Sunday, April 28, 2013
Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 20
“Gimana nih nasib kuliah kita? Masa’ jadi lontang lantung kayak gini, sih?” Bisma yang baru saja datang ke rumah Morgan tiba-tiba menggerutu. Pemuda itu langsung menghempaskan tubuhnya di ranjang Morgan yang besar, membuat kedua sahabatnya yang tadi sibuk dengan aktifitasnya masing-masing seketika memperhatikannya. “Mana tengah semester kayak gini lagi. Pindah juga nggak mungkin. Masa’ ngulang sih?”
“Ini gue tadi juga baru ngomongin itu sama Morgan.” Rangga yang juga terbaring di ranjang Morgan menimpali ucapan Bisma.
“Kita sih rencananya mau ngikut sama cewek-cewek. Makanya gue minta lo ke sini.” Ujar Morgan, seraya bangkit dari sofa dan menghampiri kedua sahabatnya. Kini, ketiga pemuda itu sama-sama terbaring di ranjang Morgan.
“Cewek-cewek? Afra sama Shita maksudnya?”
“Ya iyalah. Emang kita punya cewek lain selain mereka apa?” Rangga melempar bantal dengan gemas ke arah Bisma, dan tepat mengenai mukanya.
“Nanda ikut mereka juga nggak?”
“Ya iya donk, Bisma. Mereka bertiga mana bisa dipisahin?” Morgan menjawab. “Malah rencana ini yang nyaranin Nanda.”
“O ya? Trus rencana mereka gimana? Mereka mau pindah?”
“Iya. Mau pindahnya sekarang juga.”
“Emang bisa?”
“Katanya sih bisa. Bokapnya Nanda punya kenalan di sebuah universitas. Kita akan dibantu masuk ke universitas itu tanpa mengulang. Kebetulan tahun ajarannya universitas itu selisih dua bulan sama kita. Bulan ini akhir semester ganjil mereka nih. Nah, mulai semester depan kita masuk ke situ tuh. Ngulang dikit sih. Tapi nggak pa-pa.”
“Bisa begitu, ya?” Bisma tak begitu yakin. “Ah,,, jangan-jangan kampus ecek-ecek doank lagi. Kampus nggak jelas.”
“Enggak. Kata Shita sih bagus kok. Emang masih agak baru sih. Baru empat tahun berjalan. Tapi katanya sih bagus. Bahkan peraturannya ketat banget. Di sana kita diwajibkan tinggal di asrama. Dan asramanya katanya super ketat gitu. Kabar-kabarnya sih banyak mahasiswa yang memilih hengkang karena merasa nggak nyaman dengan peraturannya. Tapi gue rasa justru kampus yang kayak gitu yang enak buat belajar.”
“Jangan-jangan kampusnya kayak yang di film india itu lagi. Itu tuh yang harus tinggal di asrama, trus mahasiswanya nggak boleh pacaran gitu.”
“Enggak. Peraturannya nggak sampai nyangkut privacy kayak gitu kok. Cuma lebih ke pembelajaran sama kedisiplinannya aja. Seperti masuk kuliah tepat waktu. Keluar asrama dibatasin jam. Trus yaa,,,, yang gitu-gitu deh. Kalau soal pacaran sih katanya dibebasin. Asal nggak pada mesum aja di lingkungan kampus sama asrama. Dan,,, dan,,, apalagi ya?” Rangga tampak mengingat-ngingat. “Kalau mau lebih jelas, mendingan lo telpon Nanda aja deh. Dia tau semuanya.”
“Gimana gue mau telpon, nomor HPnya aja gue nggak punya.” Aku Bisma, membuat kedua pemuda yang ada bersamanya terperangah seketika.
“Serius lo belum punya nomornya?”
“Ngapain gue bohong?”
“Tapi bukannya lo udah baikan sama dia? Kenapa lo nggak minta nomornya?”
“Malu gue.” Bisma tertunduk, sambil memainkan bantal di tangannya.
“Jiaaahhh,,,,, segala pakai malu lo.” Morgan dan Rangga berseru kompak, seraya menepuk jidat mereka sendiri.
“Kemarin kemarin aja lo nggak tau malu ngejar-ngejar dia. Dijutekin juga hajar aja. Udah kayak muka tembok. Kenapa sekarang jadi maluan kayak gitu lo? Dasar aneh.” Rangga meneruskan celotehannya.
“Tau nih. Bingung juga gue. Semenjak Nanda respect sama gue, perasaan gue jadi aneh. Malu malu gimanaaa,,, gitu. Grogi gue kalau deketan dia. Apalagi kalau dia senyum manis gitu. Agak gimana,,, gitu hati gue. Kayak digelitikin gitu. Trus ujung-ujungnya susah ngomong. Jadi, mau minta nomornya juga susah ngomongnya. Pengen sih sebenarnya.”
“Iya emang gue ngerasa lo kayak orang nggak PD gitu waktu kita ketemuan sama mereka bertiga kemarin. Kemarin gue sempet bingung tuh kenapa lo mendadak jadi diem kayak gitu. Ngomong Cuma seperlunya aja. Nggak jail lagi kayak biasanya. Ternyata grogi lo?”
“Ah,, payah lo, Bii. Kayak mau nyanyi di panggung aja pake grogi segala.” Rangga menimpali omongan Morgan, seraya sibuk dengan HP di tangannya.
“Ya,,, gue nggak tau. Pengennya sih biasa aja. Tapi ya gimana ya,,,, grogi beneran gue. Pengennya sih selalu ketemu dia. Ngobrol panjang lebar. Tapi kalau udah ketemu, hilang deh semua yang pengen gue omongin.”
“Kayak anak ABG lo, Bii. Parah. Udah nih. Udah gue mintain nomornya Nanda sama Shita."
“Ha??” Bisma kaget. “Kok lo mintain sih, Ngga? Kan gue malu, Ngga.”
“Haduuuhhh,,, masih ngeributin malu aja lo. Udah pakai celana sama baju juga.”
“Bukan gitu, Ngga. Kan gue nggak enak. Masa’ minta nomor HP aja musti lo yang nanyain? Kelihatan beneran parah banget gue jadinya.”
“Lha emang lo parah kok. Dulu aja lo semangat ngejar-ngejar. Begitu direspect malah mlempem.”
“Bukannya mlempem, Gan. Gue Cuma malu. Bukan malu sih, apa ya? Pokoknya ya,,,, gitu deh.”
“Tenang aja, Bii. Gue tadi minta nomor Nanda pakai modus kok. Gue bilang kita minta nomornya Nanda buat tanya-tanya kampus itu. Gitu.”
Tak berselang lama, terdengar HP Rangga berbunyi. Dan saat membuka pesan singkat itu, sebuah nomor HP tertera di sana.
“Nah, nih nomornya Nanda nih. Lo telpon dia sekarang.”
“Kok gue? Lo aja deh.”
“Yachh,,, emang kenapa sih, Bii??”
“Gue nggak bisa ngomong, Ngga.”
“Haduh Bii. Lo tu kenapa sih? Kenapa nggak bisa ngomong? Punya mulut juga.”
“Lo aja deh, Ngga yang telpon.”
“Gue nggak ada pulsa.”
“Miskin lo, Ngga.” Bisma bersungut, lalu merogoh HP di saku celananya dan memencet tombol keypadnya, mengetik nomor Nanda. Beberapa saat mendengarkan RBT Nanda, akhirnya terdengar sahutan dari seberang.
“Halo,,, siapa nih?”
“Emmm,,, ini,,, gue. Emmm,,, Bisma.” Bisma berucap terbata.
“O,,, lo Bii. Ada apa? Tumben telpon. Tau nomor gue dari mana lo?”
“Emmm,,, itu anu. Emm,,, dari Rangga. Eh,, dari Shita.” Bisma menengok kepada kedua temannya yang kini tengah sibuk sendiri memberi semangat kepadanya untuk terus berbicara sama Nanda.
“Ohh,,,, Shita. Ada apa, Bii? Tumben telpon.”
“Emmm,,, itu,,, mau tanya. Emmm,,,,” Haduh,,, parah banget sih gue? Kenapa bisa nervous kayak gini sih? Biasanya juga enggak. Aarrggghhh,,, emang sial. Mana jantung gue deg-degan lagi. Rutuk Bisma dalam hati, lalu menoleh kepada kedua temannya. Terlihat kedua temannya masih juga memberi semangat kepadanya.
“Tanya apa, Bii?”
“Emm,,,, itu,,,”
“Ah,,,, payah lo, Bii. Lama. Sini biar gue aja yang ngomong.” Morgan menyambar HP yang dipegang Bisma setelah lelah memberi semangat kepada sahabatnya itu. Dan pada akhirnya, Morganlah yang berbicara dengan Nanda. Nanda menjelaskan semua yang ia tau tentang kampus itu kepada Morgan. Dan begitu Morgan mengerti, ia menyampaikannya pada kedua sahabatnya.
‘* * * * *
Mereka akhirnya benar-benar masuk ke universitas itu dengan bantuan relasi ayahnya Nanda. Bagi ketiga gadis yang memang sudah terlatih mandiri itu mungkin tinggal di asrama adalah hal yang mudah. Tapi untuk ketiga pemuda itu, tinggal di asrama adalah siksaan tersendiri bagi mereka. Kamar yang sempit. Tempat tidur yang kecil. Juga segala aturan asrama yang serba ribet membuat mereka sering uring-uringan. Belum lagi mereka harus melakukan apa-apa serba sendiri di asrama itu.
Di rumah, mereka tinggal teriak kalau butuh sesuatu. Kalau pengen minum kopi tinggal teriak ‘Bi,,, kopi.’ Butuh makan tinggal bilang ‘laper Bi, bikinin ini donk. Bikinin itu donk.’ Kalau di asrama, Bibinya siapa yang mau mereka panggil?
Bahkan saking tidak terbiasanya dengan keadaan itu, Morgan sampai pernah ngigau teriak-teriak manggil pembantunya minta dibuatin teh hangat. Alhasil, Bisma nggelinding dari ranjang sempitnya karena kaget mendengar teriakan Morgan. Karena kesal dengan ulah pemuda Chiness itu, Bisma membekap muka Morgan dengan bantal sampai dia ngap-ngapan nggak bisa nafas.
Tak hanya itu, Rangga juga pernah marah-marah tengah malam karena merasa pengap dan kepanasan. Sebab, asrama itu memang tidak menyediakan AC.
"Ah,,, manja kalian nih. Baru segitu aja udah melambaikan bendera putih." Sungut Shita, saat ketiga pemuda itu menyampaikan niatnya untuk hengkang saja dari kampus baru mereka itu karena benar-benar sudah tidak kerasan lagi dengan keadaan di asrama.
"Kapan kalian mau mandiri kalau apa-apa masih tergantung sama orang lain?" Nanda menambahkan. "Tinggal di asrama itu sama aja dengan berlatih mandir,i tau!!! Kalau kalian nggak latihan dari sekarang, kapan kemandirian sama kedewasaan kalian mau terlatih. Kalian tuh nggak akan selamanya ikut orang tua kalian, kan?! Ada kalanya suatu saat kalian tidak mempunyai duit berlebih untuk ngegaji pembantu. Dan saat itu, kalian harus ngerjain apa-apa sendiri."
"Amint-amit deh gue sampai keabisan duit kayak gitu." Celetuk Rangga, sambil nyengir ngeri.
"Eh, jangan amit-amit gitu. Kita kan nggak tau keadaan kita ke depannya akan seperti apa. Bisa jadi kan nanti bokap kalian usahanya pada bangkrut, trus kalian nggak punya apa-apa, trus,,,,""
"Haduh amit amiiittt,,,, amit amit." Ketika pemuda itu serempak memotong kata-kata Afra, dan mengetuk-ngetuk kepala mereka, lalu mengetuk-ngetuk meja di hadapan mereka. "Jangan sampai deh."
Ketiga gadis itu saling pandang, lalu menghela nafas.
"Kita kemarin nggak maksa kalian lho, buat ikut sama kita. Kalian sendiri yang mau ikut kita kuliah di sini. Kalian bilang, kalian mau mencoba mandiri." Nanda masih mencoba bicara. "Kalian nggak kasihan sama bokap gue? Udah susah-susah usahain kalian biar bisa kuliah di sini, eh kalian malah mau hengkang gitu aja dari sini." Senjata terakhir. Nanda membawa-bawa nama ayahnya.
Dan sepertinya, senjata Nanda itu mempan. Ketiga pemuda itu tertunduk.
"Ya, gue kira asramanya nggak kayak gitu keadaannya, Nda."
"Ya namanya juga asrama. Wajarlah kalau fasilitasnya serba terbates. Kalau mau fasilitas lengkap namanya bukan asrama. Tapi hotel."
Puft, semuanya menghela nafas. Dan akhirnya, meski dengan berat hati, ketiga pemuda setuju untuk melanjutkan kuliah mereka di sana.
"Kalian cuma belum bisa menyesuaikan diri. Nanti lama-lama kalian juga bakalan terbiasa kok." Ucap Afra, lembut, dan mendapat sambutan senyuman yang agak dipaksakan dari ketiga pemuda itu.
* * * * *
Perlu waktu tiga bulan bagi mereka untuk benar-benar bisa menyesuaikan diri dengan semua keterbatasan di asrama itu. Sekarang mereka telah lebih santai menerima keadaan dan semua peraturan asrama. Bahkan, mereka sedikit demi sedikit lebih bisa mandiri. Tak hanya di asrama, tapi di rumahpun mereka tak lagi terlalu merepotkan pembantu mereka.
Hanya satu hal yang sampai sekarang membuat mereka tidak begitu nyaman, yaitu kebosanan. Mereka merasa sangat bosan harus terus-teruan ngerem di asrama. Sebenarnya mereka boleh keluar asrama di sore hari. Tapi, mereka harus kembali ke asrama tepat jam 9 malam. Kalau mereka sampai kelayapan dan melanggar batas waktu yang ditentukan asrama, mereka harus siap-siap jadi bulan-bulanan penjaga asrama esok paginya.
Jadi, mereka harus rela ngerem di asrama menikmati kebosanan mereka. Seperti saat ini.
Saat ini ketiga pemuda di kamar nomor 136 itu tengah mencoba menyibukkan diri mereka dengan aktifitas mereka masing-masing. Bisma tengah sibuk dengan laptopnya. Bukan searching bahan kuliah di internet. Tapi cuma nge-game. Sedangkan Rangga asyik juga dengan HPnya. Mungkin smsan. Kalau Morgan, dia memang yang paling rajin. Pemuda itu tengah memelototi buku kedokterannya.
Tapi kemudian,,,,,,,
Bersambung
By: Novita SN
Saturday, April 27, 2013
Ketika Cinta Bersenandung ( Perjalanan Cinta Bisma) Part 19
Tapi belum sampai mereka menginjak tanah, Bisma merasakan tangan Nanda
melemas. Pelukan Nanda yang tadi kuat di tubuh Bisma terasa mengendur. Nanda
merosot dari pelukan Bisma. Dan ternyata gadis itu telah tak sadarkan diri.
Untung tangan kiri Bisma bisa menangkap tangan Nanda dengan sigap. Kalau tidak,
mungkin gadis itu akan terpelanting dari tempat yang cukup tinggi itu.
Dengan keadaan mereka sekarang, Bisma lebih kesulitan lagi menuruni pipa
itu. Kini, tangan kanannya memeluk erat pipa di depannya, sedangkan tangan
kirinya menahan tangan Nanda agar tubuh terkulai itu tak sampai jatuh. Tapi
sedikit demi sedikit, tangan yang dicengkeramnya itu merosot. Bisma kebingunan
lagi. Kali ini otaknya benar-benar telah buntu. Pegal di tangannya dan tubuh
Nanda yang terkulai membuat kepalanya keliyengan. Dan sepertinya, kemalangannya
kali ini lengkap sudah saat terdengar bunyi,,,
Pletakkk!!!!!!
Pipa yang ia jadikan sandaran patah.
“Aaaarrrrggghhhh,,,,,,,,” Teriak bisma, saat pipa itu roboh dan jatuh ke
tahan bersama tubuhnya, juga tubuh Nanda dan membuat kedua tubuh itu menghantam
tanah.
Mereka berdua jatuh terguling-guling di area belakang kampus. Di sana
tanahnya agak miring dan sedikit berbatu. Alhasil, pelipis Bisma kepentok batu
dan menimbulkan luka sayatan yang mengeluarkan darah segar.
Pemuda itu mengernyitkan dahinya dan mengusap-usap kepalanya, mencoba
menghilangkan pening yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Setelah rasa sakit di
kepalanya sedikit menghilang, Bisma langsung bangkit dan menghampiri Nanda yang
tergolek lemah beberapa meter di sampingnya.
“Nda, bangun Nda.” Pemuda itu menepuk-nepuk pipi gadis itu. “Nanda.
Bangun.” Sekali lagi, ia menepuk. Tapi Nanda tak merespon apapun.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Bisma membopong Nanda untuk menjauh
dari gedung itu. Langkahnya kini sedikit terseok. Ia merasakan kakinya sedikit
ngilu. Mungkin ada luka juga di kakinya. Tapi ia tak peduli. Yang ia pikirkan
sekarang adalah membawa Nanda menyingkir dari tempat itu. Dan saat dirasanya ia
tak kuat lagi berjalan, Bisma menurunkan Nanda di bawah sebuah pohon, masih di
area belakang kampus.
Ia duduk bersandar di pohon cemara itu, dengan tubuh Nanda ia sandarkan
di tubuhnya. Ia mengatur nafas. Nafasnya sedikit terengah. Kepalanya juga masih
terasa pening. Ia juga merasakan perih di pelipisnya. Kembali, ia memijat-mijat
kepalanya yang digigit rasa sakit.
“Nda, bangun.” Sekali lagi, Bisma mencoba membangunkan Nanda. Dan
akhirnya berhasil. Gadis itu mulai bergeming. Dahinya mengernyit sebelum
matanya membuka. Dan beberapa saat kemudian, mata lentik itu benar-benar
terbuka. “Nda, lo beneran sadar?”
“Kita di mana, Bii??”
“Di belakang kampus.”
“Pelipis lo Bii.” Ujarnya dengan suara lemah, saat melihat darah di
pelipis Bisma. Bismapun segera mengusapnya.
“Nggak pa-pa. Cuma robek dikit. Tangan lo juga baret tuh. Sini gue
obatin.”
Dengan telaten, Bisma membersihkan luka di lengan Nanda memakai sapu
tangannya. Ia ambil obat merah di tasnya, dan meneteskannya di seluruh luka
Nanda. Nanda sedikit mendesis.
“Sorry. Perih, ya?”
Gadis itu hanya tersenyum, tanpa berkata apapun. Ia merasa hatinya
mendesir melihat perhatian dan ketulusan Bisma itu. Ada sedikit rasa bersalah
yang menyambangi perasaannya mengingat perlakuannya kepada pemuda itu beberapa
waktu lalu.
“Dia tulus. Tulus banget. Dia juga baik. Jadi kenapa gue kemarin jutek
gitu sama dia? Bukannya selama ini dia nggak pernah berbuat yang aneh-aneh sama
gue? Dia cuma iseng. Dan gue tau kalau itu bukan karena dia berniat jahat. Dia
Cuma ingin berusaha ngedeketin gue. Cuma ngedeketin gue. Dia nggak pernah
ngisengin cewek lain selain gue. Jadi kenapa gue musti kesel sama dia?” Panjang
lebar, Nanda membatin. Matanya terus memperhatikan Bisma yang telaten mengobati
lukanya.
“Jadi sebenarnya,,, lo udah tau nama gue?”
Pemuda itu mendongak, lalu tersenyum. “Iya.” Jawabnya, singkat.
“Trus kenapa lo nanya-nanyain nama gue terus.”
“Emmm,,,,” Ia memutar bola matanya, seperti memikirkan sesuatu. “Iseng
aja.” Bisma nyengir.
“Dasar tukang iseng.” Ujar Nanda, berpura kesal.
Bisma hanya tersenyum kecil, dengan tangan masih terus mengobati
luka-luka Nanda.
“Kenapa sih, lo tadi nolongin gue? Kenapa lo tadi nggak ikut aja sama
orang-orang itu ke tangga darurat? Kalau sampai lo ikutan mati sama gue di sana
gimana?”
“Ngomong apa sih? Ditolongin juga. Bukannya terima kasih. Malah ngomong
yang enggak-enggak.” Bisma berbicara tanpa mengangkat wajahnya.
Senyum malu Nanda mengembang saat mengingat kalau dia memang belum
berterima kasih pada pemuda itu. Gadis itu menghela nafas sebelum berkata.
“Thanks ya Bii. Lo udah nolongin gue. Gue nggak tau apa yang akan
terjadi sama gue kalau nggak ada lo.”
“Gue seneng bisa nolongin lo. Lo mungkin nggak tau kalau hari ini gue
seneng banget.”
“Seneng? Dalam keadaan kayak gini lo malah seneng?”
“Hari ini kita emang kena musibah. Tapi ada hal lain yang bikin hati gue
kegirangan hari ini.” Bisma kembali tersenyum, lalu menggulung celana Nanda untuk
memeriksa luka di kakinya.
Nanda tak berbicara lagi. Ia hanya menatap aktivitas pemuda itu. Tak
pernah ia menyangka kalau akan ada orang yang seperhatian dan setulus itu
kepadanya. Selama ini, orang-orang yang mendekati dia tak pernah ada yang
sampai ngotot seperti Bisma. Cowok-cowok yang mendekatinya sebelum Bisma selalu
tumbang di tengah jalan saat melihat kejutekannya. Bahkan ada yang sampai kesal
dan dendam kepadanya hanya karena kesadisannya. Padahal ia tak pernah bermaksud
jutek seperti itu. Ia hanya ingin tau seberapa kuat perasaan cowok itu
kepadanya. Dan ternyata perasaan cowok-cowok itu tak sekuat yang Nanda kira.
Mereka ingin mendapatkannya dengan mudah, tanpa ingin banyak berusaha.
Tapi sepertinya, pemuda di depannya ini lain dari yang lain. Dia tak
pernah menyerah untuk mendekatinya. Mau dijutekin kayak apa sama Nanda, ia tak
pernah peduli. Mau Nanda segalak apa, ia tak pernah menggubris. Bahkan ia tetap
ngotot mengambil hatinya meski Nanda menunjukkan muka garang sekalipun. Dia tak
pernah dendam walaupun terkadang kata-kata Nanda sering menyakiti hatinya.
Malah sekarang, pemuda itu rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong Nanda. Dan
sepertinya, pemuda di depannya itu benar-benar telah berhasil mencuri hati
Nanda.
“Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?” Gadis itu tersentak mendengar suara
Bisma.
“Hemm???” Gumamnya, dengan mata setengah membola. “Eh, enggak. Gue, gue
Cuma,,,, Cuma,,, Cuma ngeliatin luka di pelipis lo.” Tangan Nandapun terangkat,
dan mengusap darah yang meleleh di pelipis Bisma. “Darah lo banyak keluar Bii.”
“Nggak pa-pa. Cuma luka kecil.” Ujar Bisma, seraya memunguti kembali
barang-barang yang digunakannya untuk mengobati Nanda. Sekarang, Bisma telah
selesai mengobati luka Nanda.
“Luka lo nggak diobatin dulu? Sini gue obatin.”
“Nggak usah. Ntar aja. Sekarang lebih baik kita pergi dari sini. Kita
keluar dari tempat ini.” Bisma menggendong kembali tasnya, dan membantu Nanda
berdiri.
Dengan langkah yang sedikit
terseok, Bisma memapah Nanda menyusuri pelataran samping kampus, menuju pintu
keluar. Mukanya meringis seperti menahan rasa sakit. Nanda yang sedari tadi
memandanginya jadi tak tega melihat ekspresi Bisma yang sepertinya kesakitan
seperti itu.
“Lo nggak pa-pa Bii?”
Bisma menggeleng pelan, dengan kaki yang masih terus melangkah. Merasa
dipandangi terus oleh gadis di sampingnya, Bisma menoleh dan ikut menatapnya.
Kedua tatap itu saling bertemu. Langkah mereka jadi terhenti, seiring dengan
jantung mereka yang seakan juga ikut berhenti berdetak. Kini, mereka seolah
tengah menikmati desiran-desiran lembut yang terjadi di dalam hati mereka. Tak
ada ucapan, tak ada gerakan. Mereka diam membisu seperti patung.
“Dia manis banget kalau lagi kayak gini. Jadi makin suka gue sama dia.”
Batin Bisma. “Tapi kenapa dia ngeliatin gue kayak gitu? Apa dia mulai sadar
kalau gue beneran jatuh cinta sama dia?”
“Apa dia bener-bener cinta sama gue, ya?” Nanda juga ikut membatin.
Beberapa saat saling pandang, tiba-tiba mereka tergeragap. Mereka jadi
salah tingkah. Dan akhirnya, mereka memilih untuk melanjutkan perjalanan mereka
menuju gerbang kampus. Sesampai di sebelah parkiran, kembali Bisma berhenti,
dan menengok ke arah parkiran. Beberapa mobil tampak hancur di sana. Tapi,
mobil merah menyala Bisma yang tampak berbeda dengan yang lain itu masih bertengger
di tempatnya. Pemuda itu menarik nafas lega, kemudian berjalan kembali.
“Nanda,,,,,,” Pekik dua orang
gadis sesaat setelah Nanda sampai di depan gerbang bersama Bisma.
Sekonyong-konyong, kedua gadis itu menghambur ke arah Nanda dan memeluknya
erat-erat.
“Nanda, gue kira gue nggak akan ketemu lo lagi, Nda.” Ujar Afra, masih
sambil sesenggukan.
“Gue nggak pa-pa kok. Gue baik-baik aja. Kalian jangan nangis lagi.”
Nanda mencoba menenangkan kedua sahabatnya yang sesenggukan di pelukannya.
Kedua sahabatnya memperat peukannya, dengan tangis tersedu bersahut-sahutan.
Entah kenapa, air mata Nanda meleleh meski beberapa saat lalu ia meminta kedua
sahabatnya untuk tidak menangis lagi. Gadis itu merasa terenyuh melihat kedua
sahabatnya yang tampak kuyu karena menangisinya.
“Bisma??? Lo baik-baik aja, Bii?” Kedua pemuda yang tadi ada bersama kedua
gadis itu juga ikut menghampiri sahabatnya.
“Kepala lo berdarah, Bii.”
“Nggak pa-pa. Cuma luka dikit kok.” Jawabnya, sambil mengusap kembali pelipisnya.
Ada darah segar yang kembali mengalir dari luka itu.
“Bii,,,” Pandangan Nanda beralih ke Bisma setelah pelukannya terurai.
Gadis itu meraih tangan Bisma, dan menggenggamnya. Sekali lagi, hati Bisma
mendesir. “Makasih ya Bii. Gue nggak tau apa yang akan terjadi sama gue kalau
nggak ada lo.” Senyum gadis itu mengembang lagi. Senyum yang teramat manis di
siang ini.
Bisma terdiam, menikmati senyum itu. Begitu juga keempat orang yang ada
bersama mereka. Mereka juga tak mengeluarkan sepatah katapun. Bahkan, keempat
orang itu sepertinya terkejut dengan perubahan Nanda. Apalagi saat tangan kanan
Nanda terangkat, dan mengusap darah di pelipis Bisma dengan ujung ibu jarinya.
Hati-hati, dan lembut. Menunjukkan ketulusan ucapan terima kasihnya.
“Gue pulang ya,” Gadis itu memperlebar senyumnya, dan balik kanan. Tapi
sepertinya tangan Bisma belum mau melepas tangannya. Sekarang gantian Bisma
yang menggenggam tangan Nanda. Gadis itu berbalik kembali.
“Biar gue anter pulang.” Bisma menawarkan. Tapi tawaran Bisma disambut
gelengan oleh Nanda.
“Mobil lo nggak bakal muat buat kita berenam.” Ujarnya. “Lagipula, belum
tentu mobil lo akan bisa keluar dari parkiran sekarang. Jadi lebih baik, kita
naik taksi aja. Di depan banyak taksi.”
“Tapi,,,”
“Gue udah nggak pa-pa kok. Tenang aja.” Kembali, Nanda tersenyum. Dan
akhirnya, Bisma melepaskan tangannya.
“hati-hati.” Pungkas Bisma, yang mendapat anggukan dari gadis itu.
Setelah membiarkan kedua sahabatnya berpamitan dengan para kekasihnya,
Nandapun melangkah meninggalkan ketiga pemuda itu. Mereka menatap kepergian
ketiga gadis di depan mereka.
“Yeeeiiii,,,,,” Sorak Bisma, sembari meninjukan kepalan tangannya ke
atas.
“Yeeeeiiii,,,,” Kedua pemuda di sampingnya mengikuti gerakan Bisma.
“Lo berdua ngapain ikut-ikutan girang begitu.”
“Ngikutin lo aja.” Ujar Rangga.
“Heran gue. Muka udah bonyok kayak gitu masih sempet-sempetnya
kegirangan begitu.”
“Ngapain musti heran, Gan. Lo nggak lihat tadi Si Nanda manis gitu
senyumnya. Pasti kegirangannya Bisma ada hubungannya sama senyum Nanda tadi.”
Bisma terkekeh. “Tau aja lo, Ngga.”
“Iya. Tadi Nanda senyumnya manis banget, sih? Baru kali ini gue lihat
senyum Nanda manis gitu. Emang Nanda lo apain tadi, Bii. Perasaan tadi pagi aja
kalian masih perang dingin deh.” Morgan kepo.
“Iya, Bii. Tadi Nanda lo apain? Kok tiba-tiba berubah gitu?” Rangga
ikutan kepo.
“Mau tau?” Bisma menengok Rangga. “Mau tau?” Muka pemuda itu beralih
kepada Morgan. “Mau tauuuuu,,,, aja.” Bisma tergelak, kemudian ngeloyor
meninggalkan kedua temannya yang kini membulatkan mata.
“Ah,,, rese lo, Bii. Cerita donk, Bii. Lo tadi ngapain aja di dalem.”
“Ah,,, kepo aja kalian tuh. Bayar lima puluh ribu dulu kalau pengen
tau.”
“Dasar matre. Belum dikasih uang jajan sama nyokap lo ya?” Sungut
Morgan, merasa dijahilin sama sahabatnya itu.
Mereka pun pergi meninggalkan kampus setelah berhasil mengeluarkan mobil
Bisma dengan susah payah dari parkiran.
* * * * *
TBC,,,,,
By: Novita SN
Ketika Cinta Bersenandung ( Perjalanan Cinta Bisma) Part 19
Tapi belum sampai mereka menginjak tanah, Bisma merasakan tangan Nanda
melemas. Pelukan Nanda yang tadi kuat di tubuh Bisma terasa mengendur. Nanda
merosot dari pelukan Bisma. Dan ternyata gadis itu telah tak sadarkan diri.
Untung tangan kiri Bisma bisa menangkap tangan Nanda dengan sigap. Kalau tidak,
mungkin gadis itu akan terpelanting dari tempat yang cukup tinggi itu.
Dengan keadaan mereka sekarang, Bisma lebih kesulitan lagi menuruni pipa
itu. Kini, tangan kanannya memeluk erat pipa di depannya, sedangkan tangan
kirinya menahan tangan Nanda agar tubuh terkulai itu tak sampai jatuh. Tapi
sedikit demi sedikit, tangan yang dicengkeramnya itu merosot. Bisma kebingunan
lagi. Kali ini otaknya benar-benar telah buntu. Pegal di tangannya dan tubuh
Nanda yang terkulai membuat kepalanya keliyengan. Dan sepertinya, kemalangannya
kali ini lengkap sudah saat terdengar bunyi,,,
Pletakkk!!!!!!
Pipa yang ia jadikan sandaran patah.
“Aaaarrrrggghhhh,,,,,,,,” Teriak bisma, saat pipa itu roboh dan jatuh ke
tahan bersama tubuhnya, juga tubuh Nanda dan membuat kedua tubuh itu menghantam
tanah.
Mereka berdua jatuh terguling-guling di area belakang kampus. Di sana
tanahnya agak miring dan sedikit berbatu. Alhasil, pelipis Bisma kepentok batu
dan menimbulkan luka sayatan yang mengeluarkan darah segar.
Pemuda itu mengernyitkan dahinya dan mengusap-usap kepalanya, mencoba
menghilangkan pening yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Setelah rasa sakit di
kepalanya sedikit menghilang, Bisma langsung bangkit dan menghampiri Nanda yang
tergolek lemah beberapa meter di sampingnya.
“Nda, bangun Nda.” Pemuda itu menepuk-nepuk pipi gadis itu. “Nanda.
Bangun.” Sekali lagi, ia menepuk. Tapi Nanda tak merespon apapun.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Bisma membopong Nanda untuk menjauh
dari gedung itu. Langkahnya kini sedikit terseok. Ia merasakan kakinya sedikit
ngilu. Mungkin ada luka juga di kakinya. Tapi ia tak peduli. Yang ia pikirkan
sekarang adalah membawa Nanda menyingkir dari tempat itu. Dan saat dirasanya ia
tak kuat lagi berjalan, Bisma menurunkan Nanda di bawah sebuah pohon, masih di
area belakang kampus.
Ia duduk bersandar di pohon cemara itu, dengan tubuh Nanda ia sandarkan
di tubuhnya. Ia mengatur nafas. Nafasnya sedikit terengah. Kepalanya juga masih
terasa pening. Ia juga merasakan perih di pelipisnya. Kembali, ia memijat-mijat
kepalanya yang digigit rasa sakit.
“Nda, bangun.” Sekali lagi, Bisma mencoba membangunkan Nanda. Dan
akhirnya berhasil. Gadis itu mulai bergeming. Dahinya mengernyit sebelum
matanya membuka. Dan beberapa saat kemudian, mata lentik itu benar-benar
terbuka. “Nda, lo beneran sadar?”
“Kita di mana, Bii??”
“Di belakang kampus.”
“Pelipis lo Bii.” Ujarnya dengan suara lemah, saat melihat darah di
pelipis Bisma. Bismapun segera mengusapnya.
“Nggak pa-pa. Cuma robek dikit. Tangan lo juga baret tuh. Sini gue
obatin.”
Dengan telaten, Bisma membersihkan luka di lengan Nanda memakai sapu
tangannya. Ia ambil obat merah di tasnya, dan meneteskannya di seluruh luka
Nanda. Nanda sedikit mendesis.
“Sorry. Perih, ya?”
Gadis itu hanya tersenyum, tanpa berkata apapun. Ia merasa hatinya
mendesir melihat perhatian dan ketulusan Bisma itu. Ada sedikit rasa bersalah
yang menyambangi perasaannya mengingat perlakuannya kepada pemuda itu beberapa
waktu lalu.
“Dia tulus. Tulus banget. Dia juga baik. Jadi kenapa gue kemarin jutek
gitu sama dia? Bukannya selama ini dia nggak pernah berbuat yang aneh-aneh sama
gue? Dia cuma iseng. Dan gue tau kalau itu bukan karena dia berniat jahat. Dia
Cuma ingin berusaha ngedeketin gue. Cuma ngedeketin gue. Dia nggak pernah
ngisengin cewek lain selain gue. Jadi kenapa gue musti kesel sama dia?” Panjang
lebar, Nanda membatin. Matanya terus memperhatikan Bisma yang telaten mengobati
lukanya.
“Jadi sebenarnya,,, lo udah tau nama gue?”
Pemuda itu mendongak, lalu tersenyum. “Iya.” Jawabnya, singkat.
“Trus kenapa lo nanya-nanyain nama gue terus.”
“Emmm,,,,” Ia memutar bola matanya, seperti memikirkan sesuatu. “Iseng
aja.” Bisma nyengir.
“Dasar tukang iseng.” Ujar Nanda, berpura kesal.
Bisma hanya tersenyum kecil, dengan tangan masih terus mengobati
luka-luka Nanda.
“Kenapa sih, lo tadi nolongin gue? Kenapa lo tadi nggak ikut aja sama
orang-orang itu ke tangga darurat? Kalau sampai lo ikutan mati sama gue di sana
gimana?”
“Ngomong apa sih? Ditolongin juga. Bukannya terima kasih. Malah ngomong
yang enggak-enggak.” Bisma berbicara tanpa mengangkat wajahnya.
Senyum malu Nanda mengembang saat mengingat kalau dia memang belum
berterima kasih pada pemuda itu. Gadis itu menghela nafas sebelum berkata.
“Thanks ya Bii. Lo udah nolongin gue. Gue nggak tau apa yang akan
terjadi sama gue kalau nggak ada lo.”
“Gue seneng bisa nolongin lo. Lo mungkin nggak tau kalau hari ini gue
seneng banget.”
“Seneng? Dalam keadaan kayak gini lo malah seneng?”
“Hari ini kita emang kena musibah. Tapi ada hal lain yang bikin hati gue
kegirangan hari ini.” Bisma kembali tersenyum, lalu menggulung celana Nanda untuk
memeriksa luka di kakinya.
Nanda tak berbicara lagi. Ia hanya menatap aktivitas pemuda itu. Tak
pernah ia menyangka kalau akan ada orang yang seperhatian dan setulus itu
kepadanya. Selama ini, orang-orang yang mendekati dia tak pernah ada yang
sampai ngotot seperti Bisma. Cowok-cowok yang mendekatinya sebelum Bisma selalu
tumbang di tengah jalan saat melihat kejutekannya. Bahkan ada yang sampai kesal
dan dendam kepadanya hanya karena kesadisannya. Padahal ia tak pernah bermaksud
jutek seperti itu. Ia hanya ingin tau seberapa kuat perasaan cowok itu
kepadanya. Dan ternyata perasaan cowok-cowok itu tak sekuat yang Nanda kira.
Mereka ingin mendapatkannya dengan mudah, tanpa ingin banyak berusaha.
Tapi sepertinya, pemuda di depannya ini lain dari yang lain. Dia tak
pernah menyerah untuk mendekatinya. Mau dijutekin kayak apa sama Nanda, ia tak
pernah peduli. Mau Nanda segalak apa, ia tak pernah menggubris. Bahkan ia tetap
ngotot mengambil hatinya meski Nanda menunjukkan muka garang sekalipun. Dia tak
pernah dendam walaupun terkadang kata-kata Nanda sering menyakiti hatinya.
Malah sekarang, pemuda itu rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong Nanda. Dan
sepertinya, pemuda di depannya itu benar-benar telah berhasil mencuri hati
Nanda.
“Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?” Gadis itu tersentak mendengar suara
Bisma.
“Hemm???” Gumamnya, dengan mata setengah membola. “Eh, enggak. Gue, gue
Cuma,,,, Cuma,,, Cuma ngeliatin luka di pelipis lo.” Tangan Nandapun terangkat,
dan mengusap darah yang meleleh di pelipis Bisma. “Darah lo banyak keluar Bii.”
“Nggak pa-pa. Cuma luka kecil.” Ujar Bisma, seraya memunguti kembali
barang-barang yang digunakannya untuk mengobati Nanda. Sekarang, Bisma telah
selesai mengobati luka Nanda.
“Luka lo nggak diobatin dulu? Sini gue obatin.”
“Nggak usah. Ntar aja. Sekarang lebih baik kita pergi dari sini. Kita
keluar dari tempat ini.” Bisma menggendong kembali tasnya, dan membantu Nanda
berdiri.
Dengan langkah yang sedikit
terseok, Bisma memapah Nanda menyusuri pelataran samping kampus, menuju pintu
keluar. Mukanya meringis seperti menahan rasa sakit. Nanda yang sedari tadi
memandanginya jadi tak tega melihat ekspresi Bisma yang sepertinya kesakitan
seperti itu.
“Lo nggak pa-pa Bii?”
Bisma menggeleng pelan, dengan kaki yang masih terus melangkah. Merasa
dipandangi terus oleh gadis di sampingnya, Bisma menoleh dan ikut menatapnya.
Kedua tatap itu saling bertemu. Langkah mereka jadi terhenti, seiring dengan
jantung mereka yang seakan juga ikut berhenti berdetak. Kini, mereka seolah
tengah menikmati desiran-desiran lembut yang terjadi di dalam hati mereka. Tak
ada ucapan, tak ada gerakan. Mereka diam membisu seperti patung.
“Dia manis banget kalau lagi kayak gini. Jadi makin suka gue sama dia.”
Batin Bisma. “Tapi kenapa dia ngeliatin gue kayak gitu? Apa dia mulai sadar
kalau gue beneran jatuh cinta sama dia?”
“Apa dia bener-bener cinta sama gue, ya?” Nanda juga ikut membatin.
Beberapa saat saling pandang, tiba-tiba mereka tergeragap. Mereka jadi
salah tingkah. Dan akhirnya, mereka memilih untuk melanjutkan perjalanan mereka
menuju gerbang kampus. Sesampai di sebelah parkiran, kembali Bisma berhenti,
dan menengok ke arah parkiran. Beberapa mobil tampak hancur di sana. Tapi,
mobil merah menyala Bisma yang tampak berbeda dengan yang lain itu masih bertengger
di tempatnya. Pemuda itu menarik nafas lega, kemudian berjalan kembali.
“Nanda,,,,,,” Pekik dua orang
gadis sesaat setelah Nanda sampai di depan gerbang bersama Bisma.
Sekonyong-konyong, kedua gadis itu menghambur ke arah Nanda dan memeluknya
erat-erat.
“Nanda, gue kira gue nggak akan ketemu lo lagi, Nda.” Ujar Afra, masih
sambil sesenggukan.
“Gue nggak pa-pa kok. Gue baik-baik aja. Kalian jangan nangis lagi.”
Nanda mencoba menenangkan kedua sahabatnya yang sesenggukan di pelukannya.
Kedua sahabatnya memperat peukannya, dengan tangis tersedu bersahut-sahutan.
Entah kenapa, air mata Nanda meleleh meski beberapa saat lalu ia meminta kedua
sahabatnya untuk tidak menangis lagi. Gadis itu merasa terenyuh melihat kedua
sahabatnya yang tampak kuyu karena menangisinya.
“Bisma??? Lo baik-baik aja, Bii?” Kedua pemuda yang tadi ada bersama kedua
gadis itu juga ikut menghampiri sahabatnya.
“Kepala lo berdarah, Bii.”
“Nggak pa-pa. Cuma luka dikit kok.” Jawabnya, sambil mengusap kembali pelipisnya.
Ada darah segar yang kembali mengalir dari luka itu.
“Bii,,,” Pandangan Nanda beralih ke Bisma setelah pelukannya terurai.
Gadis itu meraih tangan Bisma, dan menggenggamnya. Sekali lagi, hati Bisma
mendesir. “Makasih ya Bii. Gue nggak tau apa yang akan terjadi sama gue kalau
nggak ada lo.” Senyum gadis itu mengembang lagi. Senyum yang teramat manis di
siang ini.
Bisma terdiam, menikmati senyum itu. Begitu juga keempat orang yang ada
bersama mereka. Mereka juga tak mengeluarkan sepatah katapun. Bahkan, keempat
orang itu sepertinya terkejut dengan perubahan Nanda. Apalagi saat tangan kanan
Nanda terangkat, dan mengusap darah di pelipis Bisma dengan ujung ibu jarinya.
Hati-hati, dan lembut. Menunjukkan ketulusan ucapan terima kasihnya.
“Gue pulang ya,” Gadis itu memperlebar senyumnya, dan balik kanan. Tapi
sepertinya tangan Bisma belum mau melepas tangannya. Sekarang gantian Bisma
yang menggenggam tangan Nanda. Gadis itu berbalik kembali.
“Biar gue anter pulang.” Bisma menawarkan. Tapi tawaran Bisma disambut
gelengan oleh Nanda.
“Mobil lo nggak bakal muat buat kita berenam.” Ujarnya. “Lagipula, belum
tentu mobil lo akan bisa keluar dari parkiran sekarang. Jadi lebih baik, kita
naik taksi aja. Di depan banyak taksi.”
“Tapi,,,”
“Gue udah nggak pa-pa kok. Tenang aja.” Kembali, Nanda tersenyum. Dan
akhirnya, Bisma melepaskan tangannya.
“hati-hati.” Pungkas Bisma, yang mendapat anggukan dari gadis itu.
Setelah membiarkan kedua sahabatnya berpamitan dengan para kekasihnya,
Nandapun melangkah meninggalkan ketiga pemuda itu. Mereka menatap kepergian
ketiga gadis di depan mereka.
“Yeeeiiii,,,,,” Sorak Bisma, sembari meninjukan kepalan tangannya ke
atas.
“Yeeeeiiii,,,,” Kedua pemuda di sampingnya mengikuti gerakan Bisma.
“Lo berdua ngapain ikut-ikutan girang begitu.”
“Ngikutin lo aja.” Ujar Rangga.
“Heran gue. Muka udah bonyok kayak gitu masih sempet-sempetnya
kegirangan begitu.”
“Ngapain musti heran, Gan. Lo nggak lihat tadi Si Nanda manis gitu
senyumnya. Pasti kegirangannya Bisma ada hubungannya sama senyum Nanda tadi.”
Bisma terkekeh. “Tau aja lo, Ngga.”
“Iya. Tadi Nanda senyumnya manis banget, sih? Baru kali ini gue lihat
senyum Nanda manis gitu. Emang Nanda lo apain tadi, Bii. Perasaan tadi pagi aja
kalian masih perang dingin deh.” Morgan kepo.
“Iya, Bii. Tadi Nanda lo apain? Kok tiba-tiba berubah gitu?” Rangga
ikutan kepo.
“Mau tau?” Bisma menengok Rangga. “Mau tau?” Muka pemuda itu beralih
kepada Morgan. “Mau tauuuuu,,,, aja.” Bisma tergelak, kemudian ngeloyor
meninggalkan kedua temannya yang kini membulatkan mata.
“Ah,,, rese lo, Bii. Cerita donk, Bii. Lo tadi ngapain aja di dalem.”
“Ah,,, kepo aja kalian tuh. Bayar lima puluh ribu dulu kalau pengen
tau.”
“Dasar matre. Belum dikasih uang jajan sama nyokap lo ya?” Sungut
Morgan, merasa dijahilin sama sahabatnya itu.
Mereka pun pergi meninggalkan kampus setelah berhasil mengeluarkan mobil
Bisma dengan susah payah dari parkiran.
* * * * *
TBC,,,,,
By: Novita SN
Subscribe to:
Posts (Atom)