Kamar berukuran 3x3 meter itu tampak
berantakan oleh baju-baju milik Nanda. Beberapa hari ini, alam memang tidak
bersahabat. Hujan turun sepanjang hari, membuat cucian Nanda tidak kering. Jadi
gadis itu punya inisiatif menyetrika pakaian-pakaian demek yang habis
dicucinya. Ia bernyanyi-nyanyi riang, untuk menghilangkan jenuh. Belum sampai
pakaian itu terapikan semua, tiba-tiba ia mendengar pintu kamarnya diketuk. Itu
pasti bukan Shita. Batinnya. Biasanya Shita memang selalu nyelonong ke kamar
tanpa mengetuk pintu. Tidak sopan sih memang. Tapi Nanda sudah terbiasa dengan
kebiasaan sahabat karibnya itu.
“Sebentar!” seru Nanda, lantas mencabut
setrikaannya. Gadis itu meraup bajunya, dan ia masukkan ke ranjang pakaian.
Lalu, ia mendorong keranjang pakaiannya itu ke kolong ranjang. Dengan masih
mempertahankan keceriaannya, gadis itu berjalan menuju pintu lalu membukanya.
Ia semakin memperlebar senyumnya saat melihat siapa orang yang berada di balik
pintu yang ia buka itu.
“Bisma?” serunya, senang. Tapi begitu melihat
gadis yang bersandar di pembatas teras depan kamar seraya melemparkan tatap
sinis ke arahnya, senyum Nanda seketika menghilang. “Raisya?”
Dahi Nanda mengernyit. Tatapannya beralih
ke muka Bisma, seolah menuntut penjelasan kenapa Bisma datang ke kamarnya
bersama gadis itu. Ketika menyadari ada sesuatu yang tidak beres di wajah
kekasihnya, jantung Nanda berpacu dua kali lebih cepat. Bisma seperti orang
gugup. Nafasnya terdengar tak beraturan. Ada sendu yang menyelimuti wajah
tampannya.
"Ada apa?" Nanda akhirnya
bertanya setelah bosan menunggu suara dari Bisma. Tatapan mata Nanda masih
tertuju pada wajah kekasihnya. Bisma jadi makin salah tingkah. Ia bahkan
berpaling, tak ingin melihat mata Nanda.
"Ngomong sekarang, Bii." Raisya
tiba-tiba bersuara, membuat Nanda menengok ke arahnya sebentar, lalu kembali
memperhatikan wajah Bisma.
"Ada apa, Bii?" tanyanya lagi.
Bisma menghela nafas dalam-dalam, lalu
menghempaskannya dengan berat. Serasa ada beban segunung yang Nanda tangkap di
balik wajah muram Bisma saat itu. Jantung Nanda semakin berdetak tak beraturan.
"Nda," ucap Bisma, lalu menghela
nafas lagi. Nanda menunggu ucapan Bisma selanjutnya dengan was-was. "Aku
... " ada jeda lagi. Pemuda itu memejamkan mata, lalu memalingkan mukanya
ke samping. Seperti ada benda yang mencekat suaranya yang sudah ada di ujung
lidah.
"Ngomong, Bii." Suara Raisya
kembali terdengar.
"Bicaralah, Bii. Ada apa?" Kali
ini, Nanda menangku kedua pipi Bisma, lalu memutar wajahnya agar mereka saling
berhadapan. Ada bening yang terlihat menyembul di mata Bisma.
Seolah tak ingin melihat wajah kekasihnya,
Bisma mengangkat tangan dan meraih tangan Nanda di pipinya, dan melepaskan
tangan lembut itu. "Nda, sepertinya ... Aku udah nggak bisa ngelanjutin
hubungan kita lagi," ucapnya, membuat Nanda terkesiap. "Ak
...aku..."
"Maksud kamu apa, Bii?"
"Aku ingin hubungan kita cukup sampai
di sini. Karena aku ..." Lagi-lagi pemuda itu menghela nafas. "Karena
aku... cinta... sama Raisya." Ia langsung memejamkan mata, lalu tertunduk
dalam, membiarkan Nanda membelalakkan mata.
"Kamu ... Bercanda, Bii,"
ungkapnya, tak percaya. Dadanya kini mulai kembang kempis. Hati dan jantungnya
seperti diremas. Sakit, tapi tetap berusaha tegar.
"Aku serius." Kali ini, pemuda
itu mengangkat wajah dan menatap Nanda. "Aku ingin kita putus. Cukup
sampai di sini," tandasnya, lalu memutar tubuh dan segera beranjak dari
hadapan Nanda.
"Tunggu, Bii." Langkah Bisma
tiba-tiba terhenti. Sebuah tangan mencekal kuat lengannya. "Aku masih
belum ngerti kenapa kamu tiba-tiba mengakhiri hubungan kita gitu aja.
Sebenarnya ada apa? Jelasin ke aku."
"Heh? Lo nggak denger apa yang dia
bilang tadi?" Raisya yang menyahut. "Dia cinta sama gue. Makanya dia
mutusin lo."
"Aku yakin itu bukan alasan yang
sebenarnya, Bii. Aku tau kamu lebih dari siapapun. Wajah kamu nggak bisa
bohong. Jelasin ke aku. Ada apa?"
"Aku emang cinta sama Raisya, Nda.
Maaf kalau keputusanku ini mungkin nyakitin kamu. Tapi... tapi aku emang
mencintai Raisya."
Cengkeraman tangan Nanda mengendur
mendengar perkataan Bisma. Kata-kata Bisma seolah menjelma menjadi belati yang
menusuk relung hati terdalamnya. Matanya memanas. Pandangannya mengabur oleh
bening yang memenuhi kelopak matanya. Saat bulir itu jatuh, tampak olehnya
Bisma melihatnya sekilas, lalu buru-buru pergi dari hadapannya dengan langkah
lebar. Tampak juga Raisya tersenyum sinis ke arahnya, dan menyusul langkah
Bisma.
Gadis itu masih belum yakin dengan
pengakuan Bisma. Tapi kata-kata Bisma yang tegas membuat hatinya terguncang,
dan terpaksa mempercayai peristiwa besar yang terjadi cukup singkat itu. Ia
memegangi dadanya, dan meremas bajunya. Bening telah jatuh berbulir-bulir, dan
menciptakan dua garis anak sungai di antara hidungnya yang mungil.
Dadanya sesak, bahkan ia sukar bernafas.
Dan sakit itu, seolah naik ke atas, membuat kepalanya berdenyut-denyut. Makin
lama, denyutan di kepalanya semakin menghebat. Ia merasa kepalanya seperti
ditindih batu segunung. Sakit, bersamaan dengan perih di dadanya.
Sebelum tubuhnya lunglai dan ambruk di depan
kamar, gadis itu pelan-pelan memundurkan langkahnya, lalu menutup pintunya
pelan-pelan. Matanya yang masih mengalirkan air kini menatap kosong ke ubin.
Setapak demi setapak, ia mengayunkan langkah menuju ranjang. Ia baringkan
tubuhnya yang terasa lemas di ranjang, masih dengan tangan meremas baju di
dadanya. Sesaat kemudian, mata gadis itu terpejam. Bukan terlelap, tapi
kesadarannya hilang.
*
* * *
*
"Bii, tunggu, Bii." Suara itu
telah terdengar sejak tadi. Tapi Bisma tak ingin menggubrisnya. Semakin lama,
ia semakin muak dengan gadis itu. Belakangan ini ia sempat berfikir kalau
Raisya adalah gadis yang baik karena telah mau memaafkan dia. Ia sama sekali
tak pernah menyangka dibalik kediamannya, ternyata ada rencana besar yang ia
sembunyikan. Rencana besar yang telah memporak-porandakan hubungan Bisma dengan
Nanda. Rencana besar yang merenggut kebahagiannya.
Tadi, waktu ia memberitahukan kepada orang
yang mengaku kakaknya Raisya bahwa dia akan melakukan apa yang ia minta,
sebenarnya Bisma sudah punya rencana agar Nanda tau kalau apa yang diucapkannya
adalah bohong. Ia berencana menulis di secarik kertas tentang penculikan Diana
dan ancaman itu. Tapi sebelum ia menulis apapun, ternyata Raisya telah
mencegatnya di depan gerbang asrama putri. Ia ingin dengar dan lihat sendiri
Bisma memutuskan Nanda. Bahkan, Raisya meminta Bisma untuk bilang bahwa dia
mencintai Raisya. Waktu itu, pikiran Bisma telah buntu. Pikiran tentang adiknya
yang sampai semalam ini belum pulang membuat otaknya tidak mau diajak berpikir.
Akhirnya ia pasrah. Ia menuruti apapun yang diminta Raisya dan kakaknya, asal
mereka mau membebaskan Diana.
Bayangan wajah Nanda yang shock membuat
Bisma semakin frustrasi. Itulah sebabnya, tadi ia memilih buru-buru pergi
daripada hatinya semakin sakit karena melihat kekasihnya menangis. Ia juga
takut Nanda semakin sakit hati kalau sampai Raisya memaksanya untuk bersikap
mesra di depan Nanda. Ia tak sanggup melihat ekspresi wajah Nanda yang sayu.
Meski tak diacuhkan, sepertinya gadis saiko
itu masih tak menyerah mengejar Bisma. Ia masih berusaha meraih tangan Bisma,
dan akhirnya ia dapatkan.
"Apalagi?" sentak Bisma. Mata
merahnya melemparkan tatapan tajam ke arah gadis itu. "Gue udah ngelakuin
apa yang lo mau. Sekarang suruh kakak lo lepasin adek gue."
"Sabar kenapa sih, Bii," ujar
Raisya, seraya memeluk tangan Bisma. "Tenang aja. Adek kamu pasti
dibebasin, kok."
Bisma merasa tangannya dikerubuti pasukan
ulat saat Raisya memeluk lengannya. Ia berusaha melepaskan tangan itu, tapi
sepertinya percuma. Raisya seolah mengunci lengannya agar tidak bisa lepas.
"Gue tuh nggak habis pikir sama lo,
Sya. Buat apa sih lo ngejar-ngejar gue yang jelas-jelas yang punya rasa apapun
buat lo?"
"Karena aku cinta, Bii," sahut
Raisya, cepat.
"Dan cinta lo itu bikin lo jadi saiko?
Sya, please deh. Nggak ada yang bisa diharepin dari hubungan yang kayak gini.
Mending lo nyari orang yang emang bener cinta sama lo. Ngejalanin hubungan sama
gue pasti cuma bikin lo sakit, karena lo cuma berhubungan sama tubuh gue. Bukan
hati gue."
"Terserah. Aku nggak peduli kamu mau
ngomong apa. Yang jelas, kalau aku nggak bisa ngedapetin kamu, aku nggak bisa
biarin seorangpun ngedapetin kamu."
"Lo tuh ... Lo tuh beneran saiko,
ya?"
"Dan itu karena kamu," ucap
Raisya dengan nada santai, lalu tersenyum. Senyum yang membuat darah Bisma
semakin naik hinggak ke ubun-ubun. Pemuda itu menautkan gigi-giginya, menahan
amarah yang menggelegak. Ia atur nafasnya, agar tidak sampai melakukan
kekerasan apapun pada gadis yang membuat kepalanya hampir pecah itu.
Setelah gemuruh di hatinya mulai reda, ia
berkata lagi, "Suruh kakak lo bebasin adek gue sekarang. Sekarang udah
malem. Jangan sampai pihak asrama ngira kalau adek gue pulang telat gara-gara
keluyuran."
Setelah memperlebar senyumnya dan
mengangguk, Raisya akhirnya menelpon kakaknya dan meminta untuk segera
membebaskan tawanan mereka. Sementara itu, Bisma mengerang keras. Ia sama
sekali tak menyangka keisengannya waktu itu akan berdampak seperti ini. Hanya
gara-gara sebuah ucapan salah yang ia ucapkan saat ia tengah patah hati, ia
harus berhadapan dengan orang-orang setengah gila yang rela melakukan apapun
untuk memperoleh keinginannya seperti ini.
"Kakak aku ada pesen buat kamu,
Bii," ucap Raisya usai mengakhiri telponnya. "Kakak aku bilang kalau
kamu berani macam-macam, maksudnya berusaha mencampakkan aku, atau berusahan
kembali ke Si Nanda, dia nggak akan segan-segan ngelakuin yang lebih dari
ini."
Bisma merasa paru-parunya kosong mendengar
penuturan Raisya. Baru saja, ia berpikir keras bagaimana cara memberitahu Nanda
kalau apa yang ia ucapkan tadi semata-mata untuk membuat adiknya bebas. Tapi
belum sampai ia menemukan cara, ancaman telah datang lagi, dan membuat isi di
kepala Bisma seolah jadi berantakan.
*
* * * *
Sudah sejak lepas maghrib tadi Reza
nongkrong di post satpam menunggu Diana pulang. Tadi sore ia bertemu dengan
teman sekamar Diana. Dari teman Diana itu, ia dapat kabar kalau dari tadi
siang, Diana keluar sendirian. Bilangnya mau nyari buku. Tapi Reza yakin kalau
Diana pasti lagi jalan sama Dicky. Makanya, ia menunggu gadis itu datang,
bermaksud ingin mempergokinya, dan bertanya apa sebenarnya yang Diana mau. Ia
juga ingin tau sebenarnya ada hubungan apa antara Diana dengan Dicky. Kalau ia
menangkap basah kedua orang itu, ia yakin akan dapat jawaban yang ingin ia tau.
Reza mulai gelisah karena sampai jam
setengah sembilan, Diana belum juga datang. Hatinya yang sejak beberapa hari
lalu sudah meradang kini bertambah panas. Bahkan saat ia melihat Bisma lewat di
depannya untuk masuk ke asrama putri tadi, Reza hanya tersenyum datar. Tak
hanya Diana yang dikesalinya. Tapi Bisma juga kena imbas. Beberapa hari ini
Reza juga bersikap dingin kepada kawannya itu.
Sebenarnya ia ingin menelpon Diana, dan
bertanya sebenarnya dia ke mana? Tapi, egonya yang tinggi melarangnya untuk
melakukan semua itu. Menurut dia, pertanyaannya telah dijawab oleh kenyataan. Kenyataan
bahwa sebenarnya Diana tidak sedang mencari buku. Kalau memang Diana cuma nyari
buku, mana mungkin sampai semalam ini dia belum juga pulang? Dia pasti sama
Dicky. Pasti. Batin Reza sesaat lalu.
Ketika gusar semakin membuat hatinya tak
enak, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti tepat di depan gerbang asrama. Reza
melongok ke arah jalan, bersama dua orang satpam yang ia ajak main catur sejak
tadi. Tampak sang sopir taksi turun dan berjalan terburu ke sisi kiri mobil. Pria
paruh baya itu membuka pintu taksi, lalu membantu penumpangnya turun. Reza
makin penasaran dengan sang penumpang taksi, karena sepertinya sopir taksi itu
agak kesusahan membantu penumpangnya. Apalagi saat terlihat penumpang yang
ternyata seorang gadis itu hampir jatuh saat mencoba berdiri.
Reza melangkahkan kaki mengikuti satpam
yang hendak membukakan gerbang. Begitu sampai di gerbang, mata Reza terbelalak.
Kekesalan yang menghuni dadanya luntur begitu saja. Darahnya yang tadinya naik
sampai hampir mencapai ubun-ubun langsung meluncur turun. Di hadapannya,
seorang gadis yang amat dicintainya tak sanggup berdiri dengan tegak meski
telah ditopang oleh seorang lelaki. Penampilannya sangat berantakan. Mukanya
pucat. Dahinya mengerut. Ia meringis, seolah menahan sakit. Bajunya gelepotan
tanah, dan darah.
“Diana?” seru Reza, lalu buru-buru meghampiri
gadis itu.
“Kak … Reza?” ujar Diana, lemah.
“Kamu kenapa?” Reza bertanya panik. “Kok
berantakan banget?”
“Diana …” belum sampai berucap lebih
banyak, Diana tiba-tiba terhuyung. Reza pun segera menopang tubuh Diana, lalu
membopongnya ke pos satpam. Sopir taksi yang mengantar Diana langsung masuk
kembali ke dalam taksinya setelah berpamitan dengan satpam yang masih saja
berdiri di depan gerbang.
Reza mendudukkan Diana di kursi panjang
yang ada di pos satpam, membiarkan tubuh Diana bertumpu padanya. Gadis itu
sangat lemah. Mukanya pucat. Reza jadi kalang kabut. Dengan cepat, ia menyahut
tisu di meja satpam, lalu mengusap keringat dingin yang memenuhi kening Diana.
Ia juga meminta tolong kepada satpam untuk mengambilkan minum, lantas
meminumkannya pada Diana.
Gadis itu hanya memandang Reza tanpa
berkata apapun. Sesaat lalu, ia merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya. Tapi
setelah melihat kekhawatiran Reza, entah kenapa kesakitan itu seakan menguap.
Ia merindukan pemuda itu. Sangat rindu. Merindukan semuanya. Suaranya,
candaannya, kasih sayangnya, perhatiannya, dan segala hal yang sering ia beri
untuk Diana.
Beberapa hari ini, ia pikir Reza sudah
tidak memperdulikannya lagi. Bahkan Diana mengira kalau Reza akan kumat
playboynya karena ia merasa diacuhkan tanpa sebab. Sekarang, melihat kepanikan
Reza, Diana jadi tau kalau belum ada yang berubah dari Reza. Ia masih merasakan
kasih sayang itu. Lalu ada apa dengan dia beberapa hari ini? batin Diana, masih
dengan pandangan tertancap pada wajah Reza.
Tak terasa, ada air yang merembes melewati
pipi mulusnya. Bukan karena sakit, tapi karena merasa apa yang telah hilang
beberapa hari ini seakan kembali.
"Yang mana, yang sakit?" tanya
Reza, seraya mengusap air mata di pipi Diana. Tapi Diana tak menjawab. Gadis
itu hanya meraih tangan Reza di pipinya, membuat gerakan Reza terhenti. Kedua
mata itu saling tatap. Semakin lama semakin dalam. Beberapa detik kemudian,
Diana melepas tangan Reza, lalu melingkarkan kedua tangannya di tubuh pemuda
itu, dan memeluknya erat-erat. Ia
sesenggukan di dada Reza. Dan saat tangan Reza terasa menempel di punggungnya,
gadis itu semakin sesenggukan. Ia sangat merindukan dekapan itu. Rasa-rasanya
sudah lama ia tak dipeluk seperti ini oleh pemuda itu. Bahkan, ia sampai lupa
kapan terakhir kali Reza memeluknya.
Kedua satpam yang menyaksikan adegan itu
hanya melongo. Seharusnya mereka mencegah, atau setidaknya mengingatkan. Tapi
mereka justru diam, membiarkan. Mulut mereka seakan terkunci oleh rasa kasihan
terhadap gadis yang sepertinya kena musibah itu. Mereka sangat mengenal gadis
itu, bahkan sebelum gadis itu menjadi bagian dari kampus yang mereka jaga. Dan
mereka juga tau, kalau gadis itu adalah pacar dari orang yang kini mendekapnya.
Jadi, mereka hanya memandangi kedua sejoli yang tengah berpeluk itu tanpa
berkata apapun. Lagi pula menurut mereka, gadis itu memang butuh ketenangan,
dan mereka yakin kalau Reza mampu menenangkannya.
"Sebenarnya kamu kenapa? Ada apa? Dan
... kamu dari mana?" Reza kembali bertanya bertubi-tubi.
Belum sampai Diana menjawab, tiba-tiba
seseorang menyeruak masuk ke dalam pos satpam dengan wajah tegang. Peluh di
pelipisnya tampak mengkilat. Nafasnya masih terdengar memburu. Sepertinya, dia
habis lari-lari.
"Diana?" ujarnya, lalu mendekat
dan berjongkok di depan Diana.
"Kakak?" Diana meregangkan
pelukannya, begitu pun Reza. Mereka sama-sama memperhatikan orang yang ternyata
adalah Bisma itu. Tampak mata Bisma menelusuri tubuh Diana dari ujung kepala
hingga ujung kaki, lalu kembali ke atas, ke mukanya.
"Kamu ..." Seolah tak sanggup
berkata-kata, Bisma hanya memandang wajah adiknya yang sayu. Ada raut
penyesalan dan rasa bersalah yang mendominasi wajah Bisma. "Kamu ... baik-baik
aja, kan?" ujarnya lagi, dengan suara bergetar.
Pemuda itu lantas duduk di sebelah kiri adiknya,
lalu memeluknya. "Maafin kakak." Lirih suara itu hampir tak terdengar
di telinga Diana. Tapi, Reza yang duduk di samping kanan Diana justru
mendengarnya. Pemuda itu mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan apa yang
dikatakan Bisma. "Maafin kakak karena nggak bisa jagain kamu dengan
baik."
Begitu mendengar kata Bisma selanjutnya,
kerut di wajah Reza menghilang. Tapi kerut itu kembali datang saat Diana
berkata, "Diana habis diculik, Kak."
"Diculik?" Reza yang tergeragap.
Sementara Bisma, ia hanya memejamkan mata sambil terus memeluk adiknya.
"Iya. Ada orang yang menculik Diana,
dan ..." Penjelasannya tiba-tiba terhenti. Ia seperti teringat sesuatu,
yang membuat dia harus berhenti bercerita. Ia ingat Dicky. Tidak ada yang boleh
tau kalau yang menculiknya adalah Dicky, apalagi Reza. Kalau sampai Reza tau, pasti
dia akan membuat perhitungan dengan Dicky apapun alasannya. Diana tidak mau hal
yang buruk terjadi pada Dicky, meski ia sampai sekarang belum tau apa modus
penculikan Dicky itu.
"Dan apa, Dii?" tanya Reza, tak
sabaran. "Dan mereka nyiksa kamu?"
"Za, mendingan jangan tanyain Diana
sekarang." Bisma segera memotong pembicaraan itu, seraya meregangkan
pelukannya. "Luka Diana harus segera diobati. Gue akan bawa dia ke
klinik."
Reza tak lagi berkata-kata. Ia pikir
perkataan Bisma ada benarnya juga. Diana terlihat sangat lemah. Ia harus segera
diobati. Pakaian lusuhnya juga harus segera diganti. Wawancaranya bisa ia
lakukan besok. Ia pun membiarkan Bisma membantu Diana berdiri, dan ketika Diana
terhuyung lagi, Reza segera berdiri dan ikut menopang tubuh Diana. Keduanya
lalu membawa Diana ke klinik kampus untuk diobati.
*
* * *
*
Keesokan harinya,
Nanda yakin telah membuka matanya. Tapi,
tak ada sesuatu pun yang bisa ia lihat selain bias cahaya kosong. Ia bisa
mendengar suara lemari pakaian dibuka, lalu ditutup kembali. Itu pasti Shita.
Tapi ia tak bisa melihatnya. Ia tak bisa melihat apapun. Jantungnya kini
berdegup kencang. Nafasnya tersengal, menahan dadanya yang kian sesak. Bulir
bening kembali menyembul memenuhi kelopak matanya yang terbuka, sebelum
merembes lewat sudut matanya.
“Ta …” lirihnya.
Shita yang saat itu tengah menyisir rambul
di depan kaca besar yang tersemat di lemari seketika menengok mendengar suara
Nanda. Ia pun langsung memutar kepalanya, dan tersenyum.
“Eh, udah bangun?” ujarnya, sumringah. Tapi
begitu melihat air yang menetes di sudut mata Nanda, Shita langsung terkesiap.
Apalagi saat melihat tatapan mata Nanda yang kosong.
“Ta… gu.. gue… nggak bisa lihat, Ta.”
Gadis itu langsung terkesiap. Tadi malam,
ia sudah curiga karena Nanda telah terlelap saat ia kembali dari kamar temannya
untuk membahas tugas kuliah. Apalagi, Shita melihat setrikaan yang masih
terbengkelai di lantai bersama alasnya, juga baju-baju Nanda yang belum sempat
di bereskan. Pasti telah terjadi sesuatu. Pikir Shita. Sudah lama penyakit
Nanda tidak kumat. Pasti ada sesuatu yang mengguncang pikirannya, dan
membuatnya tertekan.
Gadis itu segera mendekat ke ranjang
sahabatnya, dan duduk di sebelahnya. "Kok bisa kumat lagi, sih, Nda?"
tanyanya. "Pasti semalem ada apa-apa sama lo. Lo kenapa? Mikirin
apa?"
Nanda berusaha bangun dari tidurnya dengan
dibantu Shita. Setelah ia duduk sempurna, gadis itu memeluk sahabatnya dan
sesenggukan di bahunya.
"Ada apa, Nda? Bilang sama gue."
Belum sampai Nanda menjawab, terdengar
pintu di ketuk. Tiga kali ketukan yang tak biasa. Nanda meregangkan pelukannya,
dan mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.
"Siapa?" teriak Shita, seraya
beranjak dari ranjang Nanda, dan berjalan menuju pintu.
Katika pintu terkuak, bersambung deh.
Aaakakakakakaaaaaa lanjut next part, ya,
pemirsaaaa.... :D :D :D
By: Novita SN
Fb: Vita Story
No comments:
Post a Comment