Bisma tersenyum kembali. Jantungnya berdebar kencang merasakan
suasana hati yang begitu bahagia itu. Mereka masih bersitatap. Sangat lekat.
Dan perlahan-lahan Bisma mendekatkan bibirnya ke bibir Nanda. Tak ada penolakan
darinya. Tak ada rontaan. Nanda seolah terkesima juga dengan kekasihnya itu. Ia
terhanyut juga di dalam api asmara yang sepertinya saat ini tengah menggelora.
Hingga kemudian,,,,
“Kakakkkk,,,,,,,.” Belum sampai kedua bibir itu ketemu saat suara
Diana menggema di belakang Bisma. Nanda melepaskan pelukannya seketika, dan
melompat menjauhi Bisma, karena ia terkejut dengan suara Diana yang datang
tiba-tiba. “Eh, Diana ganggu ya?”
“Gue paling kesel kalau lagi tanggung-tanggung gini, tiba-tiba ada
orang yang gangguin gue. Sumpah deh. Gue kesel banget.” Gumam Bisma, dengan
menautkan gigi-giginya menahan kesal. Pemuda itu belum juga berbalik. Ia masih
mengatur nafasnya karena menahan kesal.
“Maaf, Kak. Diana beneran ganggu ya?”
“Ya iya lah. Udah tau nanya lagi.” Bentak Bisma, yang kemudian baru
berbalik menghadap adiknya. “Mau apa kamu,,,,” Kata-kata Bisma menggantung,
saat ia menemukan seorang pemuda yang berdiri di sebelah adiknya. “Kok udah
baikan?” Pekiknya, dengan mata membola. “Trus? Ini apa-apaan tangannya pakai
meluk-meluk gini?” Segera, pemuda itu menghampiri tempat adiknya berdiri, dan
mengibas tangan Reza yang tersampir di pundak Diana.”Singkirin tangan lo, Za.”
Reza pun menarik tangannya di pundak Diana, kemudian melipatnya di depan Bisma,
lalu angkat tangan dan memundurkan langkahnya beberapa langkah, tanda ia tak
ingin macam-macam.
“Temen-temen kakak pada nyariin kakak, kakak malah mojok disini?”
“Temen kakak? Siapa?”
“Tu,,, Si Ilham sama gengnya. Emang lo tadi lagi ngerjain apa, sih?
Kok mereka nyariin lo sampai kalang kabut gitu?”
“Perhatian, panggilan kepada
saudara BISMA KARISMA, sekali lagi panggilan kepada saudara BISMA KARISMA di nantikan rekan-rekannya di
ruang F5. Panggilan kepada saudara BISMA KARISMA, BISMA KARISMA, dinantikan
rekan-rekannya di ruang F5. Terima kasih.
Bisma mengernyitkan dahi mendengar pengumuman yang terdengar
menggema di seluruh penjuru kampus itu. “Ngapain sampai diumumin kayak begitu? Emang
gue anak ilang apa?” gerutunya, sedikit kesal.
“Tuh kan kak. Dicariin. Kakak sih. Malah mojok disini aja.”
“Aaarrggghhh,,, Si Ilham emang selalu nggak bisa ngebiarin gue
seneng sebentar aja ya?” Lenguhnya, setelah menarik nafas panjang.
“Kamu juga sama, Dii. Nyebelin tau nggak?” Kali ini, Bisma kembali
membentak adiknya, membuat Diana memundurkan kepalanya karena telunjuk Bisma
menunjuk mukanya dengan kejam.
Bisma kemudian menghampiri Nanda yang kini berdiri sambil
tersenyum-senyum memperhatikannya. Ia rengkuh tubuh gadis itu, dan memeluknya
erat-erat, seolah ingin melepaskan kerinduan yang membelenggu dadanya beberapa
hari ini. Lalu, ia menciumi kening gadisnya berkali-kali dengan gemas.
“Kenapa ya, selalu aja ada yang gangguin kita kalau kita lagi mesra-mesraan
kayak gini?” ujarnya, sambil terus memeluk tubuh mungil itu.
“Kakak, kan ada Diana sama Kak Reza disini. Nggak malu apa?”
“Iya nih. Bikin ngiri aja deh.”
“Bodo amat. Gue udah mendem rindu berhari-hari. Kalau nggak
dilampiasin takutnya jadi jerawat, entar gue jadi nggak keren lagi.”
“Apa hubungannya coba?”
“Pokoknya ada. Nggak usah protes.”
Setelah puas memeluk kekasihnya, Bismapun berpamit untuk kembali ke
ruang kerjanya. Sebenarnya agak berat juga Nanda mengijinkan kekasihnya itu
pergi darinya. Tapi, dia tidak mau egois. Iapun mengangguk saat Bisma
mengatakan bahwa dia harus kembali ke ruangannya untuk menyelesaikan
kerjaannya.
“Kalian masih utang satu penjelasan sama gue. Ingat itu ya. Suatu
saat pasti bakalan gue tagih.” Kata Bisma kepada adik dan temannya itu. Kemudian,
ia melangkah pergi dari belakang panggung menuju ruang kerjanya di F5.
‘*
* * *
*
“Nah, akhirnya datang juga lo.” Seru Ilham saat Bisma menginjakkan
kakinya di ruangan itu lagi.
“Akhirnya datang juga. Emang acara TV apa? Lagian kalian iseng amat
sih? Pakai nyariin gue lewat pengumuman. Kan BBM atau telpon bisa. Ngapain
musti ngerepotin MC? Malu tau?”
“Heh, inget nggak lo naruh HP lo dimana?” Ilham mencoba mengetes
ingatan Bisma. Tapi sepertinya pemuda itu mengalami amnesia sesaat. “Tuh,,,” Dengan
telunjuknya, Ilham menunjuk meja kerja Bisma. Dan disana, HP Bisma tergeletak
begitu saja. Ia lupa membawa HPnya tadi. Ia pun segera duduk di depan mejanya
sambil menahan kesal. Kesal karena ia tidak bisa berduaan dengan kekasihnya.
Kesal karena membiarkan kekasihnya sendirian di luar sana. Kesal karena dia
harus terduduk di ruangan ini, dengan jomblo-jomblo ini, dengan kertas-kertas
ini, dan dengan laptop ini.
“Kalian kenapa sih nggak bisa ngebiarin gue seneng sebentar aja.
Baru juga ditinggal beberapa menit. Udah nyariin.”
“Kemarin kan yang nyuruh gue buat bikin target malam ini itu elo.”
Bruk!!! Ilham menyerahkan setumpuk kertas yang telah ia cek kepada Bisma.
“Jadi, gue nggak bakalan ngebiarin lo seneng-seneng sama pacar lo di luar sana,
dan nyuruh gue pusing sendirian di sini. Nggak bakalan gue biarin!!!” Telunjuk
Ilham bergoyang-goyang di depan mata Bisma, membuat Bisma semakin kesal. Apalagi
saat melihat tumpukan kertas itu. Rasanya otaknya semakin kusut saja. Tapi mau
tak mau, dia harus mengerjakan pekerjaan itu. Dia memang tidak bisa membiiarkan
Ilham kerja sendirian. Sebab, kemarin dia telah berjanji untuk membantu Ilham
mengerjakan tugas itu.
Sebelum Bisma melanjutkan pekerjaannya, ia mengirimkan sebuah pesan
singkat untuk Nanda.
Maaf ya, nggak bisa nemenim
kamu.
Beberapa menit kemudian, pesan singkat itu berbalas.
Sebenarnya sih pengen banget
menikmati malam ini sama kamu. Tapi nggak pa-pa kok. Itu kan tugas. J
Syukurlah Nanda mau mengerti. Bismapun melanjutkan pekerjaannya.
Tapi memang dasarnya otak sudah ruwet sedari tadi, bekerjapun tidak bisa
tenang. Konsentrasi amburadul. Ketikan ngaco melulu. Dipaksain fokuspun tetap
saja pikirannya nyelonong ke Nanda. Jadi akhirnya, ia menyerah.
“Am, gue nggak bisa konsen.” Akunya, sambil menyandarkan tubuhnya
di kursi.
“Trus??”
“Gue musti nemenin Nanda.”
“Nggak bisa!!” Jawab Ilham sedatar mungkin, tanpa beralih dari
tumpukan kertasnya.
“Ayolah, Am. Gue mohon. Gue janji ntar kalau acaranya udah selesai
gue bakal balik lagi ke sini buat nyelesaiin tugas gue.”
“Dan saat lo kembali ke sini ntar, gue udah keriting karena bosen
nungguin lo.”Ilham masih terlihat focus dengan pekerjaannya. “Acara itu pasti
selesainya larut malam. Lo mau balik ke sini jam berapa? Belum lagi kalau lo
ntar ngobrol dulu sama pacar lo.”
“Enggak, Am. Gue janji abis acaranya selesai, gue langsung balik
lagi ke sini.”
“NGGAK MUNGKIN!!!”
“Kok nggak percaya sih, Am?”
“Ya nggak percayalah. Lagian gue juga ogah kalau suruh nungguin lo
sampai malem. Ngapain? Mending tidur di asrama.”
“Kalau gitu, gue bakal balik besok pagi. Pagi-pagi banget. Dan
sebelum lo bangun, gue pastiin kalau pekerjaan gue udah kelar. Gimana?”
“Mana mungkin? Ntar malem lo pasti bakalan tidur larut malam. Nggak
mungkin lo bisa bangun pagi. Tidur sore-sore aja lo bangunnya susah apalagi
tidur larut malem?”
Bisma berdecak. Bingung. Apalagi yang harus ia tawarkan agar Ilham
membiarkannya pergi? Ia terus saja berpikir. Tapi buntu. Otaknya benar-benar
telah ruwet.
“Ayolah, Am. Gue mohon.”
“Kayak anak kecil aja sih, Bii. Ngerengek begitu? Pokoknya nggak
bisa ya nggak bisa. Lo sendiri kan yang pengen nyelesaiin tugas itu malam ini
juga? Jadi gue nggak bakalan ngebiarin lo pergi sebelum lo nyelesaiin pekerjaan
lo. Gue udah terlanjur janji sama Pak Prawoto kalau kita bakalan nyelesaiin
pekerjaan ini malam ini juga. Lo juga kemarin bilang sanggup, kan?!”
Harus Bisma akui kalau perkataan Ilham itu benar. Kemarin ia juga ikut ambil andil dalam pengambilan
keputusan itu. Ia tidak bisa sembarangan melanggar janji pada dosen pembinanya
itu. Sebab sekali saja mereka ingkar janji, dosen pembimbing mereka yang mereka
anggap super killer itu pasti tak akan percaya dengan kemampuan mereka lagi.
Jadi, Bisma harus tetap mengerjakan pekerjaannya, meski dengan setengah hati
sekalipun. Mukanya kini manyun seranyun, seolah menyesali apa yang telah
disepakatinya dengan Ilham kemarin.
Tapi tiba-tiba, deru CPU computer Ilham berhenti dari berisiknya.
Computer Ilham mati. Kertas-kertaspun telah ia simpan di lacinya.
“Kok dimatiin?”
“Nggak tega gue ngeliat lo manyun kayak gitu.” Aku Ilham, seraya
membereskan mejanya. “Kerjaan kita pending sampai besok aja. Gue udah SMS ke
Pak Prawoto kalau kita bakal nyerahin laporannya lusa sore?”
“Beneran, Am?” Muka Bisma berbinar mendengar berita itu. Ilham
Hanya mengangguk, seraya sibuk merapikan mejanya. “Emang boleh?”
“Boleh. Pak Prawoto juga ngerti kok. Lagian daritadi Pak Prawoto
juga SMS katanya kalau emang malam ini kita mau nikmatin acara ini, ya nggak
pa-pa. Nggak usah ngoyo. Dia bilang gitu.”
“Wah,,,, thanx banget, Am. Lo emang temen gue yang paling
baiiiiikkkk,,,,, sedunia.” Seru Bisma, kemudian menyahut HP yang tergeletak di
mejanya, dan beranjak menuju pintu.
“Eh eh eh mau ke mana? Beresin dulu tuh meja lo. Enak aja main
kabur. Emang kita yang suruh beresin? Lagian laptop lo juga nggak mau lo
tinggal di sini, kan?!”
“O iya. Lupa gue.” Ujarnya seraya menepuk jidatnya senrii. Pemuda
itupun kembali ke mejanya, dan merapikan kertas-kertas yang semrawut di mejanya
itu. Lalu, ia matikan laptopnya, dan dimasukannya ke dalam tas. “Trus kalian
gimana?”
“Ya gabung sama temen-temenlah. Nonton acaranya. Masa’ lo mau
nonton, kita suruh bengong di sini aja.” Jawab Ilham sambil membantu keempat
temannya membereskan meja di belakang Bisma.
Setelah semua rapi, Ilham mematikan semua lampu di ruangan itu,
lalu menguncinya. Bisma sudah buru-buru kabur menuju asrama.
‘*
* * *
*
Dengan langkah sedikit terburu, Bisma berjalan
menuju tempat para tamu undangan berada. Tadi dia sudah telpon Nanda untuk
menunggunya di depan pintu masuk. Dan kini, Nanda dengan wajahnya yang begitu
berseri tengah menunggu Bisma. Dia ditemani seorang pemuda yang tak kalah
ganteng dengan Bisma saat ini. Rafael. Dan di sebelahnya, tampak Vitapun juga
menemani Nanda. "Eh, Raf, Vit. Kalian di sini juga ternyata."
"Iya donk. Acara ini kan sebenernya buat angkatan gue. Kaliah mah cuman numpang ngerayain aja."
"Terserah apa kata lo deh, Raf. Gue mah ngikut aja. Debat sama lo mah cuma buang tenaga. Ujung-ujungnya pasti gue yang kena." Bisma kalah sebelum berperang. "O iya. Vita ikut acara ini emang nggak pa-pa? Bukannya acara ini khusus buat anak-anak sini aja ya?"
"Dia mah lain. Tamu undangan. Yang ngundang gue hehehe."
"Ahh,,,dasar lo. Eh, tapi kok kayaknya ada yang berkilau-kilau tuh di jari manisnya Vita." Bisma nyeletuk begitu melihat sesuatu yang melingkar di jari gadis yang kini memakai gaun berwarna hitam itu. "Cieeehhh,,,, kayaknya ada yang kemakan omongan mertua gue kemarin nih."
"Mertua lo? Mertua lo yang mana?"
"Itu tuh, yang kumisnya tebel, trus suka pakai kaca mata. Yang punya anak cantiknya ngelebihin bidadari dari kahyangan."
"Ih,,, pinter lo ya bikin hati adek gue melambung?? Pantesan aja waktu kalian lagi marahan dulu dia sampai galau nggak kira-kira begitu."
"Apaan sih, Kak Rafa nih."
"Emang bener kok."
"Udah ah. Stop. Daripada kita ribut di sini mending kita masuk." Bisma yang sudah mulai tak tahan ingin bermesraan bersama kekasihnya itu akhirnya mengajak.
Sembari melangkahkan kaki menuju ruangan yang disiapkan khusus untuk para mahasiswa yang menerima undangan, mereka masih melanjutkan obrolan mereka.
"Emang kalian serius udah tunangan ya? Kok nggak ngundang-ngundang gue sih?"
"Penting gitu ngundang lo?"
"Ya pentinglah. Gini-gini gue tuh paling antusias sama perkembangan hubungan kalian berdua tau."
"Paling antusias?? Kok bisa?"
"Ya,,, gue aneh aja sama kalian berdua. Udah tujuh tahun pacaran, masa' ditanya nikah malah pada cengo. Makanya waktu gue lihat Vita pakai cincin, otak gue langsung nyambung. Emang kapan kalian tunangan?"
"Kita belum tunangan. Cincin itu cuma tanda jadi aja."
"Tanda jadi? DP donk?"
"Terserah lo mau namain apa. Sekarang, gue duluan ya. Daaa,,,,"
Sementara Nanda dan Bisma masih tertahan di tempat pencatatan tamu karena undangan dan kartu mahasiswa mereka harus diperiksa, Rafael dan Vita malah udah nyelonong duluan memasuki ruangan untuk undangan khusus gitu.
"Kok Si Rafa bisa nyelonong gitu, sih?"
"Mereka tuh undangan VIP di sini. Jadi tanpa bawa undanganpun mereka bisa masuk."
"Enak amat." Sungut Bisma, seraya menatap punggung Rafael yang kini telah bergabung dengan teman-teman seangkatannya.
“Kok malam amat datangnya?” Sapa seorang panitia yang bertugas mengecek undangan dan kartu mahasiswa mereka. Bisma menyerahkan kartu undangan dan kartu mahasiswanya. Nandapun begitu.
“Tadi ada sedikit kerjaan. Jadi agak maleman kesininya.” Gadis panitia itu manggut-manggut mendengar penjelasan Bisma. Ia masih mengecek kartu mereka.
“Lho? Ini bukannya yang nyanyi tadi ya?” Nanda dan Bisma saling pandang, kemudian tersenyum. “Suaramu bagus lho.” Ucapnya lagi, sambil menulis nama mereka di buku tamu. “Ya udah. Silahkan masuk.”
Dan di dalam ruangan itu, mereka menemukan lebih dari seratus pasangan telah terduduk disana.
"Ternyata yang terjebak cinta lokasi banyak juga ya?" Batin Bisma. "Salut juga sama panitianya yang bisa nemuin pasangan sebanyak ini." Ketika mereka tengah celingukan mencari kursi kosong, tiba-tiba ada dua buah tangan melambai ke arah mereka. Ternyata itu Rangga. Ia memberi isyarat agar duduk di sebelahnya. Kebetulan di sebelahnya masih ada kursi kosong. Morgan juga ada bersamanya. Kedua sejoli itupun menghampiri sahabat mereka. Dan begitu mereka sampai, senyum para sahabat menyambut mereka.
“Ehm,,, makin mesra aja nih.”Seru Shita, membuat Nanda tersipu.
“Udah nggak sewot-sewotan lagi nih?” Morgan ikut meledek.
“Coba sewot-sewotan kayak dulu. Kan seru tuh.” Rangga juga menimpali.
“Apaan sih kalian nih. Ntar kalau gue sewot-sewotan sama dia lagi, kalian yang kalang kabut lho. Mau kita nyemplung ke laut lagi kayak kemarin?” Canda Bisma, menjadikan mereka tergelak.
Malam semakin larut. Acara demi acara mereka lewati. Dan kini tiba saatnya pesta dansa yang telah panitia janjikan. Sebuah lagu dari Christina Perri yang berjudul a thousand years mengalun syahdu di tengah aula. Dan di depan sana, beberapa pasang panitia yang sepertinya juga terlibat cinta lokasi mengawali dansa mereka, dan diikuti oleh pasangan-pasangan lain yang maju ke depan untuk berdansa. Bisma berdiri dari tempat duduknya, dan melumahkan tangannya di hadapan Nanda.
“Mau berdansa denganku?”
“Nggak nolak.” Jawab Nanda dengan senyumannya yang begitu manis. Lalu, ia raih tangan Bisma, dan mengikutinya ke depan.
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I’ll love you for a thousand more
Senandung lagu cinta dari Christina Perri yang mengalun-alun itu seolah menggambarkan perasaan mereka saat ini. Cinta yang sedang memekarkan bunga indahnya, menyemerbakkan wanginya, dan cinta yang sepertinya juga tengah menyenandungkan lagu indahnya. Mereka merasa malam itu begitu indah. Begitu mempesona. Tak hanya karena pesta dansa itu, tapi juga karena kerinduan yang kini bisa mereka lampiaskan lewat peluk hangat yang diiringi musik syahdu dari sound system jauh di dekat panggung.
Nanda tersenyum penuh bahagia. Dia benar-benar merasa cinta Bisma begitu besar padanya. Lewat sentuhan-sentuhan tangan Bisma, Bisma menyalurkan kasih sayang yang begitu hebat kepada Nanda. Nanda lalu menyematkan kepalanya di dada Bisma, sambil terus berdansa, mengikuti alunan musik yang masih saja menggema.
"Aku sayang sama kamu, Nda. Sayaaannnggg,,,, banget." Dengan lembut, Bisma mengungkapkan perasaan yang mengisi hatinya itu kepada gadis yang kini berada dalam dekapannya itu. "Aku ingin selamanya seperti ini. Aku ingin selamanya sama kamu. Karena aku,,, aku hanya bisa mencintai kamu, Nda. Hanya kamu. Sekian lama aku menunggu untuk merasakan rasa seperti ini. Dan bersamamu, aku bisa merasakannya. Bersamamu, aku bisa menikmati keindahannya." Lanjutnya, membuat gadis itu semakin mengeratkan tubuhnya.
"Nggak cuma kamu, Bii. Akupun juga begitu. Seluruh ruang di hati ini udah terisi penuh dengan nama kamu."Kali ini, gadis itu mendangak, memperhatikan wajah kekasihnya. "Semua cinta di dalam hatiku ini cuma milik kamu, Bii. Dan akan kuserahkan semuanya untukmu. Aku juga sangat mencintaimu, Bii. Aku nggak akan pernah sanggup kalau harus kehilangan kamu." Kembali, gadis itu menyematkan kepalanya di dada Bisma. Dan dengan lembut, Bisma mencium pucuk kepalanya, membuat hati Nanda semakin bergetar.
Melihat kemesraan Bisma dan Nanda, keempat sahabat mereka yang tadi cuma diam di kursi masing-masing kini ikut berdiri juga dan mengikuti Bisma berdansa.
Beberapa saat mereka saling memperlihatkan kemesraan mereka masing-masing, tiba-tiba ekor mata Morgan melihat pemandangan yang mengejutkan baginya.
"Reza??? Lo,,, kok dateng sama Diana??" Serunya, membuat Bisma juga menghentikan dansanya. Pemuda itu langsung menengok ke arah lemparan mata Morgan. Dan di sana, ia menemukan Reza tengah nyengir kepadanya dengan Diana yang kini berada dalam dekapannya.
"Nyantai bro, nyantai." Sebelum Bisma angkat bicara, Reza sudah memotong duluan. "Sekarang mendingan kita nikmatin dulu pestanya, Ok?? Utang lo bakalan gue lunasin ntar. Suer deh. Gue janji. Tapi sekarang,,," Reza tengok kanan kiri dulu sebelum melanjutkan perkataannya. "Sekarang mendingan kita jangan bikin ribut di sini ya. Kasihan yang lain juga mau nikmatin pestanya." Bisik Reza, membuat Bisma melengos kesal.
"Udahlah, Bii. Biarin aja mereka dulu. Ntar kan bisa dibicarain lagi." Nanda tampak menasehati Bisma yang kini terlihat menahan kesal. Gadis itu memang telah tau apa yang terjadi antara Reza dan Diana. Tiap kali Bisma telpon, Bisma memang selalu berbagi apapun tentang apa yang terjadi padanya, termasuk tentang apa yang terjadi pada adiknya.
Dan karena bujukan Nanda itu, akhirnya Bisma bisa meredam rasa kesalnya.
"Pokoknya gue tunggu bayaran utang lo, Za."
Semua teman-temannya yang tak begitu mengerti tentang utang piutang antara Bisma dengan Reza itu hanya saling pandang, kemudian mengangkat bahu mereka masing-masing.
‘* *
* * *
Bersambung
By: Novita SN
No comments:
Post a Comment