Thursday, December 17, 2015

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 75



Kamar berukuran 3x3 meter itu tampak berantakan oleh baju-baju milik Nanda. Beberapa hari ini, alam memang tidak bersahabat. Hujan turun sepanjang hari, membuat cucian Nanda tidak kering. Jadi gadis itu punya inisiatif menyetrika pakaian-pakaian demek yang habis dicucinya. Ia bernyanyi-nyanyi riang, untuk menghilangkan jenuh. Belum sampai pakaian itu terapikan semua, tiba-tiba ia mendengar pintu kamarnya diketuk. Itu pasti bukan Shita. Batinnya. Biasanya Shita memang selalu nyelonong ke kamar tanpa mengetuk pintu. Tidak sopan sih memang. Tapi Nanda sudah terbiasa dengan kebiasaan sahabat karibnya itu.

“Sebentar!” seru Nanda, lantas mencabut setrikaannya. Gadis itu meraup bajunya, dan ia masukkan ke ranjang pakaian. Lalu, ia mendorong keranjang pakaiannya itu ke kolong ranjang. Dengan masih mempertahankan keceriaannya, gadis itu berjalan menuju pintu lalu membukanya. Ia semakin memperlebar senyumnya saat melihat siapa orang yang berada di balik pintu yang ia buka itu.

“Bisma?” serunya, senang. Tapi begitu melihat gadis yang bersandar di pembatas teras depan kamar seraya melemparkan tatap sinis ke arahnya, senyum Nanda seketika menghilang. “Raisya?”

Dahi Nanda mengernyit. Tatapannya beralih ke muka Bisma, seolah menuntut penjelasan kenapa Bisma datang ke kamarnya bersama gadis itu. Ketika menyadari ada sesuatu yang tidak beres di wajah kekasihnya, jantung Nanda berpacu dua kali lebih cepat. Bisma seperti orang gugup. Nafasnya terdengar tak beraturan. Ada sendu yang menyelimuti wajah tampannya.

"Ada apa?" Nanda akhirnya bertanya setelah bosan menunggu suara dari Bisma. Tatapan mata Nanda masih tertuju pada wajah kekasihnya. Bisma jadi makin salah tingkah. Ia bahkan berpaling, tak ingin melihat mata Nanda.

"Ngomong sekarang, Bii." Raisya tiba-tiba bersuara, membuat Nanda menengok ke arahnya sebentar, lalu kembali memperhatikan wajah Bisma.

"Ada apa, Bii?" tanyanya lagi.

Bisma menghela nafas dalam-dalam, lalu menghempaskannya dengan berat. Serasa ada beban segunung yang Nanda tangkap di balik wajah muram Bisma saat itu. Jantung Nanda semakin berdetak tak beraturan.

"Nda," ucap Bisma, lalu menghela nafas lagi. Nanda menunggu ucapan Bisma selanjutnya dengan was-was. "Aku ... " ada jeda lagi. Pemuda itu memejamkan mata, lalu memalingkan mukanya ke samping. Seperti ada benda yang mencekat suaranya yang sudah ada di ujung lidah.

"Ngomong, Bii." Suara Raisya kembali terdengar.

"Bicaralah, Bii. Ada apa?" Kali ini, Nanda menangku kedua pipi Bisma, lalu memutar wajahnya agar mereka saling berhadapan. Ada bening yang terlihat menyembul di mata Bisma.

Seolah tak ingin melihat wajah kekasihnya, Bisma mengangkat tangan dan meraih tangan Nanda di pipinya, dan melepaskan tangan lembut itu. "Nda, sepertinya ... Aku udah nggak bisa ngelanjutin hubungan kita lagi," ucapnya, membuat Nanda terkesiap. "Ak ...aku..."

"Maksud kamu apa, Bii?"

"Aku ingin hubungan kita cukup sampai di sini. Karena aku ..." Lagi-lagi pemuda itu menghela nafas. "Karena aku... cinta... sama Raisya." Ia langsung memejamkan mata, lalu tertunduk dalam, membiarkan Nanda membelalakkan mata.

"Kamu ... Bercanda, Bii," ungkapnya, tak percaya. Dadanya kini mulai kembang kempis. Hati dan jantungnya seperti diremas. Sakit, tapi tetap berusaha tegar.

"Aku serius." Kali ini, pemuda itu mengangkat wajah dan menatap Nanda. "Aku ingin kita putus. Cukup sampai di sini," tandasnya, lalu memutar tubuh dan segera beranjak dari hadapan Nanda.

"Tunggu, Bii." Langkah Bisma tiba-tiba terhenti. Sebuah tangan mencekal kuat lengannya. "Aku masih belum ngerti kenapa kamu tiba-tiba mengakhiri hubungan kita gitu aja. Sebenarnya ada apa? Jelasin ke aku."

"Heh? Lo nggak denger apa yang dia bilang tadi?" Raisya yang menyahut. "Dia cinta sama gue. Makanya dia mutusin lo."

"Aku yakin itu bukan alasan yang sebenarnya, Bii. Aku tau kamu lebih dari siapapun. Wajah kamu nggak bisa bohong. Jelasin ke aku. Ada apa?"

"Aku emang cinta sama Raisya, Nda. Maaf kalau keputusanku ini mungkin nyakitin kamu. Tapi... tapi aku emang mencintai Raisya."

Cengkeraman tangan Nanda mengendur mendengar perkataan Bisma. Kata-kata Bisma seolah menjelma menjadi belati yang menusuk relung hati terdalamnya. Matanya memanas. Pandangannya mengabur oleh bening yang memenuhi kelopak matanya. Saat bulir itu jatuh, tampak olehnya Bisma melihatnya sekilas, lalu buru-buru pergi dari hadapannya dengan langkah lebar. Tampak juga Raisya tersenyum sinis ke arahnya, dan menyusul langkah Bisma.

Gadis itu masih belum yakin dengan pengakuan Bisma. Tapi kata-kata Bisma yang tegas membuat hatinya terguncang, dan terpaksa mempercayai peristiwa besar yang terjadi cukup singkat itu. Ia memegangi dadanya, dan meremas bajunya. Bening telah jatuh berbulir-bulir, dan menciptakan dua garis anak sungai di antara hidungnya yang mungil.

Dadanya sesak, bahkan ia sukar bernafas. Dan sakit itu, seolah naik ke atas, membuat kepalanya berdenyut-denyut. Makin lama, denyutan di kepalanya semakin menghebat. Ia merasa kepalanya seperti ditindih batu segunung. Sakit, bersamaan dengan perih di dadanya.

Sebelum tubuhnya lunglai dan ambruk di depan kamar, gadis itu pelan-pelan memundurkan langkahnya, lalu menutup pintunya pelan-pelan. Matanya yang masih mengalirkan air kini menatap kosong ke ubin. Setapak demi setapak, ia mengayunkan langkah menuju ranjang. Ia baringkan tubuhnya yang terasa lemas di ranjang, masih dengan tangan meremas baju di dadanya. Sesaat kemudian, mata gadis itu terpejam. Bukan terlelap, tapi kesadarannya hilang.

*     *     *     *     *

"Bii, tunggu, Bii." Suara itu telah terdengar sejak tadi. Tapi Bisma tak ingin menggubrisnya. Semakin lama, ia semakin muak dengan gadis itu. Belakangan ini ia sempat berfikir kalau Raisya adalah gadis yang baik karena telah mau memaafkan dia. Ia sama sekali tak pernah menyangka dibalik kediamannya, ternyata ada rencana besar yang ia sembunyikan. Rencana besar yang telah memporak-porandakan hubungan Bisma dengan Nanda. Rencana besar yang merenggut kebahagiannya.

Tadi, waktu ia memberitahukan kepada orang yang mengaku kakaknya Raisya bahwa dia akan melakukan apa yang ia minta, sebenarnya Bisma sudah punya rencana agar Nanda tau kalau apa yang diucapkannya adalah bohong. Ia berencana menulis di secarik kertas tentang penculikan Diana dan ancaman itu. Tapi sebelum ia menulis apapun, ternyata Raisya telah mencegatnya di depan gerbang asrama putri. Ia ingin dengar dan lihat sendiri Bisma memutuskan Nanda. Bahkan, Raisya meminta Bisma untuk bilang bahwa dia mencintai Raisya. Waktu itu, pikiran Bisma telah buntu. Pikiran tentang adiknya yang sampai semalam ini belum pulang membuat otaknya tidak mau diajak berpikir. Akhirnya ia pasrah. Ia menuruti apapun yang diminta Raisya dan kakaknya, asal mereka mau membebaskan Diana.

Bayangan wajah Nanda yang shock membuat Bisma semakin frustrasi. Itulah sebabnya, tadi ia memilih buru-buru pergi daripada hatinya semakin sakit karena melihat kekasihnya menangis. Ia juga takut Nanda semakin sakit hati kalau sampai Raisya memaksanya untuk bersikap mesra di depan Nanda. Ia tak sanggup melihat ekspresi wajah Nanda yang sayu.

Meski tak diacuhkan, sepertinya gadis saiko itu masih tak menyerah mengejar Bisma. Ia masih berusaha meraih tangan Bisma, dan akhirnya ia dapatkan.

"Apalagi?" sentak Bisma. Mata merahnya melemparkan tatapan tajam ke arah gadis itu. "Gue udah ngelakuin apa yang lo mau. Sekarang suruh kakak lo lepasin adek gue."

"Sabar kenapa sih, Bii," ujar Raisya, seraya memeluk tangan Bisma. "Tenang aja. Adek kamu pasti dibebasin, kok."

Bisma merasa tangannya dikerubuti pasukan ulat saat Raisya memeluk lengannya. Ia berusaha melepaskan tangan itu, tapi sepertinya percuma. Raisya seolah mengunci lengannya agar tidak bisa lepas.

"Gue tuh nggak habis pikir sama lo, Sya. Buat apa sih lo ngejar-ngejar gue yang jelas-jelas yang punya rasa apapun buat lo?"

"Karena aku cinta, Bii," sahut Raisya, cepat.

"Dan cinta lo itu bikin lo jadi saiko? Sya, please deh. Nggak ada yang bisa diharepin dari hubungan yang kayak gini. Mending lo nyari orang yang emang bener cinta sama lo. Ngejalanin hubungan sama gue pasti cuma bikin lo sakit, karena lo cuma berhubungan sama tubuh gue. Bukan hati gue."

"Terserah. Aku nggak peduli kamu mau ngomong apa. Yang jelas, kalau aku nggak bisa ngedapetin kamu, aku nggak bisa biarin seorangpun ngedapetin kamu."

"Lo tuh ... Lo tuh beneran saiko, ya?"

"Dan itu karena kamu," ucap Raisya dengan nada santai, lalu tersenyum. Senyum yang membuat darah Bisma semakin naik hinggak ke ubun-ubun. Pemuda itu menautkan gigi-giginya, menahan amarah yang menggelegak. Ia atur nafasnya, agar tidak sampai melakukan kekerasan apapun pada gadis yang membuat kepalanya hampir pecah itu.

Setelah gemuruh di hatinya mulai reda, ia berkata lagi, "Suruh kakak lo bebasin adek gue sekarang. Sekarang udah malem. Jangan sampai pihak asrama ngira kalau adek gue pulang telat gara-gara keluyuran."

Setelah memperlebar senyumnya dan mengangguk, Raisya akhirnya menelpon kakaknya dan meminta untuk segera membebaskan tawanan mereka. Sementara itu, Bisma mengerang keras. Ia sama sekali tak menyangka keisengannya waktu itu akan berdampak seperti ini. Hanya gara-gara sebuah ucapan salah yang ia ucapkan saat ia tengah patah hati, ia harus berhadapan dengan orang-orang setengah gila yang rela melakukan apapun untuk memperoleh keinginannya seperti ini.

"Kakak aku ada pesen buat kamu, Bii," ucap Raisya usai mengakhiri telponnya. "Kakak aku bilang kalau kamu berani macam-macam, maksudnya berusaha mencampakkan aku, atau berusahan kembali ke Si Nanda, dia nggak akan segan-segan ngelakuin yang lebih dari ini."

Bisma merasa paru-parunya kosong mendengar penuturan Raisya. Baru saja, ia berpikir keras bagaimana cara memberitahu Nanda kalau apa yang ia ucapkan tadi semata-mata untuk membuat adiknya bebas. Tapi belum sampai ia menemukan cara, ancaman telah datang lagi, dan membuat isi di kepala Bisma seolah jadi berantakan.

*     *     *     *     *

Sudah sejak lepas maghrib tadi Reza nongkrong di post satpam menunggu Diana pulang. Tadi sore ia bertemu dengan teman sekamar Diana. Dari teman Diana itu, ia dapat kabar kalau dari tadi siang, Diana keluar sendirian. Bilangnya mau nyari buku. Tapi Reza yakin kalau Diana pasti lagi jalan sama Dicky. Makanya, ia menunggu gadis itu datang, bermaksud ingin mempergokinya, dan bertanya apa sebenarnya yang Diana mau. Ia juga ingin tau sebenarnya ada hubungan apa antara Diana dengan Dicky. Kalau ia menangkap basah kedua orang itu, ia yakin akan dapat jawaban yang ingin ia tau.

Reza mulai gelisah karena sampai jam setengah sembilan, Diana belum juga datang. Hatinya yang sejak beberapa hari lalu sudah meradang kini bertambah panas. Bahkan saat ia melihat Bisma lewat di depannya untuk masuk ke asrama putri tadi, Reza hanya tersenyum datar. Tak hanya Diana yang dikesalinya. Tapi Bisma juga kena imbas. Beberapa hari ini Reza juga bersikap dingin kepada kawannya itu.

Sebenarnya ia ingin menelpon Diana, dan bertanya sebenarnya dia ke mana? Tapi, egonya yang tinggi melarangnya untuk melakukan semua itu. Menurut dia, pertanyaannya telah dijawab oleh kenyataan. Kenyataan bahwa sebenarnya Diana tidak sedang mencari buku. Kalau memang Diana cuma nyari buku, mana mungkin sampai semalam ini dia belum juga pulang? Dia pasti sama Dicky. Pasti. Batin Reza sesaat lalu.

Ketika gusar semakin membuat hatinya tak enak, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti tepat di depan gerbang asrama. Reza melongok ke arah jalan, bersama dua orang satpam yang ia ajak main catur sejak tadi. Tampak sang sopir taksi turun dan berjalan terburu ke sisi kiri mobil. Pria paruh baya itu membuka pintu taksi, lalu membantu penumpangnya turun. Reza makin penasaran dengan sang penumpang taksi, karena sepertinya sopir taksi itu agak kesusahan membantu penumpangnya. Apalagi saat terlihat penumpang yang ternyata seorang gadis itu hampir jatuh saat mencoba berdiri.

Reza melangkahkan kaki mengikuti satpam yang hendak membukakan gerbang. Begitu sampai di gerbang, mata Reza terbelalak. Kekesalan yang menghuni dadanya luntur begitu saja. Darahnya yang tadinya naik sampai hampir mencapai ubun-ubun langsung meluncur turun. Di hadapannya, seorang gadis yang amat dicintainya tak sanggup berdiri dengan tegak meski telah ditopang oleh seorang lelaki. Penampilannya sangat berantakan. Mukanya pucat. Dahinya mengerut. Ia meringis, seolah menahan sakit. Bajunya gelepotan tanah, dan darah.

“Diana?” seru Reza, lalu buru-buru meghampiri gadis itu.  

“Kak … Reza?” ujar Diana, lemah.

“Kamu kenapa?” Reza bertanya panik. “Kok berantakan banget?”

“Diana …” belum sampai berucap lebih banyak, Diana tiba-tiba terhuyung. Reza pun segera menopang tubuh Diana, lalu membopongnya ke pos satpam. Sopir taksi yang mengantar Diana langsung masuk kembali ke dalam taksinya setelah berpamitan dengan satpam yang masih saja berdiri di depan gerbang.

Reza mendudukkan Diana di kursi panjang yang ada di pos satpam, membiarkan tubuh Diana bertumpu padanya. Gadis itu sangat lemah. Mukanya pucat. Reza jadi kalang kabut. Dengan cepat, ia menyahut tisu di meja satpam, lalu mengusap keringat dingin yang memenuhi kening Diana. Ia juga meminta tolong kepada satpam untuk mengambilkan minum, lantas meminumkannya pada Diana.

Gadis itu hanya memandang Reza tanpa berkata apapun. Sesaat lalu, ia merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya. Tapi setelah melihat kekhawatiran Reza, entah kenapa kesakitan itu seakan menguap. Ia merindukan pemuda itu. Sangat rindu. Merindukan semuanya. Suaranya, candaannya, kasih sayangnya, perhatiannya, dan segala hal yang sering ia beri untuk Diana.

Beberapa hari ini, ia pikir Reza sudah tidak memperdulikannya lagi. Bahkan Diana mengira kalau Reza akan kumat playboynya karena ia merasa diacuhkan tanpa sebab. Sekarang, melihat kepanikan Reza, Diana jadi tau kalau belum ada yang berubah dari Reza. Ia masih merasakan kasih sayang itu. Lalu ada apa dengan dia beberapa hari ini? batin Diana, masih dengan pandangan tertancap pada wajah Reza.

Tak terasa, ada air yang merembes melewati pipi mulusnya. Bukan karena sakit, tapi karena merasa apa yang telah hilang beberapa hari ini seakan kembali.

"Yang mana, yang sakit?" tanya Reza, seraya mengusap air mata di pipi Diana. Tapi Diana tak menjawab. Gadis itu hanya meraih tangan Reza di pipinya, membuat gerakan Reza terhenti. Kedua mata itu saling tatap. Semakin lama semakin dalam. Beberapa detik kemudian, Diana melepas tangan Reza, lalu melingkarkan kedua tangannya di tubuh pemuda itu,  dan memeluknya erat-erat. Ia sesenggukan di dada Reza. Dan saat tangan Reza terasa menempel di punggungnya, gadis itu semakin sesenggukan. Ia sangat merindukan dekapan itu. Rasa-rasanya sudah lama ia tak dipeluk seperti ini oleh pemuda itu. Bahkan, ia sampai lupa kapan terakhir kali Reza memeluknya.

Kedua satpam yang menyaksikan adegan itu hanya melongo. Seharusnya mereka mencegah, atau setidaknya mengingatkan. Tapi mereka justru diam, membiarkan. Mulut mereka seakan terkunci oleh rasa kasihan terhadap gadis yang sepertinya kena musibah itu. Mereka sangat mengenal gadis itu, bahkan sebelum gadis itu menjadi bagian dari kampus yang mereka jaga. Dan mereka juga tau, kalau gadis itu adalah pacar dari orang yang kini mendekapnya. Jadi, mereka hanya memandangi kedua sejoli yang tengah berpeluk itu tanpa berkata apapun. Lagi pula menurut mereka, gadis itu memang butuh ketenangan, dan mereka yakin kalau Reza mampu menenangkannya.

"Sebenarnya kamu kenapa? Ada apa? Dan ... kamu dari mana?" Reza kembali bertanya bertubi-tubi.

Belum sampai Diana menjawab, tiba-tiba seseorang menyeruak masuk ke dalam pos satpam dengan wajah tegang. Peluh di pelipisnya tampak mengkilat. Nafasnya masih terdengar memburu. Sepertinya, dia habis lari-lari.

"Diana?" ujarnya, lalu mendekat dan berjongkok di depan Diana.

"Kakak?" Diana meregangkan pelukannya, begitu pun Reza. Mereka sama-sama memperhatikan orang yang ternyata adalah Bisma itu. Tampak mata Bisma menelusuri tubuh Diana dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu kembali ke atas, ke mukanya.

"Kamu ..." Seolah tak sanggup berkata-kata, Bisma hanya memandang wajah adiknya yang sayu. Ada raut penyesalan dan rasa bersalah yang mendominasi wajah Bisma. "Kamu ... baik-baik aja, kan?" ujarnya lagi, dengan suara bergetar.

Pemuda itu lantas duduk di sebelah kiri adiknya, lalu memeluknya. "Maafin kakak." Lirih suara itu hampir tak terdengar di telinga Diana. Tapi, Reza yang duduk di samping kanan Diana justru mendengarnya. Pemuda itu mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan apa yang dikatakan Bisma. "Maafin kakak karena nggak bisa jagain kamu dengan baik."

Begitu mendengar kata Bisma selanjutnya, kerut di wajah Reza menghilang. Tapi kerut itu kembali datang saat Diana berkata, "Diana habis diculik, Kak."

"Diculik?" Reza yang tergeragap. Sementara Bisma, ia hanya memejamkan mata sambil terus memeluk adiknya.

"Iya. Ada orang yang menculik Diana, dan ..." Penjelasannya tiba-tiba terhenti. Ia seperti teringat sesuatu, yang membuat dia harus berhenti bercerita. Ia ingat Dicky. Tidak ada yang boleh tau kalau yang menculiknya adalah Dicky, apalagi Reza. Kalau sampai Reza tau, pasti dia akan membuat perhitungan dengan Dicky apapun alasannya. Diana tidak mau hal yang buruk terjadi pada Dicky, meski ia sampai sekarang belum tau apa modus penculikan Dicky itu.

"Dan apa, Dii?" tanya Reza, tak sabaran. "Dan mereka nyiksa kamu?"

"Za, mendingan jangan tanyain Diana sekarang." Bisma segera memotong pembicaraan itu, seraya meregangkan pelukannya. "Luka Diana harus segera diobati. Gue akan bawa dia ke klinik."

Reza tak lagi berkata-kata. Ia pikir perkataan Bisma ada benarnya juga. Diana terlihat sangat lemah. Ia harus segera diobati. Pakaian lusuhnya juga harus segera diganti. Wawancaranya bisa ia lakukan besok. Ia pun membiarkan Bisma membantu Diana berdiri, dan ketika Diana terhuyung lagi, Reza segera berdiri dan ikut menopang tubuh Diana. Keduanya lalu membawa Diana ke klinik kampus untuk diobati.

*     *     *     *     *

Keesokan harinya,

Nanda yakin telah membuka matanya. Tapi, tak ada sesuatu pun yang bisa ia lihat selain bias cahaya kosong. Ia bisa mendengar suara lemari pakaian dibuka, lalu ditutup kembali. Itu pasti Shita. Tapi ia tak bisa melihatnya. Ia tak bisa melihat apapun. Jantungnya kini berdegup kencang. Nafasnya tersengal, menahan dadanya yang kian sesak. Bulir bening kembali menyembul memenuhi kelopak matanya yang terbuka, sebelum merembes lewat sudut matanya.

“Ta …” lirihnya.

Shita yang saat itu tengah menyisir rambul di depan kaca besar yang tersemat di lemari seketika menengok mendengar suara Nanda. Ia pun langsung memutar kepalanya, dan tersenyum.

“Eh, udah bangun?” ujarnya, sumringah. Tapi begitu melihat air yang menetes di sudut mata Nanda, Shita langsung terkesiap. Apalagi saat melihat tatapan mata Nanda yang kosong.

“Ta… gu.. gue… nggak bisa lihat, Ta.”

Gadis itu langsung terkesiap. Tadi malam, ia sudah curiga karena Nanda telah terlelap saat ia kembali dari kamar temannya untuk membahas tugas kuliah. Apalagi, Shita melihat setrikaan yang masih terbengkelai di lantai bersama alasnya, juga baju-baju Nanda yang belum sempat di bereskan. Pasti telah terjadi sesuatu. Pikir Shita. Sudah lama penyakit Nanda tidak kumat. Pasti ada sesuatu yang mengguncang pikirannya, dan membuatnya tertekan.

Gadis itu segera mendekat ke ranjang sahabatnya, dan duduk di sebelahnya. "Kok bisa kumat lagi, sih, Nda?" tanyanya. "Pasti semalem ada apa-apa sama lo. Lo kenapa? Mikirin apa?"

Nanda berusaha bangun dari tidurnya dengan dibantu Shita. Setelah ia duduk sempurna, gadis itu memeluk sahabatnya dan sesenggukan di bahunya.

"Ada apa, Nda? Bilang sama gue."

Belum sampai Nanda menjawab, terdengar pintu di ketuk. Tiga kali ketukan yang tak biasa. Nanda meregangkan pelukannya, dan mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.

"Siapa?" teriak Shita, seraya beranjak dari ranjang Nanda, dan berjalan menuju pintu.

Katika pintu terkuak, bersambung deh.
Aaakakakakakaaaaaa lanjut next part, ya, pemirsaaaa.... :D :D :D

By: Novita SN
Fb: Vita Story

No comments:

Post a Comment