Friday, December 18, 2015

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 77



Rafa menghentikan langkah di pojok tempat parkir. Jantungnya tiba-tiba terasa berhenti berdetak. Nafasnya tercekat. Ia seperti tak bisa bergerak. Pandangannya lurus ke depan, menatap seorang gadis cantik bertubuh semampai yang juga mematung beberapa meter di depannya.

Kalau bisa, sebenarnya Rafa ingin sekali berlari ke arah gadis itu dan memeluknya erat-erat untuk menebus kerinduan yang bersemayam di hatinya beberapa hari belakangan ini. Tapi Rafa tidak bisa. Ego itu menghalanginya. Ego itu memaksanya untuk tetap tak menghiraukan gadisnya. Ego itu membuat ia bertahan untuk tetap menjalani aksi ngambeknya. Dan ego itu ... membuat mata bundar gadisnya digenangi air.

Rafa bisa melihat bening itu. Ia juga bisa melihat wajah gadisnya memelas, memohon. Ia menyadari kalau kini hatinya meleleh. Tapi ia bingung harus bagaimana. Ia ingin mendekati gadisnya, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mencegah. Hatinya kini berkecamuk.

Ketika pemuda itu sadar apa yang harus ia lakukan, ia langsung membuang pandang ke arah samping, lantas kembali melangkahkan kaki. Ia tak lagi melihat gadis itu. Bahkan saat Rafa melintasinya pun, Rafa sama sekali tak menyapanya. Dari sudut matanya, Rafa bisa menilik kalau gadis itu masih tetap mematung. Tapi ia berusaha untuk tak peduli. Ia terus melangkah menuju mobilnya tanpa berkeinginan untuk melihat lagi kekasihnya.

Vita masih saja tertegun di tempatnya. Pandangan Rafa sesaat lalu seolah mengunci tubuhnya sampai ia tak lagi bisa bergerak. Tadi gadis itu berharap tatapan itu akan menjadi awal mencairnya kembali hati Rafa. Tapi melihat keacuhan Rafa di detik berikutnya, ia sadar kalau harapannya itu tak akan terwujud.

Kediaman Rafa kali ini menambah perih ulu hati Vita. Air matanya meluncur seiring dengan tangan kanannya yang kini telah bisa bergerak dan terangkat hingga ke dada. Ia menekan dadanya yang semakin terasa ngilu. Sekuat apapun ia berusaha menegarkan hati, ia tetap tak berhasil menghentikan sesak yang kini membuat tubuhnya terguncang-guncang.

Gadis itu memejamkan mata sejenak dan langsung membukanya sebelum ia memutar kepala ke belakang. Bening yang tadi mengaburkan pandangnya sedikit berkurang, hingga ia masih bisa menemukan kekasihnya yang kini terus melangkah menjauhinya. Ingin rasanya ia berlari mengejar dan meminta maaf sekali lagi. Tapi, ia tau kalau tindakannya itu percuma. Jadi, ia hanya mengamati langkah Rafa sampai pemuda itu menghilang di balik kerumunan mobil.

*     *     *     *    *

"Ilham? Fryda? Kalian...?" Ucapan Raisya menggantung. Ia menatap curiga ke arah dua orang yang kini tengah berdiri kikuk di hadapannya itu. "Sejak kapan kalian deket begini?"

"Udah lama." Ilham menjawab santai dengan sedikit senyum yang ia paksakan.

"O ya? Kok kita nggak pernah tau sih? Trus sekarang kalian ...," Lagi-lagi, ucapan Raisya menggantung. Ia melirik Bisma yang ternyata juga menunjukkan raut penasaran.

Meski di sepanjang perjalanan mereka tadi air muka Bisma tak ada ekspresi, kali ini ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Ia menatap Ilham dan Fryda bergantian sebelum berkata, "Kalian berdua ...,"

"Kita pacaran," potong Ilham, seraya menyahut tangan Fryda dan menggenggamnya erat.

Fryda yang semenjak kedatangan Raisya dan Bisma berusaha untuk bersikap biasa saja itu kini membolakan mata ke arah Ilham. Ia sama sekali tak menyangka kalau Ilham akan berkata seperti itu di depan orang yang sangat dicintai Ilham. Ia bingung kenapa Ilham mengaku kalau mereka pacaran? Apa tujuan Ilham dengan pengakuannya itu? Fryda benar-benar tak mengerti. Tapi ketika Ilham ikut menengok ke arahnya dan menghadirkan senyum yang lebih manis, Fryda akhirnya ikut tersenyum juga meski ia tetap tak berkata apapun.

"O ya?" Raisya berkata setelah tercengang sesaat. "Kok enggak pernah bilang-bilang sih, Am? Kapan kalian deketnya? Kok kita nggak pernah tau?"

"Kan udah gue bilang. Sebenernya kita udah lama deket. Cuma kalian aja yang nggak pernah merhatiin. Sibuk sendiri, sih!" jelas Ilham masih dengan tersenyum. "Kalian sendiri ...? Kok kayaknya mesra gitu?" Kali ini, mata Ilham memperhatikan gamitan tangan Raisya di lengan Bisma.

"Eum..." Sementara Raisya tersenyum-senyum, Bisma kembali pada tampang datarnya. Tapi kali ini, ia membiarkan lengannya digamit Raisya semakin erat. Ia melirik Raisya sekilas, dan menemukan mata Raisya yang menyorot bahagia ke arahnya. Jengah melihat wajah menyebalkan itu, Bisma membuang muka seraya menghela nafas.

"Kita sebenarnya tadi mau ngasih surprise buat lo, Am," ujar Raisya. "Tapi begitu ketemu sama lo, malah lo yang bikin kita kaget."

"Surprise apaan?" Ilham berpura tak mengerti.

"Gue sama Bisma sekarang udah pacaran," jelas Raisya dengan muka berbinar-binar. "Kemarin Bisma nembak gue. Lo tau sendiri kan, perasaan gue ke Bisma kayak gimana? Jadi ya, gue langsung terima deh."

"O ya? Wah, selamat deh kalau gitu. Tapi ... bukannya Bisma ..."

"Bisma udah putus sama yang lama." Raisya buru-buru memotong omongan Ilham. "Mungkin dia ngerasa kalau gue lebih baik dari yang lama. Jadi, dia milih putus, trus nembak gue."

Batin Bisma kembali menderu-deru mendengar Raisya mencelotehkan karangan bebas hasil imajinasinya itu. Kapan dia nembak Raisya? Jangankan nembak, ngomong cinta aja belum pernah. Ups! Bisma melupakan sesuatu. Bukankah bencana ini hadir karena ungkapan cintanya ke Raisya waktu itu? Argh... Bisma tak ingin mengingat masa itu.

"Ya udah deh kalau gitu. Gue nggak mau gangguin kalian. Kayaknya tadi lagi mesra gitu."

Ilham mengamati langkah Raisya yang semakin menjauhinya. Sedikit demi sedikit, senyum yang tadi menghias bibir Ilham semakin memudar dan berubah menjadi kekesalan. Ia melihat Raisya begitu bahagia berada di dekat Bisma, tanpa menyadari kalau Bisma tidak menunjukkan ekspresi yang sama. Yang terlihat oleh Ilham saat ini hanyalah awal pacaran Raisya dengan Bisma yang tampak sangat hangat, bahagia. Dan dia ... hanya bisa menjadi penonton sambil menikmati harapannya yang menguap.

"Am, kok lo malah bilang kita pacaran, sih?" Suara Fryda menyentak angan Ilham begitu sepasang sejoli baru itu tak tampak lagi di mata mereka.

"Biarin aja. Emang kenapa?" Ia berkata seolah tak peduli dengan protesan Fryda, lantas memutar tubuhnya dan kembali menghadap parit. Tangan kirinya masih saja menggenggam tangan Fryda. Jadi mau tak mau, Fryda pun mengikutinya. "Oh, shit! Gue lupa." Ilham menepuk jidatnya sendiri ketika ia menyadari sesuatu. "Jangan-jangan lo udah punya pacar, ya? Sory sory gue tadi nggak kepikiran sampai ke situ."

"Ya sebenarnya udah, sih!" jawab Fryda. "Tapi bukan itu masalahnya. Pacar gue kan sekarang lagi kuliah di Perth. Dia percaya banget sama gue. Dia tau kalau gue nggak bakal macem-macem di sini. Dan gue juga emang nggak ada niat buat selingkuhin dia. Jadi masalahnya bukan itu."

"Trus?"

"Lo kepikir nggak kalau lo ngaku udah punya pacar, lo bakalan lebih susah buat ngedapetin Raisya."

"Tanpa gue ngaku kalau gue pacaran pun, gue juga nggak bakalan bisa dapetin Raisya, kan. Lo lihat sendiri tadi dia udah bahagia banget bisa pacaran sama Bisma. Orang yang amat sangat dicintainya dari dulu." Ilham berhenti bicara sejenak untuk menghela nafas. "Gue tadi sebenarnya juga bingung dengan apa yang gue omongin. Kayaknya otak gue error. Ngeliat Raisya mesra gitu sama Bisma perasaan gue jadi nggak karu-karuan. Jadi omongan tadi ngeluncur gitu aja deh. Sory ya, bikin lo bingung."

"Enggak pa-pa kok," ucap Fryda, tulus. "Trus, rencana lo apa sekarang? Mundur?"

"Menurut lo?"

"Menurut gue sih jangan. Gue kayak ngeliat ada yang aneh sama hubungan mereka."

"Aneh gimana?" Ilham bertanya seraya mengernyitkan dahi.

"Lo tadi nggak ngeliat ekspresi muka Bisma kayak nggak seneng gitu? Gue rasa emang ada yang nggak beres sama hubungan mereka. Soalnya minggu lalu jelas-jelas gue ngeliat Bisma masih mesra banget sama Nanda, ceweknya. Masa sekarang dia tiba-tiba putus trus nembak Raisya? Padahal kan Bisma dari dulu nggak terlalu ngerespek Raisya. Lagian muka Bisma tadi bener-bener nggak cerah sama sekali."

"Masa' sih? Gue malah enggak terlalu ngeliat ekspresinya Si Bisma. Gue cuma ngeliat Raisya bahagia banget tadi."

"Ah lo mah yang dilihat Raisya mulu," sungut Fryda. "Tadi kayaknya muka Bisma kayak nggak seneng gitu. Gue yakin seratus persen kalau sebenarnya Bisma nggak ngerasain apa yang dirasain Raisya sekarang."

"Trus menurut lo, kira-kira ada skenario apa di balik hubungan mereka?"

"Ya gue nggak tau." Fryda tercenung sesaat sebelum melanjutkan, "Apa kita selidikin aja?"

Ilham tak lantas menjawab. Ia malah menghela nafas, lalu menancapkan pandangnya ke parit. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, dengan muka mengerut serius. Sepertinya ia tengah memikirkan segala hal yang dibilang Fryda. "Lo yakin kalau ada yang nggak beres sama hubungan mereka?" tanya Ilham setelah diam beberapa saat. Fryda pun mengangguk yakin. Tak ada sedikit pun keraguan di wajahnya saat Ilham memperhatikannya dengan seksama. "Kalau gitu, lo mau bantu gue kan?"

"Pastinya." Lagi-lagi Fryda mengangguk mantap, membuat Ilham menghadirkan senyum yang terlihat ringan di mata Fryda. "Apapun yang bisa gue bantu buat lo, gue akan bantu, Am."

"Thanx, ya. Lo udah care banget sama gue. Gue jadi nggak ngerasa sendirian semenjak lo selalu ada untuk gue," ucap Ilham, lantas mengangkat tangannya dan mengelus kepala Fryda. Tapi beberapa saat kemudian, tatapan Ilham berubah menjadi tatapan aneh. "Fry ... kok lo baik banget sih sama gue? Jangan-jangan ..." Ilham semakin mempertajam tatapannya. Ada aura curiga dalam sorot mata itu, membuat Fryda menyipitkan mata.

"Jangan-jangan apa?"

"Jangan-jangan lo naksir sama gue, ya?"

Seketika, Fryda memundurkan kepalanya dengan mata membola. "Ih, enggak! Ke-GR-an banget sih lo. Gue kan udah pernah bilang, gue cuma kagum sama lo. Enggak lebih."

"Alah, ngaku aja deh. Bilang aja lo suka sama gue."

"Ih, apaan sih? Gaje deh. Enggak! Gue nggak ada rasa apapun ke elo. Nggak usah GR deh!."

"Tapi gue tetep yakin lo ada rasa sama gue." Dengan gaya sok cool, Ilham mengelus-elus dagunya sambil melirik ke arah Fryda yang kini nyengir gaje. "Taruhan deh, kalau lo terus-terusan bareng gue, lo pasti bakalan ninggalin cowok lo buat gue."

"Ih, enggak akan! Dasar idiot! Dibaik-baikin malah ngelunjak gini."

"Biarin. Kalau gue ngelunjak kan lo jadi tambah sayang sama gue. Iya kan?!" Tiba-tiba, Ilham menyampirkan tangannya di pundak Fryda, lantas mendekatkan bibirnya yang ia monyongkan ke muka Fryda.

"Ah... Ilham apaan sih?" teriak Fryda, seraya meronta-ronta untuk menjauhkan  wajah Ilham dari wajahnya. "Lepas nggak? Kalau nggak mau lepasin, gue tabokin lo."

Tanpa mempedulikan ancaman Fryda, Ilham malah semakin mengeratkan tubuh Fryda ke tubuhnya. Pemuda itu bisa tertawa lepas sekarang. Dan meski Fryda ngamuk-ngamuk, diam-diam gadis itu bersyukur karena telah bisa membuat beban di hati Ilham sedikit berkurang. Ia benar-benar berharap pemuda kesepian itu bisa menemukan cinta sejatinya. Dan ia yakin, cinta sejati Ilham itu adalah Raisya. Entah keyakinan itu ia dapat dari mana dan karena apa, yang jelas Fryda merasa kalau ada benang merah yang mengikat hati Ilham dengan Raisya.

*     *     *     *     *
Diana hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat pagi ini. Pemandangan tak mengenakkan itu membuat hatinya berkecamuk, bahkan setelah kejadian itu beberapa menit berlalu. Sebenarnya ia tak berhak untuk marah, apalagi kesal. Akan tetapi, rasa tidak ikhlas itu memaksanya untuk dongkol.

Gadis itu berjalan tertatih menuju sebuah kursi taman di halaman depan kampus, dan mengistirahatkan tubuhnya di sana. Bayangan Nanda yang bersikap sangat manis kepada seorang pria muda yang tampak lebih keren dari kakaknya itu membuat mood-nya yang memang telah buruk sejak kemarin sore semakin hancur pagi ini.

Pria muda itu memakai pakaian sangat resmi: kemeja putih bergaris dengan dasi merah maroon tergantung di leher, dipadu dengan celana hitam. Kaca mata yang menghias wajahnya juga membuat pria muda itu terlihat berwibawa. Sepertinya dia adalah seorang pengusaha. Atau paling tidak seseorang yang pekerjaannya telah mapan. Diana jadi khawatir kalau Nanda akan terpincut oleh pria tampan itu dan meninggalkan kakaknya yang sampai sekarang masih berstatus mahasiswa.

Dari cara pria itu memperlakukan Nanda, Diana tau kalau ada sesuatu di hati pria itu untuk Nanda. Diana jadi tambah kesal mengingat sikap pria itu. Apalagi ketika Nanda juga sepertinya sangat respect kepada pria itu.

"Hei...." Tepukan sesorang di bahu Diana membuatnya tersentak. Gadis itu langsung memutar kepalanya ke belakang, dan menemukan cowok ganteng yang tengah tersenyum manis kepadanya. Wajah Diana yang sejak tadi merengut kini mencerah. Ada seulas senyum juga yang ia persembahkan untuk orang itu.

"Kak Reza?" ujarnya.

"Pagi-pagi kok udah ngelamun sendirian, sih?" tanya Reza, lantas berjalan ke depan kursi dan duduk di samping Diana. "Luka kamu gimana? Udah baikan? Coba lihat."

Reza menundukkan badannya untuk melihat luka di kaki Diana. Ia juga melihat-lihat beberapa luka yang semalam ia obati.

"Udah baikan kok."

"Kayaknya enggak sebaik yang kamu bilang," tukas Reza. "Harusnya tadi kamu istirahat dulu aja di asrama. Enggak usah kuliah dulu. Pihak kampus pasti ngertiin kalau keadaan kamu kayak gini." Pemuda itu mengusap lembut punggung tangan Diana, membuat hati Diana mendesir. Melihat perhatian pemuda yang sangat dirindukannya itu, dongkol di hati Diana beberapa saat lalu rontok begitu saja.

Gadis itu memandang wajah Reza yang masih mengamati luka-lukanya. Diana benar-benar merindukannya. Diana rindu diperhatikan seperti itu. Sudah beberapa hari pemuda itu tak mengacuhkannya, membuat otak Diana tidak bisa berpikir apapun selain memikirkannya. Sekarang pemuda itu ada di hadapannya, tengah bersikap manis kepadanya.

"Kok ngeliatin kakak kayak gitu, sih? Ada yang aneh?"

Spontan, mata Diana mengerjap mendengar suara Reza. Gadis itu lantas tersenyum, lalu menggeleng. Dan entah karena ia terlalu senang atau karena memang dia terlalu rindu, gadis itu tiba-tiba beringsut mendekati Reza, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Reza. Reza langsung merespect dengan mengangkat tangannya, dan mengalungkannya di sisi kepala Diana.

"Kangen sama Kakak, ya?"

Tanpa bersuara, Diana hanya mengangguk. Ia memejamkan mata, menikmati aroma segar yang menguar dari tubuh Reza. Sudah beberapa hari hidungnya tak diliputi wangi tubuh Reza itu.

"Maafin Kak Reza ya, beberapa hari ini agak cuek sama kamu."

Diana masih enggan menjawab. Matanya masih terpejam. Baru beberapa detik kemudian, gadis itu membuka mata, lalu mendongak.

"Kemarin itu ...kenapa Kak Reza bersikap kayak gitu? Ada yang salah sama Diana?" tanyanya, agak ragu.

Reza hanya mengamati wajah kekasihnya yang kini masih muram. Kejadian semalam pasti masih membekas di hati gadis itu. Tidak mungkin dia membahas masalah itu sekarang. Sebenarnya ia ingin sekali menanyakan soal apa yang dikatakan Clara waktu itu, tentang Dicky. Tapi dia rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Akhirnya Reza hanya tersenyum, lantas menggeleng.

"Enggak usah dipikirin," katanya. "Kayaknya otak Kak Reza lagi enggak berfungsi kemarin. Kegiatan kampus yang padat bikin Kak Reza pengen marah-marah melulu. Kak Reza takut aja kalau kamu sampai kena imbasnya." Reza terpaksa berbohong. Menurutnya, alasan itulah yang paling tepat ia sampaikan untuk saat ini. Soal Dicky, akan ia tanyakan lain kali.

Mungkin akan lebih baik kalau ia menanyakan soal kejadian semalam. Diana bilang semalam dia diculik. Reza sangat penasaran siapa sebenarnya yang menculik Diana, dan apa tujuannya? Ia takut kalau Claralah yang melakukan semua itu. Gadis itu kadang-kadang suka nekat.

"Ehm..." Sebelum Reza sempat membahas soal kejadian itu, mereka berdua dikejutkan oleh kedatangan dua sejoli yang bergandeng mesra. Diana langsung tegak dari sandarannya. Dahinya mengernyit bingung. Begitu pun Reza.

"Raisya?" seru Reza, dengan jidat mengerut.

"Manis banget sih, pagi-pagi udah romantis-romantisan gitu?" Raisya berusaha menggoda. Senyumnya masih terkembang manis di bibirnya.

"Lo sendiri... Kok sama Bisma?" Reza melirik ke gamitan tangan Raisya di tangan Bisma beberapa saat, lalu beralih menatap wajah muram Bisma. "Kalian..."

"Kita udah pacaran." Raisya semakin mempererat gamitan tangannya, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Bisma. Sementara itu, Bisma malah memalingkan wajahnya ke samping. "Kemarin Bisma nembak aku, trus aku terima. Jadian deh?"

Reza langsung cengo. "Jadian? Bener, Bii?" Ia kembali menatap Bisma.

Beberapa saat Bisma hanya diam, tak tau harus menjawab apa. Ia tak menginginkan semua ini. Ia tak ingin semua orang berpikir kalau dia telah mengkhianati Nanda. Tapi, dia juga tak tau harus berbuat apa. Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk.

"Kalian tuh sebenarnya kenapa, sih?" Tiba-tiba, mereka semua dikejutkan oleh suara Diana yang setengah berteriak. Ketika Reza menengok ke samping, ia melihat mata Diana telah basah. Mukanya tampak memerah marah.

"Kalau ada masalah kenapa enggak diselesaiin baik-baik?" seru Diana lagi. "Kenapa harus dengan cara seperti ini? Emang kalian enggak kasihan apa sama orang yang kalian jadiin pelarian?" Sebenarnya sudah sejak tadi Diana menahan gelegak di dadanya itu. Tadi pagi ia telah melihat pemandangan tak mengenakkan soal Nanda. Dan sekarang, ia harus menyaksikan lagi pemandangan tak mengenakkan yang dihadirkan kakaknya.

"Lihat Kakak ini." Diana menunjuk Raisya dengan matanya yang sembab. "Kayaknya dia seneng banget bisa pacaran sama Kak Bisma. Padahal dia nggak tau pasti perasaan Kak Bisma kayak apa. Apa Kak Bisma nggak kasihan kalau dia sakit hati nantinya?" Diana masih berucap dengan nada menggebu. Bahkan dadanya pun kini ikut naik turun karena emosinya yang meluap-luap.

"Kakak selalu bilang kalau ada masalah apapun harus diselesaikan dengan baik-baik. Kalau ada masalah apapun harus dihadapi, dan nggak boleh ditinggal lari. Tapi Kakak sekarang apa?"

"Tunggu, tunggu," Reza memotong karena sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan Diana. "Maksud kamu apa sih, Dii? Ada apa sebenarnya?"

"Diana juga nggak tau apa yang terjadi sama hubungannya Kak Bisma sama Kak Nanda. Yang Diana tau mereka sekarang sama-sama lari dari masalah mereka, Kak," jelas Diana. Air matanya kini mulai mengalir. "Tadi pagi Diana lihat Kak Nanda sama cowok. Dan sekarang, Diana lihat Kak Bisma sama pacar baru. Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka ..." Kata-kata Diana menggantung. Ia tak tau apakah ia harus menceritakan acara makan malam di rumah Nanda itu atau tidak.

Di antara bimbang, Diana akhirnya meneruskan ocehannya, "Kakak mungkin juga tau kalau acara malam itu bikin Mama sama Papa sangat bahagia. Diana yakin orang tuanya Kak Nanda pun begitu. Tapi ternyata kalian berdua malah nganggep malam itu acara yang nggak penting."

"Diana, Kakak nggak bermaksud begitu," potong Bisma, parau.

"Diana beneran kecewa sama Kakak. Apa yang kakak nasehatkan ke Diana ternyata enggak pernah Kakak praktekin ke sikap Kakak. Diana beneran kecewa, Kak."

Gadis itu kemudian memutar badan dan bergerak menjauhi Bisma dengan langkah tertatih.

"Dii, tunggu, Dii." Bisma hendak mencegah kepergian Diana kalau saja tidak ada sebuah tangan yang mencegahnya. Raisya. Ia sepertinya tak mengijinkan Bisma menjelaskan apapun pada adiknya.

Ketika tangan Bisma mengibas kasar karena kesal, Raisya justru tersenyum. Sepertinya dia mendapat angin segar dari adiknya Bisma. Tadi Diana merasa kasihan kepadanya karena takut suatu saat dia sakit hati oleh ulah Bisma. Bukankah itu awal yang baik untuk merebut simpati adiknya Bisma itu? Sebuah ide licik tiba-tiba mampir begitu saja di benak Raisya. Ia akan mendekati Diana untuk bisa mendapatkan simpati lebih dari keluarga Bisma. *Authornya_Tersenyum_Devil* :D

"Puas lo bikin hidup gue berantakan?!" sentak Bisma, lantas pergi begitu saja dari hadapan Raisya.

*     *     *     *     *
Bersambung
By: Novita SN

1 comment:

  1. KDAI Gaming Online Casino & Slots List
    Top 10 Online Casinos 온카지노 주소 in the United Kingdom · 10CRIC Gaming · 988Sport · 888 Casino · 788casino · 688win.com · 588 Entertainment

    ReplyDelete