Tuesday, August 20, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 66


Begitu mendapat telpon dari Nanda yang menyuruhnya untuk segera datang ke asrama putri karena Afra pingsan, Morgan segera beranjak dari duduknya. Pemuda itupun buru-buru keluar dari kamarnya dan menuju ke asrama putri. Dan tanpa perlu dikomando lagi, kedua sahabatnya yang sedari tadi bersamanya juga langsung mengekor di belakang Morgan.

Saat ketiga pasang kaki itu menginjak kamar yang mereka tuju, tampak Afra telah tersadar dari pingsannya. Gadis itu terlihat pias dengan tangis yang belum juga berhenti. Di sampingnya, Nanda juga Shita berusaha menenangkan. Kedua gadis itu sepertinya juga masih saja menangis. Terlihat dari sembab yang menghias di kedua kelopak mata mereka. Dan melihat keadaan itu, hati ketiga pemuda yang tengah mematung di ambang pintu itu sama-sama berdesir. Terenyuh dengan apa yang mereka lihat.

Melihat Morgan telah sampai di kamar mereka, Nanda dan Shita berdiri dari duduknya, dan sama-sama menatap Morgan dan Afra bergantian. Dan begitu mereka yakin bahwa Afra dan Morgan memang butuh bicara, merekapun segera melangkahkan kaki keluar kamar bersama Bisma dan Rangga, membiarkan Morgan berjalan mendekat ke ranjang Afra.

Morgan mendudukkan tubuhnya tepat di depan Afra, dan memandangi kekasihnya yang masih saja menangis itu. Awalnya, ia tak melakukan apapun. Ia hanya memandang, tanpa berucap. Baru setelah Afra kembali sesenggukan, tangan Morgan terangkat dan mengusap lembut pipi sembab Afra.

“Maafin aku.” Lirihnya, seraya terus mengusap-usap lembut pipi Afra. Dan tanpa ia sadari, sebulir bening tiba-tiba jatuh ke pipinya. Afra yang melihat Morgan menangis itu akhirnya beringsut mendekat ke arah Morgan, dan mendekapnya erat. Ia tenggelamkan kepalanya di dada Morgan, dan kambali menangis di sana.

“Maafin aku.” Sekali lagi, Morgan berucap lirih. Tapi di dalam dekapannya, Afra malah menggeleng. Entah apa arti gelengan itu. Mungkin dia ingin bilang kamu tidak perlu meminta maaf. Atau mungkin ini bukan salahmu. Atau apalah, Morgan sendiri tak bisa menerka. Ia sendiri tak peduli dengan apa yang ingin dikatakan Afra. Yang ia inginkan sekarang hanyalah tetap memeluk kekasihnya, memberi ketenangan untuk separuh jiwanya itu.

Dan dengan dekapan Morgan itu, sedikit demi sedikit, tangis Afra kian mereda. Serasa ada ketentraman yang amat sangat yang menyeruak ke dalam hatinya kala Morgan mendekapnya seperti itu. Tak bisa ia pungkiri kalau sebenarnya, selama ini ia merasa sangat rindu. Dan dengan dekapan Morgan itu, kerinduannya seakan terobati.

‘* * * * *

Sesungging senyum merekah di bibir Rafa saat dilihatnya, orang yang sedang ia tunggu muncul dari balik pintu kedatangan penumpang. Sudah sejak setengah jam yang lalu Rafa terduduk di ruang tunggu bandara untuk menjemput kekasihnya. Setengah jam yang serasa bagai setengah abad bagi Rafa. Entah kenapa kalau sedang menunggu seperti itu, waktu seolah berjalan seperti siput. Satu menit saja berasa satu tahun. Dan Rafa benar-benar merasakan waktu yang berjalan lambat itu selama beberapa bulan ini.

“Menunggu itu emang nyebelin!!!” Gerutunya, suatu kali.

Dan kini, dadanya merasa sangat lega karena penantiannya telah berakhir. Itu menurutnya. Tapi keadaan belum tentu berkata seperti itu. Tapi, berhubung Rafa tidak tau keadaan yang sebenarnya, kini hatinya merasa sangat lega.

Melihat senyum Rafa yang terlihat sumringah, Vita yang baru menjejakkan kaki di Bandara Soeta itupun ikut menyunggingkan senyum. Di belakangnya, Om Arif dan tante Nella juga tampak tersenyum kepada Rafa. Beberapa hari yang lalu, kedua orang tua Vita itu memang punya sedikit urusan di Malaysia. Sangat kebetulan urusan mereka selesai menjelang kepulangan Vita. Jadi, mereka bisa pulang bareng bersama putri mereka sekarang ini.

Dengan hati yang begitu senang, gadis itu telah bersiap menyambut Rafa. Tapi, wajah gadis itu berubah manyun saat tiba-tiba, Rafa melewatinya begitu saja dan berjalan lurus menuju ke arah kedua orang tuanya untuk menyalami mereka. Mata Vita terbelalak kaget dan keningnya berkerut saat Rafa sepertinya sama sekali tidak mempedulikannya. Bibirnyapun kini telah monyong ke depan beberapa mili. Dan karena kesal, gadis itu akhirnya menghentakkan kakinya dengan kesal, dan meneruskan perjalanannya menuju parkiran bandara.

Kedua tengah baya yang tau betul kalau Rafa tengah mengerjai putrinya itu hanya menahan tawa. Rafapun juga menahan tawa mendengar hentakan kaki kekasihnya tadi.

“Ngambek tuh.” Ujar tante Nella usai menerima jabatan tangan Rafa, dan Rafa hanya terkekeh geli. “Udah, susul sana. Kamu tuh hobby amat sih, godain dia.”

“Abisnya, anaknya tante tuh tambah manis kalau lagi manyun kayak gitu.” Rafa tergelak kemudian, seraya melempar pandang pada Vita yang kini nyelonong saja seperti mobil angkot yang remnya blong. “Tante sama Om mau ikut mobilnya Rafa, atau gimana?”

“Enggak usah ah. Tante sama Om dijemput sama Pak Bakri.” Jelas Om Arif. “Lagian kalau kita numpang di mobil kamu, ntar ganggu lagi.” Lanjutnya, masih menahan senyumnya. Dan di depannya, Rafapun tampak tersenyum malu.

“Ya udah deh, kalau gitu Rafa susul Vita ya, Om, Tante.”

“Iya. Kamu hati-hati bawa mobilnya, ya.”

“Iya, Tante.”

Rafapun berlari-lari kecil menyusul Vita yang kini ngedumel-dumel nggak jelas seraya menyeret koper kecilnya. Berkali-kali gadis itu mendengus kesal karena ulah kekasihnya itu. Mukanyapun kini masih tampak merengut. Dan melihat itu, Rafa benar-benar merasa lucu, bercampur geli.

“Ehm,,, sendirian aja neng?” Ujar Rafa, seraya menjajari langkah Vita. Gadis itu hanya melirik sebentar, lalu kembali focus pada jalanan. Sekali lagi, dia mendengus kesal tanpa menjawab.

“Emang nggak ada yang jemput ya?” Rafa bertanya lagi.

“Enggak!!!” Singkat Vita.

“Kasihan banget, sih? Emang cowoknya ke mana? Kok nggak ngejemput?”

“Tau.” Mendengar jawaban-jawaban singkat Vita, Rafa kembali menahan tawanya.

“Kalau gitu, aku anter pulang aja yuk. Mau nggak?”

“Nggak mau.”

“Nggak mau? Beneran nggak mau?” Tak ada jawaban. Gadis itu malah tambah memajukan bibirnya.

“Ya udah kalau nggak mau.” Dengan seringaian nakalnya, Rafa berpura hendak meninggalkan Vita, membuat gadis itu lagi-lagi mendengus dan menghentikan jalannya.

“Rafaaaaa,,,,,,,” Teriaknya, kesal.

Tapi bukannya merasa bersalah, Rafa malah tergelak mendengar teriakan Vita. Iapun kembali mendekati gadisnya, dan meraih bahu kekasihnya itu.

“Gemesss,,, deh kalau lagi manyun gini.” Ujarnya, seraya menempelkan keningnya di kening Vita. Dan beberapa detik kemudian, pemuda itu meraih gadisnya ke dalam pelukannya. Beberapa saat mereka berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Seolah-olah, kedua insan yang tengah dilanda rindu itu sama-sama ingin menikmati desiran-desiran halus yang mengisi hati mereka. Hingga beberapa saat kemudian, Vita kembali ngedumel-dumel nggak jelas di dalam pelukan Rafa, membuat pemuda itu lagi-lagi tergelak.

‘* * * * *

"Aku harus ke rumahmu sekarang buat ngejelasin semuanya sama Mama Papa kamu atau gimana, Fra?"

"Nggak perlu sekarang, Gan. Tunggu hari minggu aja. Kita nggak perlu ninggalin kuliah."

"Ya udah. Malam minggu nanti, aku akan langsung ke rumahmu dan,,,"

"Jangan."

"Kenapa?"

"Mendingan kamu jelasin aja ke mama sama papa kamu dulu. Biar aku sendiri yang jelasin sama mama papa aku." Afra sedikit memberikan jeda, lalu menghela nafas. "Mama sama papa aku belum tentu terima dengan penjelasan kamu. Aku takut papa bakalan marah besar sama kamu. Jadi,,," Afra mendongak, dan menatap wajah Morgan yang kini masih mendekapnya, sambil mendengarkan perkataannya dengan seksama. "Biar aku aja dulu yang bicara. Kalau nanti pikiran papa udah mulai tenang, baru kamu datang."

Morgan tak menjawab. Dari guratan di wajah pucat Afra, pemuda itu seperti mencium kegusaran dan kegelisahan. Dan itu membuat rasa bersalah di dalam hatinya semakin meletup.

"Mama sama Papa kamu pasti kecewa banget sama aku, Fra. Aku udah janji bakalan jagain kamu dari apapun. Tapi nyatanya aku nggak bisa jagain kamu. Bahkan dari diriku sendiri." Ucap Morgan dengan penuh penyesalan, lalu mempererat pelukannya. "Maafin aku, Fra. Maafin aku."

"Aku udah maafin kamu, Gan. Bahkan sebelum kamu minta maaf."

Mendengar ucapan Afra itu, wajah Morgan yang sedari tadi muram sekarang agak mencerah. Beban berat yang selama ini menggantungi hatinya sedikit meringan. "Kamu beneran maafin aku, Fra???" Gadis itu mengangguk, membuat Morgan semakin lega. "Terima kasih, Fra. Terima kasih." Ujarnya senang, lalu mencium pucuk kepala Afra. "Aku pikir karena kejadian itu, kamu bakalan benci sama aku, Fra. Aku pikir gara-gara kejadian itu,,, aku,,, bakalan kehilangan kamu."
"Enggak, Gan. Aku akan tetap sama kamu. Lagian, kesalahan ini bukan sepenuhnya salah kamu, kan?! Aku yakin sebenarnya kamu nggak bermaksud melakukannya. Tapi waktu itu,,,,," tiba-tiba bayangan kejadian malam itu mengelebat di benak Afra, membuat perasaan malu tiba-tiba menyerangnya. "Semua terjadi begitu saja. Dan mau disesalipun sudah tidak ada gunanya. Semua sudah terjadi." Ucapnya lagi, seiring dengan air matanya yang jatuh sebutir lagi.

Morgan mengusap pelan bulir bening yang kembali membasahi pipi Afra. Dalam benak pemuda itu, berbagai pertanyaan timbul. Kenapa Afra sepertinya tidak terlalu menyalahkannya? Kenapa Afra juga sepertinya menyesal? Seolah-olah dalam kejadian itu, Afra juga merasa bersalah. Lalu apa yang membuat Afra menjauhinya selama ini??? Apa mungkin Afra sadar kalau malam itu dia yang memulai semuanya??? Dan kenapa tiba-tiba Afra jadi kalap seperti itu malam itu???

Sementara batin Morgan berkecamuk, tiba-tiba Afra merasa mual di perutnya. Gadis itu buru-buru melepas pelukannya, dan membungkam mulutnya sendiri.

"Huek,,," Hampir saja Afra muntah, tapi untung masih bisa tertahan.

"Kamu kenapa, Fra??? Kamu nggak pa-pa?"

"Kamu belum mandi ya, Gan?" Tanyanya agak terdengar kurang jelas karena mulutnya masih dalam bekapan tangannya sendiri.

"Belum. Emang kenapa? Kok tau sih?"

"Bau, Morgan,,," Kembali, gadis itu hampir muntah.

"Bau???" Pemuda itu mengernyit bingung, lalu mencium badannya sendiri. "Perasaan biasa aja deh. Biasanya kamu juga suka sama bau parfum maskulinku. Kamu bilang parfum maskulin yang bercampur sama keringatku baunya tambah enak."

"Tapi sekarang bau, Morgan. Aku nggak tahan."

Pemuda itu semakin mengernyitkan dahinya. Memang tidak biasanya Afra bersikap seperti itu. Biasanya, gadis itu suka berlama-lama dalam pelukannya, karena dia sangat menyukai bau badan Morgan. Tapi kenapa sekarang dia seperti ini? Pikir Morgan.

Tapi begitu pandangannya menangkap salah satu tangan Afra yang mengusap-usap perutnya, seketika pemuda itu tersadar akan sesuatu. Dan saat menyadari hal itu, entah kenapa hatinya mendesir hebat. Sudut bibirnya tertarik, hingga menorehkan seulas senyum. Matanya kini telah berkaca. Dan tanpa sadar, salah satu tangannya terulur dan ikut menyusuri perut Afra yang masih datar.

"Pasti karena dia." Ujar Morgan, membuat Afra menengok ke arahnya. Pemuda itu tersenyum melihat pandangan Afra yang sepertinya menyiratkan kebingungan. “Tapi,,, masa’ dia nggak suka sama bau badan Papanya, sih? Mamanya aja suka.” Guraunya, seraya mengelus lembut perut Afra. Dan entah kenapa, mual yang tadi menyerang Afra tiba-tiba menghilang saat perutnya dielus oleh Morgan seperti itu. Mungkin karena naluri kebapakan Morgan yang ia asupkan lewat elusan tangannya mampu menenangkan calon bayi dalam kandungan Afra. Jadi, mual yang Afra rasakan sedikit berkurang.

“Aku nggak tau perasaan aku ini salah atau benar, Fra. Tapi,,, meski kejadian itu nggak sengaja, sekarang aku merasa sangat senang dan bahagia dengan kehadirannya.” Lagi-lagi Morgan mengusap perut Afra. “Dia darah dagingku, Fra. Foto copyanku. Dia ada di sini. Di dalam tubuhmu. Aku,,, aku,,,” Suara Morgan agak tercekat, karena menahan perasaan yang bercampur-campur. Antara resah, bahagia, gusar, dan entah rasa apalagi yang menghuni hatinya saat ini. “Aku tambah sayang banget sama kamu, Fra.” Ujarnya, seriring dengan tangannya yang kini terangkat untuk kembali memeluk kekasihnya. Tapi begitu tangan itu hampir merengkuh tubuh di depannya, tiba-tiba gerakannya berhenti.

“Kenapa? Kok nggak jadi?” Afra bertanya bingung karena Morgan mengurungkan niatnya. Sekali lagi, pemuda itu menciumi tubuhnya sendiri. “Takut kamu muntah.”
Afra tersenyum, dan beringsut mendekati Morgan, lalu memeluknya. “Udah nggak mual lagi kok.” Ujarnya. Morganpun membalas pelukan Afra. Beberapa saat mereka hanya saling berpeluk seperti itu. Hingga kemudian, tangan Morgan kembali menelusup ke perut Afra dan mengelusnya.

“Fra, jagain dia ya. Aku janji akan ngelakuin yang terbaik untuk kita.” Morgan berujar lirih, lalu mencium pucuk kepala Afra. Dan ujaran lirihnya itu mendapat balasan sebuah anggukan dari Afra.

‘* * * * *

“Lo mau ngapain ke sini?”

“Aku kangen sama kamu, Ky.” Gadis berambut panjang itu mendekati Dicky yang kini tengah terduduk di balkon atas sambil memegang sebuah botol minuman. “Jangan minum banyak-banyak, Ky. Nggak baik buat tubuh kamu.” Ujarnya, seraya meraih botol yang digenggam Dicky. Tapi dengan cepat, Dikcy menepis tangan gadis itu.

“Lo nggak usah pura-pura care sama gue.” Ucapnya dingin, lalu beranjak dari duduknya dan menjauhi gadis itu. Seolah tak gentar mendapat perlakuan dingin seperti itu, gadis itu mengikuti langkah Dicky yang kini menuju ujung balkon. “Lo mau ngapain ke sini?” Dicky mengulang pertanyaan yang belum juga dijawab oleh gadis itu.

“Udah aku bilang, aku kangen sama kamu, Ky.” Masih jawaban yang sama. Dan itu membuat Dicky tersenyum sinis. Ia lirik mantan kekasihnya yang kini terlihat mengiba itu sekilas, lalu membuang pandang ke langit luas sambil meneguk air dalam botol yang dipegangnya.

“Kalau cuma mau ngomongin hal yang nggak penting kayak gitu mendingan lo nggak usah ke sini. Gue udah muak denger omong kosong lo.”

“Ky, maafin aku. Aku harus berapa kali bilang maaf sama kamu biar kamu ngasih maaf itu ke aku. Aku udah nyesel, Ky.”

“Nyesel karena lo udah dikecewain sama cowok itu? Nyesel karena lo tau kalau cowok itu brengsek? Sekarang, lo baru inget kalau gue lebih baik dari dia, dan lo ngemis-ngemis maaf ke gue? Lo pikir gue tempat sampah apa? Seenaknya aja lo datang dan pergi dari kehidupan gue? Lo pikir gue orang naïf yang kalau lihat cewek ngemis-ngemis kayak gitu, trus gue iba. Enggak!!! Di hati gue nggak ada sedikitpun iba buat lo. Jadi mendingan lo pergi dari sini, karena mau lo ngemis sampai gimana juga gue nggak bakal nggubris permintaan maaf lo.”

“Tapi Ky, aku,,,”

“Pergi dari rumah gue, atau gue bakalan panggil satpam buat nyeret lo keluar.”

“Ky, dengerin aku dulu. Aku ke sini nggak Cuma mau minta maaf sama kamu. Tapi aku mau ngasih tau hal yang penting buat kamu.”

“Tentang?”

“Tentang pacar baru kamu. Diana.”

Mendengar nama itu, batin Dicky tersentak. Ada segores luka yang terasa memerih di sudut hatinya. Luka yang tergores sebulan yang lalu. Yang sampai sekarang masih saja menghuni hatinya. Luka yang seharusnya tidak ada. Luka yang semakin hari semakin sakit bagai tersiram air garam karena sampai sekarangpun, Diana masih saja menelponnya untuk bercerita. Menceritakan kisah kasihnya bersama pacarnya, tanpa tau perasaan Dicky. Tanpa mengerti apa yang dirasakan Dicky. Dan Dickypun bungkam tentang perasaannya. Membiarkan luka itu terus menganga, tanpa bisa mengobatinya.

Bagaimana bisa Dicky mengobatinya sedangkan kini, ia telah kecanduan suara Diana. Kecanduan cerita-cerita Diana. Bagi Dicky, sekarang ini mungkin Diana seperti Alkohol yang kini ditenggaknya. Meski ia tau kalau dengan meminumnya bisa merusak organ-organ tubuhnya, tapi Dicky tetap ingin menenggaknya, untuk menghilangkan stressnya. Begitulah Diana. Meski dengan mendengar cerita-ceritanya hati Dicky akan sakit, tapi Dicky ingin selalu mendengar suara Diana, untuk menghilangkan kepenatan hatinya. Entah kenapa baru-baru ini, hanya suara Diana yang bisa menenangkan hatinya yang ruet karena masalah keluarganya. Karena meski bercerita yang membuat hatinya sakit, Diana juga tak jarang memberi support pada Dicky yang juga sering curhat padanya.

“Ada temanku yang melihat Diana jalan sama cowok lain, Ky. Dan temanku itu yakin kalau itu adalah pacar Diana yang lain selain kamu.” Ujar Eriska, menggebu. “Diana udah khianatin kamu, Ky. Jadi untuk apa kamu bertahan sama dia?” Lanjutnya.

Dicky masih tak berniat menatap Eriska yang tengah berbicara dengannya. Dengan kesal, pemuda itu mendengus, lalu menenggak minumannya lagi. Tatapannya masih terpaku pada langit di atasnya.

“Apalagi yang mau lo bilang?”

“Aku punya foto mereka berdua. Lihat ini.” Gadis itu menyodorkan sebuah amplop coklat yang baru saja ia ambil dari dalam tasnya. Tapi Dicky tak menggubris. Jangankan menerima amplop coklat itu. Meliriknyapun tidak. Dan karena itu, akhirnya Eriska membuka amplop coklat itu sendiri, dan mengeluarkan isi di dalamnya.

Dua lembar foto Diana bersama Reza yang tengah bergelendotan mesra terpampang jelas di sana. Eriska memperlihatkannya pada Dicky, dan ternyata foto itu berhasil mengalihkan perhatian Dicky. Dicky menatap foto itu intens, sebelum kemudian menyahut foto itu dengan kasar, lalu meremasnya. Sekali lagi, luka di sudut hati itu tersiram air garam. Dan sumpah demi apapun, Dicky merasakan sakit yang amat sangat.

“Gue udah lihat fotonya. Trus lo mau apa lagi?”

“Aku mau kamu membuka mata, Ky. Inilah cewek yang selama ini kamu puja-puja. Inilah cewek yang selama ini kamu bela-bela. Dia Cuma penghianat, Ky.”

“Trus lo sendiri apa????” Sentak Dicky, dengan penuh amarah. Matanya yang kini memandang Eriska memancarkan kilatan kemarahan yang begitu menggelegak. Eriska yang ketakutan melihat ekspresi Dicky itu sampai memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Mukanya kini memucat. “Lo ngatain Diana kayak gitu seolah-olah lo nggak pernah berkhianat. Kalau lo bilang Diana itu penghianat, lo mungkin lebih dari itu. Gue tau nggak Cuma sekali lo berkhianat di belakang gue.” Ujar Dicky, seraya menunjuk muka Eriska dengan kejam. “Dengar ya. Lo nggak tau apa-apa tentang Diana. Jadi lo nggak usah ngomong apa-apa tentang dia. Ngerti lo.” Pungkasnya, seraya melemparkan foto di tangannya ke muka Eriska.

Pemuda itupun melangkahkan kakinya meninggalkan Eriska, menuju ke pintu balkon dan turun ke bawah. Amarahnya benar-benar menggelegak. Matanya memerah, mukanya terlipat. Ia seperti kehilangan akal, tak lagi memperhatikan hal-hal di sekitarnya. Bahkan sopirnya yang saat itu melihat kelebatannya dan menyapanyapun tak ia gubris. Dengan langkah panjangnya, pemuda itu pergi menuju garasi, tempat ia menyimpan motor sportnya.

“Arrrggghhhh,,,,,” Pyarrr!!!!! Botol minuman itu sukses menjadi serpihan-serpihan kecil setelah Dicky membantingnya. “Gue pengen benci sama lo, Diana. Gue pengen benci sama lo kayak gue benci sama Eriska. Seenggaknya perasaan gue lebih enak kalau gue bisa benci sama lo.” Rutuk Dicky, seraya meremas rambutnya.

Dan begitu ia melihat Eriska datang ke garasi bersama pembantu dan sopirnya, Dicky buru-buru menaiki motornya dan melesat meninggalkan rumah dengan kecepatan tinggi.

‘* * * * *
Bersambung

By: Novita SN

Monday, August 19, 2013

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 65


Sebulan telah berlalu dari kejadian yang menimpa Afra dan Morgan. Afra telah jauh lebih tenang dari sebelumnya, meski ia masih tetap saja menahan was-was. Ia mulai bisa bersikap sebiasa mungkin. Keceriaannyapun telah kembali meski sampai sekarang gadis itu belum juga berani berkomunikasi dengan kekasihnya. Entah kenapa, tiap kali melihat Morgan, perasaan tak enak tiba-tiba menyerangnya. Perasaan menyesal, malu, kesal, dan entah apalagi rasa yang berkecamuk di hati Afra.

Sebenarnya, gadis itu tidak terlalu menyalahkan Morgan. Walaubagaimanapun, kejadian itu bukan sepenuhnya kesalahan Morgan. Ia masih ingat betul malam itu. Malam di mana tiba-tiba ia merasakan sebuah rasa yang menggelegak, yang ia tak tau darimana datangnya. Rasa yang tak bisa dibendung, yang kemudian menghancurkan semuanya. Rasa yang membuatnya hilang akal, dan melakukan hal bodoh, yang membuatnya malu pada dirinya sendiri, juga pada Morgan. Dan sebenarnya, karena rasa malu dan rasa bersalah itulah yang membuat Afra tidak ingin bertemu Morgan.

Dan kini, setelah perasaannya jauh lebih enak, kembali ketenangan gadis itu terusik. Beberapa hari belakangan ini, ia merasa ada yang tidak beres pada tubuhnya. Ia sering merasa kepalanya tiba-tiba pening. Awalnya ia mengira itu karena efek dari penyakitnya yang sudah lama tidak pernah kambuh. Tapi begitu ia juga merasa sering mual, ia jadi sadar kalau tebakannya itu pasti salah. Apalagi sudah tiga hari ini ia sering muntah-muntah.

Dan hari inipun begitu. Seharian ini ia telah tiga kali muntah-muntah nggak jelas. Sudah berbagai obat mag dan obat masuk angin yang ia minum, tapi mual dan muntah itu tak kunjung berhenti. Nanda sama Shita yang melihat Afra juga sampai kalang kabut karena khawatir. Apalagi saat melihat tiba-tiba Afra menangis. Mereka pikir, mungkin penyakit Afra kambuh, dan Afra merasakan sakit yang amat sangat di tubuhnya. Padahal bukan itu yang membuat Afra menangis. Afra menangis seperti itu karena ia merasa dugaan yang ia takutkan semakin jelas terlihat.

Kini, gadis itu tengah terduduk di kamar mandi asrama dengan air mata tak henti bergulir. Di tangannya sebuah benda putih sepanjang jari telunjuk tengah di pegangnya dengan was-was. Beberapa detik lalu, gadis itu telah mencelupkan benda itu ke sebuah mangkuk kecil yang berisi air kencingnya. Beberapa saat mengamati benda kecil itu, tiba-tiba tangisnya pecah. Dua buah garis merah tampak menghias di tengah benda mungil yang dipegangnya. Dan itu artinya, ketakutannya selama ini benar-benar telah terjadi.

Afra tak lagi bisa menahan sesenggukannya. Tangisnya yang pecah terdengar sampai di luar kamar mandi, membuat Nanda yang mengikuti Afra ke kamar mandi jadi semakin khawatir dan kebingungan. Gadis itu menggedor-gedor pintu kamar mandi yang masih terkunci dengan sekuat tenaga, agar Afra mau membuka pintu. Tapi tak ada respon apapun dari Afra.

"Afra, buka pintunya. Lo tuh kenapa sih????" Gemas Nanda, dengan tangan menggedor pintu kamar mandi. Mukanya tampak kesal bercampur khawatir. "Fraaa,,,,, keluar. Lo tuh kenapa???"

Nanda kehabisan akal. Iapun berjalan mondar mandir di depan pintu kamar mandi, mencoba mencari cara untuk mengeluarkan Afra dari tempat persembunyiannya. Tapi tangis Afra yang semakin menjadi membuat otaknya tidak mau bekerja secara maksimal. Ia benar-benar tidak bisa berpikir. Hanya ada satu cara yang terlintas di pikirannya, dan itu akan segera ia lakukan.

Gadis itu pasang kuda-kuda, mengambil ancang-ancang beberapa meter dari pintu. Dan dengan segenap tenaga yang ia miliki, ia berlari dan menyeruduk pintu kamar mandi hingga pintu PVC itu benar-benar terbuka. Ada sedikit koyak yang menoreh di dekat handel pintu karena pintu terkunci itu dibuka paksa alias didobrak oleh Nanda.

Memang begitulah Nanda. Dia selalu punya kekuatan ekstra kalau sedang kepepet. Kalau istilah kerennya sih the power of kefefet gitu. Dan buktinya memang nyata. Serudukannya tadi mampu membuat pintu terkunci itu akhirnya terbuka. Tapi sepertinya, tangan mungilnya tetap tak sekuat pintu yang ia dobrak. Ia meringis-ringis kesakitan karena tangannya terasa pegal.

Setelah beberapa saat sedikit menghilangkan sakit di tangannya, perhatian gadis itu beralih kepada sahabatnya yang kini terduduk di samping bak mandi sambil memeluk lutut.

"Ya ampun, Fra. Lo kenapa???" Ujar Nanda, seraya mendekati Afra.

Afrapun segera mengangkat wajahnya yang pias dan menatap Nanda yang kini berjongkok di depannya. Tanpa aba-aba lagi, gadis itu langsung memeluk Nanda, dan menangis sejadi-jadinya di pelukan sahabatnya. Tangan kanannya masih meremas benda mungil hasil tesnya tadi, tanpa sepengetahuan Nanda.

"Fra, lo bilang donk. Lo tuh kenapa??? Apanya yang sakit? Bilang. Jangan nangis doank kayak gini. Gue kan jadi bingung." Rutuk Nanda. Tapi Afra tak juga menjawab. Gadis itu malah mempererat pelukannya, dan tambah sesenggukan. Akhirnya Nanda menghela nafas. "Ya udah yuk, kita ke kamar. Jangan nangis di sini."

Nanda membantu Afra berdiri, dan menuntunnya ke kamar masih dengan memeluknya dari samping. Sepanjang perjalanan mereka, banyak penghuni asrama yang bertanya apa yang terjadi. Tapi Nanda hanya menjawab bahwa Afra baik-baik saja, tidak ada yang serius.

Sesampai di kamar, Afra langsung ambruk dan terduduk di lantai sambil menenggelamkan kepalanya di sela kedua pahanya. Tangisnya kembali menjadi, dengan tangan yang masih memegang erat-erat benda mungil hasil tesnya. Shita yang menyambut mereka buru-buru menutup pintu kamar agar mereka tidak menjadi pusat perhatian. Lalu, gadis itu ikut terduduk di lantai, di samping tubuh Afra bersama Nanda.

Cukup lama mereka membiarkan Afra menangis sejadi-jadinya seperti itu, tanpa bersuara. Menurut mereka, percuma saja menanyai orang yang tengah menangis seperti itu. Mereka menunggu Afra lebih tenang. Dan begitu tangisnya mereda, baru Shita membuka suara.

"Lo kenapa, Fra. Bilang donk sama kita. Jangan bikin kita khawatir kayak gini?" Ujarnya, lembut. "Lo kenapa? Lo sakit?" Afra menggeleng.

"Trus lo kenapa? Lo ada masalah sama Morgan? Kok kita perhatiin belakangan ini lo sama Morgan aneh gitu?" Kali ini Nanda yang bertanya. Dan ternyata, pertanyaan Nanda itu berhasil membuat Afra mengangkat wajahnya. Gadis itupun mengurai pelukan tangannya di kedua kakinya, dan membuka genggaman tangan kanannya. Terlihatlah benda putih kecil melintang di tangan lembut Afra. Dan melihat benda itu, kedua sahabatnya mengernyit bingung.

"Apa ini, Fra???" Tanya Shita, kemudian mengambil benda itu dari tangan Afra.

Dan setelah mengamati benda mungil itu sesaat, spontan, Nanda dan Shita langsung mengangkat tangan mereka dan menutup mulut mereka masing-masing. Mata mereka terbelalak.

"Nggak mungkin," Ucap Shita, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu.

"Lo,,,, ha,,,hamil, Fra???" Nanda berujar dengan terbata. Meski belum pernah hamil, Nanda tau betul apa arti dua garis merah yang menghias benda putih itu. Shitapun sepertinya begitu. Dan antara percaya dan tak percaya, bening kini telah menggenangi kedua pelupuk matanya, begitupun Shita.

"Ini,,," Kata-kata Shita menggantung. Kepalanya masih menggeleng tak percaya. "Lo,,, lo hamil, Fra???" Shitapun berucap terbata. Dan di depan mereka, Afra terlihat mengangguk.

Melihat anggukan Afra, tubuh kedua gadis itu melemas. Mereka terduduk dengan tatapan kosong karena shock. Bahkan saking shocknya, Shita sampai menjatuhkan tes pack kecil yang dipegangnya. Sedangkan Afra, ia kembali menangis melihat wajah kedua sahabatnya memucat.

Tak hanya Afra, Shita dan Nandapun ternyata telah mengucurkan air mata tanpa mereka sadari. Mereka benar-benar shock, karena baru sadar kalau ternyata selama ini, sahabatnya yang satu itu tengah memendam masalah besar yang tak ia bagi kepada kedua sahabatnya. Mereka baru sadar, kalau selama ini, Afra tengah dalam kekalutan yang amat sangat, dan mereka tidak terlalu menyadari itu semua.

"Morgan udah tau, Fra????" Tanya Nanda, begitu ia tersadar dari shocknya. Afra menggeleng pelan. "Lo musti ngasih tau dia, Fra. Lo nggak bisa diem terus kayak gini."

"Gue tau." Ucapnya, parau. Gadis itupun segera merogoh HP di saku celananya, dan menarikan jemarinya di atas keypad. Setengah sadar, gadis itu mengirimkan sebuah pesan pada Morgan setelah selama hampir sebulan dia tak pernah mengirim satu pesanpun kepada pemuda itu.

'Aku hamil, Gan.'

Hanya tiga kata itu yang ia kirimkan kepada kekasihnya, sebelum kemudian ia melemparkan HP di tangannya ke kasur. Kembali, air matanya menetes.

"Kok bisa sih, Fra?" Tanya Shita kemudian, masih dengan tatapan kosong. Tapi tak ada jawaban dari Afra. Gadis itu malah memeluk kedua lututnya lagi, dan kembali sesenggukan.

* * * * *

Rangga dan Bisma tengah kejar-kejaran seperti anak kecil dari gerbang asrama putra sampai ke kamar mereka. Baru saja, mereka membeli dua buah magnum. Rangga satu, Bisma satu. Tapi, Rangga yang memang benar-benar penggila magnum itu habis duluan sebelum Bisma. Dan kini, ia tengah mengejar Bisma untuk meminta sedikit magnum darinya. Tapi, Bisma tidak mau memberikan magnumnya untuk Rangga. Jadi, terjadilah kejar-kejaran itu.

Sesampai di kamar, rebutan itu masih berlangsung. Bisma masih mencoba menghindari Rangga dengan berlari ke sana ke mari. Tapi melihat kedua temannya ribut seperti itu, Morgan seolah tak peduli. Pemuda itu hanya diam mematung, tanpa mau melerai. Tatapannya kosong, sekosong kertas tanpa tulisan. Raut wajahnya gusar.

Tapi seolah tak menyadari keadaan Morgan, kedua pemuda itu masih saja kejar-kejaran di kamar kecil itu.

"Gue mau nikah sama Afra." Kata Morgan tiba-tiba, tapi tetap tidak berhasil menghentikan ulah kedua temannya.

"Lo ngomong apa, Gan?" Rangga yang bertanya, masih dengan melambai-lambaikan tangannya untuk merebut Magnum milik Bisma.

"Gue mau nikah sama Afra. Secepatnya. Mungkin dua minggu lagi. Atau malah seminggu lagi." Ujar Morgan lagi, tanpa menengok kepada kedua temannya. Meski berbicara, tapi tubuh pemuda itu masih bergeming, tak bergerak sedikitpun. Berita yang diterimanya dari Afra beberapa menit yang lalu itu ternyata sukses membuat tubuhnya seakan membeku.

"Bercanda aja lo, Gan." Kini Bisma yang berbicara. "Awas Rangga. Lo tuh beneran maniak magnum ya? Udah abis satu juga masih aja mau minta dari gue." Bisma bersungut-sungut karena Rangga tetap ngotot ingin menggigit magnum miliknya.

"Jadi orang jangan pelit-pelit donk, Bii. Gue tuh magnum satu nggak cukup." Hap!!! Rangga berhasil menangkap tangan Bisma, dan segera menggigit es cream di tangan kawannya itu.

"Gue nggak bercanda. Gue mau nikah sama Afra secepatnya." Morgan bersuara kembali, setelah beberapa saat dalam diam. Dan suara Morgan kali ini berhasil membuat kedua pemuda yang berebut es cream seperti anak kecil itu menghentikan rebutannya.

"Serius lo, Gan? Nggak salah?"

"Kenapuaa?? Kok Tuibua tuibua bueguituuu???" Suara Rangga agak kurang jelas karena mulutnya penuh es cream.

"Gue mau jadi bapak." Singkatnya. Dan ternyata, kata-kata itu bisa membuat kedua temannya mengalihkan perhatian kepadanya.

"Maksud lo?" Tanya Bisma dengan wajah bingung.

"Afra hamil, dan gue mau jadi bapak." Dan penjelasan Morgan kali ini sukses membuat es cream yang memenuhi mulut Rangga nyasar ke tenggorokannya. Rangga yang keselek magnum itu akhirnya terbatuk-batuk parah, seperti orang kecekik.

"Uhuk uhuk uhuk,,, to,, uhuk uhuk longin uhuk uhuk gue, Bii,,, uhuk uhuk uhuk. Ambilin,,, uhuk uhuk uhuk uhuk gue minum, Biii,,, uhuk uhuk uhuk." Pemuda itu kelonjotan di ranjang Bisma, sambil memegangi lehernya. Sementara itu, Bisma malah cengo. "Biii,,,," Bisma tetap bergeming. Merasa tak ada respon, akhirnya Rangga menendang tubuh Bisma, dan membuat kawannya itu tersentak.

"Apaan sih, Ngga???"

"Tolongin gue, bii,,,, uhuk uhuk uhuk. Ambilin minum. Tenggorokan gue sakit uhuk uhuk uhuk. Gue nggak bisa nafas, Bii. Uhuk uhuk. Rasanya kayak mau mati."

"Lebay deh lo." Gemas, Bisma membalas tendangan Rangga sebelum akhirnya ngeloyor menuju dispenser dan mengambilkan segelas air untuk Rangga. "Lo nggak bakal mati cuma gara-gara keselek magnum, bego." Sewotnya lagi, seraya menyodorkan air di tangannya pada Rangga.

Meski melihat kedua temannya riweh seperti itu, Morgan masih saja mematung di tempatnya dengan muka datar. Hati yang terkejut, pikiran yang kacau, dan perasaan gundah membuat sensor otaknya untuk mencerna setiap kejadian di sekitarnya seolah melemah, bahkan seperti tak berfungsi. Hal itu mengundang Rangga yang habis keselek magnum untuk bertanya lagi pada kawannya yang benar-benar seperti patung itu.

"Lo,,, uhuk uhuk,,, beneran uhuk ser uhuk uhuk uhuk."

"Lo serius sama apa yang lo bilang, Gan??" Bisma melanjutkan kata-kata Rangga yang kepotong-potong dengan tidak sabaran.

"Udah gue bilang gue serius."

"Kok lo jadi pacaran nggak sehat gitu sih, Gan??? Kok bisa sampai kebablasan?" Dengan jidat masih berkerut, Bisma mendekati ranjang Morgan dan duduk di depannya, membiarkan Rangga masih terbatuk-batuk di ranjang sebelah.

Morgan masih enggan menjawab. Pemuda itu masih menatap kosong pada tembok di depannya, tanpa mau membuka suara untuk beberapa saat. Dan setelah menghela nafas panjangnya, Morganpun menceritakan kejadian yang dialaminya waktu di Bandung. Semua hal yang ia lakukan ia ceritakan kepada kedua temannya itu, berharap beban yang ia pendam selama ini bisa sedikit terbagi.

Kedua temannyapun mendengarkan setiap kata yang diucapkan Morgan, tanpa menyalahkan ataupun menvonis apapun. Mereka tau sekarang ini Morgan butuh support. Jadi mereka tidak ingin menambah beban pikiran Morgan dengan pikiran buruk mereka.

"Trus bokap nyokap lo udah tau semua ini, Gan?" Tanya Bisma, usai Morgan bercerita.

"Mama udah tau tentang kejadian itu. Tapi tentang kehamilan Afra belum ada yang tau. Gue juga taunya barusan."

"Trus rencana lo gimana, Gan?" Gantian Rangga yang bertanya.

"Gue belum tau. Gue masih bingung. Yang ada di otak gue cuma nikahin Afra. Secepatnya."

"Emang harus, Gan. Lo musti nikahin Afra. Dia nggak mungkin bisa ngelewatin ini sendirian."

"Gue tau. Dan gue,,,,"

Kata-kata Morgan dipotong oleh dering HPnya yang tiba-tiba terdengar. Di layar mungil itu, tertera nama Nanda. Dahi Morgan mengernyit. Tidak biasanya Nanda menelphon dia seperti itu.

"Siapa, Gan?" Tanya Bisma.

"Nanda." Mendengar jawaban singkat Morgan, Mata Bisma seketika membelalak.

"Biasa aja kali Bii, ekspresinya. Nggak perlu lebay kayak gitu." Rangga yang berkomentar. "Dengerin dulu Nanda mau ngomong apa."

Tanpa menghiraukan ocehan kawannya, Morgan langsung mengangkat telpon dari Nanda itu. Dan mendengar suara panik Nanda, pemuda itu seketika tertegak dari sandarannya.

"Afra kenapa, Nda????"

Bersambung,,,,
By: Novita SN

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 64


Jadi kamu udah kerja di sini???" Ujar pemuda itu, dengan nada tak ramah sama sekali.

"Raf,,,Rafa????" Vita menggumam gugup, dengan mata melebar.

"Ngapain kamu kerja di sini, Vit??? Trus kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku? Kamu udah nggak nganggep aku lagi??"

"Bu,,,bukan begitu, Raf."

"Apanya yang bukan begitu?" Pemuda itu kini berjalan mendekat kepada kekasihnya yang kini tengah berdiri menahan debar di dada. Dengan raut gusar, Vita mencoba memutar otak untuk mencari alasan. Sementara di depannya, Rafa yang kini mukanya tertekuk dan melipat tangan di dada membuat otak Vita seakan buntu. Dari raut muka kekasihnya, Vita tau kalau kekasihnya itu memang benar-benar kesal. "Kenapa kamu nggak pernah bilang? Trus ngapain juga kamu harus kerja di sini? Kamu kekurangan uang jajan di sini?"

"Bu,,bukan Raf. Bukan begitu." Vita mencoba berbicara setenang mungkin, meski tetap saja terdengar gugup."Aku sebenarnya nggak beneran kerja. Aku hanya magang." Dia memilih berbohong daripada membuat Rafa semakin naik darah. "Aku pikir selama aku menunggu pengumuman dari kampus, mendingan aku cari kesibukan. Trus temenku ada yang nawarin aku buat magang di tempat kerjanya. Jadi ya aku terima. Itung-itung kan buat praktekin hasil kuliah aku."

"Cuma magang doank??"

"Iya cuma magang. Itupun nggak lama. Bentar lagi juga aku udahan magangnya. Sebelum aku pulang ke Jakarta aku juga udah berhenti magangnya kok."

"Beneran?"

"Iya, Raf. Beneran. Suer deh."

Pemuda itu kini menghela nafas lega. "Jadi cuma magang?" Kali ini, cara bicara Rafa lebih lunak. "Trus kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu magang?"

"Ya kamunya kan nggak pernah tanya."

"Masa' aku harus tanya dulu sih, biar aku tau apa yang kamu lakuin. Harusnya kan kamu yang bilang. Kalau kamu nggak bilang, mana aku tau kamu ngelakuin apa aja. Mana aku tau aku harus tanya apa? Iya kan?!" Kata-kata Rafa sudah benar-benar melunak. Mungkin pemuda itu tidak tega melihat raut muka kekasihnya yang terlihat gusar bercampur khawatir. Dari dulu, Rafa tau betul kalau Vita selalu ketakutan kalau melihat dia marah. Dan ekspresi muka Vita itu selalu melunakkan hati Rafa.

"Ya udah deh. Kalau emang kamu mau magang nggak pa-pa. Tapi inget ya, aku nggak suka kalau kamu ngerahasiain sesuatu dari aku. Aku nggak mau diantara kita ada rahasia-rahasiaan."

"Iya. Maaf, Raf. Tadinya aku pikir, aku nggak perlu bilang."

"Pokoknya apa aja yang kamu lakuin, selama itu bukan rahasia keluarga kamu, kamu harus ngomong sama aku. Aku nggak mau ada rahasia diantara kita." Ucap Rafa, seraya memegang kedua bahu Vita. Dan di depannya, Vitapun manggut-manggut lagi, meski masih tetap ada guratan kegusaran di wajahnya. Rafapun tersenyum, lalu meraih tubuh Vita ke dalam pelukannya.

"Aku udah pengen kita dekat, Vit. Aku nggak mau terus-terusan ngejalanin long distance. Itu nyiksa banget." Ujar Rafa, di sela pelukannya. "Maaf kalau bakangan ini aku agak over protektif sama kamu. Aku cuma nggak pengen kamu nunda-nunda lagi kepulangan kamu. Aku bener-bener udah pengen deket." Lanjut pemuda itu. Dan di dalam dekapannya, Vita hanya bisa mengangguk. Saat ia merasakan kecupan hangat di pucuk kepalanyapun, gadis itu hanya bisa memejamkan mata tanpa berucap apapun lagi.

Hatinya kini semakin gusar. Apalagi mengingat kalau sampai sekarang, ia belum juga mendapatkan penggantinya yang sesuai dengan keinginan atasannya. Sedangkan menurut jadwal, kepulangannya tinggal dua minggu lagi. Kalau sampai tiba saatnya dia pulang nanti dia belum juga menemukan penggantinya, dia tak tau apa yang harus ia katakan pada Rafa.

"Udah ah. Kita sarapan yuk. Laper nih." Rafa mengalihkan pembicaraan, lalu mengurai pelukannya. Tak tega rasanya melihat kegusaran di wajah orang yang sangat dicintainya itu. Akhirnya, ia mempersembahkan senyum manis, berharap jadi obat gusar untuk Vita. Dan benar saja, senyum Rafa itu sukses mencerahkan wajah kekasihnya. Gadis itupun membalas senyum Rafa dengan senyum tak kalah manis.

"Iya deh. Aku juga udah laper. Ntar aku bikin nasi goreng buat kamu ya."

"Asyiiikkk,,,, aku emang lagi kangen sama nasi goreng kamu." Gurau Rafa, sambil menepuk-nepuk tangannya seperti anak kecil yang dapat mainan baru. Pemuda itupun menggiring kekasihnya menuju dapur, dengan senyum manisnya yang masih saja menempel di bibir.

* * * * *

“Fra, tunggu Fra. Kita harus bicara. Aku mohon jangan hindarin aku terus kayak gini. Aku bingung harus gimana, Fra.” Sore itu, Morgan kembali mencoba menemui Afra setelah selama berhari-hari ia tak berhasil menemui gadis itu. Sudah empat hari kejadian itu berlalu, tapi Afra belum juga bisa diajak bicara. Bahkan ditemui pun tidak mau. Morgan jadi serba salah. Ia tak bisa konsen kuliah. Tidak bisa focus mengikuti kegiatannya. Dan tidak mampu melakukan apapun. Yang ada di otak pemuda itu hanyalah Afra.

“Afra, aku mohon kamu ngomong, Fra. Aku harus gimana?” Pemuda itu berhasil menggapai tangan kekasihnya setelah beberapa saat mengejar-ngejar gadis itu.

“Lepas, Gan!!!” Sentak Afra, seraya menepis tangan Morgan yang mencengkeram tangannya.

“Kamu nggak bisa ngediemin aku terus kayak gini, Fra. Bilang sama aku, aku harus gimana? Jangan bikin aku bingung.”

“Kamu pengen tau aku pengen apa dari kamu?”

“Ya. Aku mau kamu ngomong aku harus gimana? Terus terang aku serba salah kalau kamu kayak gini. Aku bingung apa yang harus aku lakuin.”

“Aku pengen kamu ngebiarin aku tenang, Gan.” Ucap Afra tegas, tapi dengan suara sedikit parau. Air mata kini telah menggenangi kelopak matanya meski tak sampai tumpah.

“Gimana caranya, Fra? Gimana caranya aku bisa bikin kamu tenang kalau kamu aja selalu menghindari aku terus?”

“Cukup dengan tidak menemui aku, dan tidak mengajakku bicara, itu sudah cukup membuatku tenang, Gan. Aku nggak pengen ketemu kamu dulu.”

“Nggak bisa, Fra. Aku nggak bisa terus-terusan kamu diemin. Masalah nggak akan selesai kalau kita cumin diem-dieman terus kayak gini. Kamu pikir dengan kamu ngehindar kayak gini masalah kita akan selesai dengan sendirinya? Enggak, Fra. Kita harus bicara. Kita harus ngomongin apa yang akan kita lakuin selanjutnya. Kita harus,,,,”

“Stop, Gan. Aku mohon. Aku belum ingin membicarakan apapun. Aku belum siap bicara apapun. Aku mohon biarin aku tenang dulu untuk beberapa saat. Aku mohon, Gan. Aku mohon,,,,” Gadis itu kini benar-benar menangis. Ia tak bisa lagi membendung air matanya. Dan mungkin karena beban pikiran yang menyerangnya, Afra tiba-tiba terhuyung dan hampir roboh. Untung Morgan berada tepat di depannya, jadi dia bisa menopang Afra agar gadis itu tidak sampai jatuh.

“Mencari ketenangan itu bukan dengan menghindar terus kayak gini, Fra. Kita harus bicara. Siapa tau kalau nanti kita sudah dapat solusi yang tepat, kamu bisa lebih tenang.” Ujar Morgan, seraya merengkuh Afra ke dalam dekapannya. Tapi Afra malah menggeleng. “Kenapa, Fra?”

“Aku butuh ketenangan, Gan. Aku nggak ingin kamu ganggu dulu. Aku rasa itu satu-satunya yang bisa membuatku tenang.”

“Kenapa harus dengan cara seperti itu sih, Fra?” Tanya Morgan, dengan raut muka yang sudah sulit untuk diterjemahkan. “Apa,,,gara-gara kejadian itu, kamu jadi benci sama aku?” Gadis itu tak menjawab. Hanya air mata yang jatuh ke pipinya yang bisa dilihat oleh Morgan. “Maafin aku, Fra. Maafin aku.” Kembali, pemuda itu merengkuh tubuh Afra. Tapi sekali lagi Afra menolak.

“Aku mohon kasih aku waktu, Gan. Pada saatnya nanti aku pasti akan bicara dan menyelesaikan masalah kita. Tapi aku mohon beri waktu aku untuk sendiri dulu. Aku mohon.”

“Tapi sampai kapan, Fra?”

“Mungkin sekitar satu bulanan.”

“Satu bulan?????” Urat syaraf Morgan menegang. Jantungnya pun kini berdegup tak karuan. Pikirannya tambah kacau. “Fra, kamu diemin aku selama empat hari aja aku udah kelimpungan nggak karuan, Fra. Apalagi harus ngasih kamu untuk sendiri selama satu bulan? Aku nggak bisa, Fra. Aku nggak bisa.”

“Kalau kamu memang sayang sama aku, kamu pasti bisa, Gan. Sungguh, aku perlu waktu untuk sendiri. Aku perlu waktu untuk tenang. Aku mohon.” Pungkas Afra, kemudian balik kanan dan berlalu dari hadapan Morgan.

Bukannya mengejar, tapi Morgan malah tertegun di tempatnya. Satu bulan? Pikirnya. Harus selama itukah ia membiarkan dirinya dalam kekalutan. Empat hari dalam kekalutan tanpa Afra saja rasanya dunia sudah seperti neraka, apalagi kalau sampai sebulan? Morgan tak bisa membayangkan hari-harinya selanjutnya setelah ini. Ia tak sanggup. Sungguh tak sanggup. Tapi baru saja ia mau mengajukan protes lagi, ia sadar kalau ternyata kekasihnya sudah tak berada di depannya. Afra telah berlari menjauh dari hadapannya.

“Arrgggghhhh,,,,” Des!!!!!! Karena frustrasi yang berlebihan, pemuda itu menonjok tembok di sampingnya tanpa sadar. Dan karena tonjokan itu, bukannya temboknya yang babak belur, tapi tangan Morgan malahan yang mengeluarkan cairan merah. Tapi meskipun begitu, Morgan seolah tak merasakan sakit di tangannya. Ia malah merasakan kepalanya keliyengan. Dan dengan wajah yang masih saja frustrasi, pemuda itu menyandarkan tubuhnya pada tembok yang habis dihantamnya, lalu merosot ke bawah dengan tangan memegangi kepala. Ia benar-benar pusing. Benar-benar kalut. Dan dia tak tau lagi apa yang harus ia lakukan.

‘* * * * *

Rangga telah terduduk bersama Shita di café depan kampus petang itu. Kini Rangga telah benar-benar siap mengutarakan apa masalah mereka sebenarnya. Tadi siang, Om Doni menelphon Rangga untuk menanyakan apakah Shita masih ngambek atau tidak. Dan Ranggapun menjawab iya. Dan karena itu, Om Doni mengijinkan Rangga untuk menceritakan semuanya saja pada Shita. Terserah apa tanggapan Shita nanti. Mungkin gadis itu akan sediki shock dan sedih. Tapi paling tidak, dia tidak akan terus-terusan menyalahkan Rangga.

Dua cangkir copi cappuchino hangat menemani pertemuan mereka malam itu. Dan kini, isi di dalam cangkir itu telah sedikit mendingin karena terlalu lama dibiarkan tak disentuh sama sekali. Tapi belum ada kata yang terucap dari bibir Rangga. Shitapun belum mencoba bertanya. Ia hanya menatap kosong ke taman kafe, seolah menunggu apa yang akan dikatakan Rangga kepadanya.

Sebenarnya Rangga masih bingung harus memulai pembicaraan darimana. Lagipula dia juga masih belum siap melihat tanggapan Shita setelah ia menjelaskan permasalahan mereka nanti. Tapi Rangga menyadari baik sekarang maupun nanti, ia tetap harus bicara. Harus menjelaskan. Jadi mau ditunda sampai kapanpun juga ujung-ujungnya tetap dia harus bicara.

Pemuda itu menghela nafas, tapi masih tetap belum mampu mengeluarkan suaranya.

‘* * * * *

Reza dan Bisma baru saja mau melangkahkan kaki menuju cafe depan kampus bersama kedua gadisnya untuk makan malam saat mobil Ilham lewat di depan mereka. Malam ini malam kelima Reza mentraktir Bisma sama Nanda. Dan tak hanya seminggu, Reza akan menjalani traktirannya itu selama sebulan. Kalian tau kenapa? Karena dia benar-benar tidak mau memanggil Bisma Kakak. Dia bilang lidahnya kesleo kalau memanggil kakak pada Bisma. Dan sebagai gantinya, Bisma mengajukan syarat lain, yaitu ingin ditraktir selama sebulan sama Reza. Rezapun menyanggupi meski dengan setengah hati.

Melihat siluet mobil sedan hitam yang ditumpangi dua orang yang sangat mereka kenal itu, keempat orang itu berhenti.

"Mereka jalan lagi." Gumam Reza, dengan mata tak lepas dari mobil sedan yang telah berlalu dari hadapannya itu.

"Jalan lagi? Emang lo udah pernah lihat mereka jalan?" Bismapun masih menancapkan pandangannya ke mobil sedan hitam itu.

"Malam minggu kemarin gue lihat mereka jalan. Dan sekarang gue lihat mereka jalan lagi. Gue juga nggak tau sih, mereka sedekat apa. Tapi gue harap sih mereka beneran deket. Jadiii,,,,"

"Gue harap juga gitu, Za." Sahut Bisma cepat-cepat, sebelum Reza berbicara terlalu banyak dan mengungkit-ngungkit kisah lamanya dengan gadis yang tadi bersama Ilham. Karena kalau sampai Reza mengungkit banyak hal tentang kisah lalu itu, bukan tidak mungkin Nanda akan kesal lagi. Dan Bisma tidak mau itu terjadi.

Sepertinya Reza paham apa kemauan kakak iparnya itu. Karena setelah sahutan Bisma tadi, Reza juga langsung diam.

"Ya udah yuk. Kita makan malem. Keburu laper nih." Ujar Reza kemudian, lalu meraih tangan Diana dan menggandengnya menyebrang jalan untuk menuju ke cafe tempat mereka akan menikmati santap malam.

Di sepanjang jalan, keempat muda mudi itu tak hentinya saling melempar canda. Selain karena hubungan Reza dan Diana yang memang sekarang masih hangat-hangatnya, hubungan Bisma sama Nandapun tak kalah hangat dengan mereka, mengingat kalau mereka memang baru berhenti dari perang dingin mereka.

Dan candaan mereka itu terhenti saat mereka mulai membuka pintu cafe, dan melihat Rangga tengah terduduk di salah satu meja bersama Shita dengan muka serius. Awalnya, Diana yang melihat mereka berdua itu bermaksud untuk mengajak mereka berdua gabung. Tapi Nanda buru-buru mencegahnya.

"Jangan, Dii. Kita biarin aja mereka berdua. Mereka lagi ngomong penting kayaknya."

"Iya bener. Malam ini Rangga bakalan ngebongkar semua masalah di antara mereka." Tambah Bisma.

"Bagus deh. Jadi Shita nggak salah paham terus. Terus mereka baikan deh."

"Ada dua kemungkinan sih. Kalau Shita ngertiin Rangga, pasti mereka baikan. Tapi kalau Shita nggak mau ngerti, paling ya,,,, sedihnya Shita bakalan manjang."

"Kamu tau masalah mereka, Bii?" Kini Reza yang bertanya.

"Rangga udah cerita sama gue. Sama Morgan juga."

"Emang masalahnya serius ya, Bii?" Nanda.

"Serius banget. Tapi gue nggak bisa bilang. Ntar aja biar Shita cerita sama kamu kalau dia mau." Nandapun manggut-manggut mengerti. Mungkin Rangga sudah pesan sama Bisma agar tidak menceritakan masalahnya pada siapapun.

"O iya, Si Morgan juga kayaknya ada masalah ya sama Afra?" Reza.

"Iya. Tapi dia nggak mau cerita. Padahal tuh anak kelihatannya udah frustrasi banget lho. Kadang-kadang dia sampai nggak bisa tidur. Tapi dia nggak mau cerita. Jadi ya gue nggak mau maksa."

"Afra juga nggak mau cerita. Dia juga kayaknya sedih banget. Sejak dari puncak, dia jadi aneh."

"Dia ngehindarin Morgan terus ya?"

"Iya kayaknya. Kalau Morgan telepon juga nggak pernah mau angkat."

"Heuuhhh,,,, kayak anak ababil aja kalau ngambek pada jadi bisu. Ntar kamu kalau ngambek sama Kak Reza jangan kayak gitu ya, Dii. Masalah kan nggak akan selesai kalau cuma dibuat diem." Celetuk Reza, seraya berjalan mencari meja kosong dengan Diana yang menggamit tangannya.

"Za, kok gue ngerasa kesindir gitu ya Za sama omongan lo?" Nanda jadi merengut mendengar ocehannya Reza barusan. Dan Reza, dia malah tergelak mendengar dumelannya Nanda, tanpa merasa bersalah sama sekali. Dan kekesalan Nanda semakin bertambah saat Bisma juga terlihat menahan tawa di sampingnya. Tapi setelah tangan Bisma terangkat dan mengelus lembut rambutnya, sepertinya hati Nanda meleleh, dan kekesalannya menghilang. Buktinya sekarang dia tersenyum.

"Eh, kita makan berempat kayak gini udah kayak keluarga bahagia aja ya?" Reza kembali nyeletuk.

"Cuma kurang Mama sama Papa doank nih. Kalau ada Mama sama Papa pasti lengkap deh." Diana menambahkan.

"O iya. Mama sama Papa ada di sekitar sini lho. Barusan Papa BBM."

"Suruh ke sini aja. Gabung sama kita. Biar seru." Reza.

"Yakin lo Za udah siap ketemu bokap sama nyokap gue?"

"Siaplah. Ngapain gue nggak siap. Gue kan bukan anak ababil lagi. Masa' ngadepin camer aja perlu siap-siap. Ngadepin lo yang resenya selangit aja gue berani apalagi ngadepin camer gue. Gue yakin camer gue nggak serese lo."

"KePDan banget lo kayaknya." Ujar Bisma, seraya menarikan jemarinya diatas keypad untuk mencari nomor Papanya.

"Halo Papa. Papa lagi di mana??? ............ Ooo,,, Pa, ke cafe depan kampusnya Bisma donk, Pa. Kita lagi dinner bareng nih. Ada Nanda, ada pacarnya Diana juga ..............." Diana sama Reza tampak senyam senyum gaje saat Bisma ngasih tau Papanya tentang mereka.

"Iya Pa. Anak gadisnya Papa udah berani pacaran nih ............ Anak Bandung, Pa. Anaknya baik kok. Tenang aja. Dia temennya Bisma ............" Senyumnya Reza tambah melebar. Berarti emang Bisma nganggep kalau gue baik. Batinnya, masih dengan tersenyum.

"Iya. Dia pengen kenalan sama Mama sama Papa. Makanya Mama sama Papa ke sini biar liat calon menantunya Papa yang satunya ............. Yach,,,,, trus nggak bisa donk??? ..........." Semua muka melukis kerut di jidat karena sepertinya, Om Faisal sama Tante Fani tidak bisa datang.

"Ck ya udah deh ........... Iya lain kali aja kita makan bareng ........... Iya Pa, kan ada Bisma. Kalau pacarnya Diana berani macem-macem biar Bisma bantai ntar. Hahahaaa ............" Raut muka Reza yang tadi sumringah berubah jengah mendengar perkataan Bisma itu.

"Namanya Reza, Pa ........... Kalau gantengnya sih, udah pasti kalah sama Bisma, Pa hahahaa ............" Muka Reza semakin merengut.

"Iya deh ntar Bisma sampein........... Iya Pa ........ Ok Papa. Bye,,,,,," Telpon berakhir.

"Pada dapet salam tuh dari camer. Tapi mereka nggak bisa ke sini. Ternyata mereka ke sini buat ngehadirin pesta relasi. Sekarang mereka udah di tempat pesta. Jadi nggak bisa ke sini." Jelas Bisma, lalu mengangkat wajahnya dan menatap Reza. Dan melihat raut muka Reza, pemuda itu mengernyitkan kening.

"Kenapa mukanya dilipet-lipet gitu? Nggak suka dapet salam dari camer?"

"Bukan. Tapi lo tuh kebiasaan deh. Selalu aja junjung-junjung gue setinggi langit, trus ujungnya lo jatohin tuh tanpa ampun."

"Hahahaaa abisnya gue belum puas kalau belum ngejatohin lo sih, Za."

"Emang dasar kakak ipar durhaka lo, Bii."

"Yang ada juga lo tuh yang adek durhaka. Masa' sama Kakak manggilnya nama doank?"

Nanda dan Diana yang melihat perdebatan kecil itu cuma saling pandang dan angkat bahu. Malas ikut-ikutan ngomong. Percuma. Jadi daripada hambur tenaga melerai Bisma sama Reza, mereka lebih memilih menyahut buku menu di meja, dan mulai memilih makanan yang akan mereka pesan.

'* * * * *

Setelah memantapkan hatinya, akhirnya Rangga membuka suara juga. Pemuda itu meraih tangan kekasihnya sebelum bicara, dan menciumnya dengan lembut.

“Aku cinta banget sama kamu, Ta.” Ujarnya, dengan nada sendu. Dan tak di sangka, ternyata ungkapan tulus Rangga di awal pembicaraannya itu membuat air mata Shita bergulir ke pipinya. Gadis itu seketika menengok kepada Rangga, dan menatap kekasihnya dengan tatapan tak kalah sendu. Seolah ia telah tau kalau apa yang akan dibicarakan Rangga adalah sesuatu yang buruk. “Mungkin yang akan aku bilang nanti adalah sesuatu yang bakal bikin kamu kecewa dan sedih. Tapi aku mohon percayalah kalau aku benar-benar sayang sama kamu, dan akan perjuangin kamu. Aku janji.” Lanjut Rangga. Dan satu hal lagi yang tidak diduga Rangga, tiba-tiba Shita tersenyum dan mengulurkan tangan kirinya untuk menggenggam tangan Rangga yang kini menggenggam tangan kanannya. Awalnya, Rangga agak terkesiap. Tapi sungguh, sentuhan tangan Shita dan senyuman di antara dua buah sungai yang menganak di pipi gadis itu seolah memberi kekuatan tersendiri untuk Rangga.

“Mulailah ngomong, Ngga. Aku janji akan berusaha ngertiin kamu.”

Ranggapun mengangguk-angguk, lalu benar-benar mulai berbicara. Dengan lancar, pemuda itu menjelaskan duduk perkara yang membelit mereka berdua. Tentang perseteruan orang tua mereka. Tentang Om Doni yang melarangnya bilang sama Shita, juga tentang penjuangannya memepertahankan hubungan mereka, sampai ia beberapa kali kena pukul dari papanya. Tapi meski papanya telah banyak menyakiti hatinya, Rangga sepertinya memang tidak ada niatan untuk menyerah. Buktinya sampai sekarangpun, Rangga masih tetap berhubungan sama Shita.

Dan di sepanjang cerita Rangga, air mata Shita tak sedikitpun berhenti bergulir. Air mata itu terus luruh mengiringi cerita Rangga. Gadis itu merasa sangat bersalah karena ternyata di saat dia ngambek-ngambek nggak jelas, kekasihnya itu dalam kerapuhan. Dan yang membuat ia merasa bersalah lagi, ia telah menuduh Rangga yang tidak- tidak hanya karena Rangga belum mau membawa dia kepada kedua orang tuanya.

“Ngga, maafin aku. Kemarin aku udah nuduh kamu yang enggak-enggak. Tapi kenapa selama ini kamu nggak bilang kalau ada permasalahan seperti ini? Kalau aja kamu bilang, aku kan nggak perlu negative thinking kayak kemarin.”

“Aku takut kamu sedih, Ta. Lagian Om Doni juga ngebenerin kalau aku ngerahasiain ini dari kamu. Takutnya kamu kecewa, trus sedih. Aku pikir tadinya aku bakalan gampang ngebujuk papa. Tapi ternyata Papa keras kepala. Sulit buat ngebujuk dia.”

“Trus sekarang kita musti gimana? Kamu ingin aku berbuat apa untuk ngebantuin kamu?”

“Kamu nggak perlu ngapa-ngapain, Ta. Cukup kamu percaya sama aku, dan terus setia sama aku, dan tetep sayang sama aku, ngedukung aku, itu udah cukup. Aku perlu dukungan kamu, Ta. Aku akan terus berusaha ngebujuk Papa.”

“Aku percaya kalau kamu pasti bisa, Ngga. Dan aku akan terus ada di samping kamu, apapun yang terjadi.”

“Janji?”

“Janji.”

“Tapi aku harap kamu nggak akan pernah lelah nungguin aku buat minta restu dari orang tua aku. Aku harap kamu nggak akan pernah jenuh nungguin aku, Ta.”

“Nggak akan, Ngga. Aku nggak akan pernah lelah. Selama kamu tetap perjuangin aku, aku nggak akan pernah lelah nunggu kamu.” Senyum lebar Rangga terukir saat mendengar kata-kata Shita barusan. Ada kelegaan yang membanjiri perasaannya saat ini.

“Terima kasih, Ta. Terima kasih. Aku lega banget sekarang. Legaa,,, banget.” Memang di muka Rangga saat ini terlihat jelas kelegaan yang membuncah di hatinya. Kini tak ada lagi kerisauan di wajah pemuda itu. Bahkan senyumnyapun terlihat sangat cerah. Dan dengan sumringah, pemuda itu mencium tangan Shita sekali lagi.

'* * * * *


Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 63


Pagi itu, rumah Afra telah ramai meski jam masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. Tiga buah mobil yang bukan milik Papanya Afra tampak bertengger di depan rumah. Dua orang pemuda berdiri di samping mobil dengan tatapan sayu. Raut wajah mereka terlihat suram, sesuram pagi yang belum terkena pantulan sinar matahari. Setelah saling pandang beberapa saat, kedua pemuda itu melempar pandang ke arah pintu rumah yang kini tampak lima orang yang juga menatap ke arah mereka.

Di depan pintu rumah Afra itu, Afra dan Shita tampak berdiri dengan wajah sama muramnya dengan kedua pemuda itu. Sementara itu, Mama Papanya Afra, juga Pak Sakir, sopirnya Shita mengamati keempat muda-mudi itu dengan raut bingung.

Afra dan Shita memang sama-sama ngambek saat ini. Sejak sabtu sore itu, Shita nggak mau ngomong sama Rangga. Waktu Rangga mendatangi rumahnya tadi malam pun Shita nggak mau menemuinya. Begitupun Afra. Karena kejadian di Bandung itu, sampai sekarang Afra mendadak bisu. Ia sama sekali belum mau ngomong sama Morgan. Bahkan sama orang tuanya pun Afra hanya ngomong sepatah dua patah kata. Dan karena hal itu, Afra dan Shita semalem telpon-telponan dan memutuskan untuk berangkat kuliah bareng dengan diantar Pak Sakir, sopirnya Shita.

Sebenarnya mereka sudah berusaha berangkat lebih pagi agar tidak bertemu dengan kedua pemuda itu. Tapi siapa sangka kalau kedua pemuda itu juga akan sampai di rumah mereka pagi-pagi buta begini.

Kedua pemuda itu menghela nafas saat melihat mobilnya Shita juga ada di sana. Tadi, Rangga sudah ke rumah Shita. Dan dari papanya Shita, Rangga tau kalau ternyata Shita telah berangkat menjemput Afra. Untung dia buru-buru menyusul. Kalau tidak, mungkin Shita dan Afra telah melesat ke kampus. Dan Morgan, ia tiba di rumah Afra dua menit setelah mobil Rangga sampai di sana.

Pak Sakir, kayaknya mendingan Pak Sakir pulang.” Suara Om Diko, Papanya Afra memecah hening yang beberapa saat mengisi suasana pagi itu. “ Shita sama Afra mau berangkat ke kampus sama cowok-cowok kece itu.”

Tapi Om,,, saya,,,,”

Shita, Afra, kalau kalian ada masalah sama mereka, lebih baik selesaiin baik-baik. Jangan pada menghindar begini. Kalau kalian pada menghindar, kapan masalahnya akan selesai?”

Kata-kata bijak Om Diko itu spontan membuat mereka diam. Kedua gadis itu kemudian melempar pandang ke arah kekasih mereka yang kini berdiri mematung di samping mobil mereka masing-masing, sambil melihat ke arah mereka. Ada rasa kasihan yang tiba-tiba menyusup ke dalam hati mereka, dan membuat mereka tertunduk. Tapi sepertinya, mereka masih saja menyimpan kekesalan di hati mereka. Karena setelah itu Afra mendekati Shita.

Ta, lo berangkat sma Rangga deh, trus gue ikut lo.” Bisik Afra, lirih.

Nggak mau, Fra. Lo aja yang sama Morgan. Trus ntar gue ikut lo.” Shitapun berbisik tak kalah lirih. Tapi bisikan mereka itu ternyata tetap bisa di dengar juga oleh kedua orang paruh baya yang berdiri di samping mereka.

Shita,,, Afra,,,,,” Suara itu lebih mirip suara peringatan dari pada panggilan sayang. “Udah gih, buruan samperin mereka. Keburu siang lho.”

Setelah sama-sama mendengus, akhirnya mereka pamit juga pada orang tuanya Afra, dan sama-sama menghampiri kekasih mereka masing-masing. Jadi, batallah Pak Sakir mengantarkan anak majikannya ke kampus.

Tapi dalam perjalanan ke kampus, kedua mobil itu tetap sunyi senyap seolah tak ada penghuninya. Shita memilih tidur daripada harus mendengar ocehan Rangga yang berusaha mengajaknya mengobrol. Dan Afra, dia sama sekali tidak mau melihat Morgan. Ditanya sama Morgan pun hanya kepalanya yang menjawab dengan anggukan ataupun gelengan. Dan karena itu, Morgan memilih untuk membiarkan gadis di sampingnya itu tenang dalam kediamannya. Morgan tau Afra memang butuh waktu untuk menata hatinya yang kemarin sempat ia porak porandakan. Dan sebenarnya, Morgan cukup senang karena Afra tidak sampai frustrasi yang berlebihan. Kemarin, Morgan sempat takut kalau-kalau, Afra akan putus asa dan berbuat nekat karena kejadian yang menimpa mereka. Tapi ternyata dugaan Morgan itu salah. Afra baik-baik saja. Hanya bulatan mata panda di sekitar matanya yang menunjukkan kesedihan mendalamnya. Meski itu membuat Morgan terenyuh juga, tapi Morgan cukup lega karena tidak ada hal buruk yang dilakukan gadis itu.

* * * * *

Sesampai di kampus, mereka disambut oleh Nanda dan juga Bisma yang kini telah saling bermesraan. Sepasang kekasih itu tampak tersenyum-senyum cerah, sangat kontras dengan keempat kawannya yang kini muram.

Lo berdua udah baikan?” Tanya Rangga, begitu sampai di depan kedua sejoli itu.

Udah donk. Capek ngambek terus.” Nanda menjawab sambil terus menggamit lengan Bisma.

Bagus deh. Seenggaknya kita nggak galau bareng-bareng.” Celetuk Morgan kemudian.

Dan seenggaknya, ada salah satu dari kita yang ngerasa seneng.” Rangga menambahkan.

Maksudnya????” Dahi Bisma megerut bingung. Tapi melihat raut kedua gadis di depannya yang kini sama-sama memasang tampang datar, Bisma akhirnya tau apa maksud teman-temannya. “Ooo,,,, lagi pada perang ya? Kok kompakan sih?”

Dari dulu kan lo doank yang nggak pernah kompak sama kita.” Shita tiba-tiba ikut bicara dengan tampang masih saja datar. Sementara di sampingnya, Afra memilih diam.

Awalnya, Bisma ingin melanjutkan wawancaranya dengan kedua pasang anak manusia yang tengah dalam sengketa itu. Tapi melihat kelebatan Reza yang menggandeng Diana dengan langkah terburu seolah menghindarinya, keisengan Bismapun seketika muncul.

Eh adik ipar. Sini lo.” Serunya. Tapi sepertinya Reza males menanggapi seruan Bisma. Pemuda itu tetap menggandeng Diana menjauh dari kakaknya, hingga Bisma harus berseru lagi untuk menghentikan langkahnya. “Tetep pura-pura budek, atau gue bakal,,,,,,”

Iyaaaa,,,,” Reza akhirnya menghentikan langkah dan mendengus dengan berlebihan saat Bisma mulai mengancamnya seperti itu. Dan sambil ngedumel-dumel gaje, pemuda itu akhirnya balik kanan dan menghampiri Bisma dengan muka ditekuk.

"Jangan ngedumel-dumel gitu donk, Kak. Masa' mau ketemu Kak Bisma aja pake ngelipet muka kayak gitu?"

"Abisnya kakak kamu tuh suka rese sih, Dii. Nyebelin. Apalagi sekarang lagi pada ngumpul tuh. Pasti deh mau ngisengin kakak." Sungut Reza, masih dengan menggenggam tangan Diana.

"Tunggu tunggu tunggu. Adik ipar??? Maksudnya,,,, Si Reza, sama Diana,,,, pacaran gitu?" Rangga bertanya agak bingung begitu Reza sampai di dekat mereka. Dan dengan cengengesan, Bisma mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Yakin lo Bii, mau ngasih Diana ke Playboy cap kadal ini?"

"Maksud lo apa, Gan? Lo nggak percaya kalau gue bisa jadi yang terbaik buat Diana gitu?" Muka Reza semakin tertekuk mendengar Morgan sepertinya meragukannya. Tapi, Bisma, Si kakak ipar yang baik hati dan suka bikin adik iparnya geregetan itu terdengar membela.

"Tenang, Gan. Dia nggak bakal macem-macem kok. Kalau dia berani mainin adek gue, bakalan gue kulitin nih anak biar kapok."

"Emang gue kacang apa mau dikulitin." Sungut Reza lagi, setengah menggumam.

"Lo tuh ngomong awalnya doank yang enak, Bii. Tapi ujung-ujungnya ngancem juga."

"Tunggu. Lo tadi panggil gue apa?" Reza diam untuk beberapa saat, sambil mengamati wajah Bisma yangg,,,, Arrrggghhhh bikin dia jengkel. "Coba ngomong lagi lo tadi panggil gue apa???" Bisma mencondongkan kupingnya ke depan muka Reza, mebuat Reza mendengus.

"Bii."

"Ooo,,, Bii. Padahal gue ngajuin syaratnya baru semalem lho. Emang lo udah lupa sama syarat terakhir yang gue ajuin ya??? Reza agak-agak amnesia ya, Dii???" Saat Bisma mengalihkan pertanyaannya pada diana, yang ditanya cuma angkat bahu. "Apa perlu gue tegesin lagi syarat gue apa???"

"Nggak perlu." Sahut Reza cepat-cepat. Dan setelah mengamati wajah-wajah bingung di depannya, pemuda itu membuang muka dengan kesal. Apalagi melihat Diana sama Nanda yang sudah terkikik-kikik menahan tawa.

"Adek ipar yang baik," Kali ini, Bisma mengalungkan tangannya di bahu Reza, berusaha ngebaik-baikin Reza. Tapi tampang usilnya masih saja menempel di wajahnya. "Coba panggil kakakmu ini yang bener."

"Iiissshhh,,,, lo mah." Lagi-lagi Reza menggerutu.

"Panggil yang bener, atau,,,,,,"

"Iya,,, Kak Bisss,,, Maaa,,,,, iissshhhh seriusan nyebelin banget deh lo."

"Apa?? Kak Bisma???" Morgan dan Rangga kompak bertanya dengan tampang terkejut. Awalnya, kedua pemuda yang tadinya cengo itu hanya tertawa kecil. Tapi setelah saling pandang dan melihat tampang tengilnya Bisma, tawa mereka langsung pecah. Bahkan, kedua gadis yang tadinya juga memasang muka datar itu juga ikut tertawa karena adegan menggelikan itu. Reza semakin ngedumel-dumel kesal karena telah menjadi bahan tertawaan.

"Terus, terus aja lo pada ngetawain gue. Enak kali ya, jadi bahan tertawaan gitu." Tak ada yang menghiraukan ocehan Reza. Semua masih saja mengeluarkan tawa.

"Aduh, adeknya Bisma. Manis banget sih?" Dengan usilnya, Rangga menepuk-nepuk pipi Reza seperti menepuk-nepuk pipi anak kecil, membuat Reza memalingkan muka. "Gimana kalau sekarang kita panggil Reza adek aja. Dek Reza gitu kan seru. Hahahaa."

"Iya. Kayaknya bakalan tambah unyu deh Si Reza kalau dipanggil adek." Morgan menambahkan masih sambil tertawa geli. Hanya dumelan-dumelan nggak jelas yang bisa dikeluarkan Reza, karena ngomongpun juga sudah tidak mempan untuk menghentikan tawa mereka.

"O iya, berhubung gue ini juga temennya Bisma, gimana kalau lo juga panggil kita berdua kakak. Kak Rangga sama Kak Morgan gitu kayak Diana." Kembali, mereka tergelak dengan guyonannya Rangga.

"Ogah banget gue. Manggil Si mungil ini kakak aja gue terpaksa. Apalagi manggil Kakak sama lo berdua." Reza kembali ngoceh-ngoceh. "Udah ah. Daripada di sini gue BT mendingan gue cabut. Ayo, sayang." Tanpa menghiraukan tawa mereka lagi, Reza kembali menyahut tangan Diana dan segera angkat kaki dari sana sebelum hatinya tambah kesal. Dan di tempat mereka berdiri, keenam orang itu masih tertawa melihat Reza yang masih saja ngedumel-dumel.

Tawa mereka baru berhenti saat Shita dan Afra menyadari kalau saat ini, hati mereka tengah kesal pada kekasihnya masing-masing. Dan begitu tawa mereka mereda, kedua gadis itu kembali memasang wajah datar. Bisma dan Nanda yang masih belum tau permasalahan mereka itu masih bertanya-tanya dalam hati kenapa keempat temannya yang biasa mesra-mesraan itu pagi ini tampak aneh. Apalagi mendengar Shita pamit begitu saja tanpa memperdulikan Rangga.

"Gue ke kelas duluan." Ucap Shita, masih sedatar mungkin. "Lo masih mau di sini apa mau ke kelas, Gan? Kalau udah mau ke kelas kita bareng aja." Lanjutnya.

"Gueeee,,,," Suara Morgan terdengar ragu.

"Gue juga udah mau ke kelas. Lo mau ke kelas kapan, Ngga. Kalau mau lo bisa bareng gue sekarang." Afra ikut-ikutan pamit, tanpa mau menoleh juga ke arah Morgan. Dan akhirnya, kedua gadis itu melangkah pergi. Morgan dan Rangga hanya menatap kepergian mereka yang berlawanan arah dengan raut sendu. Mereka masih bingung bagaimana caranya agar kedua gadis itu mau bicara. Tapi sepertinya, kedua gadis itu memang perlu waktu untuk menata hati. Jadi Morgan ataupun Rangga juga hanya bisa menerima sikap mereka.

"Lo pada kenapa sih? Kok aneh gitu?" Bisma bertanya saat ia tak tahan lagi melihat raut muka mereka yang sama sekali tidak enak dipandang mata. Tapi tak ada yang sudi menjawab. Rangga malah menengok ke arah Morgan setelah menghela nafas berat.

"Lo ikutin Shita deh, Gan. Gue ikutin Afra." Ucapnya lesu.

"Jangan-jangan kalian udah ngikuin saran gue waktu itu ya?" Tanya Bisma lagi. Mendengar pertanyaan Bisma kedua pemuda itu menautkan alis sambil menatap sahabat mungilnya itu.

"Saran lo yang mana?" Morgan yang bertanya.

"Gue kan pernah bilang kalian tuker pasangan aja. Kalian beneran tukeran pasangan sekarang?" Dengan tampang polos, Bisma mengajukan pertanyaan yang sukses mebuat kedua sahabatnya membelalak kaget, hingga kemudian,,,,

Pletak!!!

"Enak aja kalau ngomong." Kompak, kedua pemuda itu berseru setelah sama-sama mendaratkan jitakan di kepala Bisma. Merekapun segera meninggalkan Bisma yang meringis-ringis kesakitan sambil memegangi kepalanya, dan berjalan mengikuti Afra, juga Shita.

"Aduhh,,,aduuhh,,, orang cuma tanya kenapa dijitak sih?" Ujar Bisma, masih sambil meringis-ringis.

"Lagian kamu sih. Orang mukanya lagi pada BT kayak gitu kamunya malah bercanda." Nanda yang kasihan melihat Bisma itu ikut-ikutan menggosokkan tangannya di kepala Bisma, membuat Bisma merasa nyaman meski tetap saja kepalanya yang terkena dua jitakan itu tetap terasa sakit.

"Emang Afra sama Shita kenapa sih, Nda? Kok mereka aneh?"

"Nggak tau. Mereka nggak cerita."

Nanda masih mengamati kedua sahabatnya yang kini menjauh darinya, masih dengan hati bertanya-tanya. Tidak biasanya mereka menyembunyikan masalah mereka seperti itu. "Mungkin cuma belum cerita aja." Pikir Nanda, berusaha berbaik sangka.

"Ntar sore coba aku tanyain. Masa' ngambek kok kompakan gitu??" Gumam Nanda, masih dengan mengelus-elus kepala Bisma.

* * * * *

Dicky tengah duduk terpekur di ranjangnya dengan memeluk guling. Semalaman, pemuda itu sulit tidur. Pikirannya kacau. Perasaannya kalut. Dan itu karena telponannya dengan Diana semalam. Pemuda itu tak pernah menyangka kalau teman SMAnya yang dulu tak berarti apapun untuknya itu kini malah sangat berpengaruh dalam perubahan perasaannya.

Ia tak begitu mengerti kenapa perasaannya bisa jadi seperti ini karena berita itu. Berita yang membahagiakan untuk Diana itu perasaan Dicky justru seakan porak poranda. Ia tak bisa memejamkan mata dengan tenang semalaman. Dan sekarangpun, ia malas melakukan apapun. Ia malas kuliah, malas mandi, malas sarapan. Pokoknya serba malas karena perasaannya yang tidak enak. Ia hanya duduk di ranjangnya, dengan pikiran menerawang.

"Gue jatuh cinta sama Diana." Gumamnya, masih dengan pandangan kosong. "Dan Diana nggak pernah tau, karena gue pun juga baru sadar." Lanjutnya. "Dan sekarang semua udah terlambat. Dia udah pacaran sama Reza. Dia sangat mencintai Reza. Dan gue,,,,," Dicky menghela nafas perlahan, dan menghempaskannya dengan berat. "Cinta bertepuk sebelah tangan itu sakit. Arrrggghhhh,,,,, kenapa harus ada perasaan kayak gini sih? Kenapa gue nyaman banget kalau lagi sama dia? Dan kenapa gue uring-uringan terus kalau nggak ada dia? Kalau nggak telpon dia? Kenapa harus kayak gini???" Ceracaunya, dengan muka frustrasi.

Pemuda itu kemudian membanting gulingnya ke kasur, dan beranjak dari ranjang yang ia duduki. Dengan langkah gontai, ia menuju ke sebuah ruangan kecil tempat ia menyimpan berbotol-botol minuman keras miliknya. Dari sana, Dicky mengambil sebuah botol dan membawanya ke lantai teratas rumahnya, di tempat favoritnya. Berharap ia akan memperoleh ketenangan di sana.

* * * * *

"Halo,,,Maaf hari ini saya tidak bisa masuk kerja." Gadis itu berbicara di telpon dengan bahasa Inggris. "Mungkin untuk beberapa hari ke depan saya tidak bisa datang ke kantor. Ada kepentingan yang harus saya selesaikan,,,,,, Mungkin sekitar seminggu ,,,,, Iya. Saya akan mengerjakan pekerjaan saya di rumah ,,,,,,,,,, iya. Saya janji pekerjaan saya akan selesai sesuai dateline ,,,, Ok terima kasih."

Setelah mengakhiri telponnya, gadis itu menghela nafas lega. Ia tak menyangka kalau permohonan ijinnya akan gampang dikabulkan seperti itu. Semalaman, dia terus berpikir apa yang harus dilakukannya hari ini, mengingat kekasihnya yang sampai sekarang belum tau tentang pekerjaannya itu sekarang ada di sini, di apartemennya. Ia harus tetap stay di rumah kalau dia tidak mau pekerjaannya ketahuan.

Kemarin, Vita sempat berbincang dengan Rafa tentang pekerjaan. Dan pemuda itu menentang keras kalau Vita cari kerja di sini. Jadi niat awalnya yang akan memberitahu Rafa tentang pekerjaannya itupun ia urungkan sampai sekarang.

Baru saja gadis itu bernafas lega karena ijin kerjanya dikabulkan dengan mudah, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sosok yang kini berdiri mematung di depan pintu balkon mengamatinya.

"Jadi kamu udah kerja di sini???" Ujar pemuda itu, dengan nada tak ramah sama sekali.

"Rafa????"

Bersambung,,,,

By: Novita SN