Friday, May 10, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 27


Saat pertama kali membuka mata, tubuh Bisma terasa basah kuyup. Bajunya kotor penuh pasir. Perlahan, ia mencoba bangkit dan mendudukkan tubuhnya. Berat yang terasadi kepalanya membuat dahinya mengerut. Ia pegangi kepalanya, untuk mengurangi rasa pening yang menggigit. Perut pemuda itu juga terasa mual. Dan saat duduknya tertegak sempurna, ia memuntahkan air yang terasa menyesaki seisi perutnya. 


Beberapa meter di sebelahnya, terlihat seorang gadis yang keadaannya tak kalah kotor dengan dia. Gadis itu tergeletak tak berdaya dengan mata terpejam. Bisma mencoba bangkit setelah ia merasa lebih baik. Dan setelah ia sadar kalau ternyata gadis yang tergeletak itu adalah Nanda, Bismapun buru-buru menghampirinya. 


“Nda,,,Nanda,,,,”Pemuda itu mengangkat kepala Nanda, dan menidurkannya di pahanya. Ia coba menepuk pipi Nanda beberapa kali. Tapi tak ada respon dari tubuh yang taksadarkan diri itu. Dengan perasaan kalut, pemuda itu meraih tangan Nanda, dan memeriksa pergelangan tangannya. Nafasnya terhempas lega saat ia rasakan masih ada denyut nadi di sana. 


Beberapa saat ia berpikir, ia kemudian memejamkan mata. 


“Apa musti dengan cara itu, ya?” Pikir Bisma. “Dicoba deh.” 


Pemuda itupun kemudian mendekatkan mukanya ke muka Nanda. Tapi ia masih terlihat ragu melakukan niatnya. Saat mukanya tinggal beberapa centi dari muka Nanda, Bisma berhenti. Ia tertegun menatap wajah orang yang sangat ia cintai itu. Beberapa saat menikmati wajah cantik di hadapannya, pemuda itu menarik wajahnya lagi, menjauh dari wajah Nanda. Ia tempelkan telunjuknya di bawah lubang hidung Nanda. Masih terasa nafas Nanda berhembus pelan. 


“Kalau nafasnya masih ada ngapain gue mau ngasih nafas buatan??” Ujarnya. 


Pemuda itupun kemudian menggeletakkan Nanda di atas pasir, lalu mulai menekan-nekan dada Nanda, untuk mengeluarkan air di dalam tubuh Nanda. Beberapa kali tekanan, Nanda mulai bereaksi dan memuntahkan air dari dalam mulutnya. Gadis itu terbatuk-batuk, tapi masih dengan mata terpejam. 


“Nda,,,Nanda,,,” Bisma mengangkat kepala Nanda kembali, dan menyandarkan tubuh gadis itu di tubuhnya. 

Perlahan,gadis itu membuka mata. Ia tampak masih linglung. Tatapannya kosong. Tapi kemudian, gadis itu mendongak dan memperhatikan wajah Bisma. 


“Bisma????”Ucapnya lirih. 


“Iya ini gue, Nda.” 


“Bii,,,”Tangan Nanda terangkat, hendak mengelus pipi Bisma. Tapi begitu tangan itu menyentuh pipi Bisma, tangan itu kembali merosot. Dan Nanda memejamkan matanya kembali. Nanda pingsan lagi. 


Bisma celingukan mencari tempat yang aman untuk mereka berlindung. Dan saat matanya menemukan sebuah goa, iapun segera membopong Nanda ke goa yang cukup luas itu. Ia tidurkan Nanda di sebuah batu yang cukup lebar, lalu menggosok-gosok tangan dan kaki Nanda yang dingin. Setelah tangan dan kaki itu menghangat, Bisma menghentikan aksinya. 


Iapun beranjak dari sana untuk melihat di mana sebenarnya dia sekarang berada. Sebelum ia pergi meninggalkan Nanda, pemuda itu mengelus lembut kepala gadis itu. 


“Gue nggak nyangka kalau ternyata, lo juga cinta banget sama gue, Nda.” Lirih Bisma, seraya menatap lembut gadis itu. Sekali lagi, Bisma mendekatkan wajahnya untuk mencium kening Nanda. Tapi belum sampai bibirnya menempel di kening Nanda, ia menarik wajahnya kembali, kemudian menggeleng. 


Pemuda itu kemudian benar-benar beranjak, dan keluar dari goa itu untuk melihat suasana luar goa, juga untuk mencari tau di mana sebenarnya mereka saat ini. Tapi beberapa saat mengamati suasana di sekitarnya, sepertinya Bisma juga tak tau keberadaannya sekarang. Sejauh mata memandang hanya ada laut. Sepertinya kini mereka tengah terdampar di sebuah pulau. Tak ada satu orangpun di pulau itu. 


Bisma lalu berkeliling-keliling di sekitar situ. Dan betapa bahagia Bisma saat ekor matanya menangkap ada pohon-pohon buah di belakang goa. Ia pun segera memetik buah-buah itu dan memakannya beberapa biji. Ia juga membawa beberapa untuk makan di goa. Setelah ia rasa cukup, ia kembali ke goa lagi. 


Dan kembali, Bisma begitu bahagia saat ia menemukan Nanda yang telah bangun dari tidurnya setelah ia sampai di dalam goa. Gadis itu tampak memijat-mijat kepalanya, dengan kepala celingukan. 


“Nanda? Lo udah sadar?” 


“Bisma??? Lo,,, di sini juga?” Gadis itu tampak terkejut melihat Bisma. “Ngapain lo ada di sini juga, Bii?” Ujarnya kemudian, dengan nada ketus. 


“Lo udah nggak pa-pa, Nda?” Bisma meletakkan buah-buahnya di sebuah batu, kemudian ia mendekati Nanda yang masih terduduk di atas batu yang ia jadikan alas tidur tadi. “Syukurlah lo akhirnya sadar juga.” 


“Nggak usah basa-basi deh.” Nanda menepis tangan Bisma yang mau menyentuh pipinya, lalu membuang muka. “Jelasin sama gue, kenapa lo juga ada di sini??” 


“Lo masih inget nggak apa yang tadi siang terjadi sama lo??” Dahi gadis itu mengernyit, seperti mengingat sesuatu. 


“Iya. Gue inget. Tadi perahu motor gue nabrak karang. Lalu gue terpental, trus tercebur ke laut. Abis itu gue nggak inget apa-apa lagi.” 


“Abis itu, gue nyusul lo pakai perahu motor gue. Tapi sebelum gue nemuin lo, tiba-tiba perahu motor gue kebalik gara-gara ada ombak. Ya udah deh. Gue jadi ikutan nyebur ke laut.” 


“Trus sekarang kita di mana?” 


“Nggak tau.” 


“Kok nggak tau? Kalau lo nggak tau, kenapa lo bawa gue ke sini?” 


“Bukan gue yang bawa lo. Tapi ombak itu yang bawa kita ke sini. Kita terdampar disini.” 


“Ha????” Muka Nanda terlihat shock. “Jadi maksud lo,,,, kita ini lagi di pulau antah berantah yang lo sendiri juga nggak tau kita ada di mana?” 


“Kira-kira begitu?” Jawab Bisma, santai. 


“Trus kita musti gimana? Di sini nggak bakal ada makanan. Pasti kita bakalan mati kelaparan.” 


“Kalau soal itu tenang aja. Gue bawa buah buat makanan kita. Jadi jangan takut kelaparan.” Bisma mengambil buahnya, dan menyodorkan buah di tangannya kepada Nanda. Lama Nanda memandangi buah-buah itu tanpa mengambilnya. “Buah ini asli gue petik dari pohon. Nggak gue kasih racun. Jangan takut memakannya. Gue tau, lo juga laper kan?!” Jengah, Bisma menjelaskan. Dan akhirnya, Nanda mengambil sebuah pisang untuk dimakannya. 


“Dari mana lo dapat buah-buah ini?” 


“Di belakang goa ini banyak pohon buah. Gue metik di sana.” 


Nanda manggut-manggut sambil terus menyantap buah di tangannya. Di sampingnya, Bisma hanya memperhatikan Nanda yang dengan lahap memakan buah-buah yang ia suguhkan itu. 


“Dia pasti masih kesel gara-gara gue kemarin bawa cewek. Arrrggghhh,,,, bego banget sih, gue.” Dengus Bisma, dalam batin. 


“Kenapa lo nolongin gue? Kalau mau ngebur ke laut kenapa nggak sama cewek itu aja?” Ujar Nanda, di sela makannya. 


“Tuh, kan bener.” Batin Bisma. 


“Lo tuh kebiasaan ya. Tiap kali ditolong, bukannya terima kasih, tapi malah ngomong yang enggak-enggak.” Bisma berpura kesal. “Ooo,,, gue tau. Lo cemburu, ya?”Ledek Bisma. 


“Cemburu? Ngapain juga gue cemburu? Nggak penting banget.” 


“Emang nggak penting? Beneran nih, nggak penting? Bukannya, gue penting banget ya buat lo.” 


“Siapa bilang? keGRan banget deh jadi cowok.” 


“Jadi beneran nih, gue nggak penting?” 


“Enggak!!!” Tegas Nanda, tanpa menengok ke arah Bisma. 


“Aaaahhh,,,,jadi nyesel nih nolongin lo. Kenapa gue tadi nolongin lo, ya? Kalau nggak nolongin lo kan gue sekarang pasti masih bisa berduaan tuh sama Raisya.” 


“Raisya?” Spontan, wajah yang sedari tadi tak mempedulikan Bisma itu menengok. 


“Iya. Cewek yang sama gue tadi. Namanya Raisya.” Seringai Bisma sambil menahan senyum, karena ia tau betul ada hati yang meradang di sampingnya. Sengaja ia berkata seperti itu, untuk mengetahui seberapa kuat gadis itu menahan perasaannya. 


“O ya?” Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Nanda. Lalu ia bangkit dan pergi keluar goa, meninggalkan Bisma sendirian dengan tawa yang tertahan.

Bisma akhirnya bangkit juga mengikuti langkah Nanda. Tapi kali ini, ia tak menjajari gadis yang kini terduduk di bibir pantai itu. Bisma hanya menyandarkan tubuhnya di mulut goa, sambil terus memandangi gadis yang berada agak jauh di depannya. Gadis itu tampak memainkan pasir di sebelahnya dengan kesal. Mukanya tertekuk-tekuk seperti baju kusut. Samar, Bisma bisa mendengar gadis itu menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu yang mungkin mengungkapkan perasaan hatinya. Bisma mendekat untuk mendengarkan suara Nanda dengan lebih jelas. 

“Baru kusadari,,, cintaku bertepuk sebelah tangannnnn,,,,,,” 

“Jadi,,,,cinta lo bertepuk sebelah tangan?” Bisma tiba-tiba sudah tegak di belakang Nanda. Gadis itupun terperangah, dan mendongakkan kepalanya. “Emang lo cinta sama siapa sih?” 

“Enggak tau.” Nanda membuang muka kembali, lalu mengail-ngail pasir dan melemparkannya dengan kesal.

“Lo cinta sama siapa?” Bisma berjongkok, seraya mendekatkan wajahnya ke muka Nanda. Gadis itu hanya terdiam, sambil terus mengail-ngail pasir. Mukanya tertunduk, merengut. “Sama siapa?” 

“Sama cowok yang paling nyebelin sedunia.” 

“Cowok nyebelin kok lo cinta?” 

“Nggak tau.” Nanda masih cuek. 

Tapi Bisma malah senyum-senyum penuh arti melihat kekesalan Nanda. “O iya. Kalau nggak salah, dulu ada yang bilang kalau gue ini cowok paling nyebelin sedunia. Siapa ya?” Kali ini, pemuda itu duduk di samping Nanda. Nanda hanya menengok sekilas, sambil melempar wajah terkejutnya. Hanya sesaat ia melempar pandang ke arah Bisma, ia membuang muka lagi, lalu tertunduk melihat tangannya yang masih mengai-ngail pasir. 

“Udah, nggak usah pura-pura lagi. Nggak baik memendam perasaan terlalu lama.” Bisma menangkap tangan Nanda, untuk menghentikan gerakannya. Tapi Nanda tak menolak tangannya digenggam Bisma seperti itu. “Lo cinta sama gue kan, Nda?” Nanda masih tetap bungkam. “Iya kan, Nda?” Ulang Bisma. 

“Enggak!!!” 

“Jangan bilang enggak, tanpa menatap wajah gue, Nda. Lihat gue.” Bisma mendongakkan wajah Nanda yang sedari tadi tertunduk itu dengan tangan kirinya, hingga mereka bersitatap. “Lo cinta sama gue kan?” 

“Enggak, Bisma.” Nanda kembali membuang muka. 

“Tatap mata gue, Nda.” Sekali lagi, Bisma memutar wajah Nanda, hingga mereka bersitatap kembali. Kali ini tak ada penolakan dari Nanda. Tapi tak ada juga jawaban yang bisa keluar dari mulut gadis itu. Hanya bening di pelupuk matanya yang menggambarkan rasa di hatinya saat ini. Sulit untuk berkata iya, karena ia takut cintanya tak terbalas. Ia takut hanya akan dipermainkan. Tadi, jelas-jelas ia melihat Bisma bermesraan dengan seorang gadis yang katanya bernama Raisya itu. Mengakui kalau ia cintapun tak ada gunanya. Jadi ia hanya diam dengan bening yang hampir menitik. “Lo cinta sama gue, kan?!” Sekali lagi, suara Bisma bertanya. 

“Gue jawab iyapun nggak akan mengubah status kita kan, Bii? Jadi untuk apa lo nuntut jawab?” 

“Maksudnya?” 

“Kalau gue jawab iya, trus lo mau apa?” 

“Ya, gue bakalan seneng karena cinta gue terbalas. Dann,,,, kita bisa pacaran, kan?!” 

“Enggak. Gue nggak mau punya pacar yang cintanya terbagi.” 

“Cintanya terbagi? Apa maksud lo, Nda? Dari dulu Cuma lo yang gue cinta. Apa selama gue ngejar-ngejar lo, gue pernah ngelirik cewek lain? Enggak kan?!” 

“Dulu, tiga bulan yang lalu, mungkin enggak. Tapi tiga bulan terakhir ini, gue nggak tau. Lo selalu ngehindarin gue. Lo selalu nyuekin gue. Selalu aja alasannya sibuk. Lo udah nggak peduli sama gue. Dan terakhir, tadi gue lihat lo bermesraan sama cewek itu.” 

Deg,,, Bisma baru ingat kalau sudah terlalu lama dia menghindar dari gadis itu. Dan ia juga baru ingat kalau tadi, karena rasa cemburu yang membakar, ia melampiaskannya dengan bermesraan dengan Raisya, gadis yang baru sehari dikenalnya. 

“Itu,,, “Kata-katanya tertahan. Malu kalau harus mengakui kalau dia salah paham dengan Rafael, sepupu Nanda. “Itu,,, karena Rafael.” 

“Rafael? Rafael siapa?” 

“Kakak sepupu lo?” Nanda terkejut mendengar Bisma membawa-bawa nama sepupunya. 

“Apa hubungannya sama Kak Rafa?” 

“Mmmmm,,,,” Bisma masih tampak ragu menjelaskannya. 

“Apa Bii?” 

“Waktu itu gue lihat lo mesra banget sama dia?” 

“Lo cemburu sama dia? Dia kan kakak gue?” 

“Mana gue tau kalau Rafael itu kakak lo? Gue lihat kalian sering bergelendotan mesra begitu. Hati gue kan jadi kebakar. Trus gue juga denger dari temen lo katanya dia pacar lo. Gimana gue nggak kesel?” 

“Kan waktu di kantin gue juga udah ngenalin dia ke elo.” 

“Lo nggak bilang kalau dia kakak lo.” 

“Gue kan manggil dia kak. Kalau bukan kakak gue masa’ gue manggil kak?” 

“Sekarang kan banyak orang pacaran panggilan sayangnya kakak adek. Gue kira lo juga gitu. Ya udah gue keburu kebakar. Lagian lo sama kakak sendiri juga, masa’ mesra banget sih? Bikin orang mikir yang enggak-enggak aja.” 

“Gue sama Kak Rafa emang kayak gitu. Pacarnya Kak Rafa aja nggak cemburu sama gue. Masa’ lo cemburu sih?” 

“Vita maksudnya?” 

“Lo kenal Kak Vita?” 

“Tadi Rafael dateng sama dia.” Jelas Bisma. “Kalau dia kan udah tau lo itu adiknya Rafael. Kalau gue kan nggak tau.” 

“Sekarang kan udah tau?” 

“Baru tadi siang gue tau kalau Rafael itu kakak lo. Tapi ya udahlah. Sekarang kan udah jelas. Jadi,,,,, kita,,,,, bisa,,,,,” 

“Bisa apa? Kita tetap nggak bisa ngapa-ngapain. Masih ada Raisya lo di antara kita.” 

Bisma tertawa dulu sebelum bicara. “ Raisya itu sebenarnya baru tadi pagi gue kenal. Tadi pagi waktu gue ngeliat lo mesra-mesraan lagi sama Rafael, hati gue bener-bener langsung panas. Trus nggak tau juga setan apa yang mampir di kepala gue. Waktu gue kenalan sama dia di pantai tadi, gue langsung nempel aja sama dia.” Terang Bisma, sambil cekikikan. “Abisnya, gue tadi bener-bener kesel sama lo.” 

“Lo tuh bener-bener ya?” Sepertinya kali ini, darah Nanda mulai naik. “Baru juga kenal sedetik udah nempel aja.” 

“Iya,,, iya. Gue emang salah." Kembali, Bisma pasang muka serius. "Tapi beneran deh. Raisya itu bukan siapa-siapa gue. Dia Cuma cewek yang baru gue kenal. Gue sama sekali nggak ada rasa apa-apa sama dia. Karena gue,,,,” Bisma berhenti sejenak. “Gue udah ngasih cinta gue sepenuhnya ke lo.” 

Lama, mereka saling diam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. Bisma bingung harus bagaimana lagi dia menjelaskan pada Nanda tentang kesalahannya itu. Dia memang salah, tapi dia tak sengaja melakukannya. Tapi sepertinya Nanda tak mau mengerti. 

Sedangkan Nanda, kini hatinya tengah bimbang. Di satu sisi dia memang mencintai Bisma. Bahkan dia berharap bisa menjadi kekasihnya. Tapi di sisi lain, dia ragu. Takut kalau seandainya Bisma hanya mempermainkannya. Memang sih dulu saat Bisma mengejar-ngejar dia, tak pernah Bisma melirik apalagi mendekati gadis lain.Tapi tadi, jelas-jelas tadi dia melihat Bisma berpelukan begitu mesra dengan Raisya, gadis yang katanya baru saja dia kenal.Tapi kan itu katanya. Bibir bisa saja bicara apapun. Tapi kenyataannya siapa yang tau? 

“Siapa yang bisa jamin kalau pengakuan lo itu nggak bohong?” Nanda membuka suara kemudian. 

“Hati gue jaminannya. Kalau emang gue bohong, lo boleh ngiris dada gue, trus lo ambil hati gue.” 

“Lebay banget sih.” 

“Beneran, Nda.”Kali ini Bisma bertutur halus. “Gue benar-benar akan ngelakuin apa aja buat ngebuktiin cinta gue ke lo. Gue bener-bener nggak main-main. Sungguh.” Tulus, Bisma mengungkapkan cintanya sekali lagi. Dan hati Nanda, hati seorang perempuan yang memang lemah itu akhirnya luluh juga menangkap ketulusan di wajah pemuda itu. 

Tiba-tiba saja, ia ingin menyematkan kepalanya di dada Bisma. “Gue juga cinta sama lo, Bii.”Bisiknya, hanya dalam hati. Tapi meski hanya dalam hati, Bisma sepertinya bisa mendengar ucapan Nanda itu. Karena di detik berikutnya, ia merasakan dadanya begitu lega. Begitu tenang, begitu bahagia. Karena sekarang, kerinduan yang beberapa saat lalu menyiksa batinnya telah terobati. Bisma mempererat pelukannya, seolah tak mau gadis di pelukannya itu pergi darinya. 

Dan senja di pulau berpasir putih itu menjadi saksi betapa kedua insan itu tengah mengobarkan cinta mereka dengan begitu indah. Berkobar selayaknya lentera menguning di ufuk barat yang kian memerah berpendar. Senja itu, senja itu seolah ikut tersenyum melihat ketentraman di hati Bisma, juga Nanda. Lagi, Bisma mempererat pelukannya. Kemudian, ia mengecup hangat gadis yang amat ia cintai itu, hingga membuat Nanda makin merapatkan tubuhnya. 

‘* * * * * 


Bersambung,,, 
By: Novita SN

No comments:

Post a Comment