Di
sepanjang perjalanan ke kantornya Rafa, Vita menghabiskan waktunya
untuk memikirkan apa yang akan ia katakan kepada Rafa siang ini. Ia
sudah bertekad untuk mengatakan semuanya kepada Rafa, karena sebentar
lagi dia harus kembali ke Malaysia. Tiap kali ia mengingat kemanjaan
Rafa kepadanya saat mereka bertemu, entah kenapa ia semakin ragu
untuk mengatakan hal yang ia sembunyikan itu. Tapi mau bagaimana
lagi? Ia tidak bisa terus-terusan menyembunyikannya.
Gadis
itu tersentak saat sopir yang mengantarkannya
memberitahu bahwa mereka telah sampai di kantornya Rafa. Ia
mengedarkan pandangannya ke luar mobil, dan menyadari kalau ternyata
ia telah berada di depan kantor Rafa. Hatinya jadi berdegup tak
karuan. Ia menghela nafas, lalu menyandarkan tubuhnya di jok. Ia
pejamkan matanya untuk sedikit menenangkan hatinya yang kacau.
“Non
Vita kenapa?” tanya sang sopir, “kok nggak turun-turun?”
Kembali
gadis itu tersentak. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menggeleng
pelan ke arah sopir yang mengantarkannya. Setelah menghela nafas
sekali lagi, ia pun meraih rantang makanan yang ia letakkan di jok
belakang, dan keluar dari mobil.
Ia
tak perlu lagi melapor kepada resepsionis tentang kedatangannya,
karena resepsionis pun sudah sangat kenal dengan dia. Sudah beberapa
kali gadis itu mendatangi kantor kekasihnya untuk mengantarkan
makanan seperti ini, atau sekedar mampir. Sebagian karyawan dan staf
di sana juga sudah sangat mengenalnya. Ia hanya melemparkan seulas
senyum, yang langsung dibalas oleh gadis berambut panjang yang
berdiri di balik meja resepsionis itu.
Ia
berjalan dengan langkah ragu menuju ke ruangan Rafa. Sesekali, ia
menyapa karyawan yang ia lintasi atau temui. Bukan karena canggung,
tapi langkah ragunya lebih karena ia sebenarnya belum benar-benar
siap mengatakan rahasianya kepada kekasihnya. Berkali-kali Rafa
mengingatkannya kalau dia sangat bahagia karena mereka tak akan lagi
menjalani LDR. Padahan kenyataannya, LDR-an mereka sebenarnya belum
akan usai.
Begitu
sampai di ruangan yang ia tuju, gadis itu hanya mematung di depan
pintu. Hatinya berdegup semakin kencang. Tangannya tiba-tiba
gemetaran. Ia menggigit bibir, untuk mengusir kegugupannya itu. Tapi
seolah telah merajai hati dan perasaannya, kegugupan itu tak mampu ia
usir, bahkan sampai ia berdiri di depan ruangan itu sampai lima
menit.
“Heh!”
seseorang tiba-tiba membuatnya terperanjat dengan sebuah tepukan di
bahunya. Saking kagetnya, Vita sampai melompat ke belakang, dan
sempat sedikit terhuyung. Perempuan yang merupakan seorang staf
bagian accounting perusahaan yang juga sudah sangat mengenalnya itu
mengernyitkan dahi melihat keanehan Vita.
“Sharlot?”
ujar Vita, sambil memegangi dadanya yang hampir meledak. “Aku kira
siapa.”
“Kenapa,
sih? Kok kamu aneh gitu?” tanyanya kemudian. “Pak Rafa ada di
dalam, kok. Enggak lagi meeting. Masuk aja. Enggak pa-pa.”
“I
… iya. I … ini juga mau masuk, kok,” ujarnya terbata.
Sharlot
masih memandang aneh ke arah Vita. Dahinya semakin mengernyit, sambil
mengawasi gadis itu dari atas sampai bawah. “Beneran, deh. Hari ini
kamu aneh,” ucapnya.
“Aku
enggak pa-pa. Cuma perasaan kamu aja, kali,” elak Vita. “Ya udah,
aku masuk dulu, ya.”
Gadis
itu akhirnya membuka pintu, membiarkan Sharlot memperhatikannya
sampai ia memasuki ruangan Rafa. Saat ia mau menutup pintu kembali,
ia melihat Sharlot masih berdiri di depan pintu.
“Aku
enggak kenapa-kenapa, Sharlot. Tenang aja,” ujarnya, sembari
mengulaskan sebuah senyum yang ia usahakan semanis mungkin. Sharlot
hanya mengedikkan bahunya, lalu meneruskan jalannya menyusuri koridor
untuk menuju ke ruangannya sendiri. Begitu Sharlot benar-benar
berlalu, Vita pun menutup pintu ruangan Rafa, dan membalikkan
tubuhnya untuk menemui kekasihnya itu.
Senyum
Rafa terkembang saat mendapati Vita telah berada di ruangannya. Ia
meletakkan pulpen yang dipegangnya, lalu beranjak mendekati
kekasihnya yang menenteng rantang. Terlihatlah olehnya sebuah senyum
di bibir Vita, yang sangat melegakan hatinya. Lelah pikiran yang
memberangusnya karena pekerjaan tiba-tiba hilang begitu saja. Ia
telah menunggu gadis itu sedari tadi.
Semenjak
kepulangan gadis itu ke Indonesia, hanya kehadiran gadis itulah yang
bisa menghilangkan rasa lelahnya. Makanya, Rafa selalu bilang kalau
dia pengen makan ini itu yang dibuat oleh tangan gadis itu. Itu
adalah modus agar Vita datang ke kantornya, dan menemaninya bekerja
sampai sore. Vita memang tak pernah langsung pulang kalau
mengantarkan makanan untuknya. Gadis itu akan menunggu sampai Rafa
menyelesaikan pekerjaannya, dan pulang bersamanya.
Melihat
senyum Vita yang tampak aneh di matanya, Rafa mengernyitkan dahi.
Apalagi saat Vita masuk tadi, ia melihat Sharlot yang sepertinya
mencemaskan keadaan Vita.
“Kamu
kenapa?” tanya Rafa, seraya meraih lengan gadis itu dan menggamit
pundaknya untuk ia ajak menuju sofa di sudut ruangan.
“Kenapa?”
Vita berpura bingung, sambil mendangakkan muka menghadap Rafa. “Aku
enggak kenapa-kenapa.”
“Trus
tadi kenapa Sharlot kayaknya khawatirin kamu gitu?”
“O,
tadi aku berpapasan sama dia,” jawabnya, “trus dia bilang kalau
hari ini aku agak aneh. Enggak tau kenapa dia bilang kayak gitu.”
“Coba
lihat.” Rafa memutar kepala Vita yang tiba-tiba tertunduk saat Rafa
menanyakan kekhawatiran Sharlot tadi. Kini, mereka menghentikan
langkah dan bersitatap lagi. Rafa pun meneliti wajah kekasihnya itu,
dan memang menemukan sesuatu yang janggal di wajah Vita.
“Kamu
memang agak pucat hari ini,” ujar Rafa. “Kamu kenapa? Sakit?”
Gadis
itu tak langsung menjawab. Ia malah menepis tangan rafa di dagunya,
dan berjalan duluan menuju sofa.
“Aku
enggak pa-pa, Raf. Mungkin karena agak capek aja. Semalem aku nulis
sampai larut malam. Jadi aku agak ngantuk,” ujarnya, berbohong.
Tapi sepertinya Rafa percaya saja dengan apa yang diucapkan Vita. Ia
mengikuti gadis yang kini tengah membuka rantang makanan di meja,
lalu duduk di sebelah gadis itu.
“Kalau
kamu capek, harusnya kamu bilang, donk. Jadi, kan, kamu nggak perlu
repot-repot masak buat aku.”
“Enggak
pa-pa, Raf. Aku senang kok bisa masakin kamu. Lagian, kan, aku juga
pengen ketemu kamu,” kata Vita, sembari sibuk menyiapkan makanan
untuk Rafa.
“Kangen
terus sama aku gitu, ya? Jadi pengen nemuin terus? Manis banget,
sih?” gurau Rafa, sambil menahan senyum.
Vita
menghentikan gerakannya sesaat, lalu melirik Rafa sambil mencibir.
“Ke-GR-an,” ujarnya, membuat Rafa terkekeh.
Rafa
memakan makanan yang dibawa Vita dengan lahap. Sementara itu, Vita
hanya duduk di depan Rafa setelah menyiapkan air minum untuknya
sesaat lalu. Sesekali, Rafa menyodorkan sendok ke mulut Vita, agar
gadis itu ikut makan bersamanya. Tapi gadis itu menggeleng dengan
dalih sudah makan di rumah. Padahal sejak pagi, belum ada sesuap nasi
pun yang masuk ke dalam perutnya.
Belum
sampai Rafa menghabiskan makanannya, ia berhenti. Ia baru menyadari
kalau memang ada yang aneh pada gadis yang duduk dengan tatapan
kosong di hadapannya itu. Ia merasa gadis itu banyak melamun.
Sekarang pun, Rafa mendapati Vita tengah melamun.
"Vit?"
Panggilnya, tapi tak ada respon.
Rafa
menghela nafas, lalu meletakkan piring kertas dan sendoknya di meja.
Hati-hati, ia menyentuh bahu Vita sambil berkata, "kamu
sebenarnya kenapa, sih, sayang?"
Vita
langsung menengok ke arah Rafa karena terkejut. Matanya membola, tapi
ia tak merespon juga kata-kata Rafa. Nyawanya seolah belum sepenuhnya
kembali.
"Kamu
memang benar-benar aneh hari ini," kata Rafa lagi. "Kamu
kenapa?"
Bukannya
menjawab, Vita malah memandang Rafa dengan tatapan sayu. Matanya kini
berkabut. Mulutnya sedikit terbuka, tapi belum juga mengeluarkan
sepatah kata pun. Hal itu membuat Rafa semakin khawatir padanya.
Wajah Rafa pun berubah panik.
"Kamu
kenapa, hm?" ulangnya sekali lagi.
Gadis
itu menghela nafas, lalu memejamkan mata. "Raf, sebenarnya aku
mau ngomong sesuatu sama kamu," ujarnya, begitu matanya terbuka
kembali.
"Mau
ngomong apa, sih? Kayaknya kok serius amat?"
Vita
menggigit bibir. Genangan di matanya kini benar-benar tampak di
penglihatan Rafa, membuat hati Rafa berdegup tak karuan karena
penasaran dan … takut. Ia merasa ada hal yang tak mengenakkan yang
akan disampaikan kekasihnya itu. Ia hanya menatap Vita, memberi
kesempatan kepada gadis itu untuk memupuk keberanian.
"Aku
... aku ...," Vita masih tak bisa juga berbicara dengan lancar.
"Aku harus kembali lagi ke Malaysia, Raf."
Reflek,
Rafa memundurkan kepalanya. Ia menghela nafas tertahan karena
terkejut. Pegangan tangannya di pundak Vita pun seketika mengendur.
Ia menatap dalam ke manik mata Vita, berharap menemukan sebuah
gurauan dari pandangan matanya. Tapi tidak. Mata itu malah melelehkan
air. Semakin lama semakin deras. Itu cukup membuat Rafa tau kalau apa
yang dikatakan gadis itu memang serius.
“Kembali
ke Malaysia? Tapi kenapa? Dan untuk apa?”
“Maafin
aku, Raf. Sebenarnya …,” lagi-lagi Vita menghadirkan jeda sesaat
karena lidahnya sebenarnya kelu. Susah untuk berucap. “Sebenarnya
waktu aku bilang aku cuma magang di sana itu bohong. Aku sudah
menerima kontrak kerja di sana, Raf.”
“Kontrak
kerja?” Raut muka Rafa berubah merah. Kekhawatirannya berubah
marah.
“Iya.
Selama tiga tahun.”
“Tiga
tahun?” Muka Rafa semakin memerah. Perasaannya pun telah bercampur
bawur tak karuan. “Kamu jangan bercanda, Vit.”
“Aku
nggak bercanda, Raf. Aku udah benar-benar kerja di sana. Aku udah
tanda tangan kontrak dua bulan yang lalu.”
“Dua
bulan yang lalu, dan kontrak kerja itu masih harus berjalan dua tahun
sepuluh bulan lagi?” ucap Rafa dengan nada kesal. “Dan kamu
enggak pernah membicarakannya sama aku sebelum menerima kontrak kerja
itu?”
“Maafin
aku, Raf,” Vita berucap sambil terisak.
“Kenapa,
Vit? Kenapa kamu harus merahasiakannya? Kenapa kamu enggak pernah
ngomong? Kenapa kamu mengambil keputusan sendiri?” tak ada jawab
atas ceracauan Rafa itu. Yang terdengar hanyalah isak tangis Vita
yang semakin menjadi. Jeda berselang lama di antara mereka. Dengan
raut kecewa yang mendalam, Rafa menyeret tubuhnya menjauh dari Vita,
dan menyandarkannya di badan sofa. Rafa merasa darahnya naik hingga
ujung kepala. Raut mukanya tertekuk, hingga tak ada lagi kemanisan di
wajah tampan itu. Harapannya untuk segera menikah seolah
diluluhlantakkan oleh Vita, orang yang ia harapkan akan selalu
mendampinginya. Ingatan tentang pembicaraannya dengan sang papa
kemarin siang tiba-tiba saja mengelebat di benak Rafa, membuatnya
semakin frustrasi.
“Vita
sekarang udah benar-benar pulang. Dua bulan lagi Papa udah mau
pensiun. Perusahaan Papa serahin sepenuhnya ke kamu. Dan Papa ingin
sebelum Papa pensiun, Vita udah tinggal di sini sebagai menantunya
Papa. Dan tentunya, ngasih cucu buat Papa, donk.” Om Panji
mengucapkan kata-kata itu sambil tergelak kemarin. Rafa pun menjawab
iya dengan penuh keyakinan, karena ia memang yakin kalau Vita bisa
diajak menikah kapan saja. Tapi sekarang, keyakinannya telah hancur.
Dia harus menunggu lagi. Berpisah lagi. LDR-an lagi. Membuat papanya
kecewa lagi.
“Aku
kira kita bisa selalu melangkah sama-sama, Vit. Aku kira aku ini
orang yang berarti dalam hidup kamu. Orang yang harus kamu ajak
bicara saat kamu harus mengambil keputusan yang penting dalam hidup
kamu. Tapi ternyata tidak. Kamu enggak nganggep aku.”
“Bukan
begitu, Raf …”
“Tapi
nyatanya begitu,” potong Rafa, sampil melemparkan tatapan tajam ke
arah Vita. “Selama ini, langkah apapun yang akan aku ambil, aku
selalu membicarakannya sama kamu. Meminta pendapatmu. Bahkan memilih
jurusan waktu kuliah pun aku ngomong dulu sama kamu. Tapi kamu apa?
Keputusan sepenting ini kamu enggak pernah ngomong sama aku.”
“Tapi,
Raf …,”
“Aku
kecewa sama kamu, Vit.” Ujar Rafa, sebelum beranjak dari duduknya
dan menuju ke kamar mandi, meninggalkan Vita yang semakin terisak di
sudut sofa.
‘*
* * * *
Diana
berjalan sendirian menyusuri jalanan dari toko buku menuju ke asrama.
Sengaja dia tidak naik kendaraan, karena ia ingin sekali
menghilangkan gundah di hatinya. Belakangan ini sikap Reza sangat
aneh kepadanya. Reza tak pernah lagi menemuinya saat menjelang
kuliah. Kalau ditelpon, Reza hanya bilang kalau dia sibuk. Entah
kesibukan apa yang membebani Reza, Diana sendiri tidak tau. Tapi
kalau didengar dari kata-katanya yang datar tiap Diana telepon, Diana
yakin kalau bukan hal itu yang membuat sikap Reza mendadak berubah.
Diana merasa kalau Reza tengah marah kepadanya. Tapi, Diana juga
tidak tau apa yang membuat Reza marah.
Dengan
pikiran yang menerawang jauh entah kemana, Diana terus melanjutkan
perjalanannya tanpa mempedulikan kakinya yang pegal. Ia
mengingat-ingat kelakuannya belakangan ini. Tapi sekuat apapun ia
berusaha mengingat, ia tak juga menemukan kesalahan dalam sikapnya.
Hal terakhir yang ia ingat adalah BBM manis Reza waktu malam minggu
saat ia berada di rumah Nanda. Setelah ia pulang ke rumah pun, sikap
Reza masih baik-baik saja. Suaranya masih renyah waktu ia telepon
Diana. Perubahan sikap Reza baru tercium oleh Diana hari seninnya,
saat Reza bilang kalau HP kesayangannya mati terbanting. Apa mungkin
gara-gara HPnya mati, sikap Kak Reza jadi aneh? Tapi kenapa dia jadi
marahnya sama aku? Lagian HPnya, kan, sekarang udah nyala lagi? Udah
bagus lagi? Trus kenapa dia masih marah? Ceracau Diana dalam hati.
Saat
kalut tengah membelit hatinya, langkah Diana tiba-tiba terhenti. Ia
mengerutkan kening melihat sebuah mobil Gracio berwarna hitam
tiba-tiba berhenti di depannya, seolah ingin menghadang langkahnya.
Otak Diana belum sepenuhnya beres. Ia hanya diam tanpa menghindar
saat dua orang lelaki bertopeng turun dari mobil dan berjalan ke
arahnya.
Kesadaran
Diana baru sepenuhnya kembali saat salah seorang lelaki bertopeng itu
mencekal lengannya, dan menyeretnya masuk ke dalam mobil.
"Ka
... Kalian si ...siapa?" tanya Diana, gugup. Ia tak sempat
meronta, ataupun meminta tolong karena salah seorang dari mereka
membekap mulutnya dengan sapu tangan. Entah apa yang ada di sapu
tangan yang dipakai untuk membekap Diana itu, yang jelas kesadaran
Diana langsung hilang beberapa saat setelah sapu tangan itu menutup
mulut dan hidungnya. Diana dibaringkan di jok belakang, dengan kepala
ditumpukan di atas paha salah seorang dari dua lelaki bertopeng itu.
“Hati-hati,
woy. Jangan sampai dia kenapa-kenapa,” ucap sang sopir, saat
mendengar suara kepala Diana yang beradu dengan pintu mobil.
Seorang
lelaki yang memangku kepala Diana nyengir gaje, “sory, sory, Bos.
Enggak sengaja," katanya.
Salah
satu lelaki lain langsung turun dan tengok kanan kiri mengecek apakah
ada yang melihat aksi mereka. Begitu semua dirasanya aman, ia masuk
ke jok depan samping sopir, lalu membuka topengnya. Ia lirik sang
sopir yang masih saja menengok ke belakang, memperhatikan gadis yang
terbaring pingsan itu. Raut muka sopir itu sama sekali tidak cerah,
bahkan terlihat khawatir. Hal itu mengundang kecurigaan pada orang
yang duduk di sebelahnya.
“Kenapa,
lo? Naksir sama nih cewek?” guraunya, sambil menonjok lengan si
sopir. Tak disangka, si sopir malah terperanjat, seperti orang yang
telah dibangunkan dari lamunannya.
“Ayo,
buruan cabut. Ngapain malah bengong kayak gitu?” suara orang yang
memangku kepala Diana terdengar berseru, membuat sang sopir akhirnya
memutar tubuhnya ke depan, dan melajukan mobil mereka.
‘*
* * * *
Senyum
manis Raisya sore itu terlihat sangat pahit untuk Ilham. Diam-diam,
pemuda itu mengintip Raisya yang mendekati Bisma di ruang kerjanya di
ruang F5. Awalnya ia mau masuk. Tapi melihat Raisya mendekati Bisma,
pemuda itu hanya mengintip di depan pintu dengan perasaan kesal.
Kemarin Raisya berbicara padanya kalau Raisya mau mendekati Bisma
lagi. Dengan penuh keyakinan, Raisya berbicara menggebu pada Ilham
kalau kali ini dia pasti akan mendapatkan Bisma. Ilham merasa hatinya
memanas tiap kali mengingat obsesi Raisya untuk mengejar cinta Bisma
itu. Dari pada ia semakin kesal, akhirnya ia memilih untuk
meninggalkan ruangan itu, dan berjalan keluar kampus meski sebenarnya
ada pekerjaan yang harus ia selesaikan di sana.
Pemuda
itu menghentikan langkahnya di sebuah taman bermain anak-anak tak
jauh dari kampus. Ia mencari bangku kosong, lalu duduk di sana
memperhatikan tingkah lucu anak-anak sepantaran keponakannya yang
bermain riang bersama anak lain atau pengasuhnya. Kemarin-kemarin,
saat Raisya masih dalam masa menghilangkan memory tentang Bisma,
mereka berdua selalu ke tempat ini tiap sore. Tidak untuk bermain
perosotan atau ayunan, tentu saja. Tapi hanya untuk memperhatikan
kelucuan yang dihadirkan bocah-bocah berumur tak lebih dari enam
tahun itu di sana.
Raisya
sebenarnya sangat menyukai anak kecil, sama seperti dia. Tiap kali
mereka ke sana, Raisya selalu menyempatkan berfoto dengan beberapa
orang anak kecil yang kebetulan saat itu bermain di sana. Pernah
suatu kali, Ilham foto bertiga dengan seorang anak kecil keturunan
china yang imut dan lucu. Wajahnya bulat seperti Raisya, hingga kalau
ada orang yang melihat foto itu, mungkin akan mengira kalau anak
perempuan berusia tiga tahun itu adalah anak mereka. Sampai sekarang,
Ilham masih menyimpan foto itu.
Tapi
sekarang, mungkin mereka tak akan bisa lagi menghabiskan waktu berdua
di taman ini seperti kemarin-kemarin. Kalaupun Raisya mau ke sini,
pasti ia akan mengajak Bisma. Bukan dia. Ilham mendengus saat
mengingat senyum Raisya yang begitu manis untuk Bisma tadi. Selama
sebulan lebih ia dekat dengan Raisya, belum pernah ia mendapatkan
senyum semanis itu dari Raisya. Tapi Bisma, meski ia tak pernah
peduli dengan perasaan Raisya, Bisma sering mendapatkan senyum manis
seperti itu.
“Ehm,”
deheman seorang gadis menyentak lamunan Ilham. Ia memutar kepalanya
cepat, dan menemukan seorang gadis yang berdiri di belakang kursinya
dengan menyandang senyum di bibir. Terlihatlah gadis itu berjalan ke
depan kursi, dan duduk menjajarinya.
“Fryda?”
gumamnya. “Ngapain ke sini?”
Gadis
yang disapa Fryda itu melebarkan senyumnya mendengar sapaan ramah
dari Ilham. Ilham memang selalu ramah kepada siapa saja. Mungkin hal
itu juga yang membuatnya mudah bergaul. “Gue tadi ngelihat lo
merengut di depan ruangan, trus kabur gitu aja. Ya udah, gue ngikutin
lo aja. Eh, ternyata lo ke sini,” jelasnya.
Fryda
menemukan tatap Ilham yang kosong. Lalu, gadis yang juga kawan Ilham
di UKM itu kembali bertanya, “kenapa, Ilham? Lo nggak rela kalau
Raisya ngedeketin Bisma lagi?”
Dahi
Ilham mengernyit. Ia bingung darimana Fryda tau tentang isi hatinya?
Padahal belum sekalipun Ilham mengatakan tentang perasaannya kepada
siapapun.
“Kenapa?
Bingung ya, karena gue tau perasaan lo?” ujar Fryda, lalu tersenyum
lagi. “Gue bahkan tau kalau kalian berdua sama-sama suka sama anak
kecil, Am. Gue tau kalian sering datang ke sini buat lihat anak-anak
kecil yang lagi main, dan lo sangat bahagia tiap kali berada di dekat
Raisya.” Fryda menghadirkan jeda sejenak, lalu …, “Ada cinta di
hati lo buat Raisya. Iya, kan?”
Gadis
ini benar-benar seperti dukun. Ilham jadi tak bisa berkata apapun
karena merasa perasaan yang ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya
seperti dikuliti oleh gadis itu.
“Da
… dari mana lo tau?” tanya Ilham terbata.
“Sebenarnya
gue sering merhatiin lo, Am. Jujur, gue sering suka lihat tingkah
polah lo. Bukan karena gue juga ada perasaan seperti rasa lo buat
Raiysa. Tapi cuma sekedar kagum. Kalau lo artis, mungkin bisa
dibilang kalau gue nge-fans sama lo,” gadis itu tergelak, diikuti
kekehan Ilham.
“Lo
tuh ada-ada aja.”
“Gue
serius. Gue tuh kagum beneran sama lo. Segala yang ada pada diri lo
bikin gue kagum,” ucap Fryda lagi, membuat muka Ilham bersemu.
“Tapi lupain kekaguman gue, dan mendingan kita bahas Raisya. Gue
bukannya pengen ikut campur. Tapi gue rasa, baru kali ini gue lihat
lo cinta sama orang, Am. Tapi gue bingung kenapa lo ngebiarin dia
lepas gitu aja? Kalau emang lo benar-benar cinta sama dia, kejar dia.
Ungkapin perasaan lo. Jangan biarin dia jadi milik orang yang
jelas-jelas enggak bisa bahagiain dia.”
Ilham
menggeleng. Ia menghela nafas dalam, lalu menghempaskannya dengan
berlebihan lewat mulutnya yang ia gembungkan. “Gue enggak bisa.
Raisya terlalu cinta sama Bisma. Gue udah bilang berkali-kali kalau
cintanya itu salah. Tapi dia enggak pernah mau dengar.”
“Karena
lo enggak pernah bilang ke dia kalau ada cinta yang pasti bisa
membuat dia bahagia, Am,” sela Fryda. “Cobalah untuk berani
mengungkapkan apa yang lo rasain. Di pendam terus juga enggak ada
gunanya, kan?”
Ilham
hanya diam tak menimpali lagi apa yang diucap Fryda. Mungkin dia
merenungi apa yang diucap Fryda. Atau … malah menganggap kalau
Fryda tidak benar-benar tau apa yang dia rasakan? Entahlah. Yang
jelas jeda itu berselang hingga beberapa menit, sampai Fryda
mengeluarkan suara lagi.
“Hanya
cinta tulus lo yang bisa menghilangkan cinta Raisya yang salah
sasaran, Am,” ucap Fryda lagi, seraya menepuk-nepuk bahu Ilham.
Ilham
menatap wajah Fryda yang lagi-lagi tersemat senyum. Kata-kata Fryda
itu ia serap dalam-dalam, hingga ia memahami dan mengerti apa makna
yang ada dari kata-kata sederhana itu. Cinta Raisya memang salah
sasaran. Ia tau betul tentang itu. Tapi kemarin-kemarin, sebelum
Fryda menyadarkannya, Ilham belum tau apa yang harus ia lakukan untuk
menyadarkan Raisya. Sekarang ia sudah tau. Cinta tulusnya yang bisa
membuat Raisya tak lagi mengharapkan Bisma. Dia hanya tinggal
mengungkapkannya, dan Raisya akan tau bahwa cinta Ilhamlah yang
pantas ia harapkan.
Tapi,
semudah itukah? Ilham tak begitu percaya diri. Ia ragu.
'*
* * * *
"Tujuh
tahun lebih kita sama-sama, baru kali ini aku ngerasa benar-benar
kecewa sama kamu, Vit," ucap Rafa, setelah ia menepikan mobilnya
di depan gerbang rumah Vita. Pemuda itu menengok ke arah gadis yang
kini duduk di sampingnya. Tatapannya seperti belati yang menusuk
sampai ke hati terdalam Vita, hingga gadis itu merasakan nyeri yang
teramat sangat.
"Raf
..." Vita belum sempat mengatakan apapun saat Rafa memutar
kepalanya dengan cepat dan membuka pintu mobil, lalu keluar memutari
separuh badan mobil.
Bening
di pelupuk mata Vita jatuh. Ia meremas rantang makanan di
pangkuannya, lalu memejamkan mata. Ia tekan dadanya dengan salah satu
tangan, untuk sedikit menghalau rasa sakit yang terasa menyiksa. Rafa
benar-benar marah. Vita tak pernah melihat Rafa semarah itu
kepadanya. Biasanya kalau Rafa kesal, ia hanya akan manyun sebentar
dan setelah Vita meminta maaf, kekesalannya akan menghilang begitu
saja. Tapi kali ini, permintaan maaf Vita pun tak cukup membuat
kekesalan di hati pemuda itu mencair. Apa kesalahan Vita terlalu
fatal? Mungkin iya. Ia telah menghancurkan kepercayaan Rafa. Harapan
Rafa. Keinginan Rafa. Rafa merasa dikesampingkan. Tak dianggap.
Gadis
itu baru membuka matanya kembali saat terdengar pintu mobil di buka,
dan Rafa menyuruhnya turun. Dengan air mata yang kian menderas, gadis
itu keluar dari mobil dengan gerakan pelan. Ia memandang wajah Rafa
yang tak ramah sebelum benar-benar menjauh dari samping pemuda itu.
Tetapi, Rafa malah membuang muka dan menutup pintu mobilnya dengan
kasar.
Setelah
pemuda itu kembali memasuki mobilnya, ia langsung tancap gas, dan
melaju cepat meninggalkan Vita yang masih saja sesenggukan di depan
gerbang rumahnya. Jangankan kecupan, ucapan pamit pun tidak terlontar
dari bibir Rafa. Vita semakin merasa bersalah. Hatinya sakit karena
ulahnya sendiri. Ia tak tau lagi apa yang harus ia lakukan agar Rafa
memaafkannya.
‘*
* * * *
Jepret!
Jepret!
Terdengar
suara kamera menjepret dari sebuah HP yang di pegang oleh salah
seorang lelaki bertopeng. Kamera itu mengambil gambar Diana yang kini
dalam keadaan tangan dan kaki terikat di sebuah kursi di tengah
ruangan. Mulutnya ditempel takban hitam, hingga ia tak bisa berteriak
untuk meminta tolong. Kini, gadis itu pasrah dengan keadaannya
setelah lelah meronta. Muka dan sebagian tubuhnya telah basah oleh
keringat. Ada sebuah luka kecil juga di keningnya, karena waktu
meronta tadi kursinya sempat jatuh dan kepalanya membentur lantai.
Untung ada salah seorang dari mereka yang sedikit berbaik hati kepada
Diana. Kalau tidak, mungkin Diana sudah menjadi amukan para penculik
itu karena ia terlalu banyak meronta.
Pemuda
yang tidak terlalu kasar pada Diana itu kini terduduk sambil
memainkan bola kecil di sudut ruangan. Kedua kawannya yang tadi ikut
menculik Diana berdiri di depan pintu, seolah menjadi satpam yang
menjaga agar Diana tak bisa keluar. Padahal tanpa pintu dijaga pun,
mana bisa Diana keluar dalam keadaan terikat seperti itu. Sementara
itu, Seorang lelaki terlihat memotret Diana dari berbagai posisi.
Lelaki itu tadi tidak ikut menculik Diana. Ia hanya menunggu di rumah
kosong yang kini mereka tempati itu.
Sejak
membuka mata tadi, perhatian Diana langsung tertuju kepada lelaki
yang duduk di sudut ruangan sambil sesekali melempar pandangan ke
arahnya itu. Sekarang pun, saat seseorang mengambil gambarnya, mata
Diana tertuju pada lelaki itu. Lelaki itu seperti tak asing lagi buat
Diana. Pandangan matanya, suaranya yang khas meski tertutup selayer,
dan … poni kemerahan yang menggantung di puncak dahinya. Diana
mengenal pemilik poni itu.
“Dicky?”
desis Diana dalam hati, dengan rasa penasaran memberangus hatinya.
Bersambung
By:
Novita SN