Friday, December 18, 2015

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 79



"Dii, sebenarnya kakak kamu ke mana sih? Kok Mama telpon nggak diangkat-angkat?" Tante Fani mondar-mandir di ruang keluarga seraya mengotak-atik ponselnya. Wanita empat puluh tahunan itu terlihat cantik dengan balutan gaun pesta ungu. Rambutnya disanggul, dengan hiasan perak yang indah menghias sanggulannya.

Andai sekarang ia tidak khawatir, wanita itu pasti akan terlihat lebih anggun. Namun, anak laki-lakinya membuat dia cemas setengah mati. Seharusnya malam ini ia bisa melihat kedua anaknya ada di rumah dan bersiap ke pesta seperti dia dan putrinya. Tapi, jangankan melihatnya, keberadaan Bisma pun Tante Fani tidak tahu. Ditambah lagi telponnya tidak diangkat-angkat. Kekhawatirannya semakin menjadi saja.

Diana yang baru sampai di bawah itu kontan jadi gugup mendengar pertanyaan mamanya.
Pertanyaan Tante Fani membuat Diana kebingungan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia yakin sekarang Bisma sedang bersama Raisya. Mungkin di rumahnya. Tapi Diana tidak bisa menjawab seperti itu. Akhirnya ia menjawab, "Diana juga nggak tahu, Ma."

Tante Fani mendengus kecil. "Anak itu benar-benar mau bikin orang tuanya mati berdiri. Di rumahnya Nanda juga nggak ada. Ke mana dia?" Wanita itu kemudian berjalan menuju ruang tamu. "Dia emang nggak bilang sama kalian dia mau ke mana, gitu?"

"Enggak, Ma. Tadi Kak Bisma nggak bilang apa-apa," jawab Diana yang kini mengekor di belakang mamanya.

"Dia juga nggak bilang apa-apa sama kamu, Za?"

Bukannya menjawab pertanyaan Tante Fani, Reza yang sejak tadi sudah rapi dengan setelan jas-nya itu malah melongo melihat Diana.

Malam ini Diana memang sangat cantik. Rambut pendek sebahunya ia luruskan. Dahinya terhias poni lembut yang ia biarkan mencapai alis. Ia menyematkan hiasan rambut berwarna pink tua, senada dengan tas tangan juga high heels yang ia kenakan. Gaun pink keunguan selututnya juga sangat cantik berpadu dengan kulitnya yang putih. Ia juga memoleskan make up berwarna soft, membuat wajahnya terlihat segar, cerah, dan sangat menarik.

Reza tak bisa menahan matanya untuk melihat kekasihnya itu. Debaran jantungnya kian mengencang saat Diana tersenyum malu-malu kepadanya. Baru kali ini Reza melihat Diana berdandan, dan harus ia akui kalau kekasihnya itu memang sangat cantik. Ia merasa tak salah memilih Diana untuk menjadi orang yang paling istimewa di hatinya dan ingin diseriusinya. Selain mempunyai hati yang begitu menawan, Diana juga mempunyai fisik yang sangat memesona. Kurang apa coba?

"Reza, Tante tahu anak gadis Tante emang sangat cantik luar biasa. Tapi, bisa nggak kamu jawab pertanyaan Tante dulu sebelum melongo ngelihat Diana kayak gitu."

Suara cempreng Tante Fani sukses membuat Reza tersentak sekaligus ... malu. Bagaimana tidak malu kalau sekarang Om Faisal juga tersenyum geli karena memergoki dirinya tengah terpesona luar biasa pada gadis di belakang Tante Fani itu?

"Ha? Iya, Tante? Tadi ngomong apa?" ujarnya salah tingkah.

"Ya ampun, anak ini." Tante Fani menggeleng-gelengkan kepala, membuat Reza semakin tak enak. "Reza, tadi Bisma sempet bilang sama kamu nggak dia mau ke mana?" tanya Tante Fani sekali lagi dengan nada tak sabar.

Reza melirik lagi ke arah Diana. Kali ini ia bukannya ingin menikmati kemolekan gadis itu lagi. Tapi dia mau minta pendapat apa yang harus ia katakan kepada Tante Fani. Diana pun memberi kode kepada Reza untuk bilang tidak.

"Eum... Enggak, Tante. Bisma nggak bilang apa-apa sama Reza."

"Ada apa sama anak itu? Kenapa mendadak ngilang begini?"

"Mungkin di tempat Pak Subroto kali, Ma. Mau berangkat langsung sama Nanda."

"Mama udah telpon ke sana, Pa. Tapi Bisma nggak ada di sana." Suara Tante Fani terdengar putus asa.

"Anak itu memang agak aneh belakangan ini. Beberapa hari lalu Papa juga telpon dia, tapi juga nggak diangkat-angkat. Apa mungkin dia lagi berantem sama Nanda, ya?

"Apa mereka lagi bertengkar?" Tante Fani menatap Diana dan Reza bergantian, seolah menuntut jawab pada mereka berdua.

Diana dan Reza malah saling pandang. Mereka tak langsung menjawab sampai beberapa detik berselang. Hingga kemudian, Diana berdehem pelan dan menjawab dengan gugup, "Diana sih nggak tahu, Ma."

"Reza juga nggak tau, Tante."

"Kenapa semua nggak tau? Bukannya kalian satu atap sama dia sekarang? Reza malah kamarnya di sebelah Bisma. Sekelas juga. Kenapa nggak tahu?" Tante Fani tambah uring-uringan karena sampai sekarang belum ketemu titik terang penyebab menghilangnya Bisma.

"Belakangan ini Reza banyak kegiatan, Tante. Bisma juga sama. Jadi kami jarang ngobrolin hal lain selain kuliah."

Tante Fani terdengar mendengus berlebih, lantas mengotak-atik ponselnya kembali.

"Bisma?" seru wanita itu, setelah beberapa saat menempelkan ponselnya di telinga. "Kamu ini ke mana aja? Kenapa nggak jawab-jawab telpon Mama?"

Semua orang di ruangan itu saling pandang melihat telpon Tante Fani akhirnya diangkat oleh Bisma. Ada sedikit lega di hati Om Faisal saat ini. Tapi untuk Diana dan Reza, perasaan was-was justru menyerang mereka.

"Maaf, Ma." Bisma hanya menjawab singkat.

"Kamu di mana sekarang? Kenapa belum jemput Nanda?"

"Bisma udah di tempat resepsi, Ma."

"Udah di tempat resepsi? Kamu datang sendiri?"

"Eum ... Enggak, Ma. Bisma berdua."

"Jadi Nanda udah ada sama kamu?" Wanita itu tersenyum cerah. Tadi waktu telpon ke rumah Nanda, ia seperti mendengar suara Nanda. Mungkin aku salah dengar. Pikirnya. "Coba sini, Mama mau ngomong sebentar sama Nanda."

Ada jeda beberapa saat setelah itu. Tante Fani mengira kalau Bisma memberikan ponselnya kepada Nanda. Namun ketika benda mungil itu bersuara kembali, Tante Fani tidak menemukan suara Nanda. Wanita itu justru menemukan suara anaknya kembali, dan kali ini membuatnya terkejut.

"Bisma nggak sama Nanda, Ma. Bisma ... sama orang lain."

"Apa?" Wajah Tante Fani yang tadi sedikit mencerah langsung redup kembali. "Sama orang lain? Siapa?"

"Eum ... Udah dulu ya, Ma. Disambung besok."

"Tapi, Bii, kamu belum jawab pertanyaan Mama. Siapa orang yang lagi sama kamu? Halo? Halo? Halo? Bii ...,"

Sambungannya telah terputus. Tante Fani mencoba menghubungi Bisma berkali-kali lagi, tapi tak ada jawaban dari Bisma. Ia semakin curiga ada sesuatu yang buruk terjadi pada hubungan Bisma dan Nanda.

"Apa kalian tahu sesuatu tentang mereka?" Kali ini Om Faisal yang bertanya kepada Diana dan Reza, karena di sepanjang pembicaraan Tante Fani dan Bisma tadi, mereka tampak gelisah.

"Eng ... Enggak!" Mereka menjawab kompak.

"Demi Tuhan, kalau kalian tahu sesuatu tolong beritahu kami. Apa Bisma sekarang lagi bertengkar sama Nanda?" Mereka kompak diam. "Kalian tahu siapa yang lagi sama Bisma sekarang?"

"Kami mana tahu, Ma. Kak Bisma kan di sana. Kami di sini. Gimana caranya kami tahu Kak Bisma lagi sama siapa."

Ruangan itu hening untuk beberapa saat. Tante Fani semakin khawatir, sementara Om Faisal tercenung di tempatnya, seperti memikirkan sesuatu.

Setelah menghela napas, akhirnya Reza angkat bicara. "Sebenarnya Reza denger kalau mereka memang ada masalah sekarang. Tapi Reza nggak tahu masalahnya apa. Dan yang lagi sama Bisma itu kayaknya temen sekelas kami. Reza sempet lihat Bisma ada deket sama temen sekelas."

"Maksudnya Bisma selingkuh?"

"Untuk lebih jelasnya, mungkin lebih baik kita berangkat sekarang aja, Tante. Siapa tahu ntar kita ketemu Bisma di sana, jadi Tante kan bisa tanya sendiri sama orangnya."

"Ide bagus," sahut Om Faisal.

"Ya. Lebih baik kita memang berangkat sekarang." Tante Fani langsung berjalan menuju garasi dengan raut muka setengah linglung.

Reza sengaja berbicara seperti itu agar kedua tengah baya itu tidak terlalu shock jika nanti mereka bertemu Bisma yang sudah pasti datang bersama Raisya.

*     *     *     *     *

Sudah setengah jam lebih Ilham duduk di lobi penginapan, tapi Fryda belum muncul juga. Ia sudah nge-game sampai bosan untuk menemaninya menunggu Fryda. Sekarang ia sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Memang tidak ada hal yang lebih menyebalkan dari menunggu. Dan kini, Ilham benar-benar kesal karena menunggu Fryda yang belum selesai juga berdandan.

"Dasar perempuan. Kalau dandan udah kayak mau jadi pengatin aja. Lamanya nggak kira-kira," gerutunya, lantas mengotak-atik ponselnya mengirim pesan singkat pada Fryda.

Fryda, lo mau dandan sampe kapan, sih? Gue udah lumutan di sini nih.

Pemuda itu memastikan pesannya terkirim sebelum menyimpan ponselnya di saku dalam jas, lantas berdiri dan melihat-lihat suasana luar lobi. Penginapan yang terletak tak jauh dari rumah Ilham itu memang tidak terlalu mewah, tapi juga tidak terlalu mengecewakan. Tempatnya cukup nyaman, bahkan Fryda bilang penginapan ini hampir seperti hotel bintang lima karena selain mempunyai lobi yang cukup luas, kamarnya pun sangat banyak dan yang penting tempatnya sangat rapi dan bersih. Di depan setiap kamar, terdapat bebungaan perdu yang tumbuh subur dan indah karena sepertinya selalu dirapikan setiap pagi. Begitu pun di depan lobi.

Ilham senang karena Fryda tak merasa kecewa dengan penginapan yang dipilihkannya. Sengaja Ilham mencarikan penginapan yang dekat dengan rumahnya agar jika gadis itu butuh sesuatu, ia bisa segera membantunya. Selain itu, penginapan yang dekat akan lebih mempermudah dia untuk menjemput Fryda saat mau berangkat pesta, juga saat akan kembali ke asrama nanti.

Tak berselang lama, pesan singkatnya terbalas.

Sabar. Bentar lagi.

"Masih menjawab bentar lagi? Dia nggak tau apa kalau gue udah bosen tingkat dewa. Belum pernah gue nungguin orang sampai lama-lama begini. Apalagi nungguin cewek."

Setelah ngedumel-dumel, pemuda itu mengirim pesan singkat lagi, kali ini bernada mengancam.

Buruan keluar, atau gue tinggal.

Ilham memencet tombol send-nya dengan gemas.

Tinggalin aja. Trus coba kita lihat siapa yang bakal rugi kalau lo ninggalin gue.

Ilham menggeram kesal. Tentu saja dia yang bakal rugi. Dia sudah menyewakan penginapan untuk Fryda. Sudah membelikan gaun juga untuk gadis itu, karena Ilham pikir, dia harus memberi sesuatu untuk Fryda yang sudah selalu ikhlas membantunya. Dan baru saja, dia sudah membuang waktunya lebih dari setengah jam untuk menunggu. Kalau Ilham benar-benar meninggalkan Fryda di sana, lalu apa tujuan dia ribet-ribet tadi?

Akhirnya pemuda itu masuk ke lobi kembali dan duduk di sofa dengan muka ditekuk.

Beberapa menit duduk di sofa sambil melipat tangan, pemuda itu memutuskan untuk nge-game lagi. Ia baru mau merogoh ponsel di saku dalam jasnya ketika gerakannya terhenti dan matanya menatap takjub pada seorang gadis yang berjalan ke arahnya sembari tersenyum manis. Gadis itu memakai gaun biru muda selutut tanpa lengan. Rambutnya yang kecoklatan dibuat bergelombang, dan dibiarkan terurai cantik. Tangan gadis itu memegang tas tangan berwarna perak, senada dengan high heels di kakinya.

Tidak sia-sia Ilham membiarkan gadis itu berdandan lama-lama. Hasilnya jauh dari kata mengecewakan. Malam ini Fryda benar-benar terlihat sangat cantik, dan ia yakin kalau teman-teman sekelasnya melihat Ilham yang belum pernah pacaran itu sekarang berjalan beriringan dengan gadis secantik ini, semua temannya pasti akan iri.

Mata Ilham mengerjap-ngerjap saat ia merasa ada tangan yang mengibas di depan mukanya.

"Cantik kan, gue?" ujar Fryda sok PD, seraya memainkan alisnya.

Ilham berdehem pelan, lantas menyahut, "Nggak sia-sia juga gue nungguin lo sampai pantat gue berakar." Pemuda itu kemudian berdiri dari duduknya. Ia mengangkat tangannya, memberi kode kepada Fryda untuk menggamitnya.

Namun Fryda malah mnegerutkan dahi. "Maksudnya apa nih?"

"Gamit lengan gue," pinta Ilham seraya meraih tangan Fryda dan memaksa gadis itu untuk menggamit lengannya. "Biar dilihatnya mesra gitu." Pemuda itu terkekeh.

"Kalau mau gamit-gamitan nggak di sini juga kali." Fryda manarik tangannya kembali. "Ntar aja di tempat pesta. Nggak malu apa jalan berjejer kayak penganten gitu?" Fryda langsung nyelonong menuju pintu keluar lobi meninggalkan Ilham begitu saja.

"Nih anak udah ditungguin sampe lumutan juga malah nyelonong gitu aja kayak kereta," gerutu Ilham, lalu menyusul Fryda yang kini berdiri di depan pintu lobi menunggunya. Gadis itu baru ingat kalau dia tidak tahu di mana Ilham memarkir mobil.

"Kalau lo dandan cantik terus kayak gini, trus selalu care sama gue kayak gini, bisa-bisa gue jatuh cinta beneran sama lo, Fry." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Ilham saat ia membukakan pintu mobil untuk Fryda.

Kontan, gadis yang sudah mau masuk ke dalam mobil itu menghentikan gerakannya, lantas memandang wajah Ilham yang tampak serius. Ada sesuatu yang mendesir di balik dadanya saat Ilham menatapnya intens. Tak ingin membiarkan sesuatu terjadi di antara mereka berdua, Fryda mengibaskan tangan sambil berkata, "Ngaco lo!" Lantas masuk ke dalam mobil tanpa menoleh lagi ke arah Ilham.

Kalau ada pepatah mengatakan cinta itu ada karena biasa, mungkin hal itu memang benar. Ilham sepertinya tengah mengalaminya saat ini. Entah kenapa beberapa hari ini ia sering kepikiran Fryda. Fryda yang baik hati, Fryda yang tulus, Fryda yang pintar, dan ... Fryda yang malam ini sangat cantik. Andai saja Ilham tak mengingat kalau Fryda sangat mencintai kekasihnya yang kini tengah menuntut ilmu di luar negeri, pasti Ilham sudah benar-benar berhenti mengharapkan Raisya dan mulai mendekati Fryda. Namun sepertinya, Ilham tak seberuntung itu.

*     *     *     *     *

Morgan menyandarkan tubuhnya pada pintu ruang rias yang terbuka. Penampilannya malam ini sangat menawan. Setelan jas putih yang ia pakai membuat pemuda itu tampak gagah. Rambutnya hanya disisir miring, tapi tak mengurangi ketampanan wajahnya.

Pemuda itu sedang mengamati pengantinnya yang tengah duduk di depan meja rias bersama seorang perias yang tak lain adalah tantenya sendiri. Tubuh Afra telah terbalut baju pengantin berwarna putih dengan hiasan mutiara-mutiara serta manik-manik indah di beberapa bagiannya. Rambutnya kini tengah di-make over oleh Tante Nita, sang perias, hingga gadis itu kini menjadi makin cantik. Wajahnya yang sering terlihat pucat pun kini tampak lebih cerah karena make up yang dipoleskan oleh penata rias handal itu.

Ketika Tante Nita menjauh dari dekat Afra, Morgan melangkahkan kakinya  mendekati Afra. Afra yang melihat Morgan lewat pantulan cermin itu tersenyum. Manis sekali. Ia tak menoleh, tetap diam pada posisinya, menatap Morgan lewat cermin. Tampak Morgan berjongkok dan mendekatkan wajahnya ke wajah Afra.

"Cantik banget, sih, istri aku?" ujar Morgan, membuat Afra tersipu. "Ih, pake malu-malu segala lagi. Bikin tambah gemes aja."

"Apaan sih, Morgan." Afra mendorong wajah Morgan menjauh darinya, lantas berpura manyun.

Tapi Morgan masih ingin dekat-dekat dengan Afra. Pemuda itu mendekatkan wajahnya kembali, dan kini wajah mereka kian dekat. "Kalau lagi dandan gini, bawaannya pengen nyium aja. Nyium dikit boleh, ya?"

Afra tak menjawab. Gadis itu hanya menunduk sambil berusaha menahan senyumnya. Tapi karena malam ini ia tengah bahagia, senyum manis itu tak sanggup ia sembunyikan.  

Merasa diberi ijin, Morgan memperlebar senyumnya, lantas memutar kepalanya ke samping, dan ... sebuah tisu mendarat dengan sukses di bibirnya. Pemuda itu merasa ada yang mendorong mukanya menjauh dari Afra. Dan ketika ia mendongak ke atas, ia menemukan tantenya tengah berdiri dengan garang di sampingnya.

"Enak aja mau nyium-nyium. Nggak boleh!" tegas Tante Nita. "Ntar kalau make up-nya luntur gimana?"

"Apa banget deh, Tante nih. Masa' cuma dicium aja make up-nya bisa luntur?" Morgan manyun. "Trus ntar kalau mau difoto masa' Morgan nggak boleh nyium. Nggak mesra donk? Kayak bukan pengantin donk? Kayak pasangan hasil perjodohan donk?"

"Berisik deh!" sergah Tante Nita, seraya meneliti penampilan Afra, takut masih ada yang kurang. "Ya udah, kamu nyiumnya ntar aja kalau mau difoto. Atau kalau enggak ntar aja deh abis pesta puas-puasin. Kalau sekarang jangan dulu. Kalau make up-nya rusak emang kamu mau ngebenerin?"

"Ah, Tante pelit." Morgan semakin BT.

"Udah deh, mukanya jangan dijelek-jelekin gitu. Ntar nggak enak dilihat tamu." Tante Nita memperingatkan, tanpa mengalihkan pandang dari wajah Afra. "Mendingan sekarang kamu lihat-lihat di luar aja sana, kalau udah rapi mah. Jangan berkeliaran di sini. Ngribet-ngribetin aja."

"Ah, Tante ...,"

"Morgan, jangan kayak bocah deh."

Akhirnya Morgan menyerah. Ia melirik sekilas ke cermin, dan menemukan wajah Afra yang terhias senyum tengah memandangnya juga, seolah memberi kode kepada Morgan agar tersenyum juga seperti dia. Hampir Morgan balik kanan kalau saja Tante Nita tidak mengambil tasnya di sofa. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, pemuda itu mencuri pipi istrinya, lantas kabur begitu saja tanpa mempedulikan tantenya yang ngomel-ngomel memarahi kenakalannya.

Resepsi pernikahan itu diadakan di sebuah gedung mewah yang sengaja disewa oleh orang tua Morgan. Gedung itu mempunyai halaman yang sangat luas dengan pohon-pohon rindang di sekelilingnya. Di tengah halaman, bebungaan cantik tampak menghias, membuat rumah itu semakin indah. Biasanya, halaman itu disewakan kepada orang yang ingin membuat pesta outdoor.

Morgan dan orang tuanya memilih  mengadakan pesta di dalam. Selain karena design gedungnya tampak elegan, mereka juga mengkhawatirkan cuaca. Sekarang musin hujan. Tidak lucu kan, jika di tengah pesta nanti tiba-tiba hujan turun dan mengacaukan pesta mereka?

Gedung berlantai dua itu memang sangat indah. Ruangannya sangat luas. Selain itu, terdapat beberapa kamar juga untuk tempat rias, juga untuk tempat istirahat di lantai atas. Untuk ke lantai atas, hanya ada satu tangga selebar 3 meter yang didesign sangat cantik. Kalau dilihat-lihat, tangga itu mirip dengan tangga yang ada di kapal titanic.

Pelaminannya sendiri ada di ujung ruangan, menghadap pintu utama. Ada sebuah panggung hiburan yang diisi oleh house band juga di sebelah kanan pelaminan. Resepsi pernikahan kali ini mengambil tema standing party. Jadi tak ada kursi yang mendampingi meja-meja besar berisi makanan dan minuman di tengah ruangan itu. Hanya ada beberapa kursi yang tersedia di sudut ruangan, untuk berjaga-jaga kalau ada yang terpaksa membutuhkannya.

Dari lantai atas, bisa terlihat para tamu yang memasuki ruangan. Selain itu, ada jendela kaca besar yang bisa menembus tempat parkir. Morgan berdiri di belakang jendela kaca, melihat-lihat siapa saja yang telah datang. Sekarang masih terlalu sore. Baru sedikit tamu yang datang, dan didominasi oleh relasi papanya, juga papanya Afra. Teman-teman Morgan juga Afra baru beberapa yang datang.

Morgan baru berniat beranjak dari tempat itu ketika matanya menangkap sesuatu yang aneh. Dahi pemuda itu mengernyit. Ia menajamkan penglihatan, memastikan penglihatannya tidak salah. Dia memang tidak salah. Yang dilihatnya memang salah seorang dari teman yang dicarinya.

"Bisma?" Morgan menautkan alis, tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sesaat, ia memperhatikan gadis yang bersama Bisma dengan seksama. Ia merasa pernah melihatnya, tapi lupa di mana. Begitu ingat tentang gadis itu, mata Morgan membulat sempurna. "Raisya? Kok dia malah sama Raisya? Nanda ke mana?" ujarnya, bingung. "Wah ... Kudet nih, gue."

Morgan buru-buru beranjak dari sana, dan berjalan tergesa menuju ke bawah. Ia ingin menemui kawannya itu, dan menanyakan ada apa dengan dia sebenarnya. Belum genap setengah bulan ia melihat Nanda dan Bisma makin mesra, bahkan orang tua Bisma memberi cincin kepada kawan baik istrinya itu. Kalau memang sekarang Bisma ada hubungan khusus dengan Raisya, Morgan bisa memastikan kalau ada yang tidak beres.

Pemuda itu hampir menapakkan kakinya di tangga saat gendang telinganya menangkap sebuah seruan, "Morgan, jangan pergi jauh-jauh!" Ketika Morgan menengok ke arah suara, ia menemukan Tante Nita menatap ke arahnya. "Bentar lagi Afra siap. Kamu jangan ke mana-mana."

"Ah, Tante. Tadi katanya suruh pergi. Sekarang dibilang jangan ke mana-mana? Gimana sih? Labil banget," gerutunya, seraya berjalan menuju ruang rias.

"Udah, deh. Nggak usah banyak protes. Sekarang kamu duduk manis aja di sofa, dan jangan ganggu Tante sama Afra. Ntar nggak kelar-kelar dandanannya."

Morgan nurut. Ia berjalan menuju sofa sambil ngedumel-dumel, lantas duduk di sana. Ketika mau menutup pintu tadi, ia sempat menengok ke belakang lagi. Ia masih sangat penasaran ada apa dengan Bisma sebenarnya.

*     *     *     *     *

"Kak Reza, kenapa Kakak tadi malah bilang kayak gitu ke Mama? Mama kan jadi semakin khawatir. Lihat aja tadi wajahnya jadi sedih gitu, kan?" Diana yang sejak tadi hanya murung di sebelah Reza itu kini membuka suara.

Mereka berempat memang berangkat bersama. Tapi, mereka sengaja pisah mobil untuk memberi kesempatan kepada sepasang kekasih ini jika mereka ingin lebih lama tinggal di pesta. Walaubagaimanapun, pesta ini adalah pesta sahabatnya Reza. Reza pasti ingin berlama-lama di sana.

"Daripada ntar mama kamu lebih shock lagi kalau lihat Bisma sama orang lain? Mendingan Kakak kasih kode aja dari sekarang. Jadi mama sama papa kamu kan bisa siap-siap menguatkan hati," jawab Reza.

"Benar juga." Diana termenung kembali.

Gara-gara masalah Bisma ini, suasana hati yang seharusnya gembira jadi berantakan. Tante Fani uring-uringan. Diana lebih banyak melamun. Om Faisal pun tidak begitu bersemangat. Dan sayangnya, semua ini terjadi tepat saat Reza berkunjung ke rumah mereka untuk pertama kali. Reza jadi merasa datang pada saat yang tidak tepat.

"Menurut Kakak, apa kita nanti bakalan ketemu Kak Bisma?" Suara Diana terdengar kembali.

"Mungkin," sahut Reza, setelah berpikir sesaat.

"Kalau papa sama mama sampai ketemu Kak Bisma kira-kira gimana ya, reaksi mereka?"

"Kakak harap sih, mama kamu nggak sampai ngomel-ngomel di sana. Apalagi sampai pingsan." Reza terkekeh.

Merasa tidak nyaman dengan sikap kekasihnya saat ini, Reza menepikan mobilnya dan berhenti. Diana langsung menoleh ke arah Reza dengan raut bingung. Tanpa memberi kesempatan kepada gadis itu untuk bertanya, Reza langsung meraih tangan Diana dan menggenggamnya erat.

"Diana, please, berhenti khawatirin Bisma. Bisma itu udah dewasa. Dia pasti sudah memperhitungkan apa yang dia lakukan. Kalau memang dia lagi ada masalah, Kakak yakin pasti dia bisa mengatasinya. Dan pada saatnya nanti, dia pasti akan menjelaskan semuanya pada kita," ujar Reza, lembut. Pandangannya terfokus pada mata Diana yang menatapnya tanpa kedip. "Sekarang kamu tenang. Senyum buat Kakak. Kakak baru pertama kalinya datang ke rumah kamu. Masa' malah kamu suguhin wajah cemberut, sih? Lagian wajah kamu lagi cantik-cantiknya. Sayang kalau dibuat muram kayak gitu."

Reza kemudian mendekatkan wajahnya, lalu mendaratkan ciuman hangat di pipi Diana.

Diana merasa segalanya lebih ringan saat bibir Reza menyentuh pipinya. Ia merasa segala permasalahan seolah menguap begitu saja. Perlahan, wajah cantiknya berseri, dan sesungging senyum merekah di bibirnya yang ranum. Perasaannya kini jauh lebih baik.

Kata-kata Reza yang baru saja ia pahami membuat Diana yakin kalau kakaknya pasti baik-baik saja. Ia juga yakin orang tuanya pasti akan baik-baik saja. Siapa pun yang akan menjadi kakak iparnya, Diana akan menerimanya karena pasti Bisma memilih yang terbaik untuk menjadi pendampingnya. Meski agak kecewa juga kalau seandainya Bisma benar-benar tidak memilih Nanda. Sebab, dia sudah terlanjur akrab dengan Nanda, dan dia bisa memastikan kalau Nanda memang gadis yang baik.

"Nah, kalau senyum gitu kan makin kelihatan cantiknya." Diana makin tersipu mendengar pujian Reza.

Setelah memastikan perasaan gadisnya lebih baik dari sebelumnya, Reza menjalankan mobilnya kembali.

*     *     *     *     *

Sebenarnya Rangga tadi membiarkan orang tua Shita pergi duluan karena Shita belum selesai berdandan. Rangga dan Shita baru berangkat seperempat jam kemudian. Namun, Rangga melihat mobil Om Doni berada tepat di belakang mobilnya saat ia mencari tempat parkir.

Pemuda itu tersenyum melihat mobil mereka parkir berdampingan.

"Baru nyampe, Om?" sapanya.

"Iya nih, Ngga. Maklum, mata Om udah nggak seawas waktu muda dulu. Jadi nyetirnya musti hati-hati."

"Tapi kebetulan deh. Kita bisa masuk bareng aja," sela Tante Mira, lantas tersenyum.

Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk. Sesekali, terlontar canda dari kedua pasangan beda usia itu, sehingga mereka terlihat sangat akrab. Rangga seolah sudah menjadi bagian dari keluarga kekasihnya. Jika mereka sedang berada di tengah keluarga Shita, mereka memang merasa sangat bahagia, seperti tak ada beban apapun di dalam hati. Sangat berbeda ketika mereka berada di tengah keluarga Rangga.

Namun, Sspertinya Tuhan belum ingin membiarkan sepasang muda mudi itu mengecap kebahagiaan terlalu lama. Ketika mereka hampir sampai di pintu masuk, keempatnya menghentikan langkah. Canda mereka pun seketika buyar. Tawa mereka langsung terhenti. Rangga langsung meraih tangan Shita, lantas menarik gadis itu ke belakang punggungnya.

...........................................................................
Bersambung
By: Novita SN

No comments:

Post a Comment