Takut besok kesiangan. Jadi lebih baik Diana sama Kak Bisma berangkat sekarang.” Itu yang dikatakan Bisma tadi untuk alasan kalau-kalau, Nanda menanyakan kenapa dia kembali ke asrama sekarang. “O iya Kak, ke kamarnya Diana bentar yuk. Diana baru beli baju. Pengen nyobain. Ntar Kak Nanda lihat ya. Bagus nggak kira-kira baju Diana.” Tanpa mendengar jawaban Nanda, Diana langsung menggandeng tangan Nanda, dan mengajak dia ke kamarnya. Itu juga yang tadi diminta Bisma kepada adiknya. Diana disuruh oleh Bisma untuk membawa Nanda ke kamarnya. Sebab, Bisma takut kalau dia tiba-tiba datang ke kamar Nanda, Nanda malah akan mengunci pintu kamarnya.

Diana tengah mencoba satu demi satu baju yang tadi siang dia beli bersama mamanya saat Bisma sampai di depan kamarnya dengan membopong tas milik Diana. Setengah terkejut, Nanda menatap wajah yang menyunggingkan senyum itu. Hampir ia mengembangkan senyumnya juga saat melihat orang yang ia rindukan itu berdiri di hadapannya saat ini.

Diana ke kamar mandi bentar ya, Kak.” Ijin Diana setelah menyimpan tasnya di sebelah lemari. Itu memang salah satu trik Diana untuk memberi kesempatan kepada kedua kakaknya agar mereka bisa berduaan.

Setelah Diana meninggalkan kamarnya, Bisma mendekati Nanda yang terduduk di ranjang Diana. Bisma menatap lekat wajah Nanda setelah ia mendudukkan tubuhnya di samping gadis itu. Kini, wajah ayu itu tak ada riak kegalauan lagi. Meski belum ada senyum tersemat di bibirnya, tapi wajah masam yang selalu ia hadirkan selama ini telah tiada. Bisma justru melihat rona bahagia di wajah itu.

Kamu udah nggak marah lagi kan, Nda?” Tanya Bisma, agak ragu. Tapi tak ada sahutan dari Nanda sampai beberapa detik berlalu. Nanda masih bungkam, dengan tatapan tertuju ke lantai di bawahnya. Bisma jadi resah, takut kalau ternyata Nanda masih marah padanya.

Kalau masih marah gimana?” Akhirnya gadis itu menyahut, dengan wajah terangkat.

Kalau kamu masih marah aku rela deh, ngelakuin apa aja biar kamu nggak marah lagi sama aku.”

Ngelakuin apa aja?”

Iya. Ngelakuin apa aja yang kamu mau. Aku rela, aku siap.”

Kenapa?”

Karena aku sayang banget sama kamu, Nda. Dan aku nggak pengen kamu ngambek terus.”

Sayang sama Raisya juga?” Nanda masih saja menyindir Bisma soal Raisya, membuat Bisma menghela nafas dalam-dalam.

Aku nggak pernah sayang sama dia, Nda. Udah berapa kali aku bilang? Aku nggak pernah cinta sama dia.”

Tapi kamu udah bilang cinta sama dia.”

Aku nggak serius ngomong kayak gitu.”

Nggak serius?”

Iya, nggak serius. Sekarang aku tanya sama kamu. Kalau seandainya ada orang yang baru kamu kenal, trus dia langsung bilang cinta sama kamu, apa kamu bakal nganggep omongannya itu serius? Apa kamu bakal percaya kalau dia cinta sama kamu beneran? Enggak kan?”

Ya anggapan orang kan lain-lain. Dan kayaknya Raisya nganggep kalau kamu serius cinta sama dia. Buktinya dia lengket terus sama kamu, kan?!”

Sekarang udah enggak. Aku udah tegesin ke dia kalau aku Cuma cinta sama kamu. Dan aku nggak bisa ninggalin kamu.” Nanda terkesiap mendengar pengakuan Bisma itu.

Trus,,, dia bilang apa?”

Mengingat kejadian sore itu, kata-kata Raisya yang membuat Bisma selalu was-was tiba-tiba mengiang-ngiang di telinganya. Tapi saat ini, Bisma tidak ingin mengingat-ingat perkataan Raisya itu. Yang ia inginkan sekarang hanyalah mendapatkan maaf dari Nanda, dan baikan lagi seperti dulu. Masa bodoh dengan apa yang dibilang Raisya waktu itu. Bisma tak peduli.

Dia maafin aku.” Jawab Bisma, berbohong. Nanda masih tertegun tanpa menanggapi omongan Bisma lagi. Sepertinya, gadis itu percaya dengan omongan kekasihnya. Sebab sekarang, dia menghentikan sindirannya untuk Bisma. “Sekarang tolong jangan marah lagi. Bukannya kamu bilang kalau cinta itu selalu punya alasan untuk memaafkan?”

Kapan aku bilang begitu sama kamu?”

Diana yang bilang. Hehehehe ”

Diana selalu mengcopy apa yang aku bilang ya?”

Dia cuma pengen kita baikan lagi.”

Jadi benar ya, kemarin itu kamu ngirim Diana buat bicara sama aku?”

Enggak kok. Aku nggak nyuruh dia. Dia aja yang katanya khawatir karena kita ngambekan terus. Jadi dia punya inisiatif buat ngomong sama kamu. Makanya kamu maafin aku donk. Biar usahanya Diana nggak sia-sia.”

Untuk sesaat, Nanda hanya terdiam, seolah tengah memikirkan sesuatu. Tapi kemudian,,,, “Iya, aku maafin kamu.” Ucapnya, membuat rona bahagia menyembul begitu saja di muka Bisma, dan membuat hati Bisma melonjak-lonjak kegirangan. Bisma benar-benar senang sekarang. Akhirnya saat yang ia nanti itu datang juga petang ini. “Yachh,,, mudah-mudahan sih kamu nggak bikin aku sewot lagi. Jadi Diana nggak perlu repot-repot berusaha bikin kita baikan.” Canda Nanda, sembari menyembunyikan senyumnya. Tapi sepertinya Bisma tau kalau ada senyum yang mengintip di balik bibir Nanda.

Iya aku janji nggak bakal bikin kamu sewot lagi.” Janji Bisma, dengan muka benar-benar berbinar. “Nda, mungkin aku emang nggak sebaik yang kamu mau. Tapi satu hal yang perlu kamu tau. Aku sangat mencintai kamu dengan segenap jiwaku, Nda. Dan cinta yang telah aku pupuk sekian lama ini, Cuma untuk kamu. Dan akan selalu jadi milik kamu." Begitu tulus kata-kata yang keluar dari mulut Bisma itu, hingga membuat hati Nanda meleleh dan tak bisa menghindar lagi dari karismanya. Lagi-lagi Nanda tertegun, sembari memandangi wajah di depannya. Dan di wajah yang kini berbinar itu, Nanda bisa menemukan keseriusan dan ketulusan yang memancar.

Emang sejak kapan kamu cinta sama aku?”

Sejak seribu tahun yang lalu. Kayak Edward Cullen gitu.” Jawab Bisma ngasal, lalu terkekeh.

Vampire donk.” Nanda nyengir. “Lebay banget, sih.”

Biarin. Mumpung lagi dimanis-manisin. Lebay dikit nggak pa-pa kali.” Lagi-lagi pemuda itu terkekeh. ”Kamu beneran pengen tau sejak kapan aku cinta sama kamu?”

He em.”

Sejak aku ketemu sama kamu di halte, aku udah mulai cinta sama kamu, Nda.Trus Waktu aku nabrak kamu di depan perpustakaan aku jadi pengen milikin kamu. Waktu pertama kali aku nganterin kamu pulang, aku makin cinta sama kamu. Waktu aku meluk kamu di dapur Afra, aku ngerasa kalau aku tambah cinta sama kamu. Waktu aku nolongin kamu saat kebakaran di kampus lama, aku ngerasa kalau nggak ada orang yang harus aku lindungi selain kamu. Saat aku ngendap-endap masuk ke kamarmu sampai kena paket seratus, aku semakin yakin kalau aku emang Cuma cinta sama kamu. Trus waktu di pulau, yang bikin aku benar-benar bisa milikin kamu, aku tau kalau kamu harus aku genggam dan nggak boleh aku lepasin. Soalnya, aku hanya bisa cinta sama kamu. Dan saat kamu menyenandungkan lagu cinta untukku waktu pesta kampus, aku jadi tau kalau ternyata,,, kamu,,, juga cinta banget sama aku.”

Bisma berujar panjang lebar seperti merangkai karangan, membuat hati Nanda semakin meleleh, dan hatinya berdebar kencang nggak karu-karuan. Entah kenapa, gadis itu sekarang jadi gugup setengah mati. Susah payah ia menetralkan perasaannya agar gugup itu tak terlalu kelihatan oleh Bisma. Sebab kalau sampai Bisma tau Nanda gugup, pemuda itu pasti akan meledeknya. Dan Nanda nggak mau kalau Bisma mengeluarkan ledekannya.

GR banget?” Sahut Nanda, setelah ia benar-benar bisa menetralkan perasaannya.

Bukannya GR tapi apa yang aku bilang itu emang bener kan?! Di antara seribu bintang, hanya kaulah yang paling terang, di antara beribu cinta, pilihanku hanya kau sayang,,,Tak kan ada selain kamu, dalam segala keadaanku, Cuma kamu ya hanya kamu, yang selalu ada untukku,,,, kamu nyanyi gitu kan buat aku?”

Siapa bilang kalau aku nyanyiin lagu itu buat kamu?”

Hati kamu yang bilang. Dan cinta yang ikut bersenandung di dalam hati kamu itu menari-nari di pelupuk mata aku. Dan bilang kalau cinta itu untuk aku.”

Nanda mencibir mendengar kata-kata manis Bisma itu. Tapi mau tak mau, senyum yang amat cantik terulas juga di bibirnya. Senyum yang sangat dinanti-nantikan Bisma. Senyum yang membuat Bisma selalu rindu setiap saat padanya. Senyum itu yang selalu mengintip di balik kejutekan Nanda dulu. Dulu, Bisma selalu menantikan kejudesan Nanda karena sebenarnya ada senyum manis itu yang tersembunyi di baliknya. Senyum yang begitu ikhlas, senyum yang memancarkan cinta. Membuat hati Bisma yang telah lama gersang seolah mengalirkan air yang menyejukkan. Hati Bisma berdesir melihat senyum yang sangat ia nantikan itu.

Akhirnya, senyum itu kembali juga buat aku.” Desisnya, dalam hati. Bismapun meraih tubuh Nanda di sampingnya, dan memeluknya erat-erat. Nanda tak menolak. Bahkan, gadis itu membalas pelukan kekasihnya. Sekarang mereka benar-benar telah baikan. Nanda benar-benar telah memaafkan Bisma.

Sepertinya setelah ini, Bisma harus lebih berhati-hati dengan sikapnya. Kekasihnya ini, kalau sudah kecewa, perlu waktu yang panjang untuk mengobati kekecewaannya. Jadi daripada membuat kekasih yang amat dicintainya itu kecewa, bukankah lebih baik kalau dia lebih menjaga sikapnya? Ia tak ingin lagi membuat Nanda kecewa. Tak ingin menyiksa dirinya sendiri karena kecuekan Nanda. Kalau boleh memilih, Bisma lebih baik dijutekin daripada dicuekin seperti itu.

Nanda semakin mempererat pelukannya. Tak bisa ia pungkiri, bahwa sebenarnya ia pun juga sangat merindukan pemuda di sampingnya itu. Sudah terlalu lama ia membiarkan pemuda itu dalam kegundahannya. Telah terlalu lama juga ia memendam rasa rindunya. Maka kali ini, ia ingin menghempaskan segala rindu di dadanya. Ia membenamkan kepalanya di dada Bisma, membiarkan kekasihnya itu mencium lembut rambutnya, merasakan kelegaan yang amat sangat di dada Bisma.

Saking terlenanya dalam kemesraan mereka, Bisma dan Nanda sampai tidak sadar kalau ternyata ada dua pasang mata yang tengah mengawasi mereka sedari tadi.

Ehm,,,,,” Si pemilik mata itu berdehem karena sudah gerah melihat adegan di depannya.

Bersambun
By: Novita SN

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 60


Bau tanah basah menguar melewati lubang angin di atas jendela kamar Villa. Dari jendela yang dihias tirai berwarna hijau muda itu, cahaya mentari tampak membias. Pagi ini cerah, setelah hujan lebat yang mengguyur puncak selama semalaman. Morgan masih saja bersembunyi di balik selimut tebalnya, seolah enggan membuka mata meski hari telah beranjak siang.

Baru setelah ia merasa terusik oleh suara tangis seseorang, pemuda itu baru berusaha membuka matanya yang terasa lengket. Ia memicingkan mata, dan menengok ke arah suara tangis yang terdengar di samping kanannya. Dan saat ia melihat ternyata Afra terduduk dengan berderai air mata di sampingnya, mata Morgan membola. Apalagi melihat punggung Afra yang tak tertutup kain sehelaipun. Hanya tubuh bagian depannya yang masih tertutup selimut.

Pemuda itu bingung apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan setelah ia mengintip tubuhnya di balik selimut, pemuda itu jadi shock.

Nggak mungkin.” Gumamnya lirih, sambil menggelengkan kepalanya. Tangannya terangkat, dan menutup mulutnya sendiri, tanda kalau dia benar-benar shock dengan keadaannya saat ini.

Iapun segera bangkit dari tidurnya, dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ranjang. Dan di sana, ia menemukan pakaiannya dengan pakaian Afra tampak berserakan. Ia juga melihat bercak darah di selimut yang menutupi tubuhnya, dan itu membuatnya semakin shock.

Ya Tuhan,,,, semalem gue ngapain?”

Pemuda itu buru-buru memungut baju serta celana boxernya yang tergeletak di bawah ranjang. Dengan raut muka yang masih bingung bercampur frustrasi, Morgan memakai pakaiannya seadanya. Sedangkan di sampingnya, Afra semakin terisak.

Fra,,,” Ujarnya, setelah pakaiannya melekat sempurna di tubuhnya. Morgan mengangkat tangannya, hendak menyentuh bahu Afra. Tapi, Afra menepis tangan Morgan dengan kasar. Sepertinya gadis itu juga shock dengan apa yang terjadi pada mereka. Ia terus-terusan menangis, hingga kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi dengan melilitkan selimut tebal di seluruh bagian tubuhnya.

Morgan hanya memandang miris kekasihnya yang kini menjauhi ranjang. Langkah Afra terayun sangat pelan, dengan punggung yang berguncang-guncang karena tangisnya. Morgan jadi semakin gusar melihat Afra yang sepertinya shock berat.

Dengan menyandarkan tubuhnya di ranjang, pemuda itu mencoba mengingat apa yang semalam terjadi sama mereka. Pikirannya melayang pada memory yang telah lewat berjam-jam yang lalu. Ia ingat usai menghabiskan teh-nya, Afra merasa kedinginan, bahkan sampai menggigil. Morgan yang khawatir akan keadaan Afra itu mencoba memberi kehangatan dengan memeluk kekasihnya. Dan saat itulah pikirannya jadi kacau. Tubuhnya tiba-tiba menggelenyar tiap kali tangan Afra menyentuh kulitnya.

Awalnya Morgan mencoba terus menahan diri dengan susah payah, meski dorongan perasaan yang terus memaksanya untuk melakukan sesuatu itu begitu hebat. Tapi saat tiba-tiba Afra mengalungkan tangannya di leher Morgan, dan dengan lembut, Afra melumat bibirnya, pertahanan Morgan runtuh. Ia tak bisa menahan diri lagi. Dorongan aneh yang memaksanya untuk mencumbui kekasihnya lebih dalam itu semakin hebat saat Afra tiba-tiba jadi agresif. Dan akhirnya Morgan kalap. Akalnya telah terkalahkan oleh dorongan aneh itu. Afrapun semakin agresif saat bibir Morgan menelusuri setiap inci kulitnya, mulai dari wajah, kemudian turun ke leher jenjangnya, ke bahunya, dan,,,,,,,,

Ahhh,,,, Morgan tak ingin mengingat itu lagi. Ia lirik bercak merah yang ternyata juga mengenai sprei yang menutupi ranjang itu. Dan seketika itu juga, penyesalan menelusup ke dalam hati terdalamnya.

Ya Tuhan,,, Afra? Maafin aku.” Rintihnya, dengan wajah tertunduk. “Aku nggak tau kenapa semalam sampai kebablasan. Aku beneran nggak sadar dengan apa yang aku lakuin, Fra.” Ujarnya lagi, seolah berbicara dengan kekasihnya. Padahal, kekasihnya itu kini telah berada di kamar mandi membersihkan dirinya. Dari ranjang yang ia duduki, Morgan bisa mendengar gemericik air dari kamar mandi yang masih saja bersahutan dengan suara tangis Afra. Dan itu benar-benar sangat menyiksa batinnya.

Pemuda yang benar-benar sangat shock dengan perbuatannya sendiri itu kini mengangkat tangannya, dan menjambak rambutnya sendiri. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. “Afra pasti kecewa banget sama gue. Gue nggak bisa jagain dia bahkan dari diri gue sendiri. Arrgghhh,,, kenapa gue bisa sampai ngelakuin itu sih???” Geramnya, semakin frustrasi.

* * * * *

Vita belum sempat membuka matanya saat ia menyadari ada benda aneh yang menyandingi tidurnya pagi itu. Ia raba benda itu, masih dengan terpejam. Halus. Empuk. Ia jadi penasaran benda apa sebenarnya yang ada di sampingnya itu. Dan saat matanya terbuka, gadis itu langsung terbelalak.

Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,”

Dessss!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Dengan satu kali tendangan, benda yang ternyata sebuah tubuh yang masih terlelap dalam mimpi itu terpelanting ke bawah ranjang dan,,,,,

Gludak!!!! Dug,,,,

Awwww,,,,,,,” Tubuh itu jatuh ke bawah dan kepalanya menghantam nakas, membuat pemiliknya memekik kesakitan.

Buru-buru, Vita merangkak ke sisi kiri ranjang, dan melongok ke bawah. Dan di sana, ia menemukan kekasihnya yang tengah meringis-ringis memegangi kepalanya.

Rafa????” Ujarnya, dengan mata masih membola. Gadis itupun turun dari ranjang dan menghampiri Rafa yang masih saja mengelus-elus kepalanya.

Kenapa ditendang, sih?” Kesalnya.

Ya maaf. Aku kan nggak tau kalau itu kamu. Lagian ngapain kamu tidur di sebelah aku. Kamu bilang kamu nggak mau macem-macem.” Begitu menyadari penampilan Rafa yang hanya memakai kaus tanpa lengan dan celana pendek, gadis itu semakin membolakan mata. Timbul rasa curiga di hatinya kepada pemuda di hadapannya itu. “Jangan-jangannn,,,, semalem kamu,,,,,” Muka gadis itu berubah pucat. “Semalem kamu ngapain aku, Raf?” Tanyanya, dengan wajah was-was.

Ngapain? Aku nggak ngapa-ngapain. Emang kamu ngerasa aku apain? Justru kamu nih yang udah nendang aku. Pagi-pagi bukannya dikasih morning kiss kok malah dikasih jurus macan ngamuk.”

Aku serius, Rafa. Kenapa kamu tidur di ranjang? Trus aku tadi kamu apain????”

Aku apain, sih? Aku beneran nggak ngapa-ngapain. Aku Cuma numpang tidur di ranjang. Abisnya di karpet dingin.”

Beneran kamu nggak ngapa-ngapain aku?”

Periksa aja coba. Ada yang aneh nggak di tubuh kamu abis kamu bangun tidur.” Rafa masih menjawab dengan kesal karena Vita masih saja tak percaya padanya. Apalagi, kepalanya yang kejedot nakas juga terasa nyut-nyutan.

Awalnya, Vita memang tak percaya kalau Rafa tidak melakukan apapun padanya. Tapi saat ia menilik tubuhnya yang masih berpakaian lengkap dan sepertinya tidak ada satu cacatpun pada tubuhnya, hati Vita jadi lega. Ia jadi melirik malu kepada Rafa yang kini masih manyun karena mendapatkan tendangan darinya itu. Dan dengan senyam senyum gaje, gadis itu mendekati kekasihnya kembali, karena tadi ia sempat menjauh dari Rafa.

Masih lengkap, kan?!” Rafa masih saja agak sewotan.

Iya.” Kembali, gadis itu nyengir gaje. “Maaf ya, coba sini lihat yang kejedot.”

Nih,” Pemuda itu memperlihatkan kepalanya yang terasa membenjol. “ Benjol kan. Ilang deh charmingnya. Gara-gara kamu sih. Mana pinggang sakit juga lagi abis ditendang.”

Maaf maaf. Abisnya aku kan kaget. Lagian kamu juga ngapain tidur di situ?”

Udah dibilang di bawah dingin. Jadi aku pindah ke atas. Tadinya sih mau bangunin kamu. Tapi kamu tidurnya lelap banget. Mau bangunin kasihan. Jadi ya, aku tidur aja. Lagian kan juga udah aku batesin guling biar kamu nggak gitu kaget kalau lihat ada aku di samping kamu. Eh, tetap aja pagi-pagi dapet jurus macan ngamuk.” Vita jadi tertawa mendengar istilah Rafa itu. ‘Jurus macan ngamuk’. “Sakit nih. Obatin. Jangan ketawa aja.”

Ntar dulu deh. Aku ambilin zambuk buat ngurangin benjolnya.” Belum sampai gadis itu bangun dari duduknya, Rafa menahan tangannya.

Bukan zambuk obatnya. Kasih kiss aja ntar juga benjolannya berkurang.”

Hadeeehh,,, modus banget deh kamu, Raf. Yang namanya benjol mana bisa kecilan kalau Cuma dicium.”

Coba dulu.” Rafa semakin menarik Vita mendekat padanya, karena gadis itu masih saja hendak bangkit.

Ihhh,,, kamu mah.”

Buruan.”

Enggak mau.”

Kasih kiss, atau,,,,”

Iya iya.” Potong Vita cepat-cepat. “Kamu tuh ya. Selalu aja ngancem.” Cup!!! Akhirnya gadis itu mengabulkan juga apa yang diminta kekasihnya. Dan di depannya, pemuda tampan yang kini kepalanya sedikit benjol itu tampak senyam senyum setelah beberapa saat lalu agak dongkol.

Nah, gitu donk. Makanya, pagi-pagi jangan ngeluarin jurus. Kena sendiri kan jadinya. Ntar musti diobatin lagi nih. Kalau enggak, benjolnya bisa nambah.”

Kamu mah, modus mulu.” Ujar Vita, seraya menepukkan tangannya tepat di jidat Rafa yang benjol.

Awww,,, sakit beneran, Vita.”

O iya. Maaf maaf lupa.” Dengan nyengir gaje, gadis itu meraih kepala Rafa, dan mengelusnya lembut, membuat Rafa yang tadinya berpura manyun kini mengulaskan senyum juga di bibirnya.

* * * * *

Jadi semaleman kamu telpon-telponan sama Dicky, dan nyuekin Kak Reza gitu?” Suara di seberang sana terdengar jengkel. “Katanya kamu sama Dicky nggak ada apa-apa? Kok suka telpon-telponan gitu sih? Sampai nyuekin kakak lagi.”

Bukan gitu, Kak. Tadinya Diana juga mau bales. Tapi Dicky keburu telpon. Diana jadi lupa.”

Jadi kamu lupain Kak Reza Cuma karena Dicky?”

Bukan gitu juga, Kak. Aduh,,, gimana ngejelasinnya ya?” Diana sudah kehabisan kata untuk menjelaskan kesalahpahaman semalam kepada Reza. Seharusnya tadi Diana tidak usah bilang kalau dia telponan sama Dicky. Akhir-akhir ini Reza juga sering sewot kalau Diana suka menyinggung soal Dicky. Harusnya ia cari alasan lain. Misalnya, HPnya baru dipinjem Bisma kek, atau dipinjem papanya. Atau apa gitu. Jadi kan dia nggak perlu ribet begini ngejelasinnya. Tapi sudah terlanjur. Tadi saat Diana menjelaskan kepada Reza kenapa kemarin dia tidak membalas BBMnya, Diana kelepasan bilang kalau dia telpon-telponan sama Dicky.

Pokoknya Diana tuh emang nggak ada apa-apa sama Dicky, Kak Reza. Diana Cuma temenan. Kalau kita sering telponan, kita Cuma telponan biasa kok. Nggak ngomongin yang aneh-aneh.”

Jadi kamu sering telponan sama dia?”

Aduh, salah lagi gue ngomongnya.” Batin Diana, merasa ada yang salah dalam perkatannya.

Nggak terlalu sering juga, sih. Kadang-kadang doank. Tapi beneran kok, nggak ngomongin apa-apa. Cuma curhat-curahan biasa aja.”

Jadi kamu sering curhat sama dia? Kenapa nggak curhat sama Kak Reza aja? Kenapa harus ke dia curhatnya?”

Aiihhh,,, kok salah lagi sih gue ngomongnya? Haduuhhh,,, Diana,,, bego banget sih lo? “ Batin Diana makin menceracau. Kini, mukanya tampak terlipat dengan bibir manyun karena merasa bodoh dengan kesalahannya sendiri. Kini sepertinya, Reza memang kesal padanya. Wajar sih, kalau Reza kesal. Sudah di asrama jadi kuncen, nggak ada yang meduliin, nunggu BBM nggak dibales-bales, diledekin sama Ilham lagi. Dan paginya malah denger kalau Diana nyuekin dia gara-gara orang yang sering membuat hatinya curiga. Lengkap kan?

Kamu sekarang udah nggak nganggep Kak Reza lagi ya?”

Bukan begitu, Kak. Diana tuh,,,,”

Belum sampai Diana meneruskan kata-katanya, tiba-tiba terdengar pintu kamarnya terbuka. Dan dibalik pintu kamarnya, Bisma tampak menyembulkan kepalanya, lalu masuk ke dalam. Pemuda itu menghampiri adiknya yang kini terduduk di sudut jendela dengan muka manyun. Dengan masih menempelkan HPnya di telinga, Diana memperhatikan gerak-gerik kakaknya, sambil terus mendengarkan Reza yang ngoceh-ngoceh nggak jelas karena kesal. Karena sibuk memperhatikan Kakaknya, Diana sampai tak begitu memperhatikan ocehan-ocehan Reza. Entah apa yang dibicarakan orang di seberang sana, Diana juga tidak tau. Dia terus memperhatikan Bisma, yang kini semakin mendekat kepadanya.

Ngapain kamu duduk di lantai begitu, Dii? Manyun-manyun lagi.” Sejenak kemudian, Bisma berjongkok menyamai tubuh adiknya. “Kamu nangis?” Tanyanya, saat melihat ada bening yang memenuhi kelopak mata Diana. “Lagi telponan sama siapa sih?” Diana masih tak menjawab. Ia malah terdiam seperti patung memperhatikan kakaknya.

Dan karena merasa tak ditanggapi oleh tubuh di depannya, akhirnya Bisma mengambil HP di tangan Diana.

"Kenapa nggak bisa jawab, Dii. Jawab Dii, biar Kak Reza nggak kesel." Itulah kalimat pertama yang didengar Bisma saat ia menempelkan benda mungil itu di telinganya.

"Diana suruh jawab apa, hah???

"Bisma?"

"Iya. Ini gue. Kenapa? Kaget lo?" Bisma berbicara dengan gaya sengaknya, karena melihat adiknya yang sepertinya sedih karena orang yang menelponnya itu. "Ooo,,, jadi di belakang gue, lo suka ngomel-ngomelin adek gue seenak jidat begitu?"

"Enngg,,, enggak kok, Bii."

"Enggak apanya? Jelas-jelas lo tadi kesel gitu sama adek gue. Malah mau ngelak lagi."

"Ini cuma salah paham, Kak. Jangan salahin Kak Reza." Dengan suara sedikit parau, Diana yang sedari tadi diam akhirnya berbicara.

"Kamu tuh ya Dii. Udah jelas-jelas ini anak bikin kamu nangis. Masih aja kamu belain dia."

"Diana nangis, Bii?" Tanya Reza dari seberang. Agaknya pemuda itu terkejut mendengar kalau Diana nangis.

"Iya. Kanapa? Puas lo udah bikin adek gue nangis?"

"Bukan salahnya Kak Reza, Kak. Ini salahnya Diana."

"Tuh, kan dibelain lagi." Sewot Bisma, saat melihat adiknya masih saja tetap ngotot membela Reza, sahabatnya yang kini tengah naksir sama adiknya itu.

"Sory, Bii. Gue nggak sengaja."

"Apanya yang nggak sengaja. Jelas-jelas lo tadi ngomongnya sewot gitu sama adek gue. Masih aja bilang nggak sengaja. Denger ya Za, gue nggak suka kalau ada orang yang bikin adek gue nangis. Jangan jangan sekali-kali lo bikin adek gue sedih, apalagi nangis. Kalau sampai lo bikin Diana manyun-manyun sampai nangis kayak gini lagi, nggak bakal gue restuin beneran lo sama adek gue."

"Berarti kalau gue nggak bikin Diana nangis, lo mau ngrestuin gue donk?"

"Tergantung. Bakalan gue pertimbangilah. Tapi kalau sekali aja gue lihat lo bikin Diana nangis, gue bener-bener nggak bakal ngasih adek gue ke lo. Ngerti lo???"

"Iya iya, gue ngerti." Suara di seberang sana terdengar melemah sekarang. Sepertinya Reza juga merasa bersalah karena mendengar Diana nangis. "Trus sekarang Diananya mana, Bii???"

"Lo telponannya ntar lagi aja. Gue ada perlu sama adek gue." Klek. Bisma mematikan HPnya Diana itu tanpa ampun lagi. Mungkin di sana Reza cuma cengo melihat telponnya tiba-tiba dimatiin seperti itu.

"Kakak tadi ke sini mau apa???"

"Mau ngajakin kamu mancing. Kakak sama Papa mau mancing. Kamu mau ikut nggak?"

"Enggaklah, Kak. Diana males pengen di rumah aja. Lagian ntar siang juga mau jalan-jalan sama Mama."

"Ya udah kalau gitu Kakak berdua sama Papa aja. Tapi kamu jangan nangis lagi. Kalau kamu nangis, ntar Kakak bakal bikin perhitungan sama Reza lho."

"Apaan sih, Kak. Orang Diana nggak nangis kok."

"Jangan bohong, tuh di mata kamu ada airnya, kakak lihat kok. Lagian mukamu tuh nggak bisa bohong. Tapi kayaknya kalau dilihat dari muka kamu juga emang kamu yang salah sih. Tapi kakak tetep nggak ikhlas kalau Reza bikin kamu nangis." Jelas Bisma, seraya memundurkan langkahnya hendak meninggalkan kamar Diana. Tapi saat langkahnya sampai di pintu, pemuda itu menengok lagi ke arah adiknya. "O iya, Dii. Emang kamu sama Reza udah jadian ya? Kok kayaknya kaliannn,,,,????" Pertanyaan Bisma menggantung.

Jauh di depannya, Diana tampak terkesiap. Jadian??? Pikirnya. Sampai sekarang Diana belum pernah jadian sama Reza. Kalau ditanya sama orang apa mereka pacaran, entahlah hubungan mereka itu sebenarnya seperti apa. Mereka memang dekat. Tapi nggak pacaran. Di antara mereka memang ada cinta. Tapi ikrar untuk menjadi sepasang kekasih itu juga belum terucap. Mereka memang sering saling cemburu, tapi mereka juga sama-sama tak tau mereka cemburu atas dasar apa. Sebab, mereka memang tidak ada ikatan.

"Engg,,,, belum, Kak." Jawab Diana, sembari menggelengkan kepalanya.

"Tapi kok kakak lihat kayaknya kalian udah kayak orang pacaran aja sih?" Tatapan Bisma terlihat menyelidik. Tapi melihat murung di wajah adiknya, Bisma akhirnya percaya juga dengan apa yang dikatakan Diana. "Tapi belum ya? Bagus deh. Pikir-pikir dulu kalau mau milih cowok, Dii. Jangan sampai nyesel di belakang." Bisma melontarkan nasehatnya sebelum benar-benar berlalu dari kamar Diana, dan meninggalkan adiknya yang kini tertegun di kamarnya.

* * * * *

Bersambung
By: Novita SN

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 59


Usai membersihkan tubuhnya, Diana merebahkan tubuh letih itu di ranjang berseprei cantik dengan motif bunga-bunga berwarna biru kesukaannya itu. Dengan tertelungkup sambil memeluk guling, gadis itu meraih HPnya, dan menilik isi dari benda mungil itu. Ada beberapa pesan dari Reza yang tadi belum sempat ia balas karena sepanjang perjalanan pulang tadi, ia pura-pura tertidur demi kakaknya. Bahkan mungkin saking kesalnya karena BBMnya tak juga dibalas, Reza sampai mengirim emotion orang marah sebanyak lebih dari 100 buah. Tak terhitung juga PING dari Reza yang telah pemuda itu kirimkan ke BB Diana. Diana jadi terkikik membayangkan bagaimana kesalnya Reza di asrama sana. 

Dengan masih terkikik-kikik, gadis itu menarikan jemarinya di atas keypad untuk membalas BBM Reza. Tapi belum sampai ia mengirim BBM itu, tiba-tiba ada telpon dari orang yang tak asing, yang masuk ke HP Diana.

“Dicky?” Dahi Diana mengernyit. Tapi tanpa ragu lagi, iapun mengangkat panggilan dari Dicky itu. “Alohaaa,,,,,” Sapanya, dengan gaya khasnya menyapa Dicky. Diana dan Dicky memang punya sapaan khas. Kalau mereka bertemu atau saling sapa di telpon, mereka menggunakan kata itu.

“Alohaaa,,,,” Balas Dicky, dengan sapaan yang sama. “Lagi ngapain?”

“Tiduran aja di kamar. Lo lagi ngapain?”

“Lagi main nih sama temen-temen.”

“Lagi main kok telpon-telpon?”

“Biarin aja. Tadi tiba-tiba inget sama lo. Jadi ya,,,, gue telpon deh. Nggak ganggu kan?!”

“Enggak kok. Lagian gue juga nggak lagi ngapa-ngapain. Cuma lagi tiduran aja.”

“Malam minggu gini lo nggak main? Betah amat di asrama?”

“Gue lagi nggak di asrama. Gue pulang sama Abang gue. Sekarang gue lagi di rumah.”

“Ooo,,, lagi di rumah. Eh, kemarin gue lihat lo keluar gerbang sama Reza ya?”

“Iya. Lo kemarin ngapain ke kampus gue? Yang sama lo kemarin siapa? Kakak lo yang lo bilang sekampus sama gue itu?”

“Iya. Kemarin gue udah bilang sama kakak gue, kalau mau ketemu Eriska mendingan jangan ketemu di asrama atau di kampus.”

“Trus kakak lo gimana?”

“Tadinya sih, nanya terus. Kenapa gitu. Tapi akhirnya dia Ok juga. Kemarin kakak gue sempet nanyain lo sih. Eriska udah bilang kalau gue punya pacar di kampus lo namanya Diana.” Diana membelalak kaget mendengar perkataan Dicky itu. “Tapi tenang aja. Gue nggak bilang Diana yang mana kok. Di kampus lo kan banyak nama Diana.” Lanjut Dicky, dan itu membuat nafas Diana yang beberapa saat sempat tertahan itu kini bisa keluar dengan lega.

“Dii, kemarin kok gue kayaknya lihat muka lo agak lebam ya? Lo kenapa? Lo dijahatin sama Reza?”

“Enggak kok. Bukan Kak Reza. Justru Kak Reza yang nolongin gue.”

“Trus?”

“Ya,,, biasalah yang kemarin gue ceritain ke lo. Tapi yang ini lain lagi sih. Mantannya Kak Reza banyak. Ganas-ganas lagi.” Diana terkekeh dengan ceritanya sendiri, sementara Dicky malah tercenung. Ia tak habis pikir kenapa Diana rela dibully seperti itu hanya demi seorang yang bernama Reza.

“Sehebat apa sih tuh orang?” Batin Dicky, sambil terus mendengarkan cerita Diana.

Dianapun menceritakan semua hal yang terjadi waktu itu. Menceritakan tamparan dari mantan Reza yang ia tau ternyata dari kampus lain itu, juga menceritakan pembelaan Reza terhadapnya, yang membuatnya yakin kalau Reza memang benar-benar memilih dia. Dan cerita Diana itu, sukses membuat hati Dicky terbakar. Sebenarnya malas rasanya mendengarkan cerita Diana tentang Reza. Tapi entah apa yang membuat Dicky masih tetap menempelkan earphone itu di telinganya, dan terus mendengarkan ciap-ciap Diana ditelpon meski hatinya bergemuruh.

“Arrrggghhh,,, gue kenapa sih? Nyebelin banget deh.” Rutuk Dicky dalam hati.

Dicky sebenarnya hanya ingin mendengarkan suara Diana. Mendengarkan setiap hal yang diceritakan gadis itu, karena menurutnya cerita Diana adalah hiburan tersendiri untuknya. Bahkan di saat hatinya bergemuruh mendengar cerita Diana dengan Reza itupun, Dicky masih juga sempat tertawa kalau Diana menceritakan hal yang lucu. Dicky memang telah terhipnotis. Telah dibuat ketagihan oleh suara Diana. Sampai-sampai, ia seringkali kelimpungan kalau Diana tidak bisa ia hubungi.

Dan hal itu juga yang membuat Diana ketagihan untuk terus bercerita dan mencurahkan isi hatinya kepada pemuda itu. Hampir setiap hal yang dialami Diana ia ceritakan kepada Dicky. Gadis itu terkadang malah melupakan diarynya, karena menurutnya ia telah punya diary hidup yang bisa memberi tanggapan saat ia bercerita. Dan Diana yakin, diary hidupnya itu akan bisa menyimpan setiap kata yang ia lontarkan. Diana telah percaya penuh pada Dicky. Tapi sebatas percaya sebagai diary hidup. Sebagai tempat curhat. Tidak lebih. Dan ia tak pernah menyadari apa yang sebenarnya dirasakan oleh diarynya itu, saat menceritakan kedekatannya dengan Reza. Ia hanya bisa merasakan kalau terkadang Dicky agak sewot, tanpa tau kalau sebenarnya hatinya Dicky sering meradang kalau dia menceritakan tentang Reza. Diana tak pernah tau itu.

‘*     *     *     *     *

Vita terduduk di atas ranjangnya dengan kaki terjulur ke bawah. Di tangan kanannya, tergenggam sebatang coklat yang sedari tadi ia nikmati bersama kekasihnya, sementara tangan kiri gadis itu tengah asyik mengelus-elus rambut Rafa yang kini terduduk di bawah, menjajari kakinya.

Rafa suka sekali kalau rambutnya di elus-elus seperti itu. “Berasa gitu sayangnya.” Ujarnya suatu kali. Dan Vitapun juga begitu. Ia juga sangat menyukai kegiatan itu. Mengelus-elus rambut kekasihnya, dan membuat kekasihnya merasa nyaman dengan elusannya.

Sepasang kekasih itu hanya menghabiskan malam minggu mereka dengan menonton TV di apartemennya Vita. Usai makan tadi, Vita sebenarnya menawari Rafa untuk jalan-jalan menikmati suasana malam minggu. Tapi Rafa menolak. Dia bilang capek. Mending di apartemen aja katanya. Dan sepertinya mereka memang sangat menikmati kebersamaan mereka meskipun hanya ditemani oleh layar kaca. Mereka malah merasa tenang dan nyaman, karena tak ada yang mengganggu. Dan yang paling penting, Rafa bisa beristirahat dengan ditemani oleh kekasihnya.

“Vit???” Gumam Rafa tiba-tiba.

“Hmm???”

“Enak kali ya, kalau begini terus?”

Gadis itu menautkan alis, dan menghentikan kegiatannya. “Begini terus gimana?”

“Ya begini. Nonton TV berdua, trus kamu ngelus-elus rambut aku, trus aku meluk kamu kaya gini.” Rafa memeluk kaki Vita yang terjulur itu. “Enak kali ya kalau bisa kayak gini terus setiap hari?”

Vita hanya tersenyum memperhatikan muka kekasihnya yang kini mendangak menghadap wajahnya. “Enak sih.” Jawabnya, singkat.

Rafa kembali mengalihkan pandang ke layar kaca. Tapi sepertinya, ia masih ingin melanjutkan kata-katanya. “Kadang-kadang aku ngebayangin kalau seandainya abis pulang kerja, trus ada yang nyambut kedatangan aku dengan muka berseri-seri, trus nyium tangan aku, lalu aku cium kening dia, trus dia bantu aku ngelepasin jas sama dasi aku. Hmmm,,, kayaknya bahagiaaa,,, banget rasanya. Kadang-kadang aku suka kepengen kalau ngeliat Papa diperlakuin kayak gitu sama mama.” Pemuda itu kembali mendangak. Dan di atasnya, Vita hanya bisa tersenyum sambil terus mengelus rambutnya.

“Trus?”

“Ya,,, terus aku pengen.” Jawab Rafa. “Aku pengen kayak gini. Abis kerja seharian, ada orang nemenin aku nonton TV kayak gini. Trus ngelus-elus rambut aku. Kayaknya kalau kayak gini, stress karena kerjaan kantor bisa ilang seketika deh. ”

“Kamu biasanya capek banget kalau abis pulang dari kantor ya?”

“Ya,,, gitulah.”

“Kenapa nggak minta mama kamu buat nemenin kamu nonton TV trus ngelus-elus rambut kamu aja?” Gadis itu berpura tak mengerti dengan arah omongannya Rafa, padahal ia tau betul apa yang Rafa maksud.

Rafa berdecak mendengar tanggapan Vita itu. “Mama mana ada waktu buat aku? Akhir-akhir ini Papa sedikit manja. Jadi mama sibuk terus sama Papa. Kalau udah abis makan malam, udah pada masuk kamar nggak keluar-keluar lagi. Lagian aku pengennya bukan mama yang ngelakuin itu.”

“Trus siapa donk?” Gadis itu masih saja ingin menggoda kekasihnya yang kini mulai jengah.

“Hmm,,,, aku pengen yang ngelakuin itu gadis jelek yang punya mata bunder, trus hidungnya mancung ini lhoo,,,” Dengan gemas, Rafa memencet hidung Vita, membuat gadis itu mengaduh. “Lagian daritadi diajakin melting kok malah nggak ngerti-ngerti juga. Bikin sewot aja.” Sungut Rafa, membuat Vita malah cekikikan di atasnya.

“Ooooo,,,, jadi yang sedari tadi dibayangin tuh gadis yang katanya jelek tapi diuber-uber terus ini to???”

“Bukan. Tapi Bi’ Inah noh.” Kembali, Rafa bersungut seraya melingkarkan lagi tangannya di kaki Vita, dengan bibir manyun. Vita malah tergelak-gelak karena Rafa membawa-bawa nama pembantunya. Dan akhirnya, meltingannya Rafa itu buyar gara-gara Vita yang terus iseng pura-pura oon.

‘*     *     *     *     *

Sedari tadi, Reza mondar-mandir di pelataran asrama sambil menahan kesal, bercampur khawatir. Diana belum juga membalas BBMnya. Sejak kepergiannya dari asrama tadi sore, Diana belum satu kalipun memberi kabar pada Reza. Pemuda itu jadi kelimpungan sendiri dibuatnya. Berbagai pikiran buruk berkecamuk di hatinya.

“Apa dia malah malam mingguan sama orang lain ya?” Gumamnya. “Ah, nggak mungkin. Bisma nggak bakal ngijinin. Sekarang kan dia pulang sama Bisma. Trus kenapa ya??? Arrgghhh,,, nunggu balesan BBM itu nyebelin bangeeett,,,, rasanya.” Kesal Reza. Kembali, ia mondar-mandir di pelataran asrama yang kini sepi itu.

Di malam minggu seperti itu, asrama memang seringkali sepi. Banyak penghuninya yang memilih pulang untuk menikmati akhir pekan bersama keluarga. Sementara Reza, sebagai seorang pengurus senat mahasiswa yang minggu ini mendapatkan giliran tugas tanggung jawab asrama, ia harus ngerem di asrama nggak boleh kemana-mana. Dan itu membuatnya merasa amat sangat bosan. Di tambah lagi gadis yang dicintainya kini malah tidak memperdulikan dia. Kesal dan jenuh yang menghuni hati Reza semakin meningkat saja jadinya.

“Apa jangan-jangan BBnya Diana disita sama Bisma gara-gara Diana BBMan terus sama gue kali ya?” Pemuda itu mencoba menebak lagi. “Kalau emang benar BBnya Diana disita hhh,,,,, bener-bener keterlaluan deh Si Bisma. Sentimentnya nggak kira-kira sama gue. Padahal gue kurang apa coba? Playboy udah enggak. Baik iya. Otak encer. Duit juga gue nggak kekurangan. Kalau buat ngejajanin Diana aja gue juga pasti punya dah. Gue juga keturunan pengusaha kayak bapaknya. Coba apa kurangnya?” Reza kembali menceracau nggak jelas entah pada siapa karena kekesalannya. “Apa Si Bisma nggak mau kalau dia punya adek ipar ganteng ya? Takut kesaingan gitu gantengnya. Gue kan lebih ganteng dari Si Bisma. Iiisshhh,,,, apa banget deh Si Bisma. Masa’ takut kesaingan gantengnya?” Pemuda itu semakin ngelantur, seraya melangkahkan kakinya menuju gerbang asrama, ingin sekedar mengobrol dengan satpam jaga untuk menghilangkan jenuhnya.

Sesampai di depan asrama, Reza malah mengurungkan niatnya untuk mendekati para satpam yang kini tengah main kartu di pos. Kali ini, pemuda itu punya keinginan lain. Ia memelototi layar mungil di tangannya, dan mencari nomor HP Diana. Dan saat ia mencoba menyambungkan nomornya dengan nomor Diana, pemuda itu kembali kecewa karena ternyata nomor Diana sibuk. Beberapa kali ia mencoba menelpon Diana, dan beberapa kali itu juga ia bertambah kesal karena hanya bunyi nut,,,nut,,,nut,,, yang keluar dari speakerphonenya.

“Sibuk lagi HPnya. Arrrgghhh,,,, nyebelin, nyebelin, nyebeliiiinnnnn,,,,,”

Dan saat kekesalan Reza semakin memuncak, seorang pengendara mobil yang tiba-tiba berhenti tepat di depannya membuatnya semakin kesal. Pemuda dengan barbalut kaus hitam itu membuka kaca mobilnya, dan melongokkan kepalanya keluar.

“Woyy,,,,, pangeran kampus yang katanya playboy tingkat paus. Udah jadi jones sekarang? Aaahahahaha,,,,” Serunya meledek Reza yang kini masih saja menahan kesal.

“Sial lo, Am. Lo tuh yang jones. Jomblo ngenes abadi yang selalu kesepian.”

“Paling enggak malam ini gue nggak kesepian kayak lo. Wle,,," Ilham menjulurkan lidahnya, membuat kekesalan Reza semakin naik ke ubun-ubun. "kasihan deh lo. Met jaga asrama aja deh. Gue mau nyari angin dulu. Hahahaa,,,” Pemuda itu tergelak, seraya menutup kaca mobilnya kembali, lalu melajukan mobilnya meninggalkan Reza yang kini tengah bersumpah serapah karena ulahnya.

Dan sumpah serapahan Reza itu berhenti, ketika ia menyadari sesuatu. “Tadi yang duduk di sebelah Ilham itu Raisya ya? Iya. Gue nggak mungkin salah lihat. Itu tadi Raisya. Kok Raisya bisa sama Ilham sih? Sejak kapan mereka sering jalan kayak gitu?” Pikir Reza. “Tapi baguslah kalau Raisya bisa move on. Paling enggak dia nggak akan nguber-uber calon kakak ipar gue lagi.” Celetuknya. “Eh? Calon kakak ipar? Direstuin aja belum udah ngaku-ngaku kakak ipar aja. Bego lo, Za.” Umpatnya, pada diri sendiri. Mungkin karena kekesalan tingkat akut yang menjalari otaknya, pemuda itu malah jadi linglung sendiri.

Dan kembali, pemuda itu uring-uringan karena berkali-kali telpon Diana tapi tidak bisa. Nomor Diana masih saja sibuk sampai hampir tengah malam.

‘*     *     *     *     *

Sepasang kekasih itu kini terduduk berdua bersandar kaki ranjang, masih menonton layar kaca yang kini tengah menghadirkan sebuah film laga. Kali ini, Vita menyandarkan tubuhnya di dada Rafa, karena kelelahan habis rebutan remot dengan kekasihnya itu. Vita ingin melihat film Malaysia yang sering ditontonnya, sementara Rafa ingin melihat film laga yang sekarang tengah mereka tonton. Dan tentu saja seperti biasanya. Rafa selalu menang dan bisa menguasai remot.

"Ehm,,, Vit." Cetus Rafa, di saat layar kaca tengah menghadirkan iklan.

"Hmmm???" Gadis itu mendangak.

"Kalau,,,, kita,,,, enggg,,,,ehm." Rafa terdengar ragu mengatakannya. "Kalau kita nikahnya nggak nunggu tahun depan gimana?" Ujar Rafa tiba-tiba, dan ternyata berhasil membuat gadis dalam dekapannya itu terkejut.

Vita memperhatikan wajah kekasihnya itu dengan seksama, mencoba mencari keseriusan dalam perkataan Rafa. Dan melihat ekspresi muka Rafa, sepertinya Vita menemukan keseriusan yang ia cari. Tapi bukannya senang, hati gadis itu malah bergemuruh. Iapun menundukkan kepalanya dan memejamkan mata menahan debar di hatinya. Vita masih belum berani memberitahu Rafa tentang kontrak kerja tiga tahun itu. Bahkan rencananya, ia tidak ingin memberitahu Rafa sampai kapanpun.

Saat ini, Vita tengah berencana untuk membatalkan kontrak kerja itu. Ia juga sudah membicarakannya dengan pihak manajemen. Awalnya, manajemen perusahaannya sempat menolak. Tapi karena Vita memohon-mohon, akhirnya pihak manajemennya bersedia membatalkan kontrak kerja itu tapi dengan syarat, ia harus menemukan pengganti yang kemampuannya sama dengannya dulu sebelum kontrak kerja itu benar-benar dibatalkan. Vita pun menyetujuinya, dan berusaha mencari penggantinya. Tapi sampai saat ini, ia belum juga menemukan pengganti yang sesuai dengan harapan pihak perusahaannya.

Dan sekarang Rafa ngomong seperti ini. Dia harus menjawab apa? Sanggup? Iya, kalau dia benar-benar bisa mendapatkan penggantinya. Kalau tidak? Apa masalahnya tidak akan semakin runyam? Tapi kalau tidak sanggup? Apa tanggapan Rafa nanti? Nanti dikiranya dia masih meragukan keseriusan Rafa. Padahal sebenarnya, tak sedikitpun terbersit keraguan di hati Vita tentang keseriusan Rafa. Dan dia juga yakin kalau Rafa akan menjadi suami yang terbaik untuknya kelak.

Vita jadi bingung sendiri. Apa yang harus ia jawab? Sedangkan sepertinya, Rafa menunggu jawabannya. Akan kecewakah pemuda itu kalau Vita menggeleng? Aahhh,,,, pekerjaan itu sukses membuat hatinya selalu gundah. Tapi itu salah dia sendiri.

“Vit? Kamu,,, belum siap ya?” Rafa meraih tangan Vita, dan mengecupnya lembut.

“Kok,,, kamu tiba-tiba kepikiran mau mempercepat?”

“Papa aku udah pengen pensiun ditemeni cucu. Dan aku pikir, aku juga udah pengen punya pendamping. Aku udah pengen kamu selalu di samping aku. Aku udah pengen kamu jadi milik aku seutuhnya.” Jelas Rafa. Vita malah menghela nafas. Ia benar-benar bingung harus bagaimana. Sejujurnya, diapun sebenarnya juga ingin memenuhi keinginan Rafa. Membuat Rafa bahagia adalah merupakan kebahagiaan tersendiri untuknya. Tapi kontrak itu? Vita mendengus.

“Kamu beneran belum siap ya?”

“Emm,,,, akan aku pertimbangkan, Raf.” Akhirnya itulah jawaban gadis itu.

“Kalau mau dipertimbangin, berarti ada kemungkinan kamu Ok donk?”

“Yaaa,,, mungkin. Berdoa aja mudah-mudahan keputusanku sesuai sama keinginan kamu.” Vita tersenyum dan di sebelahnya Rafa mempererat pelukannya. Sepertinya, pemuda itu sangat senang meski jawaban kekasihnya masih sebatas akan ‘mempertimbangkan’.

Vitapun membalas pelukan kekasihnya yang kini tersenyum-senyum senang itu. Dan di dalam hatinya, ia berdoa mudah-mudahan diberi jalan yang terbaik, dan ia segera bisa menemukan penggantinya sebelum urusan di kampusnya selesai, dan ia kembali ke Indonesia.

‘Hooaaaammmm,,,,,” Mungkin karena waktu yang memang telah larut, Vita beberapa kali menguap karena ngantuk.

“Ngantuk ya?” Tanya Rafa, dan dibalas anggukan oleh gadis itu.

“Tidur yuk. Udah ngantuk.”

“Duluan aja deh. Aku masih pengen nonton TV.” Rafa memberikan sebuah kecupan hangat di pipi kekasihnya sebelum kekasihnya itu berdiri untuk menidurkan tubuhnya di ranjang.

“Volumenya jangan keras-keras ya. Udah malem. Berisik. Ntar aku nggak bisa tidur.”

“Iya.”

Tapi baru saja Vita menangkupkan selimut ke atas tubuhnya, tiba-tiba Rafa iseng mengeraskan volume TVnya.

“Rafa keciliiiinnnnn,,,,,,,,,,,” Pekik Vita, dengan sewotnya. Rafa malah tergelak-gelak di depan TV, seraya mengecilkan volumenya lagi.

Tapi lagi-lagi pemuda itu memperbesar volume suara TVnya saat Vita mau mulai memejamkan mata. Dan karena benar-benar sewot, gadis itu akhirnya bangkit dari tidurnya dan merebut remot TV dari tangan Rafa.

“Kamu tuh beneran ngeselin banget sih? Gimana aku mau jadi istri kamu coba kalau belum jadi istri kamu aja aku udah kamu isengin terus?” Sungutnya, lalu buru-buru mematikan TVnya, dan membawa remot itu kabur ke ranjang dan menyembunyikannya di bawah selimut yang kini ia tutupkan ke seluruh tubuhnya.

“Iya enggak enggak. Ntar nggak diisengin lagi.” Rafa masih menyisakan tawanya, seraya mengikuti Vita. “Sini kembaliin remotnya. Aku masih pengen nonton.”

“Enggak mau. Ntar kamu gangguin tidur aku melulu. TVnya dikeras-kerasin.”

“Enggak enggak. Janji deh.”

“Pokoknya nggak mau. Kamu tidur aja sana. Udah malem juga.” Vita masih berbicara di balik selimutnya.

“Aku masih pengen nonton TV.”

“Ya udah nonton TV aja sono.”

“Kalau remotnya aja kamu kekepin gimana aku bisa nonton TVnya?????”

“Terserah.”

“Kembaliin remotnya, atau aku bakalan ngelakuin sesuatu.”

“Bodo.”

“Ok kalau kamu masa’ bodo. Pokoknya jangan salahin aku ya, kalau aku ngelakuin sesuatu.” Rafa mulai menyingsingkan lengan bajunya, dan menaikkan satu kakinya ke ranjang Vita. Vita yang merasakan ada tubuh yang naik ke ranjangnya itu langsung membuka selimutnya, dan membolakan matanya.

“Kamu mau apa?”

“Terserah aku donk mau ngapain juga. Kamu bilang tadi terserah kan?” Mata gadis itu semakin membola saat Rafa mulai mengangkat tangannya hendak menangkap tubuhnya. Dan sebelum tangan Rafa sampai ke tubuhnya, Vita buru-buru mengeluarkan remot TV itu dari balik selimut tebalnya.

“Nih nih nih,,, remotnya nih.” Dengan muka sedikit ketakutan, gadis itu mengacungkan remot TV itu ke arah Rafa. “Kamu kalau udah nge-devil gitu ngeri ih.”

“Hahaha ketakutan. Makanya jangan macem-macem sama Prince Charming.” Rafa pun segera menjauh dari ranjang Vita begitu mendapatkan benda yang diinginkannya. Tapi baru beberapa langkah ia berjalan, pemuda itu balik kanan lagi dan naik lagi ke ranjang.

“Mau ngapain lagi?” Kembali, wajah Vita ketakutan.

“Cuma mau ngucapin selamat malam.” Ujar Rafa, dengan tersenyum jail karena melihat muka ketakutan Vita yang menurutnya lucu. “Met malem my sweety. Met bobok. Nice dream yach,,, muuaachhh,,,,” Setelah mendaratkan bibirnya di kening Vita, pemuda itu benar-benar menjauh dari ranjang yang ditiduri kekasihnya, dan berjalan mendekati TV lalu menyalakannya lagi.

Dengan tersenyum manis, Vita memperhatikan punggung Rafa yang kini terduduk di depan TV. Ada kelegaan yang mengguyur hatinya, karena sepertinya Rafa memang tidak akan melakukan sesuatu padanya. Rafa memang selalu menjaganya. Menjaganya dari orang lain, maupun dari dirinya sendiri. Selama lebih dari tujuh tahun mereka pacaran, belum pernah sekalipun Rafa mengajak Vita untuk melakukan yang aneh-aneh. Dan itu membuat Vita semakin yakin kalau memang Rafalah orang yang terbaik untuknya.

“Ya Tuhan,,, mudah-mudahan Kau benar-benar memberikan jalan yang terbaik untukku, dan untuknya.” Doanya, sebelum benar-benar mengatupkan kedua matanya, dan melaju ke alam mimpi.

‘*     *     *     *     *

Bau tanah basah menguar melewati lubang angin di atas jendela kamar Villa. Dari jendela yang dihias tirai berwarna hijau muda itu, cahaya mentari tampak membias. Pagi ini cerah, setelah hujan lebat yang mengguyur puncak selama semalaman. Morgan masih saja bersembunyi di balik selimut tebalnya, seolah enggan membuka mata meski hari telah beranjak siang.

Baru setelah ia merasa terusik oleh suara tangis seseorang, pemuda itu baru berusaha membuka matanya yang terasa lengket. Ia memicingkan mata, dan menengok ke arah suara tangis yang terdengar di samping kanannya. Dan saat ia melihat ternyata Afra terduduk dengan berderai air mata di sampingnya, mata Morgan membola. Apalagi melihat punggung Afra yang tak tertutup kain sehelaipun. Hanya tubuh bagian depannya yang masih tertutup selimut.

Pemuda itu bingung apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan setelah ia mengintip tubuhnya di balik selimut, pemuda itu jadi shock.

“Nggak mungkin.” Gumamnya lirih, sambil menggelengkan kepalanya. Tangannya terangkat, dan menutup mulutnya sendiri, tanda kalau dia benar-benar shock dengan keadaannya saat ini.

Iapun segera bangkit dari tidurnya, dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ranjang. Dan di sana, ia menemukan pakaiannya dengan pakaian Afra tampak berserakan. Ia juga melihat bercak darah di selimut yang menutupi tubuhnya, dan itu membuatnya semakin shock.

“Ya Tuhan,,,, semalem gue ngapain?”


Bersambung.,,,,

By: Novita SN