Rafa menghentikan
langkah di pojok tempat parkir. Jantungnya tiba-tiba terasa berhenti berdetak.
Nafasnya tercekat. Ia seperti tak bisa bergerak. Pandangannya lurus ke depan,
menatap seorang gadis cantik bertubuh semampai yang juga mematung beberapa meter
di depannya.
Kalau bisa,
sebenarnya Rafa ingin sekali berlari ke arah gadis itu dan memeluknya erat-erat
untuk menebus kerinduan yang bersemayam di hatinya beberapa hari belakangan
ini. Tapi Rafa tidak bisa. Ego itu menghalanginya. Ego itu memaksanya untuk
tetap tak menghiraukan gadisnya. Ego itu membuat ia bertahan untuk tetap
menjalani aksi ngambeknya. Dan ego itu ... membuat mata bundar gadisnya
digenangi air.
Rafa bisa melihat
bening itu. Ia juga bisa melihat wajah gadisnya memelas, memohon. Ia menyadari
kalau kini hatinya meleleh. Tapi ia bingung harus bagaimana. Ia ingin mendekati
gadisnya, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mencegah. Hatinya kini
berkecamuk.
Ketika pemuda itu
sadar apa yang harus ia lakukan, ia langsung membuang pandang ke arah samping,
lantas kembali melangkahkan kaki. Ia tak lagi melihat gadis itu. Bahkan saat
Rafa melintasinya pun, Rafa sama sekali tak menyapanya. Dari sudut matanya,
Rafa bisa menilik kalau gadis itu masih tetap mematung. Tapi ia berusaha untuk
tak peduli. Ia terus melangkah menuju mobilnya tanpa berkeinginan untuk melihat
lagi kekasihnya.
Vita masih saja
tertegun di tempatnya. Pandangan Rafa sesaat lalu seolah mengunci tubuhnya
sampai ia tak lagi bisa bergerak. Tadi gadis itu berharap tatapan itu akan
menjadi awal mencairnya kembali hati Rafa. Tapi melihat keacuhan Rafa di detik
berikutnya, ia sadar kalau harapannya itu tak akan terwujud.
Kediaman Rafa kali
ini menambah perih ulu hati Vita. Air matanya meluncur seiring dengan tangan
kanannya yang kini telah bisa bergerak dan terangkat hingga ke dada. Ia menekan
dadanya yang semakin terasa ngilu. Sekuat apapun ia berusaha menegarkan hati,
ia tetap tak berhasil menghentikan sesak yang kini membuat tubuhnya
terguncang-guncang.
Gadis itu
memejamkan mata sejenak dan langsung membukanya sebelum ia memutar kepala ke
belakang. Bening yang tadi mengaburkan pandangnya sedikit berkurang, hingga ia
masih bisa menemukan kekasihnya yang kini terus melangkah menjauhinya. Ingin
rasanya ia berlari mengejar dan meminta maaf sekali lagi. Tapi, ia tau kalau
tindakannya itu percuma. Jadi, ia hanya mengamati langkah Rafa sampai pemuda
itu menghilang di balik kerumunan mobil.
* *
* * *
"Ilham?
Fryda? Kalian...?" Ucapan Raisya menggantung. Ia menatap curiga ke arah
dua orang yang kini tengah berdiri kikuk di hadapannya itu. "Sejak kapan
kalian deket begini?"
"Udah
lama." Ilham menjawab santai dengan sedikit senyum yang ia paksakan.
"O ya? Kok
kita nggak pernah tau sih? Trus sekarang kalian ...," Lagi-lagi, ucapan
Raisya menggantung. Ia melirik Bisma yang ternyata juga menunjukkan raut
penasaran.
Meski di sepanjang
perjalanan mereka tadi air muka Bisma tak ada ekspresi, kali ini ia tak bisa
menyembunyikan rasa penasarannya. Ia menatap Ilham dan Fryda bergantian sebelum
berkata, "Kalian berdua ...,"
"Kita
pacaran," potong Ilham, seraya menyahut tangan Fryda dan menggenggamnya
erat.
Fryda yang
semenjak kedatangan Raisya dan Bisma berusaha untuk bersikap biasa saja itu
kini membolakan mata ke arah Ilham. Ia sama sekali tak menyangka kalau Ilham
akan berkata seperti itu di depan orang yang sangat dicintai Ilham. Ia bingung
kenapa Ilham mengaku kalau mereka pacaran? Apa tujuan Ilham dengan pengakuannya
itu? Fryda benar-benar tak mengerti. Tapi ketika Ilham ikut menengok ke arahnya
dan menghadirkan senyum yang lebih manis, Fryda akhirnya ikut tersenyum juga
meski ia tetap tak berkata apapun.
"O ya?"
Raisya berkata setelah tercengang sesaat. "Kok enggak pernah bilang-bilang
sih, Am? Kapan kalian deketnya? Kok kita nggak pernah tau?"
"Kan udah gue
bilang. Sebenernya kita udah lama deket. Cuma kalian aja yang nggak pernah
merhatiin. Sibuk sendiri, sih!" jelas Ilham masih dengan tersenyum.
"Kalian sendiri ...? Kok kayaknya mesra gitu?" Kali ini, mata Ilham
memperhatikan gamitan tangan Raisya di lengan Bisma.
"Eum..."
Sementara Raisya tersenyum-senyum, Bisma kembali pada tampang datarnya. Tapi
kali ini, ia membiarkan lengannya digamit Raisya semakin erat. Ia melirik
Raisya sekilas, dan menemukan mata Raisya yang menyorot bahagia ke arahnya.
Jengah melihat wajah menyebalkan itu, Bisma membuang muka seraya menghela
nafas.
"Kita
sebenarnya tadi mau ngasih surprise buat lo, Am," ujar Raisya. "Tapi
begitu ketemu sama lo, malah lo yang bikin kita kaget."
"Surprise
apaan?" Ilham berpura tak mengerti.
"Gue sama
Bisma sekarang udah pacaran," jelas Raisya dengan muka berbinar-binar.
"Kemarin Bisma nembak gue. Lo tau sendiri kan, perasaan gue ke Bisma kayak
gimana? Jadi ya, gue langsung terima deh."
"O ya? Wah,
selamat deh kalau gitu. Tapi ... bukannya Bisma ..."
"Bisma udah
putus sama yang lama." Raisya buru-buru memotong omongan Ilham.
"Mungkin dia ngerasa kalau gue lebih baik dari yang lama. Jadi, dia milih
putus, trus nembak gue."
Batin Bisma
kembali menderu-deru mendengar Raisya mencelotehkan karangan bebas hasil
imajinasinya itu. Kapan dia nembak Raisya? Jangankan nembak, ngomong cinta aja
belum pernah. Ups! Bisma melupakan sesuatu. Bukankah bencana ini hadir karena
ungkapan cintanya ke Raisya waktu itu? Argh... Bisma tak ingin mengingat masa
itu.
"Ya udah deh
kalau gitu. Gue nggak mau gangguin kalian. Kayaknya tadi lagi mesra gitu."
Ilham mengamati
langkah Raisya yang semakin menjauhinya. Sedikit demi sedikit, senyum yang tadi
menghias bibir Ilham semakin memudar dan berubah menjadi kekesalan. Ia melihat
Raisya begitu bahagia berada di dekat Bisma, tanpa menyadari kalau Bisma tidak
menunjukkan ekspresi yang sama. Yang terlihat oleh Ilham saat ini hanyalah awal
pacaran Raisya dengan Bisma yang tampak sangat hangat, bahagia. Dan dia ...
hanya bisa menjadi penonton sambil menikmati harapannya yang menguap.
"Am, kok lo
malah bilang kita pacaran, sih?" Suara Fryda menyentak angan Ilham begitu
sepasang sejoli baru itu tak tampak lagi di mata mereka.
"Biarin aja.
Emang kenapa?" Ia berkata seolah tak peduli dengan protesan Fryda, lantas
memutar tubuhnya dan kembali menghadap parit. Tangan kirinya masih saja
menggenggam tangan Fryda. Jadi mau tak mau, Fryda pun mengikutinya. "Oh,
shit! Gue lupa." Ilham menepuk jidatnya sendiri ketika ia menyadari
sesuatu. "Jangan-jangan lo udah punya pacar, ya? Sory sory gue tadi nggak
kepikiran sampai ke situ."
"Ya
sebenarnya udah, sih!" jawab Fryda. "Tapi bukan itu masalahnya. Pacar
gue kan sekarang lagi kuliah di Perth. Dia percaya banget sama gue. Dia tau
kalau gue nggak bakal macem-macem di sini. Dan gue juga emang nggak ada niat
buat selingkuhin dia. Jadi masalahnya bukan itu."
"Trus?"
"Lo kepikir
nggak kalau lo ngaku udah punya pacar, lo bakalan lebih susah buat ngedapetin
Raisya."
"Tanpa gue ngaku
kalau gue pacaran pun, gue juga nggak bakalan bisa dapetin Raisya, kan. Lo
lihat sendiri tadi dia udah bahagia banget bisa pacaran sama Bisma. Orang yang
amat sangat dicintainya dari dulu." Ilham berhenti bicara sejenak untuk
menghela nafas. "Gue tadi sebenarnya juga bingung dengan apa yang gue
omongin. Kayaknya otak gue error. Ngeliat Raisya mesra gitu sama Bisma perasaan
gue jadi nggak karu-karuan. Jadi omongan tadi ngeluncur gitu aja deh. Sory ya,
bikin lo bingung."
"Enggak pa-pa
kok," ucap Fryda, tulus. "Trus, rencana lo apa sekarang?
Mundur?"
"Menurut
lo?"
"Menurut gue
sih jangan. Gue kayak ngeliat ada yang aneh sama hubungan mereka."
"Aneh
gimana?" Ilham bertanya seraya mengernyitkan dahi.
"Lo tadi
nggak ngeliat ekspresi muka Bisma kayak nggak seneng gitu? Gue rasa emang ada
yang nggak beres sama hubungan mereka. Soalnya minggu lalu jelas-jelas gue
ngeliat Bisma masih mesra banget sama Nanda, ceweknya. Masa sekarang dia
tiba-tiba putus trus nembak Raisya? Padahal kan Bisma dari dulu nggak terlalu
ngerespek Raisya. Lagian muka Bisma tadi bener-bener nggak cerah sama
sekali."
"Masa' sih?
Gue malah enggak terlalu ngeliat ekspresinya Si Bisma. Gue cuma ngeliat Raisya
bahagia banget tadi."
"Ah lo mah
yang dilihat Raisya mulu," sungut Fryda. "Tadi kayaknya muka Bisma
kayak nggak seneng gitu. Gue yakin seratus persen kalau sebenarnya Bisma nggak
ngerasain apa yang dirasain Raisya sekarang."
"Trus menurut
lo, kira-kira ada skenario apa di balik hubungan mereka?"
"Ya gue nggak
tau." Fryda tercenung sesaat sebelum melanjutkan, "Apa kita selidikin
aja?"
Ilham tak lantas
menjawab. Ia malah menghela nafas, lalu menancapkan pandangnya ke parit. Kedua
tangannya ia lipat di depan dada, dengan muka mengerut serius. Sepertinya ia
tengah memikirkan segala hal yang dibilang Fryda. "Lo yakin kalau ada yang
nggak beres sama hubungan mereka?" tanya Ilham setelah diam beberapa saat.
Fryda pun mengangguk yakin. Tak ada sedikit pun keraguan di wajahnya saat Ilham
memperhatikannya dengan seksama. "Kalau gitu, lo mau bantu gue kan?"
"Pastinya."
Lagi-lagi Fryda mengangguk mantap, membuat Ilham menghadirkan senyum yang
terlihat ringan di mata Fryda. "Apapun yang bisa gue bantu buat lo, gue
akan bantu, Am."
"Thanx, ya.
Lo udah care banget sama gue. Gue jadi nggak ngerasa sendirian semenjak lo
selalu ada untuk gue," ucap Ilham, lantas mengangkat tangannya dan
mengelus kepala Fryda. Tapi beberapa saat kemudian, tatapan Ilham berubah
menjadi tatapan aneh. "Fry ... kok lo baik banget sih sama gue?
Jangan-jangan ..." Ilham semakin mempertajam tatapannya. Ada aura curiga
dalam sorot mata itu, membuat Fryda menyipitkan mata.
"Jangan-jangan
apa?"
"Jangan-jangan
lo naksir sama gue, ya?"
Seketika, Fryda
memundurkan kepalanya dengan mata membola. "Ih, enggak! Ke-GR-an banget
sih lo. Gue kan udah pernah bilang, gue cuma kagum sama lo. Enggak lebih."
"Alah, ngaku
aja deh. Bilang aja lo suka sama gue."
"Ih, apaan
sih? Gaje deh. Enggak! Gue nggak ada rasa apapun ke elo. Nggak usah GR deh!."
"Tapi gue
tetep yakin lo ada rasa sama gue." Dengan gaya sok cool, Ilham mengelus-elus
dagunya sambil melirik ke arah Fryda yang kini nyengir gaje. "Taruhan deh,
kalau lo terus-terusan bareng gue, lo pasti bakalan ninggalin cowok lo buat
gue."
"Ih, enggak
akan! Dasar idiot! Dibaik-baikin malah ngelunjak gini."
"Biarin.
Kalau gue ngelunjak kan lo jadi tambah sayang sama gue. Iya kan?!"
Tiba-tiba, Ilham menyampirkan tangannya di pundak Fryda, lantas mendekatkan
bibirnya yang ia monyongkan ke muka Fryda.
"Ah... Ilham
apaan sih?" teriak Fryda, seraya meronta-ronta untuk menjauhkan wajah Ilham dari wajahnya. "Lepas nggak?
Kalau nggak mau lepasin, gue tabokin lo."
Tanpa mempedulikan
ancaman Fryda, Ilham malah semakin mengeratkan tubuh Fryda ke tubuhnya. Pemuda
itu bisa tertawa lepas sekarang. Dan meski Fryda ngamuk-ngamuk, diam-diam gadis
itu bersyukur karena telah bisa membuat beban di hati Ilham sedikit berkurang.
Ia benar-benar berharap pemuda kesepian itu bisa menemukan cinta sejatinya. Dan
ia yakin, cinta sejati Ilham itu adalah Raisya. Entah keyakinan itu ia dapat
dari mana dan karena apa, yang jelas Fryda merasa kalau ada benang merah yang
mengikat hati Ilham dengan Raisya.
* *
* * *
Diana hampir tak
percaya dengan apa yang ia lihat pagi ini. Pemandangan tak mengenakkan itu
membuat hatinya berkecamuk, bahkan setelah kejadian itu beberapa menit berlalu.
Sebenarnya ia tak berhak untuk marah, apalagi kesal. Akan tetapi, rasa tidak
ikhlas itu memaksanya untuk dongkol.
Gadis itu berjalan
tertatih menuju sebuah kursi taman di halaman depan kampus, dan
mengistirahatkan tubuhnya di sana. Bayangan Nanda yang bersikap sangat manis
kepada seorang pria muda yang tampak lebih keren dari kakaknya itu membuat
mood-nya yang memang telah buruk sejak kemarin sore semakin hancur pagi ini.
Pria muda itu
memakai pakaian sangat resmi: kemeja putih bergaris dengan dasi merah maroon
tergantung di leher, dipadu dengan celana hitam. Kaca mata yang menghias
wajahnya juga membuat pria muda itu terlihat berwibawa. Sepertinya dia adalah
seorang pengusaha. Atau paling tidak seseorang yang pekerjaannya telah mapan.
Diana jadi khawatir kalau Nanda akan terpincut oleh pria tampan itu dan
meninggalkan kakaknya yang sampai sekarang masih berstatus mahasiswa.
Dari cara pria itu
memperlakukan Nanda, Diana tau kalau ada sesuatu di hati pria itu untuk Nanda. Diana
jadi tambah kesal mengingat sikap pria itu. Apalagi ketika Nanda juga
sepertinya sangat respect kepada pria itu.
"Hei...."
Tepukan sesorang di bahu Diana membuatnya tersentak. Gadis itu langsung memutar
kepalanya ke belakang, dan menemukan cowok ganteng yang tengah tersenyum manis
kepadanya. Wajah Diana yang sejak tadi merengut kini mencerah. Ada seulas
senyum juga yang ia persembahkan untuk orang itu.
"Kak
Reza?" ujarnya.
"Pagi-pagi
kok udah ngelamun sendirian, sih?" tanya Reza, lantas berjalan ke depan
kursi dan duduk di samping Diana. "Luka kamu gimana? Udah baikan? Coba
lihat."
Reza menundukkan
badannya untuk melihat luka di kaki Diana. Ia juga melihat-lihat beberapa luka
yang semalam ia obati.
"Udah baikan
kok."
"Kayaknya
enggak sebaik yang kamu bilang," tukas Reza. "Harusnya tadi kamu
istirahat dulu aja di asrama. Enggak usah kuliah dulu. Pihak kampus pasti
ngertiin kalau keadaan kamu kayak gini." Pemuda itu mengusap lembut
punggung tangan Diana, membuat hati Diana mendesir. Melihat perhatian pemuda
yang sangat dirindukannya itu, dongkol di hati Diana beberapa saat lalu rontok
begitu saja.
Gadis itu
memandang wajah Reza yang masih mengamati luka-lukanya. Diana benar-benar
merindukannya. Diana rindu diperhatikan seperti itu. Sudah beberapa hari pemuda
itu tak mengacuhkannya, membuat otak Diana tidak bisa berpikir apapun selain
memikirkannya. Sekarang pemuda itu ada di hadapannya, tengah bersikap manis
kepadanya.
"Kok
ngeliatin kakak kayak gitu, sih? Ada yang aneh?"
Spontan, mata
Diana mengerjap mendengar suara Reza. Gadis itu lantas tersenyum, lalu
menggeleng. Dan entah karena ia terlalu senang atau karena memang dia terlalu
rindu, gadis itu tiba-tiba beringsut mendekati Reza, lalu menyandarkan
kepalanya di pundak Reza. Reza langsung merespect dengan mengangkat tangannya,
dan mengalungkannya di sisi kepala Diana.
"Kangen sama
Kakak, ya?"
Tanpa bersuara,
Diana hanya mengangguk. Ia memejamkan mata, menikmati aroma segar yang menguar
dari tubuh Reza. Sudah beberapa hari hidungnya tak diliputi wangi tubuh Reza
itu.
"Maafin Kak
Reza ya, beberapa hari ini agak cuek sama kamu."
Diana masih enggan
menjawab. Matanya masih terpejam. Baru beberapa detik kemudian, gadis itu
membuka mata, lalu mendongak.
"Kemarin itu
...kenapa Kak Reza bersikap kayak gitu? Ada yang salah sama Diana?" tanyanya,
agak ragu.
Reza hanya mengamati
wajah kekasihnya yang kini masih muram. Kejadian semalam pasti masih membekas
di hati gadis itu. Tidak mungkin dia membahas masalah itu sekarang. Sebenarnya
ia ingin sekali menanyakan soal apa yang dikatakan Clara waktu itu, tentang
Dicky. Tapi dia rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Akhirnya Reza hanya
tersenyum, lantas menggeleng.
"Enggak usah
dipikirin," katanya. "Kayaknya otak Kak Reza lagi enggak berfungsi
kemarin. Kegiatan kampus yang padat bikin Kak Reza pengen marah-marah melulu.
Kak Reza takut aja kalau kamu sampai kena imbasnya." Reza terpaksa
berbohong. Menurutnya, alasan itulah yang paling tepat ia sampaikan untuk saat
ini. Soal Dicky, akan ia tanyakan lain kali.
Mungkin akan lebih
baik kalau ia menanyakan soal kejadian semalam. Diana bilang semalam dia
diculik. Reza sangat penasaran siapa sebenarnya yang menculik Diana, dan apa
tujuannya? Ia takut kalau Claralah yang melakukan semua itu. Gadis itu
kadang-kadang suka nekat.
"Ehm..."
Sebelum Reza sempat membahas soal kejadian itu, mereka berdua dikejutkan oleh
kedatangan dua sejoli yang bergandeng mesra. Diana langsung tegak dari
sandarannya. Dahinya mengernyit bingung. Begitu pun Reza.
"Raisya?"
seru Reza, dengan jidat mengerut.
"Manis banget
sih, pagi-pagi udah romantis-romantisan gitu?" Raisya berusaha menggoda.
Senyumnya masih terkembang manis di bibirnya.
"Lo sendiri...
Kok sama Bisma?" Reza melirik ke gamitan tangan Raisya di tangan Bisma
beberapa saat, lalu beralih menatap wajah muram Bisma. "Kalian..."
"Kita udah
pacaran." Raisya semakin mempererat gamitan tangannya, lalu menyandarkan
kepalanya di bahu Bisma. Sementara itu, Bisma malah memalingkan wajahnya ke
samping. "Kemarin Bisma nembak aku, trus aku terima. Jadian deh?"
Reza langsung
cengo. "Jadian? Bener, Bii?" Ia kembali menatap Bisma.
Beberapa saat
Bisma hanya diam, tak tau harus menjawab apa. Ia tak menginginkan semua ini. Ia
tak ingin semua orang berpikir kalau dia telah mengkhianati Nanda. Tapi, dia
juga tak tau harus berbuat apa. Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk.
"Kalian tuh
sebenarnya kenapa, sih?" Tiba-tiba, mereka semua dikejutkan oleh suara
Diana yang setengah berteriak. Ketika Reza menengok ke samping, ia melihat mata
Diana telah basah. Mukanya tampak memerah marah.
"Kalau ada
masalah kenapa enggak diselesaiin baik-baik?" seru Diana lagi. "Kenapa
harus dengan cara seperti ini? Emang kalian enggak kasihan apa sama orang yang
kalian jadiin pelarian?" Sebenarnya sudah sejak tadi Diana menahan gelegak
di dadanya itu. Tadi pagi ia telah melihat pemandangan tak mengenakkan soal
Nanda. Dan sekarang, ia harus menyaksikan lagi pemandangan tak mengenakkan yang
dihadirkan kakaknya.
"Lihat Kakak
ini." Diana menunjuk Raisya dengan matanya yang sembab. "Kayaknya dia
seneng banget bisa pacaran sama Kak Bisma. Padahal dia nggak tau pasti perasaan
Kak Bisma kayak apa. Apa Kak Bisma nggak kasihan kalau dia sakit hati nantinya?"
Diana masih berucap dengan nada menggebu. Bahkan dadanya pun kini ikut naik
turun karena emosinya yang meluap-luap.
"Kakak selalu
bilang kalau ada masalah apapun harus diselesaikan dengan baik-baik. Kalau ada
masalah apapun harus dihadapi, dan nggak boleh ditinggal lari. Tapi Kakak
sekarang apa?"
"Tunggu, tunggu,"
Reza memotong karena sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan Diana.
"Maksud kamu apa sih, Dii? Ada apa sebenarnya?"
"Diana juga
nggak tau apa yang terjadi sama hubungannya Kak Bisma sama Kak Nanda. Yang
Diana tau mereka sekarang sama-sama lari dari masalah mereka, Kak," jelas
Diana. Air matanya kini mulai mengalir. "Tadi pagi Diana lihat Kak Nanda
sama cowok. Dan sekarang, Diana lihat Kak Bisma sama pacar baru. Padahal baru
beberapa hari yang lalu mereka ..." Kata-kata Diana menggantung. Ia tak
tau apakah ia harus menceritakan acara makan malam di rumah Nanda itu atau
tidak.
Di antara bimbang,
Diana akhirnya meneruskan ocehannya, "Kakak mungkin juga tau kalau acara
malam itu bikin Mama sama Papa sangat bahagia. Diana yakin orang tuanya Kak
Nanda pun begitu. Tapi ternyata kalian berdua malah nganggep malam itu acara
yang nggak penting."
"Diana, Kakak
nggak bermaksud begitu," potong Bisma, parau.
"Diana
beneran kecewa sama Kakak. Apa yang kakak nasehatkan ke Diana ternyata enggak
pernah Kakak praktekin ke sikap Kakak. Diana beneran kecewa, Kak."
Gadis itu kemudian
memutar badan dan bergerak menjauhi Bisma dengan langkah tertatih.
"Dii, tunggu,
Dii." Bisma hendak mencegah kepergian Diana kalau saja tidak ada sebuah
tangan yang mencegahnya. Raisya. Ia sepertinya tak mengijinkan Bisma
menjelaskan apapun pada adiknya.
Ketika tangan
Bisma mengibas kasar karena kesal, Raisya justru tersenyum. Sepertinya dia
mendapat angin segar dari adiknya Bisma. Tadi Diana merasa kasihan kepadanya karena
takut suatu saat dia sakit hati oleh ulah Bisma. Bukankah itu awal yang baik
untuk merebut simpati adiknya Bisma itu? Sebuah ide licik tiba-tiba mampir
begitu saja di benak Raisya. Ia akan mendekati Diana untuk bisa mendapatkan
simpati lebih dari keluarga Bisma. *Authornya_Tersenyum_Devil* :D
"Puas lo
bikin hidup gue berantakan?!" sentak Bisma, lantas pergi begitu saja dari
hadapan Raisya.
* *
* * *
Bersambung
By: Novita SN
KDAI Gaming Online Casino & Slots List
ReplyDeleteTop 10 Online Casinos 온카지노 주소 in the United Kingdom · 10CRIC Gaming · 988Sport · 888 Casino · 788casino · 688win.com · 588 Entertainment