Nanda tengah
berdiri sendirian di balkon kamarnya, menikmati sore yang cerah. Meski ia tak
mampu melihat apapun, setidaknya cahaya merah senja itu bisa membuat gelap yang
menyelimutinya sedikit berubah terang. Ia juga bisa menikmati sepoi angin senja
yang menerpa wajahnya, dan memberi sedikit kesejukan pada hatinya yang luka.
Namun, semakin
lama ia menikmati suasana itu, hatinya malah bergetar hebat. Senja itu
mengingatkannya pada sebuah kenangan yang tiba-tiba menghapus sejuk di hatinya.
Senja itu ...
Air matanya
seketika menggenang. Ia merindukan waktu itu. Waktu dimana dia hanya berdua
saja dengan Bisma di sebuah pulau tak berpenghuni. Waktu dimana dia disadarkan
bahwa Bisma ternyata mempunyai perasaan yang sama untuknya. Waktu dimana dia
dipersatukan dengan orang yang sangat dicintainya.
Senja yang waktu
itu menjadi saksi mekarnya cinta di dalam hatinya, kini menghadirkan
siluet-siluet yang membuat hatinya seperti diiris-iris. Ingatan tentang segala
hal yang ia lakukan di pulau itu bermunculan begitu saja, seolah ingin
menunjukkan betapa indah kebersamaannya bersama Bisma waktu itu. Kebersamaan
yang kini tak bisa ia dapatkan lagi.
Ketika ingatan itu
kian mendalam, tiba-tiba ada sebuah tangan yang membuatnya tersentak. Tangan
itu menggamit pundaknya, lantas menariknya mendekat ke tubuh sang pemilik. Dari
bau parfum yang ia cium, Nanda tahu siapa orang yang kini memeluknya itu.
"Kak
Rafa?"
"Kenapa
nangis lagi?" tanyanya, seraya mengusap lembut pipi Nanda yang berair.
"Inget lagi sama si cungkring?"
Nanda tak
menjawab. Ia hanya menyandarkan kepalanya di pundak Rafa, masih dengan
menghadap ke arah senja.
"Emang seberapa
hebat sih, si cungkring itu? Sampai-sampai kamu ditinggalin sama dia aja galau
akut kayak gini?"
Nanda memang telah
menceritakan kepada Rafael tentang apa yang terjadi dengannya malam itu. Ia
juga bercerita kepada orang tuanya, tapi meminta mereka untuk tidak bilang
apapun kepada keluarga Bisma. Ia ingin biar Bisma sendiri yang bilang sama
orang tuanya tentang hubungan mereka yang kandas.
"Ngeliat kamu
kayak gini, Kakak jadi pengen bener-bener melintir kepalanya Si Bisma biar
kapok, Dek," ujar Rafa setengaha sewot. "Kalau kamu enggak nyegah
kakak, udah beneran Kakak labrak tuh anak ke asramanya. Ribut, ribut deh tuh
penghuni asrama."
"Kak Rafa
ngomong apaan, sih?"
"Lagian kamu kenapa
sih, ngelarang Kakak buat ngehajar dia? Bukannya cucurut sawah kayak gitu emang
musti dikasih pelajaran? Lihat diri kamu sekarang, Dek. Kamu sakit kayak gini
kan gara-gara dia. Sekarang kamu kumat malah dia ninggalin kamu gitu aja."
Ya, Nanda sampai
sekarang tidak bisa melihat lagi. Benjolan di belakang kepalanya kembali
membesar karena kejadian waktu itu. Ia telah pergi ke dokter syarafnya bersama
Rafa, dan dokter bilang tidak seharusnya dia stres. Semakin dia stres,
penyakitnya akan semakin sulit sembuh. Sekarang suasana hati Nanda sedang
buruk. Maka benjolannya tak kunjung mengecil, dan penglihatannya pun akan tetap
terganggu sampai dia tak banyak pikiran lagi.
"Kakak nggak
ngerti ...,"
"Iya. Kakak
emang enggak bisa ngerti karena kamu sekarang sulit dimengerti." Rafael
memotong kata-kata Nanda dengan nada kesal. "Heran! Udah disakitin juga
masih aja belain dia."
"Nanda yakin
dia sebenarnya enggak pengen kayak gini, Kak."
"Kamu yakin
dari mana? Jelas-jelas dia mutusin kamu karena pengen pacaran sama
selingkuhannya itu."
Nanda tak mau
mendebat lagi. Percuma ngomong sama kakaknya tentang apa yang ia rasakan saat
ini. Kakaknya yang memang telah kesal setengah mati pada Bisma itu tidak bakal
mau mendengar omongannya. Diam-diam, Nanda sedikit menyesal telah bercerita secara
gamblang kepada Rafael tentang semua yang terjadi malam itu.
"Kakak tadi
mau ngapain ke sini? Tumben sore-sore udah ke sini?" Gadis itu memilih
mengalihkan pembicaraan daripada membuat Rafael semakin naik darah membicarakan
Bisma.
"Pengen lihat
kamu aja," jawab Rafael. "Nggak tahu kenapa Kakak tadi punya feeling
kalau ada apa-apa sama kamu. Eh, bener aja kamu lagi nangis."
"Yakin cuma
mau lihat Nanda doank? Nggak ada perlu lain?"
"Eng... Ada
sih." Rafael terkekeh. "Ntar kamu ke resepsinya Afra sama Kakak aja,
ya," ujar Rafael, seraya membimbing Nanda masuk ke kamar, lalu mendudukkan
Nanda di ranjangnya.
"Kita
bertigaan? Enggak ah. Mending bertigaan sama Ibu sama Ayah daripada sama Kak
Rafa. Ntar Nanda jadi kayak kambing congek lagi. Kak Rafa kan suka lupa
segalanya kalau udah sama Kak Vita."
"Kakak enggak
bareng Kak Vita."
Dahi Nanda
mengernyit. "Kok nggak sama Kak Vita? Emang masih berantem?" Rafael
memang pernah bercerita pada Nanda kalau dia tengah perang dingin sama Vita.
"Kan udah
Kakak bilang, Kakak enggak berantem. Cuma ...," Ucapan Rafael menggantung.
Ia tiba-tiba merenung. Mengingat kekasihnya, mood Rafael semakin buruk.
Belakangan ini dia merasa frustrasi karena harus menahan rindu, juga menahan
perasan untuk melanjutkan aksi ngambeknya. Ia berharap dengan begitu Vita bisa
membatalkan rencananya. Namun, gadis itu masih tetap keukeuh pada pendiriannya,
dan itu membuat otak Rafael semakin eror.
"Cuma apa,
Kak? Cuma perang dingin?" Rafael hanya tersenyum kecil tanpa membantah
perkataan Nanda. "Kayak anak ABG aja sih, Kak, pakai perang dingin segala.
Udah pada tua juga."
"Enak aja
ngatain Kakak udah tua. Kakak masih unyu-unyu tau."
"Tapi paling
enggak kan masih kalah unyu sama Nanda," tangkis Nanda, lalu tersenyum
jail. "Mendingan Kakak ngalah deh, daripada Kak Vita ntar disamber orang.
Ntar nyesel lho."
"Kak Vita tuh
bukan cewek yang asal mau disamber orang kayak gitu. Makanya Kakak betah
ngambek lama-lama kayak gini. Kamu nggak tau sih, masalah kali ini apa."
"Gimana Nanda
mau tau kalau Kakak nggak ngasih tau. Tapi masalah apapun itu, selesaikan
baik-baik, Kak. Jangan sampai berlarut-larut. Hubungan Kakak kan enggak cuma
sebulan dua bulan. Sayang kalau bubaran gitu aja. Apalagi orang tua udah pada
setuju begitu."
"Kok jadi
nasehatin Kakak sih, Dek?"
"Abisnya
Kakak kayak bocah, sih."
"Iya deh,
iya. Sekarang kamu emang udah dewasaan." Rafael akhirnya mengalah.
"Tapi pokoknya, kamu ntar berangkatnya sama Kakak aja, ya."
"Yakin enggak
sama Kak Vita? Trus Kak Vita gimana donk?"
"Paling ... sendirian.
Atau kalau enggak ngajakin sepupunya."
"Kalau dia
ngajakin cowok lain?"
"Enggak
mungkin."
"Semuanya
serba mungkin, Kak Rafa?"
"Kamu lagi
nakut-nakutin Kakak, ya?"
"Bukan
nakut-nakutin, tapi mencoba bikin hati Kakak meleleh biar bisa ngalah."
Tapi usaha Nanda
sia-sia. Rafa tetap teguh pada pendiriannya. Dia akan tetap seperti ini sampai
Vita membatalkan keputusannya, meski agak ngeri juga dengan apa yang dikatakan
Nanda. Kalau saat acara pernikahannya Afra nanti Vita sampai bawa cowok lain,
entah apa yang akan terjadi pada hatinya. Mungkin akan seperti gelas yang
dibanting dari lantai 20. Hancur berantakan.
* *
* * *
"Ini buat lo,
Ngga."
Bisma menyodorkan
kertas berwarna coklat muda dengan hiasan pita keemasan di tengahnya itu pada
Rangga yang tengah mengenakan sepatunya. Pada kertas itu, foto Afra dan Morgan
tampak menempel dengan manis. Sangat serasi. Afra mengenakan gaun pengantin
putih mirip dengan gaun yang biasa dikenakan Momoko dalam serial kartun wedding
peach, sementara Morgan mengenakan setelan jas dengan warna senada. Entah itu
foto editan atau asli, mengingat persiapan pernikahan mereka yang sangat
singkat.
Rangga menerimanya
tanpa bersuara, lantas membenarkan tali sepatunya kembali. Pemuda berpipi cubby
itu langsung berdiri dan berjalan menuju pintu tanpa menengok Bisma sama sekali
usai menyelesaikan kegiatannya.
"Lo mau dateng
sama Shita, Ngga?" Suara Bisma berhasil menghentikan langkah Rangga, tepat
di belakang pintu kamar yang telah sedikit terbuka.
"Emang mau
dateng sama siapa lagi? Gue kan cuma punya satu cewek, Shita doank." sahutnya
seraya memutar kepala ke arah Bisma. Tatapannya tajam, seolah ingin menikam
hati Bisma yang sebenarnya sudah sakit. "Emang kenapa?"
"Bokap lo ...
pasti dateng juga, kan?! Gue cuma pengen lo hati-hati aja."
Rangga tercenung.
Ia baru menyadari kalau orang tuanya juga kenal baik dengan orang tua Morgan.
Mereka pasti akan datang ke acara pernikahan itu. Kalau sampai papanya melihat
dia membawa Shita, bukan tak mungkin papanya akan kalap seperti waktu itu. Tapi
... bukankah waktu itu Rangga bisa menentang papanya? Rangga yakin kalau sampai
papanya melakukan sesuatu, dia pasti akan bisa mengatasinya. Lagipula, tidak
mungkin papanya akan marah-marah kepadanya di depan umum seperti itu.
"Terima kasih
atas perhatian lo. Tapi gue udah mikirin itu, dan gue yakin bisa
mengatasinya," ucap Rangga, lantas benar-benar pergi meninggalkan Bisma
yang saat itu masih mematung karena lagi-lagi disuguhi sikap dingin oleh
Rangga.
Beberapa hari ini,
tepatnya sejak Rangga tahu bahwa kini Bisma tak lagi pacaran dengan Nanda dan
malah memutuskan untuk berhubungan dengan Raisya, Rangga bersikap sinis kepada
Bisma. Apalagi sejak tiba-tiba Bisma membawa seorang teman untuk sekamar dengan
mereka menggantikan Morgan. Sikap dingin Rangga semakin menjadi.
Rangga tak pernah
tahu betapa tertekannya hati Bisma saat ini. Berhubungan dengan manusia sayko
seperti Raisya nyaris membuatnya gila. Bagaimana tidak? Selain ponselnya yang
kini disita oleh gadis sarap itu, kini dia juga tak bisa bebas berbuat apapun
karena Raisya meminta salah seorang temannya untuk mengawasi gerak-geriknya.
Ya, teman sekamar yang menggantikan Morgan itu sebenarnya adalah kiriman Raisya
untuk mengawasi Bisma. Bisma kini tak bisa bebas berbicara dengan
kawan-kawannya karena pemuda bernama Riko itu selalu menguntitnya kemanapun dia
pergi.
Raisya sebenarnya
juga memberi Bisma sebuah ponsel untuk memperlancar hubungan mereka. Tapi,
ponsel itu hanya bisa ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Raisya. Bisma tak
hapal nomor siapa pun. Jangankan nomor teman-temannya. Nomor rumah, nomor orang
tua, nomor adiknya, bahkan nomor Nanda pun ia tak hapal. Konyol, memang.
Bisma semakin
tertekan ketika mendapati Rangga, Reza, dan Diana yang kini berubah sinis kepadanya.
Sekarang pemuda itu seperti tak punya siapa-siapa untuk berbagi. Dunianya kini
seperti hanya dihuni oleh Raisya, Riko, dan dirinya sendiri. Ia tak bisa
berinteraksi dengan siapa pun karena selalu dibuntuti oleh kedua orang itu. Di
asrama, Riko yang selalu mengawasinya. Sementara di kampus, Raisya selalu siap
sedia mengekorinya kemana pun ia pergi.
Sebenarnya Bisma
ingin sekali berlari dari dunia yang seakan memenjarakannya itu. Ia sangat
merindukan Nanda. Ia ingin sekali menjelaskan kepada gadis itu bahwa semua ini
bukan kemauannya. Tapi Bisma tidak tahu bagaimana caranya. Otaknya yang sudah
penat seperti tidak mau diajak bekerja. Buntu.
* *
* * *
"Gue dapet bocoran
tentang mereka," ujar Fryda, begitu ia sampai di meja yang ditempati Ilham.
Gadis itu langsung menyeret kursi di seberang meja Ilham, lantas mendudukinya.
Sore ini, mereka
memang janjian untuk bertemu di kafe depan kampus. Fryda ingin memberitahu
Ilham bahwa ia mengetahui sesuatu tentang hubungan Bisma dan Raisya, sementara
Ilham sendiri juga ingin memberitahu sesuatau pada Fryda.
Dahi Fryda
mengerut samar melihat Ilham yang tampak lesu di tempat duduknya. Ilham bahkan
tak begitu antusias mendengar perkataannya. Padahal beberapa hari lalu, Ilham
sering menanyai Fryda tentang masalah ini.
"Ada apa? Kok
muka lo ditekuk gitu?" tanya Fryda, usai memesan minuman pada pelayan
kafe.
"Enggak ada.
Gue cuma lagi penat aja." Ilham lalu menghela napas, lantas menyandarkan
tubuhnya di sandaran kursi. Pemuda itu memalingkan wajah ke jendela kaca di
sampingnya, memandang senja dengan tatapan menerawang.
Merasa ada sesuatu
yang tidak beres dengan pemuda itu, Fryda berpikir untuk memberi kesempatan
kepadanya untuk berbicara duluan. "Tadi lo bilang mau ngomong sesuatu sama
gue? Mau ngomong apaan?"
Ilham belum
menjawab sampai beberapa detik berselang. Pemuda itu masih saja memandangi senja
yang kian memerah di ujung barat. Sementara itu, Fryda masih setia menunggu
kediaman Ilham sampai pemuda itu memutar wajah menghadapnya kembali, lantas
bergumam, "Gue pengen berhenti."
"Apa?"
Fryda merasa kurang jelas dengan apa yang dikatakan Ilham. Alis gadis itu
terangkat, meminta penjelasan kepada orang yang mengajaknya bicara.
"Kalau ... seandainya
gue ngelepas dia aja menurut lo gimana?"
"Ngelepas
dia? Siapa?"
"Ya Raisya,
lah. Emang lo pikir siapa?"
"Emmm ... Itu
sih, terserah lo, Am. Tapi coba dengerin informasi yang gue dapet. Siapa tahu
bisa mengubah keputusan lo." Fryda memperbaiki duduknya sebelum ia memulai
cerita.
"Lo pasti
tahu kan, kalau Bisma punya teman baru yang sekarang sekamar sama dia?" ujar
Fryda, seraya menyipitkan mata.
Di seberangnya,
Ilham mengerutkan kening, lantas mengangguk. "Riko, maksudnya? Apa
hubungannya sama dia?"
"Riko itu
suruhannya Raisya. Beberapa hari ini gue ngebuntutin dia, dan gue denger pas
dia lagi telponan sama entah siapa, kalau dia tuh asyik-asyik aja ngawasin
Bisma buat Raisya kayak gitu."
"Ngawasin
Bisma buat Raisya? Untuk apa?"
"Gue rasa
sih, sebenarnya Bisma terpaksa macarin Raisya. Kayaknya dia diancem gitu. Lo
lihat ekspresinya tiap kali kita ketemu sama dia, kan? Masam. Muram. Kalau dia
emang niat macarin Raisya, harusnya dia bahagia, donk. Secara, hubungan mereka
kan masih anget-angetnya."
"Maksud lo,
Raisya maksa Bisma buat macarin dia, gitu."
"He em. Gue
denger lagi dari Riko nih ya, Raisya tuh kalau terobsesi sama sesuatu suka agak
berlebihan. Nyaris seperti orang sayko. Sory kalau gue harus bilang kayak gini,
karena memang begitulah kenyataannya. Raisya itu sebenarnya agak sakit, dan lo
harus sembuhin dia kalau lo emang beneran cinta sama dia."
"Sakit?
Maksud lo ...?"
"Sakit
jiwa," sahut Fryda. "Tapi bukannya gila. Sakit jiwa kan banyak
macemnya. Seperti yang gue bilang tadi. Dia hampir kayak sayko. Apa malah ... udah
sayko, ya? Pokoknya, ya, gitu lah."
"Tapi gue
bisa ngapain buat dia? Gue nggak punya obat. Gue bukan psikiater. Apalagi
dokter."
"Orang kayak
Raisya itu sebenarnya nggak butuh psikiater, apalagi dokter. Dia cuma butuh
orang-orang yang bener-bener care sama dia. Yang bener-bener sayang sama dia.
Lo harus tunjukin sayang lo kalau mau Raisya nggak kayak gitu lagi. Lo harus
ngasih tahu hal-hal positif sama dia biar dia juga punya pandangan positif
dalam hidupnya."
"Tapi gimana
gue bisa tunjukin sayang gue kalau dia aja sekarang selalu sama Bisma?"
"Kalau lo
beneran mau, sebenarnya banyak cara. Dengan catatan, lo harus mau, dan lo harus
punya niat yang ikhlas buat nyembuhin Raisya. Gue rasa selain lo, nggak ada
yang bisa nyembuhin dia. Keluarganya nggak bisa diandelin. Orang tuanya udah
cerai. Mamanya pergi ke luar negeri. Dia cuma ikut sama papa dan mama tirinya
sekarang. Dan gue rasa, itu yang bikin dia jadi sayko."
"Lo tahu
sampai sejauh itu? Dari mana lo tahu?"
"Nguping."
Fryda nyengir. "Gue denger dari Riko yang entah telponan sama siapa itu
tadi."
"Bakat juga
lo jadi penguntit, ya?"
"Buat hal
yang baik, nggak ada salahnya, kan?!"
Perbincangan
mereka terhenti sejenak karena pesanan Fryda telah datang. Secangkir capucino.
Fryda memang pecinta kopi sejak masih duduk di bangku SMA. Kegemarannya
menggambar membuat dia sering mendapat pesanan design dari beberapa kawan,
sehingga dia harus sering tidur larut malam. Alhasil, ia mengkonsumsi minuman
yang sebenarnya tidak terlalu bagus untuk kesehatannya itu.
Fryda menyesap
minumannya sekali, lantas memperhatikan Ilham yang kini tengah merenung. Pemuda
itu bersandar di kursinya dengan mata menatap kosong pada gelas minumannya yang
tinggal setengah.
Beberapa menit
membiarkan meja mereka sunyi, Fryda akhirnya membuka suara kembali, "Jadi
gimana?" tanyanya.
Ilham sedikit
tersentak, lalu mengangkat kepala menatap Fryda. "Apa? Gimana
apanya?"
"Lo masih
berniat mau berhenti, apa mau nyembuhin Raisya?"
Pemuda itu tak
langsung menjawab. Ia menghela napas sedikit berat, lantas berkata, "Bakal
gue pikirin." Ia kemudian memperbaiki duduknya, lalu mengambil gelas di
hadapannya dan meminum isinya. "O iya, malam minggu besok gue dapet
undangan ke acara pernikahan temen gue. Lo mau nggak, nemenin gue?"
"Gue?"
Dahi Fryda mengernyit. Tampak Ilham mengangguk di seberangnya. "Sampai
malem nggak?"
"Pastinya."
"Eum ... Di
sini gue nggak punya saudara. Kalau sampai malem, gue musti nginep di mana
donk?"
"Lo bisa
nginep di rumah gue kalau lo mau."
"Ih, ogah.
Ntar dikira gue calon istri lo lagi!"
Ilham terkekeh,
lantas menimpali, "Biarin aja. Gue malah punya niat mau ngenalin lo
sebagai pacar gue sama orang tua gue."
"Jangan
macem-macem, Ilham." Candaan Ilham sukses membuat Fryda melotot lebar.
Ilham justru tertawa melihat Fryda marah seperti itu. "Tunggu," Fryda
menyipitkan mata, dan memandang penuh selidik ke Ilham. "Jangan-jangan lo mau
ngelepas Raisya gara-gara lo udah mulai punya niat buat bener-bener ngedeketin
gue, ya?"
"Wuih,
ke-GR-an." Ilham mengelak. "Eh, tapi, kalau gue beneran mau ngedeketin
lo gimana?"
"Siap-siap
aja patah hati," sahut Fryda cuek. "Pokoknya, cari penginapan buat
gue, atau gue nggak mau nemenin lo."
"Iya, iya,
bawel. Ntar gue cariin penginapan buat lo."
* * *
* *
Reza uring-uringan
saat melihat namanya tertera pada jadwal jaga untuk malam minggu ini. Malam
minggu ini dia harus menghadiri pesta pernikahan Morgan. Dia juga punya rencana
mau menginap di rumah Diana, dan sudah janjian dengan papanya Diana untuk
memancing bersama. Reza tidak mau kehilangan moment itu hanya karena tugas yang
sebenarnya bukan tugasnya. Minggu kemarin dia sudah ngerem di asrama. Minggu
ini, pasti dia diminta menggantikan pengurus lain, dan dia tidak mau. Maka,
kini ia tengah belingsatan mencari Dewa, mahasiswa yang sering membuat jadwal
jaga itu.
"Eh,
Dewaruci. Sini lo!" teriaknya, ketika matanya menangkap kelebatan Dewa di
taman asrama. Hampir pemuda berwajah ceking dengan rambut ikal sebahu itu kabur
kalau tangan Reza tidak segera meremas bajunya dan menyeretnya mendekat. "Enak
aja mau kabur. Ganti nih jadwal." Reza melempar kertas jadwal itu ke muka
Dewa dengan kejam. "Minggu kemarin gue udah jaga, masa' sekarang suruh
jaga lagi? Emang gue satpam, apa?"
"Abis gimana,
Za, banyak yang ijin nggak bisa jaga minggu ini. Pada ada acara kayaknya."
"Lo pikir gue
juga nggak ada acara?" Mata Reza melotot penuh, membuat nyali Dewa ciut.
"Ganti jadwalnya. Minggu ini gue mau keluar, dan nggak tidur di
asrama."
"Tapi, Za
...."
"Ganti, atau
gue bakalan ngambek dan nggak mau jaga-jaga lagi."
"Aduh, trus
gue musti cari siapa lagi donk?"
"Ya terserah.
Kenapa lo nggak maksa orang yang giliran jaga aja?"
"Pada ada
acara, Za. Penting katanya."
"Pokoknya
terserah. Kalau lo nggak ganti juga tuh jadwal, gue bakal ngacak-ngacak kamar
lo," tanpa mempedulikan Dewa yang saat itu mukanya ditekuk-tekuk penuh
kekhawatiran, Reza langsung pergi dari sana, keluar asrama putra, dan masuk ke
asrama putri.
Pemuda itu masih
ngedumel-dumel di sepanjang perjalanan, tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.
Bahkan, sapaan satpam di tiap gerbang yang dilaluinya pun tak ia gubris. Dia
tengah jengkel sekarang.
Ketika Reza hendak
menaiki tangga menuju lantai dua asrama putri, langkahnya terhenti. Ia menatap
sekelililingnya dengan jidat berkerut. "Asrama putri? Kok ini asrama
putri?" Pemuda itu masih menapakkan sebelah kakinya pada anak tangga
paling bawah, tanpa menggerakkan kaki yang sebelahnya lagi. Ia masih seperti
orang linglung, mencoba mengingat-ingat apa yang ingin ia lakukan di sini.
"Emang ini
asrama putri!" seru sebuah suara. "Lo pikir lo lagi di mana? Di
hotel?" Reza menengok ke sumber suara itu, dan menemukan seorang gadis
berambut panjang hendak menaiki tangga juga. Shita. "Mau ngapain lo
sore-sore gini udah kelayapan ke asrama putri?"
"Gue aja
bingung mau ngapain ke sini." Reza memutar bola matanya ke atas, mencoba
menggali ingatan kembali. Tapi ia benar-benar lupa apa yang harus dilakukannya.
Pemuda itu menggeram keras, lantas balik kanan dan berjalan menuju pintu keluar
asrama putri.
"Dih,
linglung tuh anak," ujar Shita seraya menggelengkan kepalanya.
Reza masih mencoba
mengingat apa sebenarnya tujuan dia datang ke asrama putri. Dia merasa bukan
seorang pelupa. Belum pernah ia sampai linglung tingkat akut seperti itu. Apa
mungkin efek dari masalah yang menimpanya akhir-akhir ini jadi membuat syaraf
pengingatnya sedikit cidera. Eh, ini buka cuma sedikit, tapi sangat cidera. Ia
sekarang benar-benar jadi seperti orang yang terkena amnesia.
Ketika pemuda itu
hampir mencapai pintu gerbang, langkahnya terhenti. "Gue tadi kan mau
lihat Diana. Mau lihat lukanya udah mendingan apa belum? Arrrggghhh...,"
Akhirnya pemuda itu balik kanan lagi setelah mengacak-acak rambutnya dengan
kesal.
* *
* *
*
Diana
meringis-ringis menahan perih di kakinya saat cairan hitam itu menembus
kulitnya yang luka. Setelah obat yang ia teteskan ia rasa cukup, gadis itu
membalut lukanya yang kini sudah hampir sembuh. Meski masih ada memar di lutut
dan lengannya, juga masih ada luka basah di beberapa bagian tubuhnya, tapi sebagian
luka telah mengering.
Gadis itu menatap
tangan mulusnya yang kini dihiasi bercak kehitaman di sana sini. "Jelek
amat sih, tangan gue sekarang," ujarnya sambil manyun. "Kalau tangan
gue kayak gini terus, Kak Reza pasti bakal kabur ninggalin gue."
"Siapa
bilang?" Sebuah suara membuatnya tersentak. Ia menengok ke pintu kamar
yang terbuka, dan menemukan pemuda tampan dengan rambut acak-acakan berdiri di
ambang pintu. Pemuda itu tersenyum manis, membuat Diana ikut mempersembahkan
senyumnya.
"Kak
Reza?"
"Denger, ya,"
kata Reza, seraya berjalan mendekati Diana yang duduk di ranjangnya. "Meskipun tangan kamu jelek, kaki kamu
jelek, muka kamu keriput, Kakak akan tetap selalu sama kamu. Sebab, Kakak
sayang sama kamu bukan karena fisik kamu, tapi ... hati kamu."
Diana merasakan
wajahnya memanas. Ada rona merah yang tiba-tiba menyembul di pipinya yang
putih, apalagi saat Reza berlutut di hadapannya, seraya menggenggam kedua
tangannya. "Jangan khawatir. Kakak nggak akan pernah ninggalin kamu."
Ucapan yang terdengar tulus dari mulut Reza itu sukses membuat hati Diana
semakin melambung. Diana tak tahu apakah Reza hanya tengah menggombal, atau
hanya merayu saja. Tapi, apapun itu, kata-kata Reza benar-benar membuat angan
Diana melayang ke awang-awang.
"Badan kamu
udah enakan?" tanya Reza, membuat Diana kembali menapak bumi.
"Udah,"
jawabnya. "Tapi ngelihat kaki sama tangannya Diana jadi aneh, ya? Ada
bercak-bercak itemnya kayak gini."
"Ntar juga
sembuh. Tenang aja." Reza menenangkan, seraya mengelus lembut rambut
Diana.
Ketika rambutnya
dielus, Diana baru sadar dengan rambut Reza yang berantakan. Ia menatap aneh
rambut kekasihnya itu dengan kening mengerut, lantas bertanya, "Rambut
Kakak kenapa? Kok ...,"
Belum sampai Diana
menyelesaikan kata-katanya, Reza memegang rambutnya, lalu berdiri dan buru-buru
berkaca pada cermin yang tergantung di dinding. Benar saja. Rambutnya berdiri
semrawut nyaris seperti landak yang habis perang. Pemuda yang selalu
memperhatikan style rambutnya itu kini salah tingkah. Ia paling tidak suka
kalau rambutnya terlihat mengerikan. Ia kemudian mengambil sisir, lalu
merapikan rambutnya.
"Jangan
khawatir, meskipun rambut Kak Reza jelek, Diana tetep cinta kok sama Kak
Reza."
Reza tertawa
mendengar Diana ngegombal seperti itu. "Udah pinter ngegombal ya,
sekarang?"
"Kan Kakak
yang ngajarin." Lalu mereka berdua sama-sama tergelak.
"O iya, Kakak
tadi ke sini karena mau ngomong sesuatu sama kamu," ujar Reza, usai
memastikan rambutnya tak lagi berantakan.
"Mau ngomong
apa?"
"Eum ...
Malam minggu ntar, kalau kita ke tempat kamu pakai motor Kakak enggak pa-pa,
kan?" Kening Diana berkerut. Kemarin dia pikir mau pulang bertiga bareng
Bisma. Tapi kok jadi pakai motor?
Seolah mengerti
kebingungan Diana, Reza melanjutkan, "Bisma nggak jadi pulang bareng kita.
Dia mau sama Raisya. Sebenarnya dia minta Kakak pakai mobilnya, sih. Tapi Kakak
lagi BT sama kakak kamu. Kakak lagi kesel. Jadi Kakak tolak aja. Kamu pakai
motor nggak pa-pa, kan?"
Diana tampak
merenung. Air mukanya berubah cemas. Reza jadi sedikit tak enak.
"Apa ... kamu
nggak suka naik motor?"
"Eh, enggak.
Suka kok. Pakai motor juga nggak pa-pa."
"Tapi kok
kayaknya kamu khawatir gitu? Takut jatuh, trus terluka lagi?"
"Enggak Kak
Reza, bukan itu," elaknya. "Diana cuma mikirin Kak Bisma. Apa ... nanti
Kak Bisma mau bawa Kak Raisya ke rumah?"
"Kakak nggak
tahu. Dia nggak ngasih tahu Kakak, dan Kakak juga males nanya dia. Lagian juga
bukan urusan Kakak. Emang kenapa?"
"Diana nggak
bisa bayangin aja gimana shock-nya Mama sama Papa kalau lihat Kak Bisma bawa
pacar baru."
"Emang kamu
belum bilang sama Mama Papa kamu kalau Bisma sama Nanda udah putus?"
"Belum. Diana
nggak mau ngomong. Biarin aja Kak Bisma sendiri yang ngomong." Diana diam
sejenak untuk menghela napas, lalu melanjutkan. "Semenjak Kak Bisma
pacaran sama Kak Raisya, Kak Bisma berubah. Dia jadi nggak pernah nengokin
Diana. Jangankan nengokin. Telpon atau sekedar sms aja nggak pernah. Kemarin Papa
telpon Diana nyari Kak Bisma. Katanya telpon Kak Bisma enggak diangkat-angkat.
Gimana mau angkat, orang dia lagi tukeran HP sama Kak Raisya. Kak Raisya pasti
nggak berani angkat telpon Papa."
"Tukeran?"
"He em. Diana
juga bingung. Ngapain Kak Bisma sok-sokan pakai tuker-tuker HP segala? Kalau
Kak Raisya bilang sih Kak Bisma nggak suka kalau Kak Raisya berhubungan dengan
cowok lain. Makanya dia tukeran HP biar dia bisa meringatin cowok-cowok yang
suka nelponin Kak Raisya."
"Kok kamu
tahu?"
"Waktu itu
Diana pernah mau telpon Kak Bisma. Soalnya kan Kak Bisma nggak biasanya nyuekin
Diana kayak gini. Apalagi pas Diana lagi sakit begini. Tapi waktu Diana telpon,
yang angkat Kak Raisya. Trus Kak Raisya bilang kayak gitu. Kasihan ya, Kak Raisya.
Kenapa sih, Kak Bisma jadi over protectiv sama pacar kayak gitu? Heran
deh."
"Pokoknya
Bisma tuh emang udah berubah. Dia udah nggak asyik lagi sekarang. Makanya Kakak
BT sama dia," ujar Reza setengah sewot. "Ya udah, jadi ntar kita
pulang pakai motor Kakak aja nggak pa-pa, ya. Kakak nggak akan ngebut-ngebut
kok. Janji deh."
Diana tersenyum,
lantas mengangguk. Senyum itu kini tak semanis tadi. Reza melihat ada kabut di
mata gadis itu. Reza tahu, Diana pasti tengah mengkhawatirkan kakaknya. Meski
kadang-kadang Diana dan Bisma sedikit tidak akur, tapi keduanya sangat saling
menyayangi. Dia juga tak mengerti kenapa Bisma bisa berubah drastis seperti
itu.
* *
* * *
Bersambung
By: Novita SN
No comments:
Post a Comment