Sedari
tadi, Bisma menguap-nguap terus karena semalaman dia tidak bisa
tidur. Hampir sepanjang malam pemuda itu terjaga karena memikirkan
Nanda. Memikirkan bahwa gadis itu sudah hampir memaafkan
kesalahannya. Bisma tinggal menunggu waktu yang tepat untuk berbicara
yang lebih lama dengan Nanda, tinggal memberi waktu beberapa saat
lagi untuk Nanda menata hati. Dan Bisma tidak sabar menanti saat itu,
hingga matanya tak bisa terpejam sepanjang malam.
Sebenarnya
pagi ini, ia ingin pergi ke rumah Nanda, mengajak gadis itu
jalan-jalan, dan meminta maaf lagi agar ia segera bisa melihat senyum
Nanda. Tapi sayang, tiba-tiba saja papanya malah mengajaknya mancing
bersama. Ia tidak bisa menolak. Memang sudah lama Bisma tidak
melakukan kegiatan itu bersama papanya. Padahal dulu, hampir setiap
minggu mereka melakukan kegiatan itu bersama. Jadi kali ini, Bisma
tidak bisa menolak permintaan papanya. Mungkin papanya juga rindu
beradu pancing lagi dengannya.
“Semalem
kamu nggak tidur ya, Bii?” Tanya Om Faisal, saat melihat tatapan
anaknya yang sepertinya sayu. Bisma hanya menoreh seulas senyum,
sambil memutar-mutar senar pancingnya yang sepertinya telah ditarik
ikan. “Kamu marahan sama Nanda?” Mendengar pertanyaan itu, Bisma
jadi menghentikan kegiatannya, dan menatap papanya.
“Kok
Papa tanya gitu?”
“Papa
perhatiin semalem kayaknya Nanda agak lain. Kayaknya dia lagi marah
sama kamu ya? Emang kamu ngapain?”
“Engg,,,
enggak ngapa-ngapain kok, Pa. Lagian juga kita nggak berantem kok.”
Bohong Bisma. Pemuda itu berusaha bersikap sebiasa mungkin agar
kebohongannya tidak tercium oleh papanya. Bukannya apa-apa. Bisma
Cuma tidak ingin orang tuanya tau kalau dia lagi marahan sama Nanda.
Sebab, kedua orang tuanya itu selalu saja heboh kalau ada kejadian
buruk yang menimpa hubungannya dengan Nanda. Entah kenapa, mereka
berdua sangat antusias ingin menjadikan Nanda menantu mereka. Mungkin
tak hanya Bisma yang telah jatuh cinta sama Nanda. Kedua orang tuanya
pun telah jatuh hati kepada gadis itu. Jadi sebisa mungkin Bisma
menyembunyikan pertengkarannya dengan Nanda itu, agar kedua orang
tuanya tidak terlalu khawatir.
“Beneran
nggak berantem?” Tapi sepertinya, Om Faisal masih saja curiga.
“Enggak
Papa. Beneran.”
“Tapi
kayaknya semalem Nanda diam juga bukan karena sariawan kan?”
Setelah membolakan mata, Bisma tergelak karena papanya masih inget
aja sama celetukan ngasalnya Bisma semalam.
“Bukan
sih, Pa. Tapi mungkin Nanda lagi capek aja. Kegiatan di kampus
banyak, Pa. Jadi nguras tenaga banget. Kemarin Nanda abis ada
kegiatan langsung pulang. Mungkin dia masih letih. Jadi diem aja
kayak gitu.”
“Oooo,,,
kirain. Tapi, kalau emang ada masalah sama kalian berdua, segera
selesaiin, Bii. Jangan sampai kalian putus. Nanda itu udah yang
terbaik buat kamu. Papa udah banyak denger tentang dia dari kedua
orang tuanya. Dan papa kira omongan Pak Subroto nggak mengada-ada.
Nanda emang anak yang baik. Jadi jangan sampai kamu kehilangan dia
Cuma karena masalah sepele yang sebenarnya bisa kalian selesaiin.
Papa rasa kalian udah pada gede. Bisa menyikapi masalah dengan
pikiran dewasa. Papa juga tau kalau kalian sama-sama cocok. Jadi Papa
harap kalian bisa tetap bersama sampai ke pelaminan.” Ujar Om
Faisal panjang lebar, membuat hati Bisma mendesir.
Itulah
salah satu yang Bisma suka dari kegiatan mancing yang sering ia
lakoni dengan papanya itu. Selain ia bisa lebih dekat dengan papanya,
dalam kegiatan itu pulalah Bisma sering mendapat wejangan-wejangan
bijak dari papanya. Terkadang papanya akan menasehatinya tentang
sekolah, tentang hidup keseharian, tentang bisnis, bahkan juga
seperti tadi, tentang cinta. Dari kegiatan mancing ini, Bisma bisa
mengetahui banyak hal dari papanya.
Tapi
nasehat Om Faisal kali ini sepertinya membuat Bisma sedikit tertohok.
Om Faisal sepertinya tetap tak percaya kalau tidak ada masalah antara
dia dengan Nanda. Terlihat dari kata-kata Om Faisal yang sarat akan
permintaan agar Bisma segera menyelesaikan masalahnya. Dan satu lagi
yang membuat hati Bisma mendesir adalah kalimat terakhir papanya.
‘Papa harap kalian bisa tetap bersama sampai ke pelaminan’.
Kalimat itu benar-benar membuat Bisma senang bercampur resah. Senang
karena sepertinya orang tuanya itu memang telah memberi jalan tol
untuk hubungannya dengan Nanda, tapi juga resah mengingat karena
kesalahannya, Bisma hampir saja kehilangan Nanda.
“Iya
Papa. Bisma akan berusaha jaga hubungan Bisma sama Nanda semampu
Bisma. Bisma janji.” Janji Bisma kepada papanya. Dan di depannya,
Om Faisal tampak tersenyum bangga pada anaknya.
‘*
* * * *
Jam
dua siang, Bisma dan Om Faisal baru nyampai rumah lagi. Bisma yang
memang belum sempat tidur dari semalam itu tampak letih. Sekarang, ia
diserang kantuk yang amat berat. Tanpa mandi ataupun ganti baju,
pemuda itu langsung ambruk di kasurnya. Bahkan sepatunyapun belum
sempat dia lepas.
Baru,
saat jam menunjukkan pukul setengah lima, Bisma terbangun. Ia baru
ingat kalau harus ke rumah Nanda. Buru-buru, pemuda itu mandi dan
ganti baju.
Tapi
entah kenapa sebelum ia berangkat ke rumah Nanda, ia ingin sekali
menelpon ke rumah Nanda dulu, untuk memastikan keberadaannya. Dan
mungkin memang sebuah firasat, Tante Riska mengatakan bahwa Nanda
ternyata sudah kembali ke asrama. Baru beberapa menit yang lalu Nanda
berangkat dengan diantar sopir. Kecewa hati Bisma bukan kepalang saat
mendengar kabar itu. Padahal dia berencana untuk kembali ke asrama
besok pagi. Dia tidak akan bisa menunggu selama itu. Bisa-bisa nanti
malam dia akan terjaga lagi karena memikirkan Nanda.
Bismapun
kembali ke atas, ke kamar adiknya. Saat itu, Diana masih tertidur
pulas. Dengan tanpa dosa, pemuda itu mengobrak-abrik acara tidur
siang Diana yang sengaja Diana molorkan sampai sore.
“Diana
bangun.” Bisma langsung menyingkap bad cover yang membungkus tubuh
adiknya tanpa permisi. Dan dengan sigap, pemuda itu mengangkat tubuh
adik mungilnya, hingga Diana terduduk tegak. Diana jadi seperti orang
linglung karena dibangunkan paksa oleh kakaknya seperti itu.
Matanyapun masih setengah merem. “Bangun, Dii.” Kali ini, Bisma
menepuk-nepuk pipi adiknya.
Saat
Diana tau kalau ternyata Kakak laki-lakinyalah yang membuyarkan sisa
mimpi siang bolongnya, Diana jadi manyun.
“Apaan
sih, Kak. Ganggu aja deh.” Gadis itu membaringkan tubuhnya kembali,
masih dengan merengut.
“Bangun,
Dii. Kita kembali ke asrama sekarang.”
“Nggak
mau. Katanya mau baliknya besok pagi.” Tolaknya, seraya merapatkan
bad covernya lagi, hingga menutupi seluruh badannya hingga ke kepala.
“Kita
musti balik ke sana sekarang, Dii. Kak Nanda udah balik ke sana. Kita
musti nyusulin dia.”
“Kakak
aja yang nyusul. Diana besok aja. Biar dianter sopir.”
“Nggak
bisa, Diana. Kakak harus balik sama kamu.”
“Tapi
Diana nggak mau, Kak. Diana masih pengen di rumah.”
“Ayolah,
Dii. Kakak mohon. Kalau kamu ikut kakak sekarang, kamu boleh minta
apa aja dari kakak deh.” Diana tak menjawab. Dia masih bersembunyi
di balik bad cover yang menyelimutinya. Tapi tiba-tiba, gadis itu
terkesiap menyadari kata terakhir kakaknya.
“Beneran
boleh minta apa aja?” Kini, Diana bangkit tanpa diminta lagi.
Bismapun mengangguk.
“Iya.
Apa aja deh.”
“Kalau
gitu Diana minta sepatu rodanya kakak yang dari Paris.” Diana
memang sudah lama mengincar sepatu roda yang Bisma dapatkan waktu dia
jalan-jalan ke Paris bersama Rangga dan Morgan tahun lalu itu. Tapi
mendengar permintaan Diana itu, sepertinya Bisma lupa sama
kata-katanya sendiri yang katanya mau ngasih apa aja ke Diana.
“Jangan
yang itu donk, Dii. Itu kan sepatu roda kesayangan kakak.”
“Ya
udah kalau nggak mau. Diana juga nggak mau ikut kakak.” Diana
menjatuhkan tubuhnya lagi ke kasur, lalu menutup tubuhnya dengan bad
cover.
“Iiihhh,,,
kamu mah. Please deh, Dii. Kakak mohon.”
“Sepatu
rodanya dulu, baru Diana mau ikut.”
“Pinjem
aja deh, ya?”
“NGGAK
MA U.” Diana menekankan kata-katanya.
Akhirnya
Bisma mengalah. Daripada ribut kelamaan, buang-buang waktu, iapun
segera ke kamarnya sambil sedikit ngedumel. Dan beberapa saat
kemudian, ia kembali ke kamar Diana dengan membawa sepasang sepatu
roda yang diinginkan adiknya itu. Di balik bad cover yang
menyelimutinya, Diana mengintip kakaknya yang menjatuhkan begitu saja
sepatu roda di tangannya. Sebenarnya Bisma nggak ikhlas melepaskan
sepatu roda kesayangannya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Demi Nanda,
apapun akan ia lepaskan. Dia memang ingin buru-buru bertemu dengan
Nanda, dan untuk itu dia butuh bantuan Diana.
“Tuh.”
Ucap Bisma, dengan muka terlipat.
“Wuah,,,,,,,
akhirnya,,,,,” Gadis yang tadinya merengut karena dibangunkan paksa
oleh kakaknya itu kini bersorak kegirangan melihat sepatu roda yang
telah lama diincarnya. Matanya yang tadi setengah merem kini membola,
persis seperti mata kucing, tanpa peduli dengan kakaknya yang
bersungut-sungut di sampingnya. “Terima kasih ya, Kak. Kak Bisma
tuh emang kakak pualing buaaiiiikkk sedunia.” Dianapun bangkit dan
mencium pipi kakaknya. Tapi, ciumannya itu ternyata tetap tak bisa
menghapus sungut di wajah Bisma.
“Sekarang
buruan kemasi barang-barang yang mau kamu bawa.”
“Diana
mandi dulu donk Kak.”
“Kalau
gitu siapin aja barang yang mau kamu bawa. Ntar kakak yang masukin ke
tas kamu.”
Dianapun
nurut. Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, ia memang bertekat
untuk menuruti apapun mau kakaknya.
Dengan
beriringan, kakak beradik itu menuruni tangga saat Om Faisal dan
Tante Fani tengah bersantai di ruang tengah. Mereka terkejut melihat
kedua anak mereka yang berpakaian rapi dan menggendong tas besar di
punggung.
“Pada
mau kemana? Kok bawa-bawa tas?”
“Balik
ke asrama, Ma.”
“Katanya
mau besok pagi? Kok mendadak berubah?”
“Tau
nih Ma, Kak Bisma. Dia yang ribut, Diana ikutan ribet.”
“Ribut?
Ribut sama siapa?”
“Sama
Kak,,,,hmmbbb hmmbbb,” Secepat kilat, Bisma membungkam mulut
adiknya.
“Sama
teman, Ma.” Jawab Bisma, nyengir kuda. “Bentar ya Ma. Bisma ambil
minum dulu di dapur.” Ijinnya, sembari menyeret adiknya dalam
keadaan mulut masih terbekap oleh tangannya. Diana sampai tempalingan
mengikuti kakaknya.
“Jangan
bilang-bilang ke Mama sama Papa kalau kakak baru perang dingin sama
Kak Nanda.” Gemas Bisma, kepada adiknya.
“Emang
kenapa sih, Kak?”
“Kakak
pokoknya nggak mau Mama sama Papa tau. Awas kalau sampai
bilang-bilang sama mereka. Kakak ambil lagi sepatu rodanya ntar.”
“Iya
iya. Diana nggak bilang.”
‘*
* * * *
Dengan
senyum manis terulas di bibir, gadis itu memandangi mahkota di
tangannya. Sebuah mahkota kertas buatan Bisma yang selalu bisa
mengobati rindunya, menawarkan gelisah di dadanya. Mahkota yang
selalu mengingatkannya pada peristiwa malam itu. Malam di mana Bisma
menyatakan cintanya untuk pertama kali.
Tiap
kali mengingat malam itu, hati Nanda selalu luluh. Ingin rasanya ia
menelpon Bisma dan menyatakan rasa kangennya yang mendalam kalau saja
bayangan Raisya tak mengayun-ngayun di pelupuk matanya.
Nanda
beranjak ke depan kaca besar yang terpampang di lemari. Di sana, ia
bisa melihat bayangan wajahnya yang teramat cantik dengan mahkota
yang ia sematkan di kepalanya. Di depan cermin itu pula dulu Bisma
meledeknya. Mengatainya kalau ia terlalu gendut, pipinya gembil.
Nanda jadi tersenyum mengingat semua itu. Dan senyumnya itu, membuat
pipinya membulat. Ia memencet pipinya sendiri, menirukan apa yang
dulu dilakukan Bisma padanya.
Tiba-tiba
saja, rindu itu kembali menyeruak ke dalam hati Nanda. Ia lirik HP
yang tergeletak di kasur, berharap Bisma menghubunginya. Tapi hampa.
Sedari tadi pagi, Bisma tak menghubunginya. Padahal biasanya, Bisma
bisa mengirim berpuluh-puluh sms untuknya dalam sehari. Meskipun tak
ditanggapi, Bisma masih tetap ngotot sms dia. Tapi hari ini, entah
kenapa Bisma tak sedikitpun menanyakan kabarnya. Hal itu membuat
Nanda semakin rindu.
Kalau
boleh jujur, meski Nanda cuek pada Bisma, tapi sebenarnya ia selalu
menantikan sms dari kekasihnya itu. Sebab, sms dari Bisma itu
menunjukkan betapa banyak perhatian Bisma tercurah untuknya. Baru
sehari Bisma tak memberi kabar saja, hati Nanda sudah gelisah
setengah mati.
"Apalagi
Bisma yang aku cueki berhari-hari, bahkan berminggu-minggu ya?"
Ucapnya dalam hati. Ia jadi merasa bersalah juga telah membiarkan
kekasihnya dalam kekalutan sekian lama seperti itu. Tapi mau
menghubunginya duluanpun ia tak mau. Takut membuat Bisma keGRan.
“Kak
Nanda,,,” Sebuah suara tiba-tiba mencabik angan yang tengah memutar
memory romantisme Nanda. Diana?? Dahi Nanda mengernyit mengetahui
pemilik suara itu. Buru-buru, ia menyimpan mahkotanya ke dalam lemari
lagi.
“Diana?
Kamu udah kesini juga?”
“Iya
Kak. Takut besok kesiangan. Jadi lebih baik Diana sama Kak Bisma
berangkat sekarang.” Itu yang dikatakan Bisma tadi untuk alasan
kalau-kalau, Nanda menanyakan kenapa dia kembali ke asrama sekarang.
“O iya Kak, ke kamarnya Diana bentar yuk. Diana baru beli baju.
Pengen nyobain. Ntar Kak Nanda lihat ya. Bagus nggak kira-kira baju
Diana.” Tanpa mendengar jawaban Nanda, Diana langsung menggandeng
tangan Nanda, dan mengajak dia ke kamarnya. Itu juga yang tadi
diminta Bisma kepada adiknya. Diana disuruh oleh Bisma untuk membawa
Nanda ke kamarnya. Sebab, Bisma takut kalau dia tiba-tiba datang ke
kamar Nanda, Nanda malah akan mengunci pintu kamarnya.
Diana
tengah mencoba satu demi satu baju yang tadi siang dia beli bersama
mamanya saat Bisma sampai di depan kamarnya dengan membopong tas
milik Diana. Setengah terkejut, Nanda menatap wajah yang
menyunggingkan senyum itu. Hampir ia mengembangkan senyumnya juga
saat melihat orang yang ia rindukan itu berdiri di hadapannya saat
ini.
“Diana
ke kamar mandi bentar ya, Kak.” Ijin Diana setelah menyimpan tasnya
di sebelah lemari. Itu memang salah satu trik Diana untuk memberi
kesempatan kepada kedua kakaknya agar mereka bisa berduaan.
Setelah
Diana meninggalkan kamarnya, Bisma mendekati Nanda yang terduduk di
ranjang Diana. Bisma menatap lekat wajah Nanda setelah ia mendudukkan
tubuhnya di samping gadis itu. Kini, wajah ayu itu tak ada riak
kegalauan lagi. Meski belum ada senyum tersemat di bibirnya, tapi
wajah masam yang selalu ia hadirkan selama ini telah tiada. Bisma
justru melihat rona bahagia di wajah itu.
“Kamu
udah nggak marah lagi kan, Nda?” Tanya Bisma, agak ragu. Tapi tak
ada sahutan dari Nanda sampai beberapa detik berlalu. Nanda masih
bungkam, dengan tatapan tertuju ke lantai di bawahnya. Bisma jadi
resah, takut kalau ternyata Nanda masih marah padanya.
“Kalau
masih marah gimana?” Akhirnya gadis itu menyahut, dengan wajah
terangkat.
“Kalau
kamu masih marah aku rela deh, ngelakuin apa aja biar kamu nggak
marah lagi sama aku.”
“Ngelakuin
apa aja?”
“Iya.
Ngelakuin apa aja yang kamu mau. Aku rela, aku siap.”
“Kenapa?”
“Karena
aku sayang banget sama kamu, Nda. Dan aku nggak pengen kamu ngambek
terus.”
“Sayang
sama Raisya juga?” Nanda masih saja menyindir Bisma soal Raisya,
membuat Bisma menghela nafas dalam-dalam.
“Aku
nggak pernah sayang sama dia, Nda. Udah berapa kali aku bilang? Aku
nggak pernah cinta sama dia.”
“Tapi
kamu udah bilang cinta sama dia.”
“Aku
nggak serius ngomong kayak gitu.”
“Nggak
serius?”
“Iya,
nggak serius. Sekarang aku tanya sama kamu. Kalau seandainya ada
orang yang baru kamu kenal, trus dia langsung bilang cinta sama kamu,
apa kamu bakal nganggep omongannya itu serius? Apa kamu bakal percaya
kalau dia cinta sama kamu beneran? Enggak kan?”
“Ya
anggapan orang kan lain-lain. Dan kayaknya Raisya nganggep kalau kamu
serius cinta sama dia. Buktinya dia lengket terus sama kamu, kan?!”
“Sekarang
udah enggak. Aku udah tegesin ke dia kalau aku Cuma cinta sama kamu.
Dan aku nggak bisa ninggalin kamu.” Nanda terkesiap mendengar
pengakuan Bisma itu.
“Trus,,,
dia bilang apa?”
Mengingat
kejadian sore itu, kata-kata Raisya yang membuat Bisma selalu was-was
tiba-tiba mengiang-ngiang di telinganya. Tapi saat ini, Bisma tidak
ingin mengingat-ingat perkataan Raisya itu. Yang ia inginkan sekarang
hanyalah mendapatkan maaf dari Nanda, dan baikan lagi seperti dulu.
Masa bodoh dengan apa yang dibilang Raisya waktu itu. Bisma tak
peduli.
“Dia
maafin aku.” Jawab Bisma, berbohong. Nanda masih tertegun tanpa
menanggapi omongan Bisma lagi. Sepertinya, gadis itu percaya dengan
omongan kekasihnya. Sebab sekarang, dia menghentikan sindirannya
untuk Bisma. “Sekarang tolong jangan marah lagi. Bukannya kamu
bilang kalau cinta itu selalu punya alasan untuk memaafkan?”
“Kapan
aku bilang begitu sama kamu?”
“Diana
yang bilang. Hehehehe ”
“Diana
selalu mengcopy apa yang aku bilang ya?”
“Dia
cuma pengen kita baikan lagi.”
“Jadi
benar ya, kemarin itu kamu ngirim Diana buat bicara sama aku?”
“Enggak
kok. Aku nggak nyuruh dia. Dia aja yang katanya khawatir karena kita
ngambekan terus. Jadi dia punya inisiatif buat ngomong sama kamu.
Makanya kamu maafin aku donk. Biar usahanya Diana nggak sia-sia.”
Untuk
sesaat, Nanda hanya terdiam, seolah tengah memikirkan sesuatu. Tapi
kemudian,,,, “Iya, aku maafin kamu.” Ucapnya, membuat rona
bahagia menyembul begitu saja di muka Bisma, dan membuat hati Bisma
melonjak-lonjak kegirangan. Bisma benar-benar senang sekarang.
Akhirnya saat yang ia nanti itu datang juga petang ini. “Yachh,,,
mudah-mudahan sih kamu nggak bikin aku sewot lagi. Jadi Diana nggak
perlu repot-repot berusaha bikin kita baikan.” Canda Nanda, sembari
menyembunyikan senyumnya. Tapi sepertinya Bisma tau kalau ada senyum
yang mengintip di balik bibir Nanda.
“Iya
aku janji nggak bakal bikin kamu sewot lagi.” Janji Bisma, dengan
muka benar-benar berbinar. “Nda, mungkin aku emang nggak sebaik
yang kamu mau. Tapi satu hal yang perlu kamu tau. Aku sangat
mencintai kamu dengan segenap jiwaku, Nda. Dan cinta yang telah aku
pupuk sekian lama ini, Cuma untuk kamu. Dan akan selalu jadi milik
kamu." Begitu tulus kata-kata yang keluar dari mulut Bisma itu,
hingga membuat hati Nanda meleleh dan tak bisa menghindar lagi dari
karismanya. Lagi-lagi Nanda tertegun, sembari memandangi wajah di
depannya. Dan di wajah yang kini berbinar itu, Nanda bisa menemukan
keseriusan dan ketulusan yang memancar.
“Emang
sejak kapan kamu cinta sama aku?”
“Sejak
seribu tahun yang lalu. Kayak Edward Cullen gitu.” Jawab Bisma
ngasal, lalu terkekeh.
“Vampire
donk.” Nanda nyengir. “Lebay banget, sih.”
“Biarin.
Mumpung lagi dimanis-manisin. Lebay dikit nggak pa-pa kali.”
Lagi-lagi pemuda itu terkekeh. ”Kamu beneran pengen tau sejak kapan
aku cinta sama kamu?”
“He
em.”
“Sejak
aku ketemu sama kamu di halte, aku udah mulai cinta sama kamu,
Nda.Trus Waktu aku nabrak kamu di depan perpustakaan aku jadi pengen
milikin kamu. Waktu pertama kali aku nganterin kamu pulang, aku makin
cinta sama kamu. Waktu aku meluk kamu di dapur Afra, aku ngerasa
kalau aku tambah cinta sama kamu. Waktu aku nolongin kamu saat
kebakaran di kampus lama, aku ngerasa kalau nggak ada orang yang
harus aku lindungi selain kamu. Saat aku ngendap-endap masuk ke
kamarmu sampai kena paket seratus, aku semakin yakin kalau aku emang
Cuma cinta sama kamu. Trus waktu di pulau, yang bikin aku benar-benar
bisa milikin kamu, aku tau kalau kamu harus aku genggam dan nggak
boleh aku lepasin. Soalnya, aku hanya bisa cinta sama kamu. Dan saat
kamu menyenandungkan lagu cinta untukku waktu pesta kampus, aku jadi
tau kalau ternyata,,, kamu,,, juga cinta banget sama aku.”
Bisma
berujar panjang lebar seperti merangkai karangan, membuat hati Nanda
semakin meleleh, dan hatinya berdebar kencang nggak karu-karuan.
Entah kenapa, gadis itu sekarang jadi gugup setengah mati. Susah
payah ia menetralkan perasaannya agar gugup itu tak terlalu kelihatan
oleh Bisma. Sebab kalau sampai Bisma tau Nanda gugup, pemuda itu
pasti akan meledeknya. Dan Nanda nggak mau kalau Bisma mengeluarkan
ledekannya.
“GR
banget?” Sahut Nanda, setelah ia benar-benar bisa menetralkan
perasaannya.
“Bukannya
GR tapi apa yang aku bilang itu emang bener kan?! Di
antara seribu bintang, hanya kaulah yang paling terang, di antara
beribu cinta, pilihanku hanya kau sayang,,,Tak kan ada selain kamu,
dalam segala keadaanku, Cuma kamu ya hanya kamu, yang selalu ada
untukku,,,, kamu nyanyi gitu kan buat aku?”
“Siapa
bilang kalau aku nyanyiin lagu itu buat kamu?”
“Hati
kamu yang bilang. Dan cinta yang ikut bersenandung di dalam hati kamu
itu menari-nari di pelupuk mata aku. Dan bilang kalau cinta itu untuk
aku.”
Nanda
mencibir mendengar kata-kata manis Bisma itu. Tapi mau tak mau,
senyum yang amat cantik terulas juga di bibirnya. Senyum yang sangat
dinanti-nantikan Bisma. Senyum yang membuat Bisma selalu rindu setiap
saat padanya. Senyum itu yang selalu mengintip di balik kejutekan
Nanda dulu. Dulu, Bisma selalu menantikan kejudesan Nanda karena
sebenarnya ada senyum manis itu yang tersembunyi di baliknya. Senyum
yang begitu ikhlas, senyum yang memancarkan cinta. Membuat hati Bisma
yang telah lama gersang seolah mengalirkan air yang menyejukkan. Hati
Bisma berdesir melihat senyum yang sangat ia nantikan itu.
“Akhirnya,
senyum itu kembali juga buat aku.” Desisnya, dalam hati. Bismapun
meraih tubuh Nanda di sampingnya, dan memeluknya erat-erat. Nanda tak
menolak. Bahkan, gadis itu membalas pelukan kekasihnya. Sekarang
mereka benar-benar telah baikan. Nanda benar-benar telah memaafkan
Bisma.
Sepertinya
setelah ini, Bisma harus lebih berhati-hati dengan sikapnya.
Kekasihnya ini, kalau sudah kecewa, perlu waktu yang panjang untuk
mengobati kekecewaannya. Jadi daripada membuat kekasih yang amat
dicintainya itu kecewa, bukankah lebih baik kalau dia lebih menjaga
sikapnya? Ia tak ingin lagi membuat Nanda kecewa. Tak ingin menyiksa
dirinya sendiri karena kecuekan Nanda. Kalau boleh memilih, Bisma
lebih baik dijutekin daripada dicuekin seperti itu.
Nanda
semakin mempererat pelukannya. Tak bisa ia pungkiri, bahwa sebenarnya
ia pun juga sangat merindukan pemuda di sampingnya itu. Sudah terlalu
lama ia membiarkan pemuda itu dalam kegundahannya. Telah terlalu lama
juga ia memendam rasa rindunya. Maka kali ini, ia ingin menghempaskan
segala rindu di dadanya. Ia membenamkan kepalanya di dada Bisma,
membiarkan kekasihnya itu mencium lembut rambutnya, merasakan
kelegaan yang amat sangat di dada Bisma.
Saking
terlenanya dalam kemesraan mereka, Bisma dan Nanda sampai tidak sadar
kalau ternyata ada dua pasang mata yang tengah mengawasi mereka
sedari tadi.
“Ehm,,,,,”
Si pemilik mata itu berdehem karena sudah gerah melihat adegan di
depannya.
Bersambun
By: Novita SN