Begitu mendapat
telpon dari Nanda yang menyuruhnya untuk segera datang ke asrama putri karena
Afra pingsan, Morgan segera beranjak dari duduknya. Pemuda itupun buru-buru
keluar dari kamarnya dan menuju ke asrama putri. Dan tanpa perlu dikomando
lagi, kedua sahabatnya yang sedari tadi bersamanya juga langsung mengekor di
belakang Morgan.
Saat ketiga
pasang kaki itu menginjak kamar yang mereka tuju, tampak Afra telah tersadar
dari pingsannya. Gadis itu terlihat pias dengan tangis yang belum juga
berhenti. Di sampingnya, Nanda juga Shita berusaha menenangkan. Kedua gadis itu
sepertinya juga masih saja menangis. Terlihat dari sembab yang menghias di
kedua kelopak mata mereka. Dan melihat keadaan itu, hati ketiga pemuda yang
tengah mematung di ambang pintu itu sama-sama berdesir. Terenyuh dengan apa
yang mereka lihat.
Melihat Morgan
telah sampai di kamar mereka, Nanda dan Shita berdiri dari duduknya, dan
sama-sama menatap Morgan dan Afra bergantian. Dan begitu mereka yakin bahwa
Afra dan Morgan memang butuh bicara, merekapun segera melangkahkan kaki keluar
kamar bersama Bisma dan Rangga, membiarkan Morgan berjalan mendekat ke ranjang
Afra.
Morgan
mendudukkan tubuhnya tepat di depan Afra, dan memandangi kekasihnya yang masih
saja menangis itu. Awalnya, ia tak melakukan apapun. Ia hanya memandang, tanpa
berucap. Baru setelah Afra kembali sesenggukan, tangan Morgan terangkat dan
mengusap lembut pipi sembab Afra.
“Maafin aku.”
Lirihnya, seraya terus mengusap-usap lembut pipi Afra. Dan tanpa ia sadari,
sebulir bening tiba-tiba jatuh ke pipinya. Afra yang melihat Morgan menangis
itu akhirnya beringsut mendekat ke arah Morgan, dan mendekapnya erat. Ia
tenggelamkan kepalanya di dada Morgan, dan kambali menangis di sana.
“Maafin aku.”
Sekali lagi, Morgan berucap lirih. Tapi di dalam dekapannya, Afra malah
menggeleng. Entah apa arti gelengan itu. Mungkin dia ingin bilang kamu tidak
perlu meminta maaf. Atau mungkin ini bukan salahmu. Atau apalah, Morgan sendiri
tak bisa menerka. Ia sendiri tak peduli dengan apa yang ingin dikatakan Afra.
Yang ia inginkan sekarang hanyalah tetap memeluk kekasihnya, memberi ketenangan
untuk separuh jiwanya itu.
Dan dengan
dekapan Morgan itu, sedikit demi sedikit, tangis Afra kian mereda. Serasa ada
ketentraman yang amat sangat yang menyeruak ke dalam hatinya kala Morgan
mendekapnya seperti itu. Tak bisa ia pungkiri kalau sebenarnya, selama ini ia
merasa sangat rindu. Dan dengan dekapan Morgan itu, kerinduannya seakan
terobati.
‘* * * * *
Sesungging senyum
merekah di bibir Rafa saat dilihatnya, orang yang sedang ia tunggu muncul dari
balik pintu kedatangan penumpang. Sudah sejak setengah jam yang lalu Rafa
terduduk di ruang tunggu bandara untuk menjemput kekasihnya. Setengah jam yang
serasa bagai setengah abad bagi Rafa. Entah kenapa kalau sedang menunggu
seperti itu, waktu seolah berjalan seperti siput. Satu menit saja berasa satu
tahun. Dan Rafa benar-benar merasakan waktu yang berjalan lambat itu selama
beberapa bulan ini.
“Menunggu itu
emang nyebelin!!!” Gerutunya, suatu kali.
Dan kini, dadanya
merasa sangat lega karena penantiannya telah berakhir. Itu menurutnya. Tapi
keadaan belum tentu berkata seperti itu. Tapi, berhubung Rafa tidak tau keadaan
yang sebenarnya, kini hatinya merasa sangat lega.
Melihat senyum
Rafa yang terlihat sumringah, Vita yang baru menjejakkan kaki di Bandara Soeta
itupun ikut menyunggingkan senyum. Di belakangnya, Om Arif dan tante Nella juga
tampak tersenyum kepada Rafa. Beberapa hari yang lalu, kedua orang tua Vita itu
memang punya sedikit urusan di Malaysia. Sangat kebetulan urusan mereka selesai
menjelang kepulangan Vita. Jadi, mereka bisa pulang bareng bersama putri mereka
sekarang ini.
Dengan hati yang
begitu senang, gadis itu telah bersiap menyambut Rafa. Tapi, wajah gadis itu
berubah manyun saat tiba-tiba, Rafa melewatinya begitu saja dan berjalan lurus
menuju ke arah kedua orang tuanya untuk menyalami mereka. Mata Vita terbelalak
kaget dan keningnya berkerut saat Rafa sepertinya sama sekali tidak
mempedulikannya. Bibirnyapun kini telah monyong ke depan beberapa mili. Dan
karena kesal, gadis itu akhirnya menghentakkan kakinya dengan kesal, dan
meneruskan perjalanannya menuju parkiran bandara.
Kedua tengah baya
yang tau betul kalau Rafa tengah mengerjai putrinya itu hanya menahan tawa.
Rafapun juga menahan tawa mendengar hentakan kaki kekasihnya tadi.
“Ngambek tuh.”
Ujar tante Nella usai menerima jabatan tangan Rafa, dan Rafa hanya terkekeh
geli. “Udah, susul sana. Kamu tuh hobby amat sih, godain dia.”
“Abisnya, anaknya
tante tuh tambah manis kalau lagi manyun kayak gitu.” Rafa tergelak kemudian,
seraya melempar pandang pada Vita yang kini nyelonong saja seperti mobil angkot
yang remnya blong. “Tante sama Om mau ikut mobilnya Rafa, atau gimana?”
“Enggak usah ah.
Tante sama Om dijemput sama Pak Bakri.” Jelas Om Arif. “Lagian kalau kita
numpang di mobil kamu, ntar ganggu lagi.” Lanjutnya, masih menahan senyumnya.
Dan di depannya, Rafapun tampak tersenyum malu.
“Ya udah deh,
kalau gitu Rafa susul Vita ya, Om, Tante.”
“Iya. Kamu
hati-hati bawa mobilnya, ya.”
“Iya, Tante.”
Rafapun
berlari-lari kecil menyusul Vita yang kini ngedumel-dumel nggak jelas seraya
menyeret koper kecilnya. Berkali-kali gadis itu mendengus kesal karena ulah
kekasihnya itu. Mukanyapun kini masih tampak merengut. Dan melihat itu, Rafa
benar-benar merasa lucu, bercampur geli.
“Ehm,,, sendirian
aja neng?” Ujar Rafa, seraya menjajari langkah Vita. Gadis itu hanya melirik
sebentar, lalu kembali focus pada jalanan. Sekali lagi, dia mendengus kesal
tanpa menjawab.
“Emang nggak ada
yang jemput ya?” Rafa bertanya lagi.
“Enggak!!!”
Singkat Vita.
“Kasihan banget,
sih? Emang cowoknya ke mana? Kok nggak ngejemput?”
“Tau.” Mendengar
jawaban-jawaban singkat Vita, Rafa kembali menahan tawanya.
“Kalau gitu, aku
anter pulang aja yuk. Mau nggak?”
“Nggak mau.”
“Nggak mau?
Beneran nggak mau?” Tak ada jawaban. Gadis itu malah tambah memajukan bibirnya.
“Ya udah kalau
nggak mau.” Dengan seringaian nakalnya, Rafa berpura hendak meninggalkan Vita, membuat
gadis itu lagi-lagi mendengus dan menghentikan jalannya.
“Rafaaaaa,,,,,,,”
Teriaknya, kesal.
Tapi bukannya
merasa bersalah, Rafa malah tergelak mendengar teriakan Vita. Iapun kembali
mendekati gadisnya, dan meraih bahu kekasihnya itu.
“Gemesss,,, deh
kalau lagi manyun gini.” Ujarnya, seraya menempelkan keningnya di kening Vita.
Dan beberapa detik kemudian, pemuda itu meraih gadisnya ke dalam pelukannya.
Beberapa saat mereka berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Seolah-olah, kedua insan yang tengah dilanda rindu itu sama-sama ingin
menikmati desiran-desiran halus yang mengisi hati mereka. Hingga beberapa saat
kemudian, Vita kembali ngedumel-dumel nggak jelas di dalam pelukan Rafa,
membuat pemuda itu lagi-lagi tergelak.
‘* * * * *
"Aku harus
ke rumahmu sekarang buat ngejelasin semuanya sama Mama Papa kamu atau gimana,
Fra?"
"Nggak perlu
sekarang, Gan. Tunggu hari minggu aja. Kita nggak perlu ninggalin kuliah."
"Ya udah.
Malam minggu nanti, aku akan langsung ke rumahmu dan,,,"
"Jangan."
"Kenapa?"
"Mendingan
kamu jelasin aja ke mama sama papa kamu dulu. Biar aku sendiri yang jelasin
sama mama papa aku." Afra sedikit memberikan jeda, lalu menghela nafas.
"Mama sama papa aku belum tentu terima dengan penjelasan kamu. Aku takut
papa bakalan marah besar sama kamu. Jadi,,," Afra mendongak, dan menatap
wajah Morgan yang kini masih mendekapnya, sambil mendengarkan perkataannya
dengan seksama. "Biar aku aja dulu yang bicara. Kalau nanti pikiran papa
udah mulai tenang, baru kamu datang."
Morgan tak
menjawab. Dari guratan di wajah pucat Afra, pemuda itu seperti mencium
kegusaran dan kegelisahan. Dan itu membuat rasa bersalah di dalam hatinya
semakin meletup.
"Mama sama
Papa kamu pasti kecewa banget sama aku, Fra. Aku udah janji bakalan jagain kamu
dari apapun. Tapi nyatanya aku nggak bisa jagain kamu. Bahkan dari diriku
sendiri." Ucap Morgan dengan penuh penyesalan, lalu mempererat pelukannya.
"Maafin aku, Fra. Maafin aku."
"Aku udah
maafin kamu, Gan. Bahkan sebelum kamu minta maaf."
Mendengar ucapan
Afra itu, wajah Morgan yang sedari tadi muram sekarang agak mencerah. Beban
berat yang selama ini menggantungi hatinya sedikit meringan. "Kamu beneran
maafin aku, Fra???" Gadis itu mengangguk, membuat Morgan semakin lega. "Terima
kasih, Fra. Terima kasih." Ujarnya senang, lalu mencium pucuk kepala Afra.
"Aku pikir karena kejadian itu, kamu bakalan benci sama aku, Fra. Aku
pikir gara-gara kejadian itu,,, aku,,, bakalan kehilangan kamu."
"Enggak,
Gan. Aku akan tetap sama kamu. Lagian, kesalahan ini bukan sepenuhnya salah
kamu, kan?! Aku yakin sebenarnya kamu nggak bermaksud melakukannya. Tapi waktu
itu,,,,," tiba-tiba bayangan kejadian malam itu mengelebat di benak Afra,
membuat perasaan malu tiba-tiba menyerangnya. "Semua terjadi begitu saja.
Dan mau disesalipun sudah tidak ada gunanya. Semua sudah terjadi." Ucapnya
lagi, seiring dengan air matanya yang jatuh sebutir lagi.
Morgan mengusap
pelan bulir bening yang kembali membasahi pipi Afra. Dalam benak pemuda itu,
berbagai pertanyaan timbul. Kenapa Afra sepertinya tidak terlalu
menyalahkannya? Kenapa Afra juga sepertinya menyesal? Seolah-olah dalam
kejadian itu, Afra juga merasa bersalah. Lalu apa yang membuat Afra menjauhinya
selama ini??? Apa mungkin Afra sadar kalau malam itu dia yang memulai
semuanya??? Dan kenapa tiba-tiba Afra jadi kalap seperti itu malam itu???
Sementara batin
Morgan berkecamuk, tiba-tiba Afra merasa mual di perutnya. Gadis itu buru-buru
melepas pelukannya, dan membungkam mulutnya sendiri.
"Huek,,,"
Hampir saja Afra muntah, tapi untung masih bisa tertahan.
"Kamu
kenapa, Fra??? Kamu nggak pa-pa?"
"Kamu belum
mandi ya, Gan?" Tanyanya agak terdengar kurang jelas karena mulutnya masih
dalam bekapan tangannya sendiri.
"Belum.
Emang kenapa? Kok tau sih?"
"Bau,
Morgan,,," Kembali, gadis itu hampir muntah.
"Bau???"
Pemuda itu mengernyit bingung, lalu mencium badannya sendiri. "Perasaan
biasa aja deh. Biasanya kamu juga suka sama bau parfum maskulinku. Kamu bilang
parfum maskulin yang bercampur sama keringatku baunya tambah enak."
"Tapi
sekarang bau, Morgan. Aku nggak tahan."
Pemuda itu
semakin mengernyitkan dahinya. Memang tidak biasanya Afra bersikap seperti itu.
Biasanya, gadis itu suka berlama-lama dalam pelukannya, karena dia sangat
menyukai bau badan Morgan. Tapi kenapa sekarang dia seperti ini? Pikir Morgan.
Tapi begitu
pandangannya menangkap salah satu tangan Afra yang mengusap-usap perutnya,
seketika pemuda itu tersadar akan sesuatu. Dan saat menyadari hal itu, entah
kenapa hatinya mendesir hebat. Sudut bibirnya tertarik, hingga menorehkan
seulas senyum. Matanya kini telah berkaca. Dan tanpa sadar, salah satu
tangannya terulur dan ikut menyusuri perut Afra yang masih datar.
"Pasti
karena dia." Ujar Morgan, membuat Afra menengok ke arahnya. Pemuda itu
tersenyum melihat pandangan Afra yang sepertinya menyiratkan kebingungan.
“Tapi,,, masa’ dia nggak suka sama bau badan Papanya, sih? Mamanya aja suka.”
Guraunya, seraya mengelus lembut perut Afra. Dan entah kenapa, mual yang tadi
menyerang Afra tiba-tiba menghilang saat perutnya dielus oleh Morgan seperti
itu. Mungkin karena naluri kebapakan Morgan yang ia asupkan lewat elusan
tangannya mampu menenangkan calon bayi dalam kandungan Afra. Jadi, mual yang
Afra rasakan sedikit berkurang.
“Aku nggak tau
perasaan aku ini salah atau benar, Fra. Tapi,,, meski kejadian itu nggak
sengaja, sekarang aku merasa sangat senang dan bahagia dengan kehadirannya.”
Lagi-lagi Morgan mengusap perut Afra. “Dia darah dagingku, Fra. Foto copyanku.
Dia ada di sini. Di dalam tubuhmu. Aku,,, aku,,,” Suara Morgan agak tercekat,
karena menahan perasaan yang bercampur-campur. Antara resah, bahagia, gusar,
dan entah rasa apalagi yang menghuni hatinya saat ini. “Aku tambah sayang
banget sama kamu, Fra.” Ujarnya, seriring dengan tangannya yang kini terangkat
untuk kembali memeluk kekasihnya. Tapi begitu tangan itu hampir merengkuh tubuh
di depannya, tiba-tiba gerakannya berhenti.
“Kenapa? Kok
nggak jadi?” Afra bertanya bingung karena Morgan mengurungkan niatnya. Sekali
lagi, pemuda itu menciumi tubuhnya sendiri. “Takut kamu muntah.”
Afra tersenyum,
dan beringsut mendekati Morgan, lalu memeluknya. “Udah nggak mual lagi kok.”
Ujarnya. Morganpun membalas pelukan Afra. Beberapa saat mereka hanya saling
berpeluk seperti itu. Hingga kemudian, tangan Morgan kembali menelusup ke perut
Afra dan mengelusnya.
“Fra, jagain dia
ya. Aku janji akan ngelakuin yang terbaik untuk kita.” Morgan berujar lirih,
lalu mencium pucuk kepala Afra. Dan ujaran lirihnya itu mendapat balasan sebuah
anggukan dari Afra.
‘* * * * *
“Lo mau ngapain
ke sini?”
“Aku kangen sama
kamu, Ky.” Gadis berambut panjang itu mendekati Dicky yang kini tengah terduduk
di balkon atas sambil memegang sebuah botol minuman. “Jangan minum banyak-banyak,
Ky. Nggak baik buat tubuh kamu.” Ujarnya, seraya meraih botol yang digenggam
Dicky. Tapi dengan cepat, Dikcy menepis tangan gadis itu.
“Lo nggak usah
pura-pura care sama gue.” Ucapnya dingin, lalu beranjak dari duduknya dan
menjauhi gadis itu. Seolah tak gentar mendapat perlakuan dingin seperti itu,
gadis itu mengikuti langkah Dicky yang kini menuju ujung balkon. “Lo mau
ngapain ke sini?” Dicky mengulang pertanyaan yang belum juga dijawab oleh gadis
itu.
“Udah aku bilang,
aku kangen sama kamu, Ky.” Masih jawaban yang sama. Dan itu membuat Dicky
tersenyum sinis. Ia lirik mantan kekasihnya yang kini terlihat mengiba itu
sekilas, lalu membuang pandang ke langit luas sambil meneguk air dalam botol
yang dipegangnya.
“Kalau cuma mau
ngomongin hal yang nggak penting kayak gitu mendingan lo nggak usah ke sini.
Gue udah muak denger omong kosong lo.”
“Ky, maafin aku.
Aku harus berapa kali bilang maaf sama kamu biar kamu ngasih maaf itu ke aku.
Aku udah nyesel, Ky.”
“Nyesel karena lo
udah dikecewain sama cowok itu? Nyesel karena lo tau kalau cowok itu brengsek?
Sekarang, lo baru inget kalau gue lebih baik dari dia, dan lo ngemis-ngemis
maaf ke gue? Lo pikir gue tempat sampah apa? Seenaknya aja lo datang dan pergi
dari kehidupan gue? Lo pikir gue orang naïf yang kalau lihat cewek
ngemis-ngemis kayak gitu, trus gue iba. Enggak!!! Di hati gue nggak ada
sedikitpun iba buat lo. Jadi mendingan lo pergi dari sini, karena mau lo ngemis
sampai gimana juga gue nggak bakal nggubris permintaan maaf lo.”
“Tapi Ky, aku,,,”
“Pergi dari rumah
gue, atau gue bakalan panggil satpam buat nyeret lo keluar.”
“Ky, dengerin aku
dulu. Aku ke sini nggak Cuma mau minta maaf sama kamu. Tapi aku mau ngasih tau
hal yang penting buat kamu.”
“Tentang?”
“Tentang pacar
baru kamu. Diana.”
Mendengar nama
itu, batin Dicky tersentak. Ada segores luka yang terasa memerih di sudut
hatinya. Luka yang tergores sebulan yang lalu. Yang sampai sekarang masih saja
menghuni hatinya. Luka yang seharusnya tidak ada. Luka yang semakin hari
semakin sakit bagai tersiram air garam karena sampai sekarangpun, Diana masih
saja menelponnya untuk bercerita. Menceritakan kisah kasihnya bersama pacarnya,
tanpa tau perasaan Dicky. Tanpa mengerti apa yang dirasakan Dicky. Dan Dickypun
bungkam tentang perasaannya. Membiarkan luka itu terus menganga, tanpa bisa
mengobatinya.
Bagaimana bisa
Dicky mengobatinya sedangkan kini, ia telah kecanduan suara Diana. Kecanduan
cerita-cerita Diana. Bagi Dicky, sekarang ini mungkin Diana seperti Alkohol
yang kini ditenggaknya. Meski ia tau kalau dengan meminumnya bisa merusak
organ-organ tubuhnya, tapi Dicky tetap ingin menenggaknya, untuk menghilangkan
stressnya. Begitulah Diana. Meski dengan mendengar cerita-ceritanya hati Dicky
akan sakit, tapi Dicky ingin selalu mendengar suara Diana, untuk menghilangkan
kepenatan hatinya. Entah kenapa baru-baru ini, hanya suara Diana yang bisa
menenangkan hatinya yang ruet karena masalah keluarganya. Karena meski
bercerita yang membuat hatinya sakit, Diana juga tak jarang memberi support
pada Dicky yang juga sering curhat padanya.
“Ada temanku yang
melihat Diana jalan sama cowok lain, Ky. Dan temanku itu yakin kalau itu adalah
pacar Diana yang lain selain kamu.” Ujar Eriska, menggebu. “Diana udah
khianatin kamu, Ky. Jadi untuk apa kamu bertahan sama dia?” Lanjutnya.
Dicky masih tak
berniat menatap Eriska yang tengah berbicara dengannya. Dengan kesal, pemuda
itu mendengus, lalu menenggak minumannya lagi. Tatapannya masih terpaku pada
langit di atasnya.
“Apalagi yang mau
lo bilang?”
“Aku punya foto
mereka berdua. Lihat ini.” Gadis itu menyodorkan sebuah amplop coklat yang baru
saja ia ambil dari dalam tasnya. Tapi Dicky tak menggubris. Jangankan menerima
amplop coklat itu. Meliriknyapun tidak. Dan karena itu, akhirnya Eriska membuka
amplop coklat itu sendiri, dan mengeluarkan isi di dalamnya.
Dua lembar foto
Diana bersama Reza yang tengah bergelendotan mesra terpampang jelas di sana.
Eriska memperlihatkannya pada Dicky, dan ternyata foto itu berhasil mengalihkan
perhatian Dicky. Dicky menatap foto itu intens, sebelum kemudian menyahut foto
itu dengan kasar, lalu meremasnya. Sekali lagi, luka di sudut hati itu tersiram
air garam. Dan sumpah demi apapun, Dicky merasakan sakit yang amat sangat.
“Gue udah lihat
fotonya. Trus lo mau apa lagi?”
“Aku mau kamu
membuka mata, Ky. Inilah cewek yang selama ini kamu puja-puja. Inilah cewek
yang selama ini kamu bela-bela. Dia Cuma penghianat, Ky.”
“Trus lo sendiri
apa????” Sentak Dicky, dengan penuh amarah. Matanya yang kini memandang Eriska
memancarkan kilatan kemarahan yang begitu menggelegak. Eriska yang ketakutan
melihat ekspresi Dicky itu sampai memundurkan tubuhnya beberapa langkah.
Mukanya kini memucat. “Lo ngatain Diana kayak gitu seolah-olah lo nggak pernah berkhianat.
Kalau lo bilang Diana itu penghianat, lo mungkin lebih dari itu. Gue tau nggak
Cuma sekali lo berkhianat di belakang gue.” Ujar Dicky, seraya menunjuk muka
Eriska dengan kejam. “Dengar ya. Lo nggak tau apa-apa tentang Diana. Jadi lo
nggak usah ngomong apa-apa tentang dia. Ngerti lo.” Pungkasnya, seraya
melemparkan foto di tangannya ke muka Eriska.
Pemuda itupun
melangkahkan kakinya meninggalkan Eriska, menuju ke pintu balkon dan turun ke
bawah. Amarahnya benar-benar menggelegak. Matanya memerah, mukanya terlipat. Ia
seperti kehilangan akal, tak lagi memperhatikan hal-hal di sekitarnya. Bahkan
sopirnya yang saat itu melihat kelebatannya dan menyapanyapun tak ia gubris.
Dengan langkah panjangnya, pemuda itu pergi menuju garasi, tempat ia menyimpan
motor sportnya.
“Arrrggghhhh,,,,,”
Pyarrr!!!!! Botol minuman itu sukses menjadi serpihan-serpihan kecil setelah
Dicky membantingnya. “Gue pengen benci sama lo, Diana. Gue pengen benci sama lo
kayak gue benci sama Eriska. Seenggaknya perasaan gue lebih enak kalau gue bisa
benci sama lo.” Rutuk Dicky, seraya meremas rambutnya.
Dan begitu ia
melihat Eriska datang ke garasi bersama pembantu dan sopirnya, Dicky buru-buru
menaiki motornya dan melesat meninggalkan rumah dengan kecepatan tinggi.
‘* * * * *
Bersambung
By: Novita SN