Monday, May 27, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 38


Beberapa pelayan di sebuah restoran yang terbilang mewah itu menyambut kedatangan sepasang kekasih yang baru saja memasuki pelatarannya. Dengan senyum ramah, pemuda yang tampak gagah dengan balutan kemeja berwarna hitam bergaris menyapa para pelayan, dan dibalas anggukan oleh mereka. Di samping pemuda itu, kekasihnya yang tampak cantik dengan gaun biru selutut terlihat menggamit mesra lengan kirinya. Rambutnya yang hitam legam tergerai indah dengan hiasan rambut keperakan di sisi kanan kepalanya.

“Pasangan yang manis.” Batin salah seorang pelayan yang sampai sekarang masih mempertahankan senyum ramahnya itu.

Hari ini adalah anniversary ke tujuh untuk sepasang kekasih yang baru saja memasuki restoran itu. Dua hari lalu, Rafael sengaja membooking salah satu meja di restoran itu untuk merayakan hari jadinya. Setiap tahun mereka berdua memang selalu merayakan hari jadi mereka. Tapi biasanya, mereka merayakannya di sebuah kafe tempat mereka memulai jalinan kasih mereka tujuh tahun yang lalu. Baru kali ini Rafael mengajak Vita merayakan anniversarynya di restoran mewah begini.

Saat memasuki restoran, Vita sudah bisa merasakan hawa romantis yang disuguhkan oleh tempat dinner mereka itu. Lampu kerlap kerlip yang temaram, lagu cinta yang tiba-tiba terlantun melalui speaker restoran sesaat setelah mereka masuk, juga lilin-lilin yang tampak menyala anggun di meja yang akan mereka tempati.

Di sepanjang jalan menuju meja mereka, Rafael terdengar berdendang mengikuti musik yang mengalun indah di seluruh ruangan itu. Dengan tetap berdendang, Rafael melempar senyum kepada gadis di sampingnya, sambil sesekali menciumi kepala gadis itu.  Dan di sampingnya Vita hanya terkekeh melihat tingkah kekasihnya.

“Silahkan duduk my sweety,,,” Rafael menyeretkan kursi untuk Vita, dan  mempersilahkannya duduk begitu mereka sampai di meja yang akan mereka tempati.

“Thanx my dear,,,,” Dengan senyum manis terkembang, gadis itupun duduk di kursinya.

“Tumben malam ini Rafa romantisnya nggak ketulungan kayak gini?” Pikir gadis itu. “Hmmm,,, anniversary kali ini jadi berasa lain.”

Lebih dari satu jam mereka habiskan untuk mengenang semua hal yang mereka jalani selama tujuh tahun ini, sambil menikmati dinner mereka. Terkadang mereka tertawa kalau mengingat hal lucu yang menyelingi kisah kasih mereka. Tapi sesekali, sang gadis juga merajuk saat kesal dengan kenangan menyebalkan yang pernah dilakukan pemuda di sebrang mejanya. Tapi dari kesemuanya itu, mereka merasakan keindahan dari setiap hal yang mewarnai jalinan kasih mereka. Dan itu membuat keduanya merasakan kenyamanan yang amat sangat. Mereka merasakan cinta yang kian hari kian tambah besar seiring dengan berjalannya waktu. Tak ada rasa bosan, tak ada rasa jenuh. Bahkan, keduanya merasa terlengkapi dengan kehadiran masing-masing.

Dan seusai menikmati dinnernya, Rafael tampak memberi isyarat kepada seorang pelayan untuk memutarkan sebuah lagu. Sebuah lagu milik Daniel Bedingfield terdengar mengalun.

If you’re not the one, then why does my soul feel glad today?
(Jika kau bukan seseorang itu, kenapa jiwaku merasa gembira hari ini?)
If you’re not the one, then why does my hand fit yours this way?
(Jika kau bukan seseorang itu, lalu kenapa tanganku begitu pas dengan tanganmu?

“Dansa yuk.” Ajak Rafael, seraya beranjak dari duduknya, dan melumahkan tangannya di hadapan Vita. Dan dengan tersenyum manis, gadis itu menerima uluran tangan kekasihnya.

I never know what the future brings
(Aku tak pernah tau apa yang terjadi di masa depan)
But I know you’re here with me now
(Tapi aku tahu kau di sini bersamaku saat ini)
We’ll make it through and I hope
(Kita akan melewati ini dan kuharap)
You are the one I share my life with
(Kaulah seseorang yang akan berbagi hidup denganku)

Sembari menikmati dansanya dengan Vita, Rafael terus ikut menyenandungkan lagu yang terputar itu di dekat telinga Vita, seolah ia ingin mengungkapkan segala rasa di hatinya lewat lagu itu. Awalnya Vita bersikap biasa saja, dan berdansa mengikuti Rafael yang mendekap erat tubuhnya. Tapi setelah beberapa saat menikmati dansanya, gadis itu baru menyadari kalau ada sesuatu yang sebenarnya ingin diungkapkan kekasihnya lewat lagu itu.

If you’re not for me, the why do Idream of you as my wife?
(Jika kamu bukan untukku, kenapa aku memimpikanmu menjadi istriku?)
I don’t khow why you’re so far away
(Aku tak tau kenapa kau bagitu jauh)
But I khow that this much is true
(Tapi aku tahu semua ini benar)
We’ll make it through and I hope
(Kita kan melewati ini dan kuharap)
You are the one I share my life with
(Kaulah seseorang yang akan berbagi hidup denganku)

Rafael melepas pelukannya, dan menghentikan dansanya. Dengan menggenggam kedua tangan gadis yang kini mematung dengan raut muka terkejut itu, Rafael terus menyenandungkan lagu romantisnya.


And I wish that you could be the one I die with
(Dan kuharap kau bisa jadi seseorang yang menemaniku hingga mati)
And I pray that you’re the one I build my home with
(Dan ku berdoa kaulah seseorang yang akan membangun rumah bersamaku)
I hope I love you all my life
(Kuharap aku mencintaimu selama hidupku)
I don’t wanna run away but I can’t take it, I don’t understand
(Aku tak ingin berlari tapi aku tak kuat menahannya, aku tak mengerti)

Dan tiba-tiba saja, Rafael berlutut di hadapan Vita yang kini hatinya tengan dag dig dug tak karuan. Gadis itu merasa akan ada hal besar yang terjadi di anniversarynya kali ini. Ia bisa menebak apa yang sebenarnya dimaui Rafael. Dan itu membuat jantungnya berdetak tak menentu.

If I’m not made for you, then why does my heart tell me that I am?
(Jika kamu tidak ditakdirkan untukku, lalu kenapa hatiku mengatakan bahwa akulah takdirmu?)
Is there anyway that I can stay in your arm?
(Adakah cara agar aku bisa terus kau dekap?)

“Mungkin dengan cara menikahimu aku akan mendapat jawab atas semua tanyaku. Mungkin dengan cara menikahimu aku akan bisa mewujudkan apa yang aku inginkan?” Rafael sedikit menghadirkan jeda, dan,,,”Menikahlah denganku, Vit.” Ungkap Rafael, di sela lagu yang kini masih menyenandung menjadi back ground lamarannya malam ini. Mendengar ungkapan Rafael itu, tubuh Vita seakan melemas. Dari awal dia datang ke sini, gadis itu sama sekali belum mencium kejutan besar ini. Baru beberapa detik yang lalu ia menyadarinya. Dan ia benar-benar sangat terkejut. Saking terkejutnya, sampai-sampai sekarang ia tak bisa berkata apapun. Ia hanya menatap Rafael dengan tampang kagetnya.

“Menikahlah denganku.” Sekali lagi, Rafael berkata. Dan itu membuat Vita tergagap.

“Raf???? Kamu,,,,ngelamar,,,,aku?” Susah payah, gadis itu mengeluarkan kalimat tanya itu. Dan terlihat di depannya, pemuda itu mengangguk.

“Raf,,,,,” Suara gadis itu seolah tercekat. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya bening yang terlihat menyembul yang mengiringi anggukan gadis itu, dan itu membuat Rafa cukup tau kalau lamarannya diterima.

Pemuda itu kemudian merogoh saku celananya, dan mengambil sebuah cincin keperakan untuk dipakaikannya kepada gadis itu. Hati Vita semakin tak menentu. Ini benar-benar surprised yang sama sekali tak ia duga. Ia benar-benar tak kepikiran kalau malam ini, Rafael akan melamarnya.

“Cincin ini sebagai tanda kalau aku ingin menjadikanmu satu-satunya wanita dalam hidupku. Satu-satunya wanita yang ingin aku ajak berbagi. Satu-satunya wanita yang ingin aku bahagiakan sepanjang hidupnya. Dan satu-satunya wanita yang ingin aku ajak berbahagia dalam hidupku, untuk selamanya.” Ujarnya, seraya memakaikan cincin itu di jari manis Vita. “Aku mencintaimu, Vit. Dulu , sekarang, nanti, dan sampai kapanpun.” Pemuda itu kemudian bangkit, dan mencium lembut kening kekasihnya. Kemudian, ia raih tubuh yang masih tampak shock itu, dan ia sematkan di dada bidangnya. Di ruangan yang agak remang itu, musik milik Daniel Bedingfield masih saja menggema.

I don’t wanna run away but I can’t take it, I don’t understand
If I’m not made for you, then why does my heart tell me that I am?
Is there anyway that I can stay in your arm?

Di ujung lagu itu, Rafael baru menyadari kalau ternyata kekasihnya telah terisak dalam pelukannya.

“Kok nangis?” Kaget, pemuda itu langsung melepas pelukannya, dan memperhatikan wajah gadis itu. Tapi sepertinya Vita masih ingin berpeluk. Karena tanpa menghiraukan pertanyaan kekasihnya, gadis itu kembali merengkuh tubuh tegap di hadapannya, dan semakin terisak di dalam dekapan pemuda itu.

“Kamu kenapa?”

“Kaget, Raf.”

“Kaget kok nangis?”

“Kagetnya udah tingkat  akut. Jadi nangis deh.” Jawabnya, masih dengan terisak. “Raf, kakiku lemas. Aku pengen duduk.”

Pemuda itupun menggiring gadisnya menuju meja mereka, dan mendudukkannya di kursi. Dengan tangan masih memegangi tangan Vita, Rafael berjongkok di depan gadis itu. Ia ciumi telapak tangan mulus yang kini telah terisi cincinnya itu berkali-kali, lalu ia mendangak memperhatikan wajah yang kini dibanjiri tangis itu. Dengan ujung ibu jarinya, Rafael mengusap lembut air di pipi Vita.

“Kok nggak bilang-bilang, sih?”

“Kan mau ngasih surprise. Masa’ bilang-bilang?”

“Pasti karena sindiran Om Subroto kemarin, ya?”

“Enggak juga. Sebenarnya aku udah nyiapin cincin itu dua bulan yang lalu. Aku memang ingin melamarmu malam ini.” Pemuda itu berdiri dari jongkoknya, dan mengelus kepala Vita dengan lembut, lalu mencium keningnya. Vita hanya menatap Rafael yang kini kembali ke tempat duduknya.

“Tapi Raf, sebenarnya,,,, aku,,,, belum ingin menikah dalam waktu dekat.”

“Aku tau kok. Urusanmu di Malaysia belum kelar kan?! Aku juga udah kepikir. Jadi nanti, kita resmiin pertunangan kita setelah kamu menyelesaikan urusanmu di Malaysia. Dan untuk pernikahannya, akan kita langsungkan di anniversary kita yang ke delapan. Gimana?”

“Setahun lagi donk?”

“Iya. Kenapa? Kelamaan ya?”

“Enggak enggak, Raf. Aku Cuma,,,, aku Cuma nggak nyangka kalau ternyata kamu udah mikir sejauh itu. Udah mikir sampai pernikahan. Aku nggak nyangka sama sekali, Raf.”

Pemuda itu tersenyum. “Kita udah cukup umur untuk memikirkan semua itu, Vit. Lagian kita udah lama pacaran. Kita udah cukup mengenal diri kita masing-masing. Jadi, tidak ada salahnya kan, kalau kita menuju ke jenjang yang lebih jauh?”

Sambil tetap mempertahankan senyumnya, tangan pemuda itu terangkat, dan mengelus lembut pipi kekasihnya. Dan di seberangnya, Vita pun tersenyum manis, seraya menganggukkan kepala.  

 ‘*     *     *     *     *

Saat Bisma sama Rangga memasuki kamarnya usai mengikuti kegiatan mereka, mereka menemukan Morgan yang tampak senyam senyum di atas ranjangnya. Hari ini Morgan memang free. Tidak ada kegiatan yang membebaninya seharian ini. Tapi hanya seharian ini. Besok dia harus mengikuti bakti sosial lagi bersama rekan-rekannya.

Melihat Morgan yang memelototi HPnya sambil senyam senyum tanpa memperhatikan kedatangan kedua sahabatnya, insting usil kedua pemuda itupun tiba-tiba keluar. Dengan jailnya, Rangga merebut HP yang kini di pegang Morgan, dan dibawanya lari menjauh. Dengan sigap, Bisma menangkap tubuh Morgan yang hendak mengejar Rangga.

“Apaan sih lo, Ngga. Main rebut aja. Sini balikin HP gue.”

“Enggak. Gue pengen lihat. Lo senyum-senyum kenapa, sih?” Dengan muka penasaran, Rangga menancapkan pandangannya pada layar mungil di tangannya. “Cieeeehhh,,,, Afra.”

“Bacain, Ngga. Bacain. Gue juga pengen tau.”

“Apaan sih? Lepas, Bii.” Morgan mencoba meronta, tapi Bisma tetap ngotot menahannya. “Sini balikin HP gue, Ngga.” Kali ini, pemuda itu berusaha menggapai Rangga, tapi tangan Bisma kembali mencegahnya.

“Nih, gue bacain ya, Bii. Ehm,, ehm,,, Yank, kangen.” Rangga membaca pesan singkat itu dengan nada Alay.

“Cieeee,,,,, yang lagi kangen.” Bisma tergelak kemudian.

“Aku juga kangen banget nih, Yank. Beberapa hari nggak ketemu aja rasanya kayak bertahun-tahun.” Rangga.

“Jiaaahhhh,,,,, keluar deh lebaynya.”

“Apaan, sih. Sini balikin, Ngga.”

“Enggak. Gue masih pengen baca.”

“Lanjot, Ngga. Mumpung gue masih kuat nahannya nih.”

“Ok, Bii. Gue lanjut nih. ‘Kapan ya, Yank, kita bisa sama-sama terus biar nggak nahan kangen kayak gini?”

“Rangga, udah stop!!!!”

“Ntar kali, Yank, kalau kita udah nikah, trus kita udah hidup bareng,,,,

“Rangga,,,, gue bilang stoooooppppppp!!!!!” Morgan kembali meronta-ronta, tapi masih tetap ditahan oleh Bisma. Kedua temannya malah tergelak-gelak melihat Morgan yang kini mukanya telah memerah menahan kesal itu.

“Lanjut terus, Ngga.”

“Ntar kalau kita udah tinggal serumah kan kita bisa tiap hari ketemu, Yank.”

“Ranggaaaaaa,,,,,,,,”

“Yank, kok tumben nggak telpon sih??? Sory sayang, pulsa lagi miris nih,,,,,” Belum sampai Rangga menyelesaikan kalimatnya, Morgan telah berhasil lepas dari Bisma, dan langsung merebut HPnya di tangan Rangga. Tapi sepertinya, kedua pemuda itu telah merasa puas bisa mengerjai sahabatnya. Buktinya sampai sekarang, mereka masih saja tergelak-gelak.

“Halahhhhh,,,,,, miskin lo, Gan. Nggak modal.” Ujar Bisma, disela tawanya.

“Gue bukannya nggak modal. Tapi gue mau isi pulsa nggak bisa. Jaringan lagi trouble. Isi pulsa nggak masuk-masuk. Terpaksa deh cuma bisa tulis-tulisan kayak gini. Dan celakanya, ternyata temen-temen gue pada rese. Nyebelin.”

Kembali, kedua pemuda itu tergelak-gelak mendengar Morgan bersungut-sungut seperti itu. *Dasar iseng (-_-‘)

Kedua pemuda itupun ngeloyor ke kamar mandi untuk membersihkan badan dengan masih meneruskan tawa mereka, membiarkan Morgan ngedumel-dumel nggak jelas di ranjangnya. Agaknya, pemuda itu gemas juga sama kedua temannya.

“Awas, ntar gue bales lo berdua.” Ujar Morgan, di sela dumelannya.

‘*     *     *     *     *

Semilir angin malam menerpa wajah murung gadis yang tengah tercenung di balkon kamarnya itu. Sejak kepulangannya bersama Nanda kemarin, Shita memang merasa sangat gusar. Entah kenapa dia tiba-tiba kepikir kenapa Rangga tak pernah memperkenalkan dia dengan orang tuanya.

“Apa Rangga malu ya, pacaran sama gue?” Gumamnya. “Tapi kenapa dia malu? Apa gue kurang cantik? Apa gue,,, ah,, mungkin cuma perasaan gue aja. Mungkin Rangga cuma belum kepikiran mau bawa gue ke orang tuanya. Tapi,,, udah enam bulan kita pacaran. Masa’ belum kepikir ngenalin gue ke orang tuanya, sih?”

Gadis itu menghela nafas beratnya, mencoba menenangkan hatinya yang memang tengah gundah. Terlintas lagi dalam benaknya, saat mamanya Bisma sangat memperhatikan Nanda waktu itu.

“Pengen deh, kayak gitu. Apa gue tanya aja sama Rangga ya??”

Setelah menimbang-nimbang sejenak, gadis itu akhirnya memutuskan untuk meraih HP di saku bajunya, dan mencari nomor kekasihnya. Agak ragu, ia memencet tombol hijau dan menempelkan benda mungil itu di telinganya. Tapi sepertinya, hati Shita masih saja ragu untuk melaksanakan niatnya. Begitu panggilan itu connected, Shita malah memencet tombol merah.

“Enggak ah. Masa’ gue tanya, sih? Tapi gue beneran penasaran. Hmmmm,,,, apa yang musti gue lakuin??”

Tubuh gadis itu kini merosot, hingga ia terduduk di bawah pembatas balkon kamarnya. Ia sandarkan tubuhnya di pembatas balkon, dengan mata menerawang jauh entah kemana.

“Jangan-jangan Rangga nggak serius sama gue. Kalau emang dia nggak serius, gimana? Gue udah beneran cinta sama dia. Nggak tau gue kalau musti kehilangan dia,,,”

Belum sampai ia menuntaskan ceracauan batinnya, tiba-tiba ia dibuyarkan oleh bunyi HPnya yang mencericit. Rangga. Sejenak, ia memandangi layar HP mungilnya yang kini tengah menampilkan foto Rangga yang tersenyum begitu manis. Senyum yang tak kalah manis terkembang di bibir Shita melihat ketampanan wajah kekasihnya, meski hanya dalam foto itu.

“Hallo,,,,” Sapanya, setelah ia memencet tombl hijau di HPnya.

“Allow,,, chuayuaaanngggg,,,,,”

“Ihhh,,,, lebay deh, Ngga.”

“Hehehehe biarin. Biar lebay yang penting kan disayang terus sama kamu. Hahaha”

“Apaan coba??? Siapa juga yang sayang?”

“Beneran nih, nggak sayang?? Serius? Nggak nyesel, kalau nanti Mr. Specta ini diambil orang?” Mendengar perkataan Rangga itu, Shita tertegun. Baru saja dia berpikir kalau dia tak akan pernah bisa kalau harus kehilangan Rangga, dan sekarang, Rangga malah bilang seperti ini. “Hey,,, kok diem sih?” Suara Rangga menyentakkan Shita dari lamunannya. “ O iya. Tadi kenapa kok cuma miss call?”

“Eng,,,,,” Shita jadi bingung harus jawab apa. Haruskah dia mengakui saja kalau sekarang dia tengah diserang galau memikirkan hal yang membuatnya gundah tadi? Haruskah dia sekarang tanya aja sama Rangga tentang kegundahan hatinya? Tapi sepertinya, Shita masih terlalu ragu untuk menanyakannya. “Enggak kenapa-kenapa kok. Cuma,,,kangen aja.”

“Ecieee cieee,,,, ada yang kangen ya ternyata. Katanya tadi nggak sayang? Sekarang bilang kangen? Gimana sih ayangku ini? Nggak konsisten deh. Jadi sebenarnya kangen apa nggak sayang nih?”

“Kangen, Ranggaaaa,,,, kangen kangen kangen kangeeeennnnn.”

Di seberang sana, Rangga malah tertawa mendengar Shita bilang kangen seperti itu. “Kok kayaknya cewek-cewek hari ini lagi diserang virus malarindu ya? Barusan Afra yang bilang kangen sama Morgan. Sekarang kamu. Kita emang cowok cowok kece sih, ya. Jadi ya,,, dikangenin gitu deh.”

“Ihhh,,, apa banget deh, Ngga. PD tingkat dewa.”

“PD tapi emang kebukti kan?!” Lagi, Rangga tergelak-gelak, tanpa curiga kalau sebenarnya, kekasihnya itu tengah menahan risau saat ini. Tapi meskipun begitu, Shita tetap ikut tertawa juga dengan Rangga, mencoba menyembunyikan resah di dalam hatinya. Ia telah memutuskan untuk tidak memberitahukan kerisauannya itu pada Rangga.

“Kalau memang dia serius, pada saatnya nanti juga pasti dia ngenalin gue ke orang tuanya kok. Mungkin sekarang belum waktunya aja.” Batin Shita, seraya meneruskan obrolannya dengan kekasihnya itu.

‘*     *     *     *     *

Melihat kedua temannya sibuk sendiri dengan urusan mereka, Bisma memilih untuk keluar kamar. Sedari kemarin, Bisma mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Reza, orang yang telah membuat adiknya murung sampai sekarang. Kebetulan saat ini Reza juga tidak ada kegiatan. Dia hanya bersantai di kamarnya, mengobrol bersama Very sambil menikmati kopi.

“Za, jalan-jalan bentar yuk.” Reza sedikit bingung melihat Bisma tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan seperti itu.

“Mampus gue. Pasti mau diomelin nih, gue.” Batinnya.

“Mau jalan-jalan kemana, Bii. Malam-malam juga.”

“Ya,,,, muter-muter aja di asrama. Ayo buruan.”Paksa Bisma, sambil menarik tangan Reza.

“Kok gue nggak diajak, sih?” Very menyeloroh saat dilihatnya, Bisma hanya menarik tangan Reza tanpa mempedulikannya.

“Ah,,, lo tunggu di kamar saja. Tuh sama Morgan. Dia juga lagi bengong juga tu di kamar.” Ujar Bisma, seraya mendorong muka Very masuk ke dalam kamarnya lagi.

Kedua pemuda itu berjalan beriringan, memutari koridor-koridor asrama. Untuk beberapa saat mereka berdua saling diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka, seolah mereka disibukkan dengan pikiran masing-masing. Atau mungkin Bisma sedang merangkai kata untuk bicara dengan Reza. Sedangkan Reza, pemuda itu tengah sibuk menata hati, takut ia bermasalah dengan teman yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri itu. Begitu mereka sampai di tangga turun, Bisma menghentikan langkahnya, dan duduk di tangga itu. Reza pun mengikutinya.

“Za, sebenarnya gue nggak pengen ada masalah di antara kita. Tapi gue cuma nggak mau kalau lo nyakitin hati adek gue.” Bisma memulai pembicaraan. “Gue nggak pengen ngomong buruk tentang hobby lo yang doyan ngerentengin pacar itu. gue nggak peduli. Itu hak lo. Itu urusan lo. Nggak ada hubungannya sama gue. Tapi kalau yang lo deketin selanjutnya itu adek gue, gue berhak ngelarang lo, sebagai kakaknya adek gue.” Reza masih jadi pendengar setia. Ia tak membela, tak mengelak, ataupun mencari alasan. Ia masih tetap diam.

“Jujur, gue nggak suka kalau lo deketin Diana. Gue nggak suka kalau lo bikin Diana jatuh cinta sama lo. Gue dulu nitipin dia ke lo biar dia lo jaga. Bukan lo bikin jatuh cinta sama lo kayak gini, Za. Please, jangan beri dia harapan apapun tentang lo.” Panjang lebar Bisma berbicara. Reza masih tetap diam. Lama jeda itu berselang, hingga kemudian Reza bicara juga.

“Sorry, Bii. Sebenarnya gue juga tau kalau lo pasti nggak bakalan suka kalau gue deket sama Diana. Awalnya gue juga nggak pengen ngedeketin dia. Tapi nggak tau kenapa, gue selalu aja pengen ketemu sama adek lo. Gue juga nggak pengen ngasih perhatian lebih ke dia. Tapi nggak tau kenapa gue nggak bisa nahan keinginan hati gue untuk ngelakuin apapun buat dia. Gue nggak tau kenapa, Bii. Beneran Bii, gue nggak ada niat sama sekali buat mainin Diana. Karena gue mandang lo. Karena Diana adek lo. Sahabat gue. Tapi gue juga nggak ngerti kenapa perasaan gue kayak gini.”

“Ah,,, klise, Za. Selalu aja lo bilang kayak gitu kalau mau ngedeketin cewek.”

“Ini lain, Bii. Gue,,,”

“Apanya yang lain??”

“Kayaknya,,, gue,,,, ah,, udahlah. Percuma gue ngejelasin ke elo. Lo tetep nggak bakal percaya sama gue.” Lagi-lagi ada jeda.

Reza memang telah dibuat bingung dengan perasannya sendiri. Selama hampir tiga minggu ia mengenal Diana, entah kenapa ia mulai punya perasaan lain pada adik kawannya itu. Ia ingin sering-sering ngobrol dengan dia, membicarakan apa saja yang menurutnya menarik, ingin selalu tau kabarnya, dan ingin selalu dekat apabila ada kesempatan. Ia merasakan ada sesuatu yang lain kalau berdekatan dengan gadis itu. Tidak pernah ia merasakan hal semacam ini kalau dia dekat dengan pacar-pacarnya.

“Adek lo itu,,, beda, Bii. Sama kayak lo.” Ujar Reza, lirih.

Ingatan Reza kemudian melayang pada tindakan Diana waktu itu. Tidak pernah ada gadis yang mengutarakan kekecewaannya dengan sehalus itu. biasanya kalau ada yang melihat dia berduaan dengan gadis lain seperti itu, orang yang pernah didekatinya akan mencak-mencak nggak karuan. Atau dia akan bersedia diduakan, tapi suatu saat mendesak Reza untuk menjadikannya nomor satu. Semua model orang yang dipacarinya selalu saja begitu. Tidak ada yang seperti Diana. Dan tidak ada juga yang bisa membuat dia betah berlama-lama ngobrol seperti Diana.

“Maksud lo apa, Za?”

“Ya,,, pokoknya beda. Jauh berbeda dengan cewek-cewek yang pernah gue kenal sebelumnya. Gue ngerasa,,, hati gue nyaman banget kalau lagi sama Diana.”

“Maksud lo???? Jangan bilang kalau lo,,, ah,,, Za. Gue tetap nggak bakal nyerahin Diana gitu aja ke lo, Za.”

“Iya, gue tau. Pasti lo nggak bakal ngijinin gue deket sama Diana. Tapi seenggaknya, tolong ijinin gue ngomong sama dia, Bii. Sekali ini,,, aja. Kalau nanti nanti udah nggak boleh ya nggak pa-pa. Tapi sekarang, gue pengen ngomong sama dia. Gue cuma pengen minta maaf.”

“Ya silahkan. Kalau pengen ngomong doank mah gue nggak ngelarang. Tapi cukup ngomong. Jangan bikin dia jatuh cinta.”

“Beneran, Bii. Gue boleh ngomong sama dia?” mata Reza tampak berbinar, dan Bismapun membalasnya dengan anggukan. “Tapi masalahnya, dia sekarang nggak mau ngomong sama gue, Bii. Sejak siang itu, dia nggak pernah mau angkat telpon gue. BBM gue juga nggak pernah dibales sama dia. Jadi,,,,” Reza tampak ragu melanjutkan kata-katanya.

“Jadi kenapa?”

“Jadi,,, tolong telponin dia pakai HP lo donk, Bii. Ntar gue ngomong sama dia pakai HP lo aja.” Reza nyengir.

“Baguslah kalau Diana sekarang udah sadar kalau cintanya salah sasaran.” Ujar Bisma, seraya merogoh HP di kantong celananya.” Nih,,, gue telponin dia. Tapi ingat ya, Za, jangan sekali-sekali bikin dia jatuh cinta sama lo. Dan perasaan lo itu,,, simpan di hati lo aja deh. Jangan diumbar ke dia.” Bisma mulai menelpon adiknya.

“Emang kenapa, Bii?”

“Ya karena hobby lo itu. Hobby lo itu,,, kalau nggak mau dibilang jelek ya,,, agak-agak nyimpang gitu lah. Jadi gue nggak mau kalau Diana bernasib sama kayak cewek-cewek lain yang deket sama lo.” Jelas Bisma, sembari menempelkan HPnya di telinga. “SSssssttt,,, udah diangkat.” Bisiknya. “Hallo sayangg,,,,, lagi ngapain?”

“Halloooo??? Ini,,,, Kak Bisma, kan?!”

“Iyalah. Siapa lagi?”

“Iihhh,,, Kak Bisma. Lagian pakai sayang-sayangan. Norak tau.”

“Kok norak, sih? Wajar kali. Kakak kan emang sayang sama kamu. O iya, kamu lagi ngapain? Berisik amat kayaknya?”

“Lagi latihan buat acara penyambutan mahasiswa baru, Kak. Nih, Diana lagi sama temen-temen di aula kampus.”

“O,, kirain masih nangis aja.”

“Enggaklah, Kak. Masa’ mau nangis terus. Kakak ada apa telpon? Tumben?”

“Nih ada yang mau ngomong sama kamu nih.”

“Siapa Kak? Kak Nanda, ya?”

“Bukan!! Kakak ipar kamu itu belum ke sini. Dia baliknya ntar kalau udah mau masuk kuliah.”

“Trus siapa donk?”

“Ada deh,,, nih ngomong sendiri nih.” Bisma menyerahkan HPnya pada Reza. Dan dengan hati berdebar, Reza menerima benda mungil itu dari tangan Bisma. Agaknya, pemuda itu sedikit ragu untuk berbicara. Ia takut kalau HPnya akan langsung dimatikan kalau dia mengeluarkan suara.

“Halo? Haloooo?” Diana mencoba menyapa dari seberang. Suaranya terdengar renyah, membuat Reza ingin terus mendengarnya. “Halo??? Kok nggak mau ngomong, sih?”

“Ayo buruan ngomong. Pulsa jalan terus tuh.” Bisik Bisma kepada orang yang mendadak jadi pendiam itu.

“Halo,,,, “ Akhirnya Reza bicara.

“Siapa?”

“Ini,,, aku, Dii.”

“Kak,,, Re,,, za???” Suara di sebrang agak terbata.

“Iya, Dii. Tolong jangan ditutup telponnya. Kak Reza mau ngomong.”

“Iya. Ada apa, Kak?”

“Kak Reza,,,, Cuma mau minta maaf, Dii. Maafin Kak Reza udah ngecewain kamu.” Tak ada jawaban dari sebrang. Jantung Reza jadi berdetak tak menentu dengan kediaman Diana itu. Ia benar-benar merasa bersalah telah membuat gadis itu kecewa. “Dii?”

“Iya, Kak. Diana maafin kok.”

“Jadi, apa Diana masih mau terima telpon Kakak?”

“Mmmm,,,, lihat aja nanti, Kak.”

“Kok lihat nanti? Berarti Diana belum maafin Kak Reza donk.”

“Mmmm,,,, mungkin Diana masih sedikit kecewa, Kak. Diana masih malas ngomong sama Kakak. Mendingan, Kakak jangan BBM atau telpon Diana dulu deh. Dan,,,, saran Diana, kalau bisa jangan mempermainkan perasaan orang seperti itu, Kak. Sakit tau. Ntar ada yang bales lho.” UJar Diana, membuat Reza sedikit tertohok. “Udah ya Kak, Diana udah dipanggil sama teman-teman. Diana mau latihan dulu.” Klek. Langsung, telpon dimatikan begitu saja oleh Diana, tanpa menunggu tanggapan Reza selanjutnya. Reza tertunduk lesu mendengar perkataan Diana barusan. Ia merasa akan kehilangan orang yang bisa menyenangkan hatinya itu untuk selamanya. Baru kali ini ada orang yang bisa membuat hatinya terpukau. Tapi, semua harus berakhir begitu singkat.

Di sampingnya, Bisma hanya menatap lekat kawan di sampingnya. Sepertinya, Bisma menangkap guratan penyesalan, dan kelemahan pada wajah kawannya itu.

“Apa Reza beneran jatuh cinta sama Diana, ya?” Pikirnya. Sepertinya meskipun diputus sama pacarnya sekalipun, Reza selalu menanggapinya dengan santai. Bahkan dia selalu bilang mati satu tumbuh seribu. Belum pernah ia melihat Reza begitu lesu seperti itu hanya karena Diana yang kecewa padanya. Tapi meskipun Reza benar-benar telah jatuh cinta sama adiknya, Bisma tetap tidak akan mengijinkan adiknya jadi pacar Reza. Takut cinta itu hanya sesaat. Biasanya playboy kan begitu.

Reza menghela napas kemudian. Ia memang belum pernah selemah ini menghadapi seorang gadis, karena memang dia belum pernah merasakan hatinya bergetar seperti itu. Sudah berpuluh-puluh kali dia pacaran. Tapi tidak ada satu orangpun yang bisa menggetarkan hatinya seperti itu. Tidak pernah sekalipun ia mencintai pacar-pacarnya. Tapi kali ini, Diana telah bisa menggetarkan hatinya. Telah bisa membuatnya tertunduk lesu, memikirkan gadis itu.

“Sorry, Za. Bukannya gue ngelarang lo buat jatuh cinta. Tapi gue cuma nggak pengen lo jatuh hati sama adek gue. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama Diana. Gue sayang banget sama dia, Za. Rasa sayang gue ke dia ngelebihin apapun yang ada di dunia ini. gue bakal terus ngejagain dia biar dia nggak disakitin sama siapapun. Gue akan selalu ngelindungin dia dengan segenap nyawa gue. Bahkan kalau gue harus ngorbanin hidup gue, gue rela. Karena gue sangat menyayangi dia.”

“Gue tau, Bii. Diana udah cerita banyak tentang lo. Dia sangat kagum sama lo. Bahkan waktu gue tanya siapa orang yang paling pantas dia sebut pahlawan, dia nyebutin nama lo. Maafin gue ya, Bii, gue mungkin udah bikin salah sama lo.”

“Iya gue maafin, tenang aja. Yang penting jangan ngulangin kesalahan yang sama aja.” Ujar Bisma, seraya beranjak dari tempat duduknya, lalu menyambar HP yang berada di tangan Reza. “Udah ah. Balik ke kamar yuk. Udah malem. Banyak nyamuk.” Lanjutnya kemudian, lalu meninggalkan tempat itu. Reza masih saja terpaku di tempatnya. Menundukkan kepalanya begitu dalam, dengan raut muka lesu. “Za?? Ayo.”

“Gue masih pengen di sini, Bii. Lo duluan aja deh.” Balasnya, masih tetap tertunduk, merasakan hatinya yang tengah kacau balau gara-gara adik perempuan Bisma. Bisma hanya menatap kawannya itu, tanpa mau membuka suara lagi. Dan setelah menghela nafas panjang, pemuda itupun meninggalkan Reza di sana sendirian, merenungi setiap kesalahan yang pernah ia perbuat selama ini.

‘*     *     *     *     *


 Bersambung
By: Novita SN