"Dii, sebenarnya
kakak kamu ke mana sih? Kok Mama telpon nggak diangkat-angkat?" Tante Fani
mondar-mandir di ruang keluarga seraya mengotak-atik ponselnya. Wanita empat
puluh tahunan itu terlihat cantik dengan balutan gaun pesta ungu. Rambutnya
disanggul, dengan hiasan perak yang indah menghias sanggulannya.
Andai sekarang ia
tidak khawatir, wanita itu pasti akan terlihat lebih anggun. Namun, anak
laki-lakinya membuat dia cemas setengah mati. Seharusnya malam ini ia bisa
melihat kedua anaknya ada di rumah dan bersiap ke pesta seperti dia dan
putrinya. Tapi, jangankan melihatnya, keberadaan Bisma pun Tante Fani tidak
tahu. Ditambah lagi telponnya tidak diangkat-angkat. Kekhawatirannya semakin
menjadi saja.
Diana yang baru
sampai di bawah itu kontan jadi gugup mendengar pertanyaan mamanya.
Pertanyaan Tante
Fani membuat Diana kebingungan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia yakin
sekarang Bisma sedang bersama Raisya. Mungkin di rumahnya. Tapi Diana tidak
bisa menjawab seperti itu. Akhirnya ia menjawab, "Diana juga nggak tahu,
Ma."
Tante Fani
mendengus kecil. "Anak itu benar-benar mau bikin orang tuanya mati
berdiri. Di rumahnya Nanda juga nggak ada. Ke mana dia?" Wanita itu
kemudian berjalan menuju ruang tamu. "Dia emang nggak bilang sama kalian
dia mau ke mana, gitu?"
"Enggak, Ma.
Tadi Kak Bisma nggak bilang apa-apa," jawab Diana yang kini mengekor di
belakang mamanya.
"Dia juga
nggak bilang apa-apa sama kamu, Za?"
Bukannya menjawab
pertanyaan Tante Fani, Reza yang sejak tadi sudah rapi dengan setelan jas-nya
itu malah melongo melihat Diana.
Malam ini Diana
memang sangat cantik. Rambut pendek sebahunya ia luruskan. Dahinya terhias poni
lembut yang ia biarkan mencapai alis. Ia menyematkan hiasan rambut berwarna
pink tua, senada dengan tas tangan juga high heels yang ia kenakan. Gaun pink
keunguan selututnya juga sangat cantik berpadu dengan kulitnya yang putih. Ia
juga memoleskan make up berwarna soft, membuat wajahnya terlihat segar, cerah,
dan sangat menarik.
Reza tak bisa
menahan matanya untuk melihat kekasihnya itu. Debaran jantungnya kian
mengencang saat Diana tersenyum malu-malu kepadanya. Baru kali ini Reza melihat
Diana berdandan, dan harus ia akui kalau kekasihnya itu memang sangat cantik.
Ia merasa tak salah memilih Diana untuk menjadi orang yang paling istimewa di
hatinya dan ingin diseriusinya. Selain mempunyai hati yang begitu menawan,
Diana juga mempunyai fisik yang sangat memesona. Kurang apa coba?
"Reza, Tante
tahu anak gadis Tante emang sangat cantik luar biasa. Tapi, bisa nggak kamu
jawab pertanyaan Tante dulu sebelum melongo ngelihat Diana kayak gitu."
Suara cempreng
Tante Fani sukses membuat Reza tersentak sekaligus ... malu. Bagaimana tidak malu
kalau sekarang Om Faisal juga tersenyum geli karena memergoki dirinya tengah
terpesona luar biasa pada gadis di belakang Tante Fani itu?
"Ha? Iya,
Tante? Tadi ngomong apa?" ujarnya salah tingkah.
"Ya ampun,
anak ini." Tante Fani menggeleng-gelengkan kepala, membuat Reza semakin
tak enak. "Reza, tadi Bisma sempet bilang sama kamu nggak dia mau ke
mana?" tanya Tante Fani sekali lagi dengan nada tak sabar.
Reza melirik lagi
ke arah Diana. Kali ini ia bukannya ingin menikmati kemolekan gadis itu lagi.
Tapi dia mau minta pendapat apa yang harus ia katakan kepada Tante Fani. Diana
pun memberi kode kepada Reza untuk bilang tidak.
"Eum...
Enggak, Tante. Bisma nggak bilang apa-apa sama Reza."
"Ada apa sama
anak itu? Kenapa mendadak ngilang begini?"
"Mungkin di
tempat Pak Subroto kali, Ma. Mau berangkat langsung sama Nanda."
"Mama udah
telpon ke sana, Pa. Tapi Bisma nggak ada di sana." Suara Tante Fani
terdengar putus asa.
"Anak itu
memang agak aneh belakangan ini. Beberapa hari lalu Papa juga telpon dia, tapi juga
nggak diangkat-angkat. Apa mungkin dia lagi berantem sama Nanda, ya?
"Apa mereka
lagi bertengkar?" Tante Fani menatap Diana dan Reza bergantian, seolah
menuntut jawab pada mereka berdua.
Diana dan Reza
malah saling pandang. Mereka tak langsung menjawab sampai beberapa detik
berselang. Hingga kemudian, Diana berdehem pelan dan menjawab dengan gugup,
"Diana sih nggak tahu, Ma."
"Reza juga
nggak tau, Tante."
"Kenapa semua
nggak tau? Bukannya kalian satu atap sama dia sekarang? Reza malah kamarnya di
sebelah Bisma. Sekelas juga. Kenapa nggak tahu?" Tante Fani tambah
uring-uringan karena sampai sekarang belum ketemu titik terang penyebab
menghilangnya Bisma.
"Belakangan
ini Reza banyak kegiatan, Tante. Bisma juga sama. Jadi kami jarang ngobrolin
hal lain selain kuliah."
Tante Fani terdengar
mendengus berlebih, lantas mengotak-atik ponselnya kembali.
"Bisma?"
seru wanita itu, setelah beberapa saat menempelkan ponselnya di telinga.
"Kamu ini ke mana aja? Kenapa nggak jawab-jawab telpon Mama?"
Semua orang di
ruangan itu saling pandang melihat telpon Tante Fani akhirnya diangkat oleh
Bisma. Ada sedikit lega di hati Om Faisal saat ini. Tapi untuk Diana dan Reza,
perasaan was-was justru menyerang mereka.
"Maaf,
Ma." Bisma hanya menjawab singkat.
"Kamu di mana
sekarang? Kenapa belum jemput Nanda?"
"Bisma udah
di tempat resepsi, Ma."
"Udah di
tempat resepsi? Kamu datang sendiri?"
"Eum ...
Enggak, Ma. Bisma berdua."
"Jadi Nanda
udah ada sama kamu?" Wanita itu tersenyum cerah. Tadi waktu telpon ke
rumah Nanda, ia seperti mendengar suara Nanda. Mungkin aku salah dengar.
Pikirnya. "Coba sini, Mama mau ngomong sebentar sama Nanda."
Ada jeda beberapa
saat setelah itu. Tante Fani mengira kalau Bisma memberikan ponselnya kepada
Nanda. Namun ketika benda mungil itu bersuara kembali, Tante Fani tidak
menemukan suara Nanda. Wanita itu justru menemukan suara anaknya kembali, dan
kali ini membuatnya terkejut.
"Bisma nggak
sama Nanda, Ma. Bisma ... sama orang lain."
"Apa?"
Wajah Tante Fani yang tadi sedikit mencerah langsung redup kembali. "Sama
orang lain? Siapa?"
"Eum ... Udah
dulu ya, Ma. Disambung besok."
"Tapi, Bii,
kamu belum jawab pertanyaan Mama. Siapa orang yang lagi sama kamu? Halo? Halo?
Halo? Bii ...,"
Sambungannya telah
terputus. Tante Fani mencoba menghubungi Bisma berkali-kali lagi, tapi tak ada
jawaban dari Bisma. Ia semakin curiga ada sesuatu yang buruk terjadi pada hubungan
Bisma dan Nanda.
"Apa kalian
tahu sesuatu tentang mereka?" Kali ini Om Faisal yang bertanya kepada
Diana dan Reza, karena di sepanjang pembicaraan Tante Fani dan Bisma tadi,
mereka tampak gelisah.
"Eng ...
Enggak!" Mereka menjawab kompak.
"Demi Tuhan,
kalau kalian tahu sesuatu tolong beritahu kami. Apa Bisma sekarang lagi
bertengkar sama Nanda?" Mereka kompak diam. "Kalian tahu siapa yang
lagi sama Bisma sekarang?"
"Kami mana
tahu, Ma. Kak Bisma kan di sana. Kami di sini. Gimana caranya kami tahu Kak
Bisma lagi sama siapa."
Ruangan itu hening
untuk beberapa saat. Tante Fani semakin khawatir, sementara Om Faisal tercenung
di tempatnya, seperti memikirkan sesuatu.
Setelah menghela
napas, akhirnya Reza angkat bicara. "Sebenarnya Reza denger kalau mereka
memang ada masalah sekarang. Tapi Reza nggak tahu masalahnya apa. Dan yang lagi
sama Bisma itu kayaknya temen sekelas kami. Reza sempet lihat Bisma ada deket
sama temen sekelas."
"Maksudnya
Bisma selingkuh?"
"Untuk lebih
jelasnya, mungkin lebih baik kita berangkat sekarang aja, Tante. Siapa tahu
ntar kita ketemu Bisma di sana, jadi Tante kan bisa tanya sendiri sama
orangnya."
"Ide
bagus," sahut Om Faisal.
"Ya. Lebih
baik kita memang berangkat sekarang." Tante Fani langsung berjalan menuju garasi
dengan raut muka setengah linglung.
Reza sengaja
berbicara seperti itu agar kedua tengah baya itu tidak terlalu shock jika nanti
mereka bertemu Bisma yang sudah pasti datang bersama Raisya.
* *
* * *
Sudah setengah jam
lebih Ilham duduk di lobi penginapan, tapi Fryda belum muncul juga. Ia sudah
nge-game sampai bosan untuk menemaninya menunggu Fryda. Sekarang ia sudah tidak
tahu lagi apa yang harus dilakukan. Memang tidak ada hal yang lebih menyebalkan
dari menunggu. Dan kini, Ilham benar-benar kesal karena menunggu Fryda yang
belum selesai juga berdandan.
"Dasar
perempuan. Kalau dandan udah kayak mau jadi pengatin aja. Lamanya nggak
kira-kira," gerutunya, lantas mengotak-atik ponselnya mengirim pesan
singkat pada Fryda.
Fryda, lo mau dandan sampe kapan, sih? Gue udah
lumutan di sini nih.
Pemuda itu
memastikan pesannya terkirim sebelum menyimpan ponselnya di saku dalam jas,
lantas berdiri dan melihat-lihat suasana luar lobi. Penginapan yang terletak
tak jauh dari rumah Ilham itu memang tidak terlalu mewah, tapi juga tidak
terlalu mengecewakan. Tempatnya cukup nyaman, bahkan Fryda bilang penginapan
ini hampir seperti hotel bintang lima karena selain mempunyai lobi yang cukup
luas, kamarnya pun sangat banyak dan yang penting tempatnya sangat rapi dan
bersih. Di depan setiap kamar, terdapat bebungaan perdu yang tumbuh subur dan
indah karena sepertinya selalu dirapikan setiap pagi. Begitu pun di depan lobi.
Ilham senang
karena Fryda tak merasa kecewa dengan penginapan yang dipilihkannya. Sengaja
Ilham mencarikan penginapan yang dekat dengan rumahnya agar jika gadis itu
butuh sesuatu, ia bisa segera membantunya. Selain itu, penginapan yang dekat
akan lebih mempermudah dia untuk menjemput Fryda saat mau berangkat pesta, juga
saat akan kembali ke asrama nanti.
Tak berselang lama,
pesan singkatnya terbalas.
Sabar. Bentar lagi.
"Masih
menjawab bentar lagi? Dia nggak tau apa kalau gue udah bosen tingkat dewa.
Belum pernah gue nungguin orang sampai lama-lama begini. Apalagi nungguin
cewek."
Setelah
ngedumel-dumel, pemuda itu mengirim pesan singkat lagi, kali ini bernada
mengancam.
Buruan keluar, atau gue tinggal.
Ilham memencet
tombol send-nya dengan gemas.
Tinggalin aja. Trus coba kita lihat siapa yang bakal
rugi kalau lo ninggalin gue.
Ilham menggeram
kesal. Tentu saja dia yang bakal rugi. Dia sudah menyewakan penginapan untuk
Fryda. Sudah membelikan gaun juga untuk gadis itu, karena Ilham pikir, dia
harus memberi sesuatu untuk Fryda yang sudah selalu ikhlas membantunya. Dan
baru saja, dia sudah membuang waktunya lebih dari setengah jam untuk menunggu. Kalau
Ilham benar-benar meninggalkan Fryda di sana, lalu apa tujuan dia ribet-ribet
tadi?
Akhirnya pemuda
itu masuk ke lobi kembali dan duduk di sofa dengan muka ditekuk.
Beberapa menit
duduk di sofa sambil melipat tangan, pemuda itu memutuskan untuk nge-game lagi.
Ia baru mau merogoh ponsel di saku dalam jasnya ketika gerakannya terhenti dan
matanya menatap takjub pada seorang gadis yang berjalan ke arahnya sembari
tersenyum manis. Gadis itu memakai gaun biru muda selutut tanpa lengan.
Rambutnya yang kecoklatan dibuat bergelombang, dan dibiarkan terurai cantik.
Tangan gadis itu memegang tas tangan berwarna perak, senada dengan high heels
di kakinya.
Tidak sia-sia
Ilham membiarkan gadis itu berdandan lama-lama. Hasilnya jauh dari kata
mengecewakan. Malam ini Fryda benar-benar terlihat sangat cantik, dan ia yakin
kalau teman-teman sekelasnya melihat Ilham yang belum pernah pacaran itu
sekarang berjalan beriringan dengan gadis secantik ini, semua temannya pasti
akan iri.
Mata Ilham
mengerjap-ngerjap saat ia merasa ada tangan yang mengibas di depan mukanya.
"Cantik kan,
gue?" ujar Fryda sok PD, seraya memainkan alisnya.
Ilham berdehem
pelan, lantas menyahut, "Nggak sia-sia juga gue nungguin lo sampai pantat
gue berakar." Pemuda itu kemudian berdiri dari duduknya. Ia mengangkat
tangannya, memberi kode kepada Fryda untuk menggamitnya.
Namun Fryda malah
mnegerutkan dahi. "Maksudnya apa nih?"
"Gamit lengan
gue," pinta Ilham seraya meraih tangan Fryda dan memaksa gadis itu untuk
menggamit lengannya. "Biar dilihatnya mesra gitu." Pemuda itu
terkekeh.
"Kalau mau gamit-gamitan
nggak di sini juga kali." Fryda manarik tangannya kembali. "Ntar aja
di tempat pesta. Nggak malu apa jalan berjejer kayak penganten gitu?"
Fryda langsung nyelonong menuju pintu keluar lobi meninggalkan Ilham begitu
saja.
"Nih anak
udah ditungguin sampe lumutan juga malah nyelonong gitu aja kayak kereta,"
gerutu Ilham, lalu menyusul Fryda yang kini berdiri di depan pintu lobi
menunggunya. Gadis itu baru ingat kalau dia tidak tahu di mana Ilham memarkir
mobil.
"Kalau lo
dandan cantik terus kayak gini, trus selalu care sama gue kayak gini, bisa-bisa
gue jatuh cinta beneran sama lo, Fry." Kata-kata itu meluncur begitu saja
dari mulut Ilham saat ia membukakan pintu mobil untuk Fryda.
Kontan, gadis yang
sudah mau masuk ke dalam mobil itu menghentikan gerakannya, lantas memandang
wajah Ilham yang tampak serius. Ada sesuatu yang mendesir di balik dadanya saat
Ilham menatapnya intens. Tak ingin membiarkan sesuatu terjadi di antara mereka
berdua, Fryda mengibaskan tangan sambil berkata, "Ngaco lo!" Lantas
masuk ke dalam mobil tanpa menoleh lagi ke arah Ilham.
Kalau ada pepatah
mengatakan cinta itu ada karena biasa, mungkin hal itu memang benar. Ilham
sepertinya tengah mengalaminya saat ini. Entah kenapa beberapa hari ini ia
sering kepikiran Fryda. Fryda yang baik hati, Fryda yang tulus, Fryda yang
pintar, dan ... Fryda yang malam ini sangat cantik. Andai saja Ilham tak
mengingat kalau Fryda sangat mencintai kekasihnya yang kini tengah menuntut
ilmu di luar negeri, pasti Ilham sudah benar-benar berhenti mengharapkan Raisya
dan mulai mendekati Fryda. Namun sepertinya, Ilham tak seberuntung itu.
* *
* * *
Morgan
menyandarkan tubuhnya pada pintu ruang rias yang terbuka. Penampilannya malam
ini sangat menawan. Setelan jas putih yang ia pakai membuat pemuda itu tampak
gagah. Rambutnya hanya disisir miring, tapi tak mengurangi ketampanan wajahnya.
Pemuda itu sedang mengamati
pengantinnya yang tengah duduk di depan meja rias bersama seorang perias yang
tak lain adalah tantenya sendiri. Tubuh Afra telah terbalut baju pengantin
berwarna putih dengan hiasan mutiara-mutiara serta manik-manik indah di
beberapa bagiannya. Rambutnya kini tengah di-make over oleh Tante Nita, sang
perias, hingga gadis itu kini menjadi makin cantik. Wajahnya yang sering
terlihat pucat pun kini tampak lebih cerah karena make up yang dipoleskan oleh
penata rias handal itu.
Ketika Tante Nita
menjauh dari dekat Afra, Morgan melangkahkan kakinya mendekati Afra. Afra yang melihat Morgan lewat
pantulan cermin itu tersenyum. Manis sekali. Ia tak menoleh, tetap diam pada
posisinya, menatap Morgan lewat cermin. Tampak Morgan berjongkok dan
mendekatkan wajahnya ke wajah Afra.
"Cantik
banget, sih, istri aku?" ujar Morgan, membuat Afra tersipu. "Ih, pake
malu-malu segala lagi. Bikin tambah gemes aja."
"Apaan sih,
Morgan." Afra mendorong wajah Morgan menjauh darinya, lantas berpura
manyun.
Tapi Morgan masih
ingin dekat-dekat dengan Afra. Pemuda itu mendekatkan wajahnya kembali, dan
kini wajah mereka kian dekat. "Kalau lagi dandan gini, bawaannya pengen
nyium aja. Nyium dikit boleh, ya?"
Afra tak menjawab.
Gadis itu hanya menunduk sambil berusaha menahan senyumnya. Tapi karena malam
ini ia tengah bahagia, senyum manis itu tak sanggup ia sembunyikan.
Merasa diberi
ijin, Morgan memperlebar senyumnya, lantas memutar kepalanya ke samping, dan
... sebuah tisu mendarat dengan sukses di bibirnya. Pemuda itu merasa ada yang mendorong
mukanya menjauh dari Afra. Dan ketika ia mendongak ke atas, ia menemukan
tantenya tengah berdiri dengan garang di sampingnya.
"Enak aja mau
nyium-nyium. Nggak boleh!" tegas Tante Nita. "Ntar kalau make up-nya
luntur gimana?"
"Apa banget
deh, Tante nih. Masa' cuma dicium aja make up-nya bisa luntur?" Morgan
manyun. "Trus ntar kalau mau difoto masa' Morgan nggak boleh nyium. Nggak
mesra donk? Kayak bukan pengantin donk? Kayak pasangan hasil perjodohan
donk?"
"Berisik deh!"
sergah Tante Nita, seraya meneliti penampilan Afra, takut masih ada yang
kurang. "Ya udah, kamu nyiumnya ntar aja kalau mau difoto. Atau kalau
enggak ntar aja deh abis pesta puas-puasin. Kalau sekarang jangan dulu. Kalau
make up-nya rusak emang kamu mau ngebenerin?"
"Ah, Tante
pelit." Morgan semakin BT.
"Udah deh,
mukanya jangan dijelek-jelekin gitu. Ntar nggak enak dilihat tamu." Tante
Nita memperingatkan, tanpa mengalihkan pandang dari wajah Afra. "Mendingan
sekarang kamu lihat-lihat di luar aja sana, kalau udah rapi mah. Jangan
berkeliaran di sini. Ngribet-ngribetin aja."
"Ah, Tante
...,"
"Morgan,
jangan kayak bocah deh."
Akhirnya Morgan
menyerah. Ia melirik sekilas ke cermin, dan menemukan wajah Afra yang terhias
senyum tengah memandangnya juga, seolah memberi kode kepada Morgan agar
tersenyum juga seperti dia. Hampir Morgan balik kanan kalau saja Tante Nita
tidak mengambil tasnya di sofa. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, pemuda itu
mencuri pipi istrinya, lantas kabur begitu saja tanpa mempedulikan tantenya
yang ngomel-ngomel memarahi kenakalannya.
Resepsi pernikahan
itu diadakan di sebuah gedung mewah yang sengaja disewa oleh orang tua Morgan. Gedung
itu mempunyai halaman yang sangat luas dengan pohon-pohon rindang di
sekelilingnya. Di tengah halaman, bebungaan cantik tampak menghias, membuat
rumah itu semakin indah. Biasanya, halaman itu disewakan kepada orang yang
ingin membuat pesta outdoor.
Morgan dan orang
tuanya memilih mengadakan pesta di dalam.
Selain karena design gedungnya tampak elegan, mereka juga mengkhawatirkan
cuaca. Sekarang musin hujan. Tidak lucu kan, jika di tengah pesta nanti tiba-tiba
hujan turun dan mengacaukan pesta mereka?
Gedung berlantai
dua itu memang sangat indah. Ruangannya sangat luas. Selain itu, terdapat
beberapa kamar juga untuk tempat rias, juga untuk tempat istirahat di lantai
atas. Untuk ke lantai atas, hanya ada satu tangga selebar 3 meter yang didesign
sangat cantik. Kalau dilihat-lihat, tangga itu mirip dengan tangga yang ada di
kapal titanic.
Pelaminannya
sendiri ada di ujung ruangan, menghadap pintu utama. Ada sebuah panggung hiburan
yang diisi oleh house band juga di sebelah kanan pelaminan. Resepsi pernikahan
kali ini mengambil tema standing party. Jadi tak ada kursi yang mendampingi meja-meja
besar berisi makanan dan minuman di tengah ruangan itu. Hanya ada beberapa
kursi yang tersedia di sudut ruangan, untuk berjaga-jaga kalau ada yang
terpaksa membutuhkannya.
Dari lantai atas,
bisa terlihat para tamu yang memasuki ruangan. Selain itu, ada jendela kaca
besar yang bisa menembus tempat parkir. Morgan berdiri di belakang jendela
kaca, melihat-lihat siapa saja yang telah datang. Sekarang masih terlalu sore.
Baru sedikit tamu yang datang, dan didominasi oleh relasi papanya, juga papanya
Afra. Teman-teman Morgan juga Afra baru beberapa yang datang.
Morgan baru
berniat beranjak dari tempat itu ketika matanya menangkap sesuatu yang aneh.
Dahi pemuda itu mengernyit. Ia menajamkan penglihatan, memastikan
penglihatannya tidak salah. Dia memang tidak salah. Yang dilihatnya memang
salah seorang dari teman yang dicarinya.
"Bisma?"
Morgan menautkan alis, tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sesaat, ia
memperhatikan gadis yang bersama Bisma dengan seksama. Ia merasa pernah
melihatnya, tapi lupa di mana. Begitu ingat tentang gadis itu, mata Morgan
membulat sempurna. "Raisya? Kok dia malah sama Raisya? Nanda ke
mana?" ujarnya, bingung. "Wah ... Kudet nih, gue."
Morgan buru-buru
beranjak dari sana, dan berjalan tergesa menuju ke bawah. Ia ingin menemui
kawannya itu, dan menanyakan ada apa dengan dia sebenarnya. Belum genap
setengah bulan ia melihat Nanda dan Bisma makin mesra, bahkan orang tua Bisma
memberi cincin kepada kawan baik istrinya itu. Kalau memang sekarang Bisma ada
hubungan khusus dengan Raisya, Morgan bisa memastikan kalau ada yang tidak
beres.
Pemuda itu hampir
menapakkan kakinya di tangga saat gendang telinganya menangkap sebuah seruan,
"Morgan, jangan pergi jauh-jauh!" Ketika Morgan menengok ke arah
suara, ia menemukan Tante Nita menatap ke arahnya. "Bentar lagi Afra siap.
Kamu jangan ke mana-mana."
"Ah, Tante.
Tadi katanya suruh pergi. Sekarang dibilang jangan ke mana-mana? Gimana sih?
Labil banget," gerutunya, seraya berjalan menuju ruang rias.
"Udah, deh.
Nggak usah banyak protes. Sekarang kamu duduk manis aja di sofa, dan jangan
ganggu Tante sama Afra. Ntar nggak kelar-kelar dandanannya."
Morgan nurut. Ia
berjalan menuju sofa sambil ngedumel-dumel, lantas duduk di sana. Ketika mau
menutup pintu tadi, ia sempat menengok ke belakang lagi. Ia masih sangat
penasaran ada apa dengan Bisma sebenarnya.
* *
* * *
"Kak Reza,
kenapa Kakak tadi malah bilang kayak gitu ke Mama? Mama kan jadi semakin
khawatir. Lihat aja tadi wajahnya jadi sedih gitu, kan?" Diana yang sejak
tadi hanya murung di sebelah Reza itu kini membuka suara.
Mereka berempat
memang berangkat bersama. Tapi, mereka sengaja pisah mobil untuk memberi
kesempatan kepada sepasang kekasih ini jika mereka ingin lebih lama tinggal di
pesta. Walaubagaimanapun, pesta ini adalah pesta sahabatnya Reza. Reza pasti
ingin berlama-lama di sana.
"Daripada
ntar mama kamu lebih shock lagi kalau lihat Bisma sama orang lain? Mendingan
Kakak kasih kode aja dari sekarang. Jadi mama sama papa kamu kan bisa siap-siap
menguatkan hati," jawab Reza.
"Benar
juga." Diana termenung kembali.
Gara-gara masalah
Bisma ini, suasana hati yang seharusnya gembira jadi berantakan. Tante Fani
uring-uringan. Diana lebih banyak melamun. Om Faisal pun tidak begitu bersemangat.
Dan sayangnya, semua ini terjadi tepat saat Reza berkunjung ke rumah mereka
untuk pertama kali. Reza jadi merasa datang pada saat yang tidak tepat.
"Menurut
Kakak, apa kita nanti bakalan ketemu Kak Bisma?" Suara Diana terdengar
kembali.
"Mungkin,"
sahut Reza, setelah berpikir sesaat.
"Kalau papa
sama mama sampai ketemu Kak Bisma kira-kira gimana ya, reaksi mereka?"
"Kakak harap
sih, mama kamu nggak sampai ngomel-ngomel di sana. Apalagi sampai
pingsan." Reza terkekeh.
Merasa tidak
nyaman dengan sikap kekasihnya saat ini, Reza menepikan mobilnya dan berhenti.
Diana langsung menoleh ke arah Reza dengan raut bingung. Tanpa memberi
kesempatan kepada gadis itu untuk bertanya, Reza langsung meraih tangan Diana
dan menggenggamnya erat.
"Diana,
please, berhenti khawatirin Bisma. Bisma itu udah dewasa. Dia pasti sudah
memperhitungkan apa yang dia lakukan. Kalau memang dia lagi ada masalah, Kakak
yakin pasti dia bisa mengatasinya. Dan pada saatnya nanti, dia pasti akan
menjelaskan semuanya pada kita," ujar Reza, lembut. Pandangannya terfokus
pada mata Diana yang menatapnya tanpa kedip. "Sekarang kamu tenang. Senyum
buat Kakak. Kakak baru pertama kalinya datang ke rumah kamu. Masa' malah kamu
suguhin wajah cemberut, sih? Lagian wajah kamu lagi cantik-cantiknya. Sayang
kalau dibuat muram kayak gitu."
Reza kemudian
mendekatkan wajahnya, lalu mendaratkan ciuman hangat di pipi Diana.
Diana merasa
segalanya lebih ringan saat bibir Reza menyentuh pipinya. Ia merasa segala
permasalahan seolah menguap begitu saja. Perlahan, wajah cantiknya berseri, dan
sesungging senyum merekah di bibirnya yang ranum. Perasaannya kini jauh lebih
baik.
Kata-kata Reza
yang baru saja ia pahami membuat Diana yakin kalau kakaknya pasti baik-baik
saja. Ia juga yakin orang tuanya pasti akan baik-baik saja. Siapa pun yang akan
menjadi kakak iparnya, Diana akan menerimanya karena pasti Bisma memilih yang
terbaik untuk menjadi pendampingnya. Meski agak kecewa juga kalau seandainya
Bisma benar-benar tidak memilih Nanda. Sebab, dia sudah terlanjur akrab dengan
Nanda, dan dia bisa memastikan kalau Nanda memang gadis yang baik.
"Nah, kalau
senyum gitu kan makin kelihatan cantiknya." Diana makin tersipu mendengar
pujian Reza.
Setelah memastikan
perasaan gadisnya lebih baik dari sebelumnya, Reza menjalankan mobilnya
kembali.
* *
* * *
Sebenarnya Rangga
tadi membiarkan orang tua Shita pergi duluan karena Shita belum selesai
berdandan. Rangga dan Shita baru berangkat seperempat jam kemudian. Namun,
Rangga melihat mobil Om Doni berada tepat di belakang mobilnya saat ia mencari
tempat parkir.
Pemuda itu
tersenyum melihat mobil mereka parkir berdampingan.
"Baru nyampe,
Om?" sapanya.
"Iya nih,
Ngga. Maklum, mata Om udah nggak seawas waktu muda dulu. Jadi nyetirnya musti
hati-hati."
"Tapi
kebetulan deh. Kita bisa masuk bareng aja," sela Tante Mira, lantas
tersenyum.
Mereka berjalan
beriringan menuju pintu masuk. Sesekali, terlontar canda dari kedua pasangan
beda usia itu, sehingga mereka terlihat sangat akrab. Rangga seolah sudah
menjadi bagian dari keluarga kekasihnya. Jika mereka sedang berada di tengah
keluarga Shita, mereka memang merasa sangat bahagia, seperti tak ada beban
apapun di dalam hati. Sangat berbeda ketika mereka berada di tengah keluarga
Rangga.
Namun, Sspertinya
Tuhan belum ingin membiarkan sepasang muda mudi itu mengecap kebahagiaan
terlalu lama. Ketika mereka hampir sampai di pintu masuk, keempatnya
menghentikan langkah. Canda mereka pun seketika buyar. Tawa mereka langsung
terhenti. Rangga langsung meraih tangan Shita, lantas menarik gadis itu ke
belakang punggungnya.
...........................................................................
Bersambung
By: Novita SN
No comments:
Post a Comment