Saturday, December 26, 2015

Ketika Cinta bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 82

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mendingan sekarang kita cari minum." Suara Om Faisal terdengar lagi. "Mama harus minum biar Mama tenang."

"Baiklah. Ayo."

Tante Fani menggamit lengan suaminya, lantas mengajaknya berjalan menuju salah satu meja. Belum sampai mereka di meja yang mereka tuju, langkah mereka terhenti. Mata Tante Fani membola. Nafasnya tercekat. Dadanya tiba-tiba tambah bergemuruh.

"Jeng Riska?"

"Jeng Fani?"

Di depan Tante Fani, Tante Riska pun menunjukkan keterkejutan yang sama. Bahkan selama beberapa detik mereka hanya saling menatap, tanpa melakukan apapun atau bicara apapun. Om Faisal yang pertama kali bergerak dari gemingnya dan maju ke depan mendekati Om Subroto.

"Wah, Pak Subroto kebetulan sekali ketemu di sini," ucapnya, lantas menyalami dan memeluk relasinya itu. Kedua lelaki itu menoreh senyum meski sama-sama kaku. Begitu kedua lelaki itu bergerak, Tante Fani dan Tante Riska baru bersalaman lantas cupika cupiki.

Suasana masih sedikit hambar hingga beberapa saat kemudian, hingga Om Feisal membuka perbincangan dengan mengomentari sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan.

Awalnya mereka sama sekali tidak menyinggung soal anak-anak. Tante Riska mengikuti permintaan Nanda untuk tidak memulai membahas hubungannya dengan Bisma, kecuali jika Tante Fani yang memancingnya untuk membahas. Sementara, Tante Fani juga tidak berniat untuk membahas anaknya dengan putri dari perempuan yang ada di hadapannya itu sampai ia menemui Bisma dan mengetahui kebenarannya.

Namum, agaknya Om Faisal sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Nanda dan Bisma. Ia masih ingat telponnya yang tidak diangkat beberapa hari lalu. Sms, BBM, dan semua pesanya juga tidak ada yang ditanggapi. Terakhir yang membuatnya was-was dan khawatir adalah malam ini. Anak lelakinya tidak pulang, tidak memberi kabar, dan tidak memberitahukan keberadannya. Sebenarnya perasaan Om Fasial sama seperti Tante Fani. Hanya saja, ia masih lebih bisa menahan diri daripada Tante Fani.
Sekarang merekaa sudah ada di depan orang yang kemungkinan lebih tahu permasalahan anaknya daripada mereka. Ia pikir tidak ada salahnya kalau iaa mencoba bertanya.

"O iya Pak Subroto, Nak Nanda mana?" Tanyanya.

Om Subroto sepertinya agak kaget mendengar Om Faisal yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Sejak tadi mereka memang mengisi perbincangan mereka dengan mengomentari pengantin di depan sana, juga suasana pesta yang meriah malam ini. Om Subroto jadi agak salah tingkah. Pasalnya, pertanyaan itu sebenarnya adalah hal yang ia hindari. Sampai sekarang belum banyak yang tahu keadaan Nanda sebenarnya. Nanda juga masih tidak ingin banyak orang tahu tentang penyakitnya, apalagi keluarga Karisma. Keluarga yang selalu merasa bersalah tiap kali mengingat bahwa keadaan Nanda kali ini secara tidak langsung disebabkan oleh putranya.

Setelah berdehem kecil, Om Subroto akhirnya menjawab, "Ada, Pak." Pria tengah baya itu berpikir apakah ia harus mengatakan kalau Nanda bersama kakaknya atau tidak. Tapi, mengingat pertanyaan Om Faisal yang hanya menanyakan anaknya, Om Subroto mengambil kesimpulan bahwa kedua orang tua Bisma sepertinya telah tahu tentang hubungan Bisma dan Nanda yang telah usai. Jadi, ia menambahkan, "Tadi Nanda sama kakaknya. Nggak tahu mereka lagi di mana sekarang. Kami juga belum ketemu." Kalimat terakhirnya sengaja ia ucapkan agar kedua orang itu tidak sampai berkeinginan untuk bertemu Nanda.

"Anak-anak ...," kata-kata Om Faisal menggantung. Tapi kemudian, pria itu melanjutkan. "Apa Pak Subroto tahu masalah anak-anak? Yach... Seperti yang kita lihat, mereka datang ke pernikahan sahabat mereka ini sendiri-sendiri. Apa Nanda bercerita kenapa mereka seperti itu?"

Salah. Ternyata perkiraan Om Subroto salah. Orang tua Bisma belum tahu apa-apa. Pria itu semakin salah tingkah karena bingung harus menjawab apa. Ia melirik istrinya, dan ternyata sepertinya Tante Riska pun tengah gelisah. Wanita itu menggigit-gigit bibirnya, sambil mengalih-alihkan pandangannya dari Om Faisal, lalu ke Om Subroto, lalu ke minuman di tangannya, lalu ke Tante Fani, dan ke Pak Subroto lagi.

"Kalau jeng Riska atau Pak Subroto tahu tentang masalah mereka tolong beritahu kami." Kali ini Tante Fani yang berbicara. "Kami sangat mengkhawatirkan Bisma. Sudah berhari-hari anak itu susah dihubungi. Dan malam ini ... Malam ini dia tidak pulang." Mata Tante Fani sudah digenangi air.

Di depannya, Tante Riska dan Om Subroto tampak terperangah. Menurut cerita Rafa beberapa waktu lalu, Bisma telah meninggalkan Nanda demi perempuan lain, dan Rafa yakin bahwa Bisma--yang menurut Rafa brengsek itu--sangat bahagia bersama perempuan yang ia pilih. Seharusnya kalau dia merasa bahagia, dia tidak akan menghindari orang tuanya seperti ini. Seharusnya dia tidak membiarkan orang tuanya sekhawatir ini. Apa anak itu tidak enak pada orang tuanya yang sangat menginginkan dia bersama Nanda?

"Tadi saya sempat telpon dia," suara Tante Fani terdengar lagi. "Dia tidak seperti biasanya. Suaranya seperti tertekan. Dia sepertinya agak frustrasi." Satu bening meluncur ke pipi Tante Fani. "Ada apa sebenarnya?"

Om Faisal buru-buru meraih pundak istrinya, lalu meremasnya.

"Kami tahu kalian tahu sesuatu." Suara Om Faisal terdengar bergetar. Tampak sekali kalau pria itu tengah menahan perasaan campur aduk di dadanya. "Tolong beritahu kami sebenarnya ada apa sama mereka?"

Om Subroto menghela napas berat, sementara Tante Riska memainkan tangannya yang memegang gelas. Mereka benar-benar bingung harus menjawab apa. Bisma frustrasi? Kalau memang harus ada yang frustrasi dalam masalah ini, seharusnya Nandalah yang mengalaminya. Dia ditinggalkan begitu saja oleh Bisma demi perempuan lain, dan karena hal itu penyakitnya sampai kumat dan menghilangkan penglihatannya. Tentu saja selain sakit hati, anak semata wayang Pak Subroto itu juga pasti sangat terpukul dan merasa sama sekali tidak berdaya. Lalu kenapa malah Bisma yang jadi frustrasi?

"Kalau memang kalian tidak ingin banyak bercerita, tolong beri kami satu kata saja yang membuat kami tahu sesuatu. Saya mohon." Tante Fani sampai melipat tangan di depan Tante Riska demi mendapatkan sedikit saja informasi tentang anaknya.

Tante Riska buru-buru meraih tangan Tante Fani yang terangkat, lalu menurunkannya. "Ya Ampun, Jeng Fani tidak perlu sampai seperti ini."

"Saya mohon, Jeng. Satu kata saja."

Tante Riska kembali mengalih-alihkan pandangannya, membuat Tante Fani tidak sabar.

"Satu kata."

"Putus," ucap Tante Riska akhirnya.

Kedua tengah baya itu sontak terperangah. Tante Fani mengangkat tangannya, lantas menutup mulutnya sendiri. "Apa?" gumamnya, merasa tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Mereka putus." Pak Subroto memperjelas. "Setahu kami seperti itu. Tapi kami juga tidak tahu kenapa Bisma sampai sefrustrasi itu karena menurut berita yang kami dengar, Bisma yang meninggalkan Nanda demi orang lain." Tadi Reza juga mengatakan hal itu. Pikir Tante Fani. Berarti itu tidak salah. Bisma selingkuh dan memilih putus dari Nanda demi selingkuhannya. Tapi sekarang dia tertekan sendiri. Kenapa? Ada apa? Sebenarnya apa yang terjadi pada anaknya? Hati Tante Fani semakin bertanya-tanya.

*     *     *     *     *

Bisma menatap nanar sepasang pengantin yang tengah menjalani setiap proses dari resepsi itu di pelamainan. Mereka tampak amat sangat bahagia.   Seharusnya dia juga ikut berbahagia. Seharusnya dia juga itu tertawa. Seharusnya dia di sini bersama Nanda. Saling menggamit sambil berbisik mengomentari pasangan di depan sana. Tapi apa yang ia lakukan saat ini? Dia malah memasang tampang murung bersama orang yang sama sekali tidak ia inginkan, dan membiarkan orang yang disayanginya dalam kegundahan. Bahkan, ia harus menghindari orang tuanya di tempat yang seharusnya bisa ia gunakan untuk bercengkerama.

Ah, kesalahan itu. Kenapa efeknya bisa sefatal ini? Bisma memebatin frustrasi.

"Bii, ntar nyanyinya jadi, kan?!" Bisma diam. Malas rasanya mengeluarkan suara untuk gadis saiko yang menggamit tangannya itu. "Bii..."

Bisma berdecak, lalu bersedekap. Harus berapa kali dia tanya? Bukankah Bisma tadi sudah bilang iya? "Bii, jadi, kan?"

"Iya, aku tadi kan udah bilang iya," sahut Bisma jengkel. "Tapi kamu ntar di sini aja jangan ke mana-mana, ya. Jangan bertingkah yang aneh-aneh. Ini acara sakral temenku. Aku nggak mau bikin ribut. Jangan sampai gara-gara kamu semua jadi kacau. Tuan rumahnya nggak suka kalau aku datang sama kamu."
Wajah Raisya yang tadi tampak ceria berubah hambar. Seperti ada benda tajam yang menusuk hatinya saat kata-kata itu meluncur dari mulut orang yang sangat dikasihinya itu. Ia bahkan sampai melepas gamitannya di tangan Bisma demi memegangi dadanya yang ngilu.

Tapi kemudian, ia kembali tersenyum dan meraih tangan Bisma lantas menjawab,"Iya. Aku akan nunggu kamu di sini aja. Nggak akan ke mana-mana."

"Bagus."

Bisma melepas gamitan tangan Raisya di lengannya, lantas berjalan menuju sebuah panggung yang berada di samping kiri pelaminan. Ia menemui salah seorang yang ada di panggung itu, lantas mengutarakkan niatnya. Agaknya keinginan Bisma disambut baik. Karena setelah itu Bisma tetap di sebelah panggung menunggu waktu yang tepat untuknya manggung.

*     *     *     *     *

Dahi Ilham mengernyit begitu melihat perubahan pada raut muka Raisya. Sejak tadi Ilham memperhatikan setiap gerak gerik Raisya juga Bisma, dan ia tidak menemukan kesedihan di muka Raisya meski Bisma menyuguhkan wajah tak sedap. Baru kali ini Ilham melihat kegembiraan Raisya seperti tercerabut, dan itu membuat Ilham tidak nyaman.

Tanpa sadar, pemuda itu melangkahkan kaki menuju tempat Raisya berdiri, meninggalkan Fryda yang terkesima menatap pengantin di pelaminan. Fryda baru menyadari Ilham meninggalkannya saat Ilham sudah berjalan beberapa meter. Ia mengikuti Ilham kemudian.

"Sya..." Belum ada sahutan sampai beberapa detik menjelang. Raisya masih memegangi dadanya sambil menatap kosong pada lantai marmer di bawahnya. "Sya?" Kali ini Ilham berhasil menyadarkan gadis itu dengan remasan tangannya di pundak Raisya.

"Ilham?" Raisya memaksakan seulas senyum, lantas mengangkat wajah menatap Ilham. Untuk ke sekian kalinya Ilham melihat bening yang memenuhi kelopak mata cantik milik orang yang telah merebut hatinya itu. Ilham menghela nafas, tak tahu lagi apa yang harus ia katakan.

Sementara itu, gadis di depannya mendangakkan muka, berusaha membuat air matanya agar tidak tumpah. Ia masih saja tersenyum, dan memperrlebar senyumnya saat ia melihat Fryda di belakang Ilham.

"Hai, Fry," sapanya.

"Hai, Sya. Lo di sini juga, ya?" Fryda masih tetap bertanya meski ia tahu betul kalau di pernikahan teman Ilham ini, ada Raisya juga yang pasti datang bersama Bisma, sebab ini adalah pernikahan sahabat Bisma. Ilham yang mengatakan itu padanya beberapa waktu lalu. Sendirian?"

"Enggak. Gue sama Bisma," jawab Raisya. "O iya, ntar Bisma mau nyanyi buat gue lho. Tuh dia lagi di samping panggung minta ijin sama house band-nya." Gadis itu berucap bangga, seolah berusaha menghilangkan kabut yang menyelimuti dadanya.

"O ya? Nyanyi apa?"

"Nggak tahu. Judulnya surprise katanya."

"Trus kenapa lo malah nangis?" Ilham yang sejak tadi kesal dengan tingkah Raisya yang mencoba sekuat tenaga menyembunyikan rasa sakitnya itu menyela.

"Gue nggak nangis," sahut Raisya, salah tingkah.

"Jelas-jelas lo nangis, Sya. Gue bisa lihat itu meski nggak ada satu orang pun tahu kalau air mata lo hampir jatuh." Ilham tampak menggebu-gebu. Capek rasanya melihat Raisya seperti ini terus. "Sya musti berapa kali gue bilang kalau ...,"

"Am?" Tarikan tangan Fryda di lengannya membuat kalimat Ilham terhenti. Ia menengok Fryda yang kini menatap sekeliling mereka, lantas mengikuti arah tatapan Fryda. Sepertinya suara menggebunya tadi mengundang perhatian orang. Ia terpaksa menelan kata-katanya lagi, lantas membuang muka sambil mendengus.

Raisya kembali memegangi dadanya dan menundukkan kepala, membuat Ilham ingin sekali membanting sesuatu untuk melepaskan kekesalannya.

*     *     *     *    *

Maafkan aku yang selalu menyakitimu

Mengecewakanmu dan meragukanmu

Tersadar aku bila kamu yang terbaik

Terima aku, mencintaiku apa adanya
Bisma menyanyikan bait lagu itu dengan penuh penghayatan. Semua kata yang keluar dari mulutnya seolah tak hanya luncuran kata dari bibir, tapi memang benar-benar ungkapan dari hatinya yang terdalam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang ikut bersenandung, membuat lagu itu begitu bernyawa dan membuat hati siapa saja yang mendengarnya langsung bergetar.

Lagu itu memang ungkapan hatinya. Gambaran dari perasaannya. Senandung dari cintanya untuk orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Orang yang tanpa dia Bisma jadi seperti mayat hidup. Tanpa gairah, tanpa semangat, beku, kaku.

*     *     *     *     *

Diantara beribu bintang
Hanya kaulah yang paling terang
Diantara beribu cinta
Pilihanku hanya kau sayang

Sejak pertama kali Nanda mendengar intro dari lagu yang kini tengah mengalun itu, ia merasa jantungnya seperti berhenti bekerja. Ia telah bisa menebak siapa orang yang menyanyikan lagu itu, bahkan sebelum suara sang penyanyi terdengar. Dan kini, setelah ia tahu bahwa tebakannya tepat, ia merasa tak hanya jantungnya yang terhenti, tapi paru-parunya pun seolah menolak untuk beraktifitas. Ia yakin lagu itu untuknya. Dan ia yakin nyanyian itu adalah ungkapan perasaan dari sang penyanyi, untuknya. Itu artinya, perasaan yang mengganjal di hatinya selama ini memang tidak salah. Bisma tidak benar-benar ingin meninggalkannya. Bisma tidak benar-benar mencintai orang yang membuatnya meninggalkan Nanda. Cinta Bisma belum berubah. Masih sama. Masih untuknya.

Keyakinan itu membuat Nanda yang tak bisa melihat kini mampu berjalan tanpa bantuan menuju pintu toilet, dan keluar dari dalamnya. Beberapa saat lalu ia memang ke toilet bersama Rafa. Gadis itu berjalan menuju pintu masuk gedung kembali, tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya yang gelap gulita baginya. Ia bahkan tak peduli ketika kakinya tersandung bak sampah di depan toilet, atau badannya yang beradu dengan badan orang lain yang hendak masuk ke toilet.
Ia terus berjalan, untuk menemukan sumber suara dari lagu yang mengalun itu. Ia ingin menunjukkan pada Bisma bahwa ia masih tetap menunggunya. Masih tetap mempercayainya, dan masih akan tetap menjadikannya bintang yang bersinar paling terang di langit hatinya.

*     *     *     *     *

Rafa terpekur di salah satu kursi panjang tak jauh dari toilet. Pikirannya melantur ke mana-mana. Lagu yang kini mengalun itu telah mengaduk-aduk isi di dalam dadanya. Beberapa saat lalu, kata-kata Nanda telah meruntuhkan sebagian kecil dari keteguhan hatinya, dan kini lagu itu hampir meluruhkan semuanya.

Bait pertama lagu itu menyadarkannya bahwa kesalahan itu memang ada pada dirinya, dan seharusnya ia meminta maaf. Bukan malah ngambek dan menghindar seperti ini, apalagi mengacuhkan kekasihnya dengan dalih ingin agar keputusan Vita berubah. Kenapa ia begitu egois? Bukankah setiap kali ia berdiskusi dengan Vita tentang keinginannya, gadis itu tidak pernah memaksa Rafa untuk menerima usulnya? Rafa sendiri yang memang merasa bahwa usul Vita benar, dan akhirnya Rafa menjalankannya. Bahkan saat Rafa tidak menerima usulan Vita, bukankah gadis itu tidak pernah menuntut apalagi sampai marah agar usulannya dituruti?

Kenyataan itu membuat Rafa semakin merasa bahwa seharusnya ia yang menyanyikan lagu yang mengalun di seluruh penjuru gedung megah itu, sebagai permintaan maafnya kepada orang yang sangat dicintainya.

Rafa sibuk dengan pikirannya sendiri, sampai iaa tak melihat kelebatan Nanda saat gadis itu tergopoh-gopoh keluar toilet. Rafa baru menyadari kalau Nanda sudah di luar ketika ia mendengar gelas-gelas berjatuhan dan suara seorang gadis memekik. Lalu ia juga mendengar suara orang-orang mendengung bercampur-campur.

Pemuda itu mengangkat wajah, dan menyernyitkan dahi menatap orang-orang yang setengah berlari menuju ke tempat seorang gadis yang tengah terjerembab di tengah jalan. Begitu pandangan matanya mampu memastikan bahwa gadis yang masih terduduk di lantai itu adalah Nanda, mata sipitnya melebar.

"Nanda?"

Pemuda itu buru-buru bangkit dan berlari menghampiri adik sepupunya.

"Maafkan, saya. Saya nggak sengaja."

Nanda masih berusaha meminta maaf pada seorang pelayan yang tadi ditabraknya, meski pelayan yang ternyata telah tahu kalau gadis di depannya tak bisa melihat itu sudah berkali-kali bilang tidak apa-apa. Nanda bahkan masih berusaha meraih-raih pecahan gelas, berusaha membantu si pelayan untuk mengumpulkan serpihan-serpihan tajam yang kini beberapa diantaranya membuat tangannya berdarah.

Pikiran Nanda sepertinya kacau balau. Ia ingin segera sampai di depan Bisma. Namun, kenyataan bahwa penglihatannya tidak bisa berfungsi membuat dia jengkel sendiri. Ia sampai tak menggubris orang-orang yang hendak menolongnya.

"Dek, kamu nggak pa-pa?" Gadis itu baru merasa lebih baik ketika mendengar suara kakaknya itu. "Tangan kamu berdarah?"

"Nggak pa-pa, Kak." Kini gadis itu mencoba bangkit. "Anter Nanda ke sana, Kak," ujarnya saat Rafa membantunya berdiri. "Pak, sekali lagi saya minta maaf. Saya nggak sengaja."

"Iya, iya, Non. Kan dari tadi saya sudah bilang nggak pa-pa."

Nanda tak lagi menggubris gumaman-gumaman pelayan itu. Ia hanya ingin cepat sampai di sana. Ke tempat di mana Bisma menyanyikan lagu untuknya. Dan dengan Rafa di sisinya, ia tahu kalau ia pasti akan cepat sampai. Sejenak lalu, ia telah melupakan kalau ia bersama kakaknya.  Orang yang untuk sementara ini menjadi matanya. Semua kegusaran itu membuat Nanda melupakan semua hal, kecuali ingatan tentang Bisma.

"Dek, pelan-pelan. Mau ke mana, sih?"

"Ke sana, Kak. Ke Bisma."

Langkah Rafa spontan terhenti. "Ke Bisma? Di mana?"

"Kakak dengar lagu itu?" Tentu saja Rafa dengar. Rafa kan nggak budeg. Lagipula lagi itu terdengar sampai ke segala penjuru.

"Apa hubungannya Si Cungkring sama lagu itu?"

"Itu yang nyanyi Bisma, Kak. Buat Nanda."

"Apa?" Rafa tak percaya pada pendengarannya. Ia merasa otak adiknya sudah tidak beres. Tergila-gila pada Bisma membuat adiknya jadi tidak waras. "Astaga, Nanda. Kamu tuh ..."

"Nanda sudah pernah bilang Bisma sebenarnya tidak ingin meninggalkan Nanda. Bisma masih mencintai Nanda. Dan itu bukan halusinasi. Tapi memang nyatanya seperti itu, Kak."

"Dek, tolong jangan bikin Kakak panik. Itu hanya sebuah lagu yang dinyanyikan sama entah siapa, dan itu sama sekali tidak ada hubungannya sama kamu."

"Itu Bisma, Kak. Nanda kenal betul suaranya. Itu suara Bisma. Dan itu lagu kita."
Rafa menghembuskan nafas tak sabar mendengar Nanda yang keukeuh, dan menurutnya itu adalah pemikiran konyol. Bagaimana bisa hanya karena sebuah lagu, adiknya jadi seperti ini.

Tubuh Nanda bergerak lagi meneruskan perjalanan, membuat Rafa terpaksa ikut mengayunkan langkah.

"Dek, please. Jangan bertindak konyol." Rafa masih mencoba menahan langkah adiknya. "Kakak tahu Bisma pasti ada di sini, dan kakak yakin dia tidak sendiri." Ucapan Rafa berhenti sejenak. Ia masih bingung apakah harus mengatakan ini pada adiknya. Tapi melihat Nanda yang setengah kalap, Rafa yakin kalau dia harus mengatakannya. "Kamu tahu sendiri Bisma ninggalin kamu karena cewek lain. Jadi kalau memang misalnya yang nyanyi sekarang itu Bisma, sudah pasti dia nyanyi lagu itu buat ceweknya, Dek. Bukan buat kamu." Rafa menekankan kalimat trakhirnya, berharap adiknya sadar dari harapan semu yang menghantui dirinya selama ini. "Maaf kalau Kakak harus mengatakan hal ini. Tapi Kakak rasa kamu harus mulai sadar kalau Bisma tuh bukan orang yang benar-benar baik buat kamu."

Nanda bergeming. Air yang menggenangi matanya tumpah. Bukan! Lagu itu tidak mungkin untuk orang lain. Hatinya masih tetap mengelak. Ia ingat betul saat pertama kali Bisma menyanyikan lagu itu untuknya di balkon kamarnya malam itu. Juga saat ia menyanyikan lagu itu untuk Bisma waktu itu. Itu memang lagu mereka. Dan hanya untuk mereka.
Kepala Nanda menggeleng-geleng. Gadis itu kembali mengayunkan langkah dengan tergesa, membuat Rafa mengerang frustrasi karena merasa Nanda sama sekali tak menggubris kata-katanya. Mau tak mau, pemuda itu mengikuti langkah adiknya yang memburu dan sesekali memegang tangan Nanda untuk menghindarkannya dari sesuatu yang akan ia tabrak di depannya.

Dan setelah melalui perjalanan melelahkan--beberapa kali menabrak orang dan terjatuh--kini Nanda berapa tepat di depan panggung. Rafa sempat tercengang saat melihat Bisma benar-benar sedang di atas panggung, memegangi mic, dan menyenandungkan lagu yang seolah benar-benar tulus keluar dari hatinya. Di depan Rafa, Nanda hanya berdiri, mendangakkan muka seolah menatap Bisma. Dan di atas panggung, Rafa bisa melihat Bisma juga menatap Nanda dengan tatap penuh kerinduan.

*    *     *     *     *

Ya ...Cuma kamu dan hanya kamu
Yang selalu ada untukku
Dan paling mengerti aku

Waktu melihat Nanda berjalan tergopoh menuju panggung, Bisma masih bertekad untuk tidak melakukan apapun. Pemuda itu meremas mic di tangannya, mencegah dirinya sendiri untuk agar tidak bertindak bodoh. Dia tidak ingin tindakan bodohnya bisa berakibat lebih fatal. Ia akan berusaha tetap berdiri di sini, dan mengekang setiap gerakan dari tubuhnya agar tidak sampai menyongsong Nanda. Ia hanya akan berdiri dan memandang kekasihnya itu dari jauh.

Namun, ketika Nanda sudah berada tepat di hadapannya, semua hal yang mengikat gerakan tubuhnya seperti tercerabut. Apalagi saat melihat basah di wajah Nanda. Hatinya memberontak keras. Ia tidak bisa membiarkannya. Membayangkan Nanda menangis sendirian saja sudah membuatnya tersiksa. Apalagi kini ia benar-benar melihat wajah kekasihnya basah. Bisma seolah lupa dengan segala akibat yang akan ditimbulkannya. Ia bahkan lupa kalau ini adalah acara pesta sahabatnya, dan bukan tidak mungkin kalau dia melakukan sesuatu di luar kendali dia bisa mengacaukan pesta besar ini.

Pemuda itu sepertinya benar-benar telah hilang akal. Ia akhirnya  menuruni panggung, berjalan tergesa ke arah kekasihnya, dan langsung menangkap lengan kekasihnya begitu ia sampai di hadapannya. Ia menatap lekat wajah Nanda, lantas mengangkat tangannya yang bebas dan mengusap pipi Nanda yang berair. Sejenak kemudian, Bisma menarik tubuh kekasihnya dan langsung menyematkan tubuh orang yang sangat dicintainya itu ke dalam pelukannya.

Bersambung
By: Novita SN
Fb: Vita Story


Friday, December 18, 2015

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 81




Reza tersenyum melihat Diana yang sepertinya tak marah lagi padanya. Dan ternyata, senyuman Reza juga disambut. Gadis itu juga menyunggingkan senyum kecil yang terlihat benar-benar ringan di mata Reza.

Hampir Reza mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening Diana kalau Diana tidak tiba-tiba menengok dan menggumam, "Dicky?"

Reza langsung mengikuti arah tengokan Diana begitu mendengar nama itu, dan langsung mengernyitkan dahi saat melihat siapa orang berjalan tak jauh dari tempatnya berdiri.

Dicky? Kok dia bisa ada di sini? Batin Reza.

Ketika Dicky hampir sampai di dekat mereka, Reza tiba-tiba tersenyum licik, lantas mengecup kening Diana dengan hangat dan cukup lama, membuat pemuda itu sontak menghentikan langkah. Pandangan Reza tetap menancap pada wajah pemuda berponi kecoklatan itu untuk melihat reaksi apa yang akan ditunjukkannya. Benar saja. Reza melihat perubahan mimik wajah yang buruk pada muka Dicky. Keranjingan membuat hati pemuda di dekatnya panas, Reza langsung menggamit pinggang Diana, dan mengeratkan tubuh mungil itu ke tubuhnya.

Tadinya Reza mau menyapa. Tapi tiba-tiba Dicky membuang muka dan langsung pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Kok diem aja, sih?" ujar Diana, seraya memperhatikan kepergian Dicky. Senyum lebar yang tadi sepertinya ingin ia persembahkan untuk Dicky kini menguap begitu saja, berubah menjadi kerutan di kening.

"Emang kenapa kalau dia diem? Kamu pengen disapa?" Gantian Reza yang pura-pura merajuk.

"Ya bukan gitu. Aneh aja. Kok dia asal nyelonong gitu. Kayak nggak kenal. Apalagi tadi dia lihat Kak Reza nyium Diana gitu. Biasanya kan kalau ada orang lihat temennya dimesrain sama cowoknya gitu dia ngeledekin. Tapi kok dia malah asal pergi aja?"

"Mungkin dia cemburu," seloroh Reza, asal.

"Cemburu apaan? Emang dia apanya Diana gitu pakai-pakai cemburu segala?"

"Emang dia bukan apa-apa kamu?"

"Menurut Kak Reza, emang dia apanya Diana?"

Mendapat pertanyaan yang kini diucapkan Diana setengah sewot tapi terlihat riang, Reza justru diam saja. Pemuda itu justru tersenyum tanpa menjawab. Kali ini dia sepertinya sudah tahu jawaban atas pertanyaan yang menggantung di hatinya sejak Clara menelponnya waktu itu. Dari tingkah Diana saat ini, ia sangat yakin kalau Diana memang tidak menyimpan rasa apapun untuk Dicky, apalagi sampai selingkuh di belakangnya dengan pemuda itu. Orang yang selingkuh pasti akan terlihat gugup kalau bertemu selingkuhannya di depan pasangannya. Tapi Diana tidak. Dia terlihat biasa saja.

Kalau Dicky, Reza sepertinya mencium virus merah jambu di hati Dicky. Lihat saja ekspresinya tadi. Pemuda itu terlihat kesal saat Reza beradegan mesra dengan Diana. Jika memang feeling Reza itu benar, artinya Reza harus ekstra hati-hati menjaga perasaannya Diana. Omongan Clara waktu itu pasti ada alasannya. Mungkin dia pernah melihat Diana jalan berdua dengan Dicky. Mungkin Dicky dan Diana memang akrab. Dan kalau memang mereka berdua benar-benar akrab, bukan tidak mungkin Diana nanti akan lari ke Dicky kalau sampai dia kecewa pada Reza. Reza tidak mau itu terjadi.

"Cewek yang dibawa Dicky kok dari tadi nengok ke sini mulu? Kakak kenal sama dia?"

Reza langsung menengok ke arah Dicky yang kini telah menjauh. Gadis itu memang tengah menengok ke arahnya, dan sepertinya wajah gadis itu tak asing. Tapi Reza agak-agak lupa siapa dia.

Begitu memorynya menemukan tentang cewek itu, mata Reza seketika membulat. "Vita?"

"Kakak kenal?"

"Kenallah. Dia tuh anaknya Pak Rektor kampus kita. Pacarnya kakak sepupunya Nanda," jelas Reza. Dahinya masih mengernyit bingung. "Tapi kok sekarang dia malah sama Dicky? Si Rafa ke mana emang?"

Sementara Reza terus memperhatikan Vita, pandangan Diana masih melayang pada Dicky. Kenapa sikap Dicky aneh seperti itu? Apa dia masih merasa bersalah karena penculikan waktu itu? Tapi bukankah Diana sudah bilang kalau dia memaafkannya dan tidak ingin membahasnya lagi? Kenapa Dicky masih bersikap aneh?

Beberapa hari lalu Diana memang berhasil menghubungi Dicky dan membahas soal penculikan itu. Awalnya Dicky memang menolak untuk menjelaskan. Tapi akhirnya pemuda itu bercerita setelah Diana merajuk. Dicky bilang sebenarnya dia terpaksa melakukan semua itu dan dia sebelumnya tidak tau kalau yang menjadi target penculikan itu adalah Diana. Dia hanya disuruh oleh kawannya yang ingin mendapatkan foto Diana entah untuk apa. Dicky sampai mau menuruti perintah kawannya itu karena Dicky banyak berhutang budi padanya, dan dia sendiri tidak mau menanyakan apa tujuannya mengambil gambar Diana karena menurut Dicky itu bukan urusannya.

Penjelasan Dicky itu jelas kebohongan, karena Dicky tahu betul apa tujuan si penculik mengambil gambar Diana dalam keadaan tersiksa seperti itu, dan yang sebenarnya menyuruh Dicky menculik Diana adalah kakaknya sendiri. Tapi tentu saja Dicky tidak mengatakan kebenaran itu.

Karena Dicky berkali-kali minta maaf dan sepertinya sejauh ini Diana juga tidak ada masalah lain setelah itu, akhirnya Diana memaafkan Dicky dan tidak ingin membahasnya lagi. Diana sendiri sebenarnya juga bingung apa yang diinginkan penculik itu dengan fotonya, karena sampai sekarang tidak ada berita apapun yang mampir ke telinganya soal foto itu. Makanya dia tidak ingin membahas masalah penculikan itu, dan ingin menganggap bahwa penculikan itu tidak pernah ada. Bahkan saat Reza mencak-mencak dan ingin lapor polisi, Diana menolak. Diana tidak ingin Dicky yang sepertinya memang sama sekali tidak punya niat jahat terhadapnya itu ikut tertangkap polisi. Entah kenapa hatinya merasa tidak rela kalau Dicky sampai mendekam di penjara.

Kedua orang yang tengah mematung dengan pikiran masing-masing itu dikejutkan oleh suara seseorang yang berjalan tergesa.

"Hei, kalian kenapa masih berdiri saja di sini? Ayo cepat masuk. Mama sudah tidak sabar ingin bertemu Kakak kamu dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi," cerocos wanita tengah baya itu, lantas menyahut lengan Diana dan memaksanya jalan bersamanya.

Diana sempat terhuyung karena otaknya yang belum sepenuhnya bisa berpikir normal. "Mama pelan-pelan," ujar Diana, merasa sedikit terganggu dengan sikap mamanya.

"Mama tunggu sebentar." Suara lain yang ternyata dari Om Feisal itu sepertinya tak mampu menghentikan langkah Tante Fani yang tergesa. Baru setelah Om Feisal berhasil menangkap lengan Tante Fani, langkah Tante Fani terhenti. "Mama, Papa tahu Mama khawatir. Tapi inget ini acara orang. Jangan sampai Mama bikin ribut di sini."

"Papa nggak tahu bagaimana perasaan seorang Ibu yang kebingungan karena sikap anaknya yang tidak biasa. Mama nggak cuma sekedar khawatir, Pa."

"Iya, Papa tahu. Tapi ini acara orang, Ma. Nggak enak kalau pesta ini jadi kacau karena permasalahan kita."

"Iya, Ma. Benar kata Papa." Diana ikut menyela. "Pesta ini bukan milik kita. Kalau nanti sampai terjadi kekacauan, nggak enak sama Kak Morgan. Sama Om Sofyan juga."

Dada Tante Fani masih kembang kempis. Ada bening yang memenuhi kelopak matanya. Tapi beberapa saat kemudian, wanita anggun itu bisa mengatur nafas, dan bisa berpikir jernih.

"Baiklah. Nanti Mama nggak akan langsung nanya sama Bisma. Kalau Mama mau nanya sesuatu, biar nanti Mama ajak Bisma keluar aula biar nggak bikin ribut."

Tante Fani menghela nafas sebelum menggamit tangan Om Faisal dan mengajaknya melangkah bersama menuju pintu masuk. Di belakangnya, Diana dan Reza terlihat mengikuti.

*     *     *     *     *

Rafael tergugu di tempatnya ketika pandangannya menangkap seorang gadis berparas ayu yang sangat dirindukannya memasuki aula megah itu. Suasana di sekitarnya seolah membeku seperti tubuhnya yang kini seperti tak mampu bergerak. Apalagi saat gadis itu tiba-tiba berhenti, lantas melayangkan pandang juga tepat ke matanya. Tangan kiri gadis itu terangkat ke dada, seakan menahan sesuatu perih di baliknya. Sementara, tangan kanannya meraih tangan pemuda di sampingnya dan meremasnya.

Rafael tahu betul apa yang dirasakan gadis itu, karena dia juga merasakaannya. Kerinduan yang mendalam, keinginan untuk berbagi segala hal, tarikan untuk segera meraih dan menyematkan ke dalam pelukan. Tapi Rafael tidak bisa melakukan itu sekarang. Sesuatu dalam dirinya masih ada yang menolak untuk mengakui semua itu, sehingga ia berusaha keras untuk sadar dan segera bergerak dari sikap mematungnya.

Ketika akhirnya ia berhasil bergerak, pandangannya beralih pada pemuda tampan di samping gadisnya. Pemuda itu tampak melirik gadis yang menggenggam erat tangannya, kemudian memandang Rafael beberapa detik setelahnya. Pemuda itu tampak tersenyum kikuk melihat Rafael melayangkan pandang ke arahnya. Namun, sepertinya Rafael enggan meladeni senyuman pemuda itu. Ia malah memutar tubuh, lantas melangkahkan kaki ke sudut ruangan menemui Nanda yang beberapa saat lalu ia tinggalkan sendirian.

"Maaf ya, Kakak agak lama," ujar Rafael begitu sampai di dekat Nanda. Ia meraih tangan gadis itu, lalu menyerahkan segelas minuman untuknya. Nanda hanya membalas dengan senyuman.

Sesekali, mata Rafael melirik ke arah gadisnya yang kini memilih berdiri di salah satu sudut ruangan masih bersama pemuda yang sangat dikenalnya itu. Entah kenapa meski hatinya menolak, tapi matanya masih saja nekat ingin menemukan sosok gadis itu.

"Ehm, tadi udah ketemu Kak Vita?" Nanda yang menangkap gusar dalam diri kakaknya tiba-tiba nyeletuk. Meski gadis itu tak bisa melihat mimik wajah Rafael, tapi dari helaan nafas Rafael yang tak beraturan Nanda tahu kalau pemuda di sampingnya itu tengah gundah. Dan sepertinya Nanda bisa menebak apa yang membuat Rafael tiba-tiba perasaannya kacau seperti itu.

Rafael tak langsung menjawab. Ia hanya mendengung, membuat Nanda semakin yakin kalau jawaban celetukannya itu adalah iya.

"Udah, ya?" Tebak Nanda lagi.

Rafa menghela nafas sekali lagi, lalu menjawab, "He em."

"Trus? Kak Vita sama cowok."

"Iya." Rafael menjawab singkat, membuat Nanda terperangah.

"Kakak kenal?"

"Kenal."

"Temen Kakak sendiri?"

"Bukan."

"Trus?"

"Sepupunya."

Nanda langsung menghela nafas lega mendengar jawaban terakhir Rafael.

"Syukurlah. Berarti kalian emang udah dewasa."

Mendengar perkataan Nanda, mata Rafael langsung membulat sempurna. "Emang kamu pikir Kakak masih anak kecil?"

Nanda malah terkekeh melihat Rafael langsung merajuk seperti itu. "Bukan begitu, Kakak. Kemarin waktu Nanda denger kalian ribut, Nanda pikir kalian akan sama-sama bawa orang lain sebagai pemanas ke pesta ini. Eh, ternyata kalian malah bawa sepupu masing-masing. Kalau Nanda jadi kalian, Nanda pasti akan langsung tahu kode kalian masing-masing. Bahwa meskipun kalian marahan, tapi kalian tetap menjadikan satu sama lain sebagai satu-satunya orang yang ada di dalam hati kalian." Meski Rafael menatap kosong ke gelas minuman yang ia pegang, tapi ia benar-benar meresapi setiap kata yang diucapkan adiknya.

"Nanda yakin Kak Vita juga pasti gelisah kayak Kakak begini." Nanda menghadirkan jeda, lalu, "Kenapa sih, seneng amat bikin anak orang kesiksa batinnya? Apalagi dia orang yang Kakak sayang." Kesiksa batinnya. Kata-kata itu menohok hati terdalam Rafael. Belakangan ini memang Rafael menyiksa hati kekasihnya. Memang dia yang menciptakan kebekuan dalam tali cinta mereka. Tanpa mau mendengar alasan Vita, tanpa mau peduli keinginan kekasihnya, tanpa tau apa sebenarnya yang diinginkan Vita dengan keputusannya itu. Memang dia yang egois. Memang dia yang menolak untuk mendengar penjelasan Vita.

Pemuda itu memandang kekasihnya sekali lagi. Vita masih memegangi dadanya dengan muka tertunduk. Di sampingnya, Dicky, sepupu Vita terlihat membisikkan sesuatu. Mungkin menenangkannya. Rafael juga melihat Vita tiba-tiba menggeleng. Entah apa yang dikatakan Dicky.

Pemuda bermata sipit itu lantas membuang pandang, menimbang-nimbang apa yang sebaiknya ia lakukan.

Di samapingnya, Nanda tersenyum karena merasakan sepertinya apa yang dikatakannya hampir melunakkan hati kakaknya. Ia yakin masalah yang membelit kakaknya hanyalah kesalahpahaman yang bukan tidak ada jalan keluarnya. Dan ia yakin, kata-katanya barusan pasti bisa mencairkan hubungan kakaknya, walaupun hanya sedikit.

*     *     *     *     *

"Kayaknya aku harus ketemu Nanda sama Shita dulu," gumam Afra tiba-tiba. "Aku tiba-tiba nervous banget."

"Nanda sama Shita?"

"Iya, Gan. Kok mereka sama sekali nggak nemuin aku ya? Padahal kan aku butuh mereka."

"Mungkin mereka nggak enak, Sayang. Ini kan ruangan khusus."

"Meskipun ini ruangan khusus, tapi kalau kita ngijinin mereka ke sini kan nggak pa-pa, Gan." Afra sepertinya kekeh ingin bertemu sahabat-sahabatnya sebelum acara dimulai. "BBM-in mereka donk, Gan. Suruh ke sini."

"Tapi,..."

"Gan, please!" Pinta Afra, memelas.

Morgan yang sejak tadi sudah frustrasi semakin frustrasi mendengar permintaan istrinya. Kalau tidak dituruti, Morgan yakin pasti mood Afra akan buruk sepanjang acara ini. Dan Morgan tidak mau kalau acara besarnya malam ini kacau karena mood buruk Afra. Tapi Morgan juga bingung apa yang harus dia lakukan. Kalau sudah ada Nanda sama Shita, pasti Afra nanyain Rangga sama Bisma. Padahal sekarang keempat orang itu tidak bisa berdekatan satu sama lain. Apa yang harus Morgan lakukan?

"Gan, please..." Sekali lagi Afra memelas.

Beruntung tiba-tiba ada yang menepuk punggung Morgan dan bertanya apakah mereka sudah siap. Randy. Morgan langsung menengok ke arah adiknya seketika, dan menemukan wajah adiknya yang berseri-seri. Dari raut mukanya, sepertinya Randy telah berhasil menjalankan semua yang diminta Morgan. Apalagi Randy juga memberi isyarat lewat jempolnya. Melihat adiknya, Morgan jadi tahu siapa yang bisa mengabulkan permintaan istrinya tanpa menimbulkan keributan. Randy yang selalu menyimpan berbagai macam ide di dalam kepalanya itu pasti tahu bagaimana cara membawa keempat orang itu ke sini.

Morgan kemudian menyeret Randy menjauh dari Afra, lantas mengungkapkan keinginan istrinya barusan.

"Haduh, kalau si Bisma kayaknya susah, Gan. Ceweknya nemplok melulu ke dia. Tadi aja gue ngomongnya susah. Ceweknya nggak ngebiarin Bisma ngejauh dari dia. Bahkan tadi gue juga nggak bisa ngomong empat mata sama Bisma. Dan Bisma bener-bener nggak bisa nyalamin lo bareng Nanda."

"Kenapa?"

"Ceweknya nggak ngasih, Gan."

"Salaman kan cuma bentaran. Masa' dia nggak bisa ngasih, sih?"

"Tuh cewek bener-bener ngeselin, Gan. Over protectif banget sama Bisma. Gue juga heran si Bisma mau aja sama tuh cewek."

"Trus berarti mereka ntar..."

"Enggak. Tenang aja. Gue udah minta Bisma biar ceweknya nggak usah ikut nyalamin aja. Tadinya sih ceweknya ngotot nggak mau. Trus nggak tau Bisma ngomong apa, abis itu ceweknya bilang Ok."

"Tapi kalau Bisma nggak bareng Nanda, ntar Afra curiga gimana donk?"

"Ah, iya ya?" Randy mendecak, menyadari ada satu lagi tugasnya yang terlewat. Pemuda itu menggaruk-garuk janggutnya, mencari ide apa yang paling tepat untuk masalah ini. Beberapa saat kemudian, "Gue akan temuin yang namanya Nanda. Gue udah tau orangnya. Waktu itu Afra pernah ngeliatin foto mereka bertiga ke gue. Ntar gue minta aja sama Shita buat cerita sama Afra kalau Nanda lagi PMS trus dia ngambek sama Bisma gara-gara Bisma telat jemput dia. Jadi mereka nggak dateng bareng. Ntar gue juga ngomong gitu ke Nanda. Jadi lo nggak perlu khawatir. Nanda, Shita, sama Rangga gue pastiin bisa dateng ke sini. Kalau Bisma nggak ke sini, kan udah ada alasannya. Nanda lagi ngambek sama Bisma. Beres, kan?"

"Lo yakin bisa bawa Shita sama Rangga ke sini?"

"Yakin, lo tenang aja. Ntar biar gue yang langsung bawa Shita ke sini biar orang tuanya nggak curiga Shita ketemu Rangga. Kalau Rangga ntar gampanglah."

Morgan menghela nafas lega. Hari ini ia benar-benar banyak berhutang budi sama adik laki-lakinya itu. Dalam hati dia berjanji suatu saat pasti akan membalas semua yang dilakukan Randy hari ini.

"Ya udah. Gue serahin semua ke lo. Gue harap malam ini bakal benar-benar lancar. Tegang gue jadinya gara-gara masalah ini."

"Udah, lo tenang. Gue pastiin semua lancar." Pemuda berwajah hampir mirip dengan Morgan itu menepuk-nepuk bahu kakaknya sambil tersenyum, lantas memutar tubuh dan keluar dari ruangan itu.

"Randy akan membawa mereka ke sini," ujar Morgan pada Afra ketika ia menghampiri istrinya kembali.

"Agak ribet ya, Gan? Kok tadi ngomongnya lama banget?"

"Enggak kok." Morgan tersenyum menenangkan. "Tenang aja. Mereka pasti ke sini."

Hanya perlu waktu 10 menit, Shita sudah muncul di ruangan itu. Sendirian. Gadis itu menampakkan senyum termanisnya, senyum bahagianya, dan menyembunyikan segala kesedihannya jauh di dalam hati. Ia ingin Afra tahu kalau ia sangat bahagia di hari bahagia karibnya ini.

"Afra... Lo cantik bangeee...ttt," serunya, seraya menghampiri Afra, lantas memeluk sahabatnya itu dengan penuh sayang.

"Lo juga cantik, tau," balas Afra. "Gue nervous banget. Jadi gue pengen ketemu kalian dulu."

"Kalau mau nervous mah dulu kali, waktu pemberkatan."

"Dulu juga nervous, sekarang nervous lagi. Lo belum pernah ngerasain sih." Afra bersungut, seraya menepuk sebelah tangan Shita. "O iya Nanda mana?"

"Belum dateng. Kayaknya dia bakalan telat banget. Dan jangan kaget kalau dia ntar nggak bareng Bisma."

"Kok gitu?" Afra langsung shock.

"Dia ngambek. Bisma ngejemputnya telat. Udah aja dia langsung berangkat sama Kak Rafa."

"Bertigaan?"

"Enggak. Kebetulan Kak Rafa nggak sama Kak Vita. Lagi berantem kayaknya. Kebetulan deh. Nanda jadi ikut Kak Rafa."

"Kok gitu sih? Masa' di hari besar gue malah pada marahan?"

"Lo tahu sendiri kan, kalau Nanda lagi PMS? Marahnya suka menggebu-gebu. Tapi lo tenang aja. Besok juga mereka baikan lagi. Pasangan yang satu itu, mana bisa ngambekan lama-lama." Shita menjelaskan tanpa ragu sama sekali, sehingga Afra sama sekali tidak curiga kalau penjelasan Shita itu hanyalah karangan Randy.

Diam-diam, Morgan lega karena sepertinya, perkataan Shita barusan telah memecahkan semua masalahnya malam ini.

"Woy... Sobat gue. Ganteng banget lo." Suara Rangga yang baru memasuki ruangan membuat hati Shita terlompat. Jantungnya seperti berhenti bekerja. Matanya memanas. Ia sampai harus menggigit bibir agar tak ada air mata lagi yang keluar dan membanjiri pipinya. Ia harus ekstra menjaga perasaannya, agar Afra tak mencium masalahnya.

"Emang dari dulu gue ganteng. Baru nyadar lo kalau punya temen ganteng."

"Songong lo."Rangga tergelak, tak ingin juga menampakkan kesedihannya di ruangan itu.

"Afra, udah siap belum, Nak. Dimulai yuk acaranya. Takut kemaleman." Tante Maya yang sejak tadi tahu keinginan Afra untuk bertemu dengan para sahabatnya berkata lembut.

Afra menghela nafas, lantas berdiri dari duduknya. Sekali lagi, ia memeluk Shita.

"Gue seneng lo beneran dateng ke acara gue, Ta."

"Gue juga seneng ngeliat lo jadi pengantin, Fra. Selamat, ya. Semoga bahagia, dan langgeng selamanya."

"Terima kasih, Ta. Nervous gue jadi sedikit ilang karena lo nemuin gue." Afra mengurai pelukannya, lantas menyeru,"Aku siap!" Dan semua orang lega karena sebenarnya dari tadi Afralah yang sedang ditunggu-tunggu.

Kedua mempelai muda itu bersanding di depan pintu, saling menautkan tangan. Di luar terdengar pembawa acara mengumumkan bahwa pengantin akan segera turun ke pelaminan. Dan beberapa saat kemudian, pengantin bergerak keluar menuju tangga, diikutin semua orang yang ada di ruangan itu yang turun juga melalui tangga lain.

Hanya ada dua orang yang sama sekali tak bergerak dari sana. Rangga menatap Shita, yang kini juga menatapnya dengan raut sendu. Entah ke mana perginya wajah bingar yang tadi ia perlihatkan untuk Afra. Keceriaannya seolah hilang, terbawa Afra yang juga kini telah pergi dari tempat itu. Sakit di hati terdalamnya perlahan muncul, membuat dadanya sesak dan hampir mencerabut napasnya.

Sebelum semuanya tumpah di depan Rangga, Shita segera bergerak dan berjalan menuju pintu. Namun, Ranga menangkap tangannya, lalu menyeretnya mendekat. Jarak mereka hanya tinggal beberapa centi. Rangga menunduk menatap ke dalam mata Shita. Shita pun melakukan hal yang sama. Dan ketika semua tak lagi bisa tertahankan, Shita terguncang dan menubruk tubuh Rangga. Gadis itu tersedu di dada bidang kekasihnya, seolah ingin melepaskan segala beban yang ada di hatinya. Rangga pun memeluk erat tubuh Shita, menenangkan Shita, juga dirinya sendiri.

"Semua pasti ada jalan keluarnya, Ta. Pasti. Aku yakin."

Rangga mencium pucuk kepala Shita, lantas mengeratkan pelukannya seakan tak ingin ia lepas lagi.

*     *     *     *     *

Diana tengah terkagum-kagum melihat sepasang penganting yang kini menuruni tangga megah di hadapannya. Sang wanita tampak sangat cantik dan anggun dengan balutan gaun pengantin berwarna putih. Rambutnya disanggul sedemikian rupa, menampakkan leher jenjangnya yang putih bak pualam. Pengantin prianya juga terlihat gagah dengan balutan pakaian serba putih. Nyaris seperti pangeran dan putri kerajaan di dunia dongeng. Keduanya memperlihatkan wajah berseri-seri, tersenyum cerah pada semua hadirin yang menunggu kedatangan mereka.

"Mereka kelihatan bahagia banget," gumam Diana tanpa sadar.

Ia kemudian membayangkan kalau dialah yaang kini berjalan di tangga itu, berdandan dengan balutan gaun pengantin putih, dan menggamit tangan Reza dengan mesra. Kekhawatiran yang sempat menghuni hatinya karena sikap mamanya beberapa saat lalu telah hilang entah kemana, terhapus oleh khayalan tingginya. Gadis itu jadi senyum-senyum sendiri karena halusinasinya,  sampai tiba-tiba ada orang yang menowel bibirnya.

"Kenapa senyum-senyum kayak gitu?" Reza bertanya seraya menyipitkan mata. "Pasti ngebayangin, ya?"

Diana jadi malu-malu karena ketahuan. Ia langsung memeluk tangan Reza, dan menyembunyikan wajahnya di lengan kekasihnya itu.

"Pakai malu-malu lagi. Bikin gemes aja."

Gadis itu mengacuhkan kata-kata Reza. Ia menatap sepasang pengantin yang kini telah sampai di bawah. Tangannya masih memeluk erat lengan Reza.

"Kak Afra cantik, ya?" Gumamnya kemudian.

"Ntar kamu juga pasti akan cantik seperti dia. Mungkin malah lebih," ujar Reza. "Dan Kakak, sudah pasti akan lebih ganteng dan lebih gagah dari si Morgan." Pemuda itu terkekeh dengan ocehannya sendiri, dan mendapat hadiah pukulan kecil di lengannya dari Diana.

Diana kembali memeluk lengan Reza dengan mesra, tanpa menyadari jauh di belakangnya, ada hati yang tengah kebakaran. Pandangan si pemilik hati yang terbakar itu menancap pada Diana dan kekasihnya sedari tadi, hingga ia tahu pasti adegan-adegan apa saja yang dilakoni Diana barusan, dan itu membuat api di hatinya semakin berkobar-kobar.

Beberapa hari lalu, pemuda itu sebenarnya bertekad untuk menghindari Diana. Peristiwa penculikan itu adalah alasan tepat untuk menjauh dari gadis yang belakangan ini mengisi harinya itu. Dicky tidak bisa terus-terusan membiarkan hatinya memanas seperti ini tiap kali mengingat bahwa gadis yang ternyata telah mencuri hatinya itu sudah menjadi milik orang lain. Dicky yakin dengan menghindarinya, ia bisa menghapus virus merah jambu yang melanda hatinya sedikit demi sedikit.

Namun siapa sangka kalau ternyata, di pesta kawan kakak sepupunya ini dia justru malah bertemu Diana. Dan sialnya, dia telah disuguhi adegan yang membuat hatinya meradang tepat saat dia pertama kali melihat Diana. Entah kenapa Dicky juga merasa Reza sengaja melakukan adegan mesra itu di hadapannya, dan itu membuat hatinya semakin dongkol. Jadi, dia tadi memilih untuk berpura tak kenal daripada dia berbuat konyol karena hatinya yang kebakaran. Dan sekarang, lagi lagi Dicky harus menahan perasaan karena adegan di depannya.

"Vit, gue ke toilet bentar, ya. Lo nggak pa-pa, kan, kalau di sini sendirian? Cuma bentar kok." Ujar Dicky, begitu merasa tak lagi kuat melihat kemesraan di depan sana. Pemuda itu memutar kepala ke samping, dan menemukan Vita masih menunduk lesu. Gadis itu menghela nafas berat, lantas mendangak menghadap Dicky dan mengangguk.

"Tadi lo bilang cowok lo cuma bawa sepupunya, kok lo masih aja sedih gitu, sih? Jadi nggak tega ninggalinnya."

"Nggak pa-pa, Ky. Kamu ke toilet aja."

"Nggak jadi deh. Gue jadi was-was ngeliat lo kayak gini. Ntar kalau tiba-tiba lo ambruk di sini trus nggak ada yang nolongin kan nggak lucu."

"Di sini banyak orang kali, Ky. Kalau nanti aku sampai pingsan pasti mereka pada mau nolongin aku. Lagian aku nggak pa-pa, kok. Udah sana pergi."

"Yakin, lo nggak pa-pa?"

"Iya, Ky. Aku nggak pa-pa."

"Tapi kalau lo ntar mau pingsan tunggu gue kembali ke sini lagi, ya."

"Apaan sih, Ky. Udah ah. Pergi sana."

Sepeninggalan Dicky, gadis itu kembali menengok ke arah kekasihnya, dan tanpa ia sangka, Rafa pun juga tengah menengok ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Ada yang kembali mendesir di hatinya saat dilihatnya, Rafa tak juga memalingkan wajah meski ia sadar bahwa mereka bertemu pandang. Kalau perasaan Vita tak salah, sepertinya kekasihnya mulai menangkap hati Rafa yang sedikit meleleh. Sebab ia telah beberapa kali menemukan Rafa memperhatikan dia dari tempatnya berdiri. Tapi kenapa Rafa tidak mendekat saja? Paling tidak untuk sekedar menyapa? Apa dia masih gengsi? Atau... pandangan Vita beralih ke Nanda yang duduk di sebelah Rafa. Apa mungkin penyakit Nanda sedang kambuh, jadi Rafa tidak bisa meninggalkannya. Vita merasa memang ada yang aneh dari gerak gerik Nanda selama Vita memperhatikannya tadi.

Vita jadi berpikir apakah harus dia yang datang ke Rafa? Tapi kalau dugaannya ternyata salah bagaimana? Bagaimana kalau nanti saat dia mendekat Rafa langsung menghindar? Bukankah itu hanya akan menambah sakit hatinya?

Gadis itu memejamkan mata, lalu menghela nafas. Ia menimbang-nimbang apa hal terbaik yang harus ia lakukan saat ini. Sebenarnya ia tak masalah kalau harus sekali lagi mengesampingkan gengsinya untuk pemuda yang sangat dicintainya itu. Hanya saja, hatinya selalu meraung-raung tiap kali menerima penolakan yang dilakukan Rafa. Haruskah ia juga mengesampingkan jeritan hatinya? Sepertinya memang harus. Bukankah belum tentu juga Rafa nanti akan menolaknya? Siapa tahu dugaannya memang benar dan sikap Rafa melunak. Ya, ia memang harus mencoba bicara meski waktu dan tempatnya kali ini sama sekali tidak tepat. Kesempatan itu memang datang saat ini, di tempat ini. Jadi, apa boleh buat.

Ketika tekad Vita telah benar-benar bulat dan ia telah membuka matanya, gadis itu tak lagi menemukan kekasihnya. Ia celingukan ke kanan dan ke kiri, tapi tak menemukan sosok Rafa.

*     *     *     *     *

"Pa, itu Bisma, Pa," ujar Tante Fani begitu ia melihat putranya. Om Faisal mengikuti arah pandangan istrinya, dan menemukan Bisma tengah digamit oleh seorang perempuan yang tidak ia kenal. "Dia beneran nggak sama Nanda? Perempuan itu siapa?" Kening Tante Fani berkerut. "Mama harus tanya sama Bisma."

"Mama tunggu." Tangkapan tangan Om Faisal di lengan Tante Fanni berhasil menghentikan langkah wanita itu. "Nanti saja kita nanyanya, Ma. Ini udah acara inti. Jangan sampai kita bikin ribut."

"Enggak, Pa. Mama cuma mau nanyain Bisma. Nggak mau bikin ribut."

"Ma, Papa tahu betul sifat Mama. Kalau udah khawatir begitu pasti ngomongnya nggak bisa pelan. Udahlah. Nanti aja kita nanyanya kalau acara ini udah selesai. Nanti kita temuin Bisma di luar."

"Tapi Pa,..."

"Ma, tolong. Nggak enak sama Pak Sofyan kalau sampai ada ribut-ribut di sini karena permasalahan kita." Wajah Om Faisal tampak serius, berharap istrinya mau mendengarkan omongannya.

Tante Fani menengok Bisma sekali lagi. Tampak Bisma dan perempuan di sampingnya tengah serius memperhatikan pasangan pengantin yang berjalan ke pelaminan. Tante Fani kemudian melayangkan pandang ke arah pengantin. Baru ia sadar kalau acara ini memang bukan miliknya. Ia harus jaga sikap.

"Mendingan sekarang kita cari minum." Suara Om Faisal terdengar lagi. "Mama harus minum biar Mama tenang."

"Baiklah. Ayo."

Tante Fani pun menggamit lengan suaminya, lantas mengajaknya berjalan menuju salah satu meja. Belum sampai mereka di meja yang mereka tuju, langkah mereka terhenti. Mata Tante Fani membola. Nafasnya tercekat. Dadanya tiba-tiba tambah bergemuruh.

"Jeng Riska?"

"Jeng Fani?"

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bersambung
By: Novita SN

Part Lengkap: