Friday, December 18, 2015

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 78



Nanda tengah berdiri sendirian di balkon kamarnya, menikmati sore yang cerah. Meski ia tak mampu melihat apapun, setidaknya cahaya merah senja itu bisa membuat gelap yang menyelimutinya sedikit berubah terang. Ia juga bisa menikmati sepoi angin senja yang menerpa wajahnya, dan memberi sedikit kesejukan pada hatinya yang luka.

Namun, semakin lama ia menikmati suasana itu, hatinya malah bergetar hebat. Senja itu mengingatkannya pada sebuah kenangan yang tiba-tiba menghapus sejuk di hatinya. Senja itu ...

Air matanya seketika menggenang. Ia merindukan waktu itu. Waktu dimana dia hanya berdua saja dengan Bisma di sebuah pulau tak berpenghuni. Waktu dimana dia disadarkan bahwa Bisma ternyata mempunyai perasaan yang sama untuknya. Waktu dimana dia dipersatukan dengan orang yang sangat dicintainya.

Senja yang waktu itu menjadi saksi mekarnya cinta di dalam hatinya, kini menghadirkan siluet-siluet yang membuat hatinya seperti diiris-iris. Ingatan tentang segala hal yang ia lakukan di pulau itu bermunculan begitu saja, seolah ingin menunjukkan betapa indah kebersamaannya bersama Bisma waktu itu. Kebersamaan yang kini tak bisa ia dapatkan lagi.

Ketika ingatan itu kian mendalam, tiba-tiba ada sebuah tangan yang membuatnya tersentak. Tangan itu menggamit pundaknya, lantas menariknya mendekat ke tubuh sang pemilik. Dari bau parfum yang ia cium, Nanda tahu siapa orang yang kini memeluknya itu.

"Kak Rafa?"

"Kenapa nangis lagi?" tanyanya, seraya mengusap lembut pipi Nanda yang berair. "Inget lagi sama si cungkring?"

Nanda tak menjawab. Ia hanya menyandarkan kepalanya di pundak Rafa, masih dengan menghadap ke arah senja.

"Emang seberapa hebat sih, si cungkring itu? Sampai-sampai kamu ditinggalin sama dia aja galau akut kayak gini?"

Nanda memang telah menceritakan kepada Rafael tentang apa yang terjadi dengannya malam itu. Ia juga bercerita kepada orang tuanya, tapi meminta mereka untuk tidak bilang apapun kepada keluarga Bisma. Ia ingin biar Bisma sendiri yang bilang sama orang tuanya tentang hubungan mereka yang kandas.

"Ngeliat kamu kayak gini, Kakak jadi pengen bener-bener melintir kepalanya Si Bisma biar kapok, Dek," ujar Rafa setengaha sewot. "Kalau kamu enggak nyegah kakak, udah beneran Kakak labrak tuh anak ke asramanya. Ribut, ribut deh tuh penghuni asrama."

"Kak Rafa ngomong apaan, sih?"

"Lagian kamu kenapa sih, ngelarang Kakak buat ngehajar dia? Bukannya cucurut sawah kayak gitu emang musti dikasih pelajaran? Lihat diri kamu sekarang, Dek. Kamu sakit kayak gini kan gara-gara dia. Sekarang kamu kumat malah dia ninggalin kamu gitu aja."

Ya, Nanda sampai sekarang tidak bisa melihat lagi. Benjolan di belakang kepalanya kembali membesar karena kejadian waktu itu. Ia telah pergi ke dokter syarafnya bersama Rafa, dan dokter bilang tidak seharusnya dia stres. Semakin dia stres, penyakitnya akan semakin sulit sembuh. Sekarang suasana hati Nanda sedang buruk. Maka benjolannya tak kunjung mengecil, dan penglihatannya pun akan tetap terganggu sampai dia tak banyak pikiran lagi.

"Kakak nggak ngerti ...,"

"Iya. Kakak emang enggak bisa ngerti karena kamu sekarang sulit dimengerti." Rafael memotong kata-kata Nanda dengan nada kesal. "Heran! Udah disakitin juga masih aja belain dia."

"Nanda yakin dia sebenarnya enggak pengen kayak gini, Kak."

"Kamu yakin dari mana? Jelas-jelas dia mutusin kamu karena pengen pacaran sama selingkuhannya itu."

Nanda tak mau mendebat lagi. Percuma ngomong sama kakaknya tentang apa yang ia rasakan saat ini. Kakaknya yang memang telah kesal setengah mati pada Bisma itu tidak bakal mau mendengar omongannya. Diam-diam, Nanda sedikit menyesal telah bercerita secara gamblang kepada Rafael tentang semua yang terjadi malam itu.

"Kakak tadi mau ngapain ke sini? Tumben sore-sore udah ke sini?" Gadis itu memilih mengalihkan pembicaraan daripada membuat Rafael semakin naik darah membicarakan Bisma.

"Pengen lihat kamu aja," jawab Rafael. "Nggak tahu kenapa Kakak tadi punya feeling kalau ada apa-apa sama kamu. Eh, bener aja kamu lagi nangis."

"Yakin cuma mau lihat Nanda doank? Nggak ada perlu lain?"

"Eng... Ada sih." Rafael terkekeh. "Ntar kamu ke resepsinya Afra sama Kakak aja, ya," ujar Rafael, seraya membimbing Nanda masuk ke kamar, lalu mendudukkan Nanda di ranjangnya.

"Kita bertigaan? Enggak ah. Mending bertigaan sama Ibu sama Ayah daripada sama Kak Rafa. Ntar Nanda jadi kayak kambing congek lagi. Kak Rafa kan suka lupa segalanya kalau udah sama Kak Vita."

"Kakak enggak bareng Kak Vita."

Dahi Nanda mengernyit. "Kok nggak sama Kak Vita? Emang masih berantem?" Rafael memang pernah bercerita pada Nanda kalau dia tengah perang dingin sama Vita.

"Kan udah Kakak bilang, Kakak enggak berantem. Cuma ...," Ucapan Rafael menggantung. Ia tiba-tiba merenung. Mengingat kekasihnya, mood Rafael semakin buruk. Belakangan ini dia merasa frustrasi karena harus menahan rindu, juga menahan perasan untuk melanjutkan aksi ngambeknya. Ia berharap dengan begitu Vita bisa membatalkan rencananya. Namun, gadis itu masih tetap keukeuh pada pendiriannya, dan itu membuat otak Rafael semakin eror.

"Cuma apa, Kak? Cuma perang dingin?" Rafael hanya tersenyum kecil tanpa membantah perkataan Nanda. "Kayak anak ABG aja sih, Kak, pakai perang dingin segala. Udah pada tua juga."

"Enak aja ngatain Kakak udah tua. Kakak masih unyu-unyu tau."

"Tapi paling enggak kan masih kalah unyu sama Nanda," tangkis Nanda, lalu tersenyum jail. "Mendingan Kakak ngalah deh, daripada Kak Vita ntar disamber orang. Ntar nyesel lho."

"Kak Vita tuh bukan cewek yang asal mau disamber orang kayak gitu. Makanya Kakak betah ngambek lama-lama kayak gini. Kamu nggak tau sih, masalah kali ini apa."

"Gimana Nanda mau tau kalau Kakak nggak ngasih tau. Tapi masalah apapun itu, selesaikan baik-baik, Kak. Jangan sampai berlarut-larut. Hubungan Kakak kan enggak cuma sebulan dua bulan. Sayang kalau bubaran gitu aja. Apalagi orang tua udah pada setuju begitu."

"Kok jadi nasehatin Kakak sih, Dek?"

"Abisnya Kakak kayak bocah, sih."

"Iya deh, iya. Sekarang kamu emang udah dewasaan." Rafael akhirnya mengalah. "Tapi pokoknya, kamu ntar berangkatnya sama Kakak aja, ya."

"Yakin enggak sama Kak Vita? Trus Kak Vita gimana donk?"

"Paling ... sendirian. Atau kalau enggak ngajakin sepupunya."

"Kalau dia ngajakin cowok lain?"

"Enggak mungkin."

"Semuanya serba mungkin, Kak Rafa?"

"Kamu lagi nakut-nakutin Kakak, ya?"

"Bukan nakut-nakutin, tapi mencoba bikin hati Kakak meleleh biar bisa ngalah."

Tapi usaha Nanda sia-sia. Rafa tetap teguh pada pendiriannya. Dia akan tetap seperti ini sampai Vita membatalkan keputusannya, meski agak ngeri juga dengan apa yang dikatakan Nanda. Kalau saat acara pernikahannya Afra nanti Vita sampai bawa cowok lain, entah apa yang akan terjadi pada hatinya. Mungkin akan seperti gelas yang dibanting dari lantai 20. Hancur berantakan.

*     *     *     *     *

"Ini buat lo, Ngga."

Bisma menyodorkan kertas berwarna coklat muda dengan hiasan pita keemasan di tengahnya itu pada Rangga yang tengah mengenakan sepatunya. Pada kertas itu, foto Afra dan Morgan tampak menempel dengan manis. Sangat serasi. Afra mengenakan gaun pengantin putih mirip dengan gaun yang biasa dikenakan Momoko dalam serial kartun wedding peach, sementara Morgan mengenakan setelan jas dengan warna senada. Entah itu foto editan atau asli, mengingat persiapan pernikahan mereka yang sangat singkat.

Rangga menerimanya tanpa bersuara, lantas membenarkan tali sepatunya kembali. Pemuda berpipi cubby itu langsung berdiri dan berjalan menuju pintu tanpa menengok Bisma sama sekali usai menyelesaikan kegiatannya.

"Lo mau dateng sama Shita, Ngga?" Suara Bisma berhasil menghentikan langkah Rangga, tepat di belakang pintu kamar yang telah sedikit terbuka.

"Emang mau dateng sama siapa lagi? Gue kan cuma punya satu cewek, Shita doank." sahutnya seraya memutar kepala ke arah Bisma. Tatapannya tajam, seolah ingin menikam hati Bisma yang sebenarnya sudah sakit. "Emang kenapa?"

"Bokap lo ... pasti dateng juga, kan?! Gue cuma pengen lo hati-hati aja."

Rangga tercenung. Ia baru menyadari kalau orang tuanya juga kenal baik dengan orang tua Morgan. Mereka pasti akan datang ke acara pernikahan itu. Kalau sampai papanya melihat dia membawa Shita, bukan tak mungkin papanya akan kalap seperti waktu itu. Tapi ... bukankah waktu itu Rangga bisa menentang papanya? Rangga yakin kalau sampai papanya melakukan sesuatu, dia pasti akan bisa mengatasinya. Lagipula, tidak mungkin papanya akan marah-marah kepadanya di depan umum seperti itu.

"Terima kasih atas perhatian lo. Tapi gue udah mikirin itu, dan gue yakin bisa mengatasinya," ucap Rangga, lantas benar-benar pergi meninggalkan Bisma yang saat itu masih mematung karena lagi-lagi disuguhi sikap dingin oleh Rangga.

Beberapa hari ini, tepatnya sejak Rangga tahu bahwa kini Bisma tak lagi pacaran dengan Nanda dan malah memutuskan untuk berhubungan dengan Raisya, Rangga bersikap sinis kepada Bisma. Apalagi sejak tiba-tiba Bisma membawa seorang teman untuk sekamar dengan mereka menggantikan Morgan. Sikap dingin Rangga semakin menjadi.

Rangga tak pernah tahu betapa tertekannya hati Bisma saat ini. Berhubungan dengan manusia sayko seperti Raisya nyaris membuatnya gila. Bagaimana tidak? Selain ponselnya yang kini disita oleh gadis sarap itu, kini dia juga tak bisa bebas berbuat apapun karena Raisya meminta salah seorang temannya untuk mengawasi gerak-geriknya. Ya, teman sekamar yang menggantikan Morgan itu sebenarnya adalah kiriman Raisya untuk mengawasi Bisma. Bisma kini tak bisa bebas berbicara dengan kawan-kawannya karena pemuda bernama Riko itu selalu menguntitnya kemanapun dia pergi.

Raisya sebenarnya juga memberi Bisma sebuah ponsel untuk memperlancar hubungan mereka. Tapi, ponsel itu hanya bisa ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Raisya. Bisma tak hapal nomor siapa pun. Jangankan nomor teman-temannya. Nomor rumah, nomor orang tua, nomor adiknya, bahkan nomor Nanda pun ia tak hapal. Konyol, memang.

Bisma semakin tertekan ketika mendapati Rangga, Reza, dan Diana yang kini berubah sinis kepadanya. Sekarang pemuda itu seperti tak punya siapa-siapa untuk berbagi. Dunianya kini seperti hanya dihuni oleh Raisya, Riko, dan dirinya sendiri. Ia tak bisa berinteraksi dengan siapa pun karena selalu dibuntuti oleh kedua orang itu. Di asrama, Riko yang selalu mengawasinya. Sementara di kampus, Raisya selalu siap sedia mengekorinya kemana pun ia pergi.

Sebenarnya Bisma ingin sekali berlari dari dunia yang seakan memenjarakannya itu. Ia sangat merindukan Nanda. Ia ingin sekali menjelaskan kepada gadis itu bahwa semua ini bukan kemauannya. Tapi Bisma tidak tahu bagaimana caranya. Otaknya yang sudah penat seperti tidak mau diajak bekerja. Buntu.

*     *     *     *     *

"Gue dapet bocoran tentang mereka," ujar Fryda, begitu ia sampai di meja yang ditempati Ilham. Gadis itu langsung menyeret kursi di seberang meja Ilham, lantas mendudukinya.

Sore ini, mereka memang janjian untuk bertemu di kafe depan kampus. Fryda ingin memberitahu Ilham bahwa ia mengetahui sesuatu tentang hubungan Bisma dan Raisya, sementara Ilham sendiri juga ingin memberitahu sesuatau pada Fryda.

Dahi Fryda mengerut samar melihat Ilham yang tampak lesu di tempat duduknya. Ilham bahkan tak begitu antusias mendengar perkataannya. Padahal beberapa hari lalu, Ilham sering menanyai Fryda tentang masalah ini.

"Ada apa? Kok muka lo ditekuk gitu?" tanya Fryda, usai memesan minuman pada pelayan kafe.

"Enggak ada. Gue cuma lagi penat aja." Ilham lalu menghela napas, lantas menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Pemuda itu memalingkan wajah ke jendela kaca di sampingnya, memandang senja dengan tatapan menerawang.

Merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda itu, Fryda berpikir untuk memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara duluan. "Tadi lo bilang mau ngomong sesuatu sama gue? Mau ngomong apaan?"

Ilham belum menjawab sampai beberapa detik berselang. Pemuda itu masih saja memandangi senja yang kian memerah di ujung barat. Sementara itu, Fryda masih setia menunggu kediaman Ilham sampai pemuda itu memutar wajah menghadapnya kembali, lantas bergumam, "Gue pengen berhenti."

"Apa?" Fryda merasa kurang jelas dengan apa yang dikatakan Ilham. Alis gadis itu terangkat, meminta penjelasan kepada orang yang mengajaknya bicara.

"Kalau ... seandainya gue ngelepas dia aja menurut lo gimana?"

"Ngelepas dia? Siapa?"

"Ya Raisya, lah. Emang lo pikir siapa?"

"Emmm ... Itu sih, terserah lo, Am. Tapi coba dengerin informasi yang gue dapet. Siapa tahu bisa mengubah keputusan lo." Fryda memperbaiki duduknya sebelum ia memulai cerita.

"Lo pasti tahu kan, kalau Bisma punya teman baru yang sekarang sekamar sama dia?" ujar Fryda, seraya menyipitkan mata.

Di seberangnya, Ilham mengerutkan kening, lantas mengangguk. "Riko, maksudnya? Apa hubungannya sama dia?"

"Riko itu suruhannya Raisya. Beberapa hari ini gue ngebuntutin dia, dan gue denger pas dia lagi telponan sama entah siapa, kalau dia tuh asyik-asyik aja ngawasin Bisma buat Raisya kayak gitu."

"Ngawasin Bisma buat Raisya? Untuk apa?"

"Gue rasa sih, sebenarnya Bisma terpaksa macarin Raisya. Kayaknya dia diancem gitu. Lo lihat ekspresinya tiap kali kita ketemu sama dia, kan? Masam. Muram. Kalau dia emang niat macarin Raisya, harusnya dia bahagia, donk. Secara, hubungan mereka kan masih anget-angetnya."

"Maksud lo, Raisya maksa Bisma buat macarin dia, gitu."

"He em. Gue denger lagi dari Riko nih ya, Raisya tuh kalau terobsesi sama sesuatu suka agak berlebihan. Nyaris seperti orang sayko. Sory kalau gue harus bilang kayak gini, karena memang begitulah kenyataannya. Raisya itu sebenarnya agak sakit, dan lo harus sembuhin dia kalau lo emang beneran cinta sama dia."

"Sakit? Maksud lo ...?"

"Sakit jiwa," sahut Fryda. "Tapi bukannya gila. Sakit jiwa kan banyak macemnya. Seperti yang gue bilang tadi. Dia hampir kayak sayko. Apa malah ... udah sayko, ya? Pokoknya, ya, gitu lah."

"Tapi gue bisa ngapain buat dia? Gue nggak punya obat. Gue bukan psikiater. Apalagi dokter."

"Orang kayak Raisya itu sebenarnya nggak butuh psikiater, apalagi dokter. Dia cuma butuh orang-orang yang bener-bener care sama dia. Yang bener-bener sayang sama dia. Lo harus tunjukin sayang lo kalau mau Raisya nggak kayak gitu lagi. Lo harus ngasih tahu hal-hal positif sama dia biar dia juga punya pandangan positif dalam hidupnya."

"Tapi gimana gue bisa tunjukin sayang gue kalau dia aja sekarang selalu sama Bisma?"

"Kalau lo beneran mau, sebenarnya banyak cara. Dengan catatan, lo harus mau, dan lo harus punya niat yang ikhlas buat nyembuhin Raisya. Gue rasa selain lo, nggak ada yang bisa nyembuhin dia. Keluarganya nggak bisa diandelin. Orang tuanya udah cerai. Mamanya pergi ke luar negeri. Dia cuma ikut sama papa dan mama tirinya sekarang. Dan gue rasa, itu yang bikin dia jadi sayko."

"Lo tahu sampai sejauh itu? Dari mana lo tahu?"

"Nguping." Fryda nyengir. "Gue denger dari Riko yang entah telponan sama siapa itu tadi."

"Bakat juga lo jadi penguntit, ya?"

"Buat hal yang baik, nggak ada salahnya, kan?!"

Perbincangan mereka terhenti sejenak karena pesanan Fryda telah datang. Secangkir capucino. Fryda memang pecinta kopi sejak masih duduk di bangku SMA. Kegemarannya menggambar membuat dia sering mendapat pesanan design dari beberapa kawan, sehingga dia harus sering tidur larut malam. Alhasil, ia mengkonsumsi minuman yang sebenarnya tidak terlalu bagus untuk kesehatannya itu.

Fryda menyesap minumannya sekali, lantas memperhatikan Ilham yang kini tengah merenung. Pemuda itu bersandar di kursinya dengan mata menatap kosong pada gelas minumannya yang tinggal setengah.

Beberapa menit membiarkan meja mereka sunyi, Fryda akhirnya membuka suara kembali, "Jadi gimana?" tanyanya.

Ilham sedikit tersentak, lalu mengangkat kepala menatap Fryda. "Apa? Gimana apanya?"

"Lo masih berniat mau berhenti, apa mau nyembuhin Raisya?"

Pemuda itu tak langsung menjawab. Ia menghela napas sedikit berat, lantas berkata, "Bakal gue pikirin." Ia kemudian memperbaiki duduknya, lalu mengambil gelas di hadapannya dan meminum isinya. "O iya, malam minggu besok gue dapet undangan ke acara pernikahan temen gue. Lo mau nggak, nemenin gue?"

"Gue?" Dahi Fryda mengernyit. Tampak Ilham mengangguk di seberangnya. "Sampai malem nggak?"

"Pastinya."

"Eum ... Di sini gue nggak punya saudara. Kalau sampai malem, gue musti nginep di mana donk?"

"Lo bisa nginep di rumah gue kalau lo mau."

"Ih, ogah. Ntar dikira gue calon istri lo lagi!"

Ilham terkekeh, lantas menimpali, "Biarin aja. Gue malah punya niat mau ngenalin lo sebagai pacar gue sama orang tua gue."

"Jangan macem-macem, Ilham." Candaan Ilham sukses membuat Fryda melotot lebar. Ilham justru tertawa melihat Fryda marah seperti itu. "Tunggu," Fryda menyipitkan mata, dan memandang penuh selidik ke Ilham. "Jangan-jangan lo mau ngelepas Raisya gara-gara lo udah mulai punya niat buat bener-bener ngedeketin gue, ya?"

"Wuih, ke-GR-an." Ilham mengelak. "Eh, tapi, kalau gue beneran mau ngedeketin lo gimana?"

"Siap-siap aja patah hati," sahut Fryda cuek. "Pokoknya, cari penginapan buat gue, atau gue nggak mau nemenin lo."

"Iya, iya, bawel. Ntar gue cariin penginapan buat lo."

*     *     *     *     *

Reza uring-uringan saat melihat namanya tertera pada jadwal jaga untuk malam minggu ini. Malam minggu ini dia harus menghadiri pesta pernikahan Morgan. Dia juga punya rencana mau menginap di rumah Diana, dan sudah janjian dengan papanya Diana untuk memancing bersama. Reza tidak mau kehilangan moment itu hanya karena tugas yang sebenarnya bukan tugasnya. Minggu kemarin dia sudah ngerem di asrama. Minggu ini, pasti dia diminta menggantikan pengurus lain, dan dia tidak mau. Maka, kini ia tengah belingsatan mencari Dewa, mahasiswa yang sering membuat jadwal jaga itu.

"Eh, Dewaruci. Sini lo!" teriaknya, ketika matanya menangkap kelebatan Dewa di taman asrama. Hampir pemuda berwajah ceking dengan rambut ikal sebahu itu kabur kalau tangan Reza tidak segera meremas bajunya dan menyeretnya mendekat. "Enak aja mau kabur. Ganti nih jadwal." Reza melempar kertas jadwal itu ke muka Dewa dengan kejam. "Minggu kemarin gue udah jaga, masa' sekarang suruh jaga lagi? Emang gue satpam, apa?"

"Abis gimana, Za, banyak yang ijin nggak bisa jaga minggu ini. Pada ada acara kayaknya."

"Lo pikir gue juga nggak ada acara?" Mata Reza melotot penuh, membuat nyali Dewa ciut. "Ganti jadwalnya. Minggu ini gue mau keluar, dan nggak tidur di asrama."

"Tapi, Za ...."

"Ganti, atau gue bakalan ngambek dan nggak mau jaga-jaga lagi."

"Aduh, trus gue musti cari siapa lagi donk?"

"Ya terserah. Kenapa lo nggak maksa orang yang giliran jaga aja?"

"Pada ada acara, Za. Penting katanya."

"Pokoknya terserah. Kalau lo nggak ganti juga tuh jadwal, gue bakal ngacak-ngacak kamar lo," tanpa mempedulikan Dewa yang saat itu mukanya ditekuk-tekuk penuh kekhawatiran, Reza langsung pergi dari sana, keluar asrama putra, dan masuk ke asrama putri.

Pemuda itu masih ngedumel-dumel di sepanjang perjalanan, tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya. Bahkan, sapaan satpam di tiap gerbang yang dilaluinya pun tak ia gubris. Dia tengah jengkel sekarang.

Ketika Reza hendak menaiki tangga menuju lantai dua asrama putri, langkahnya terhenti. Ia menatap sekelililingnya dengan jidat berkerut. "Asrama putri? Kok ini asrama putri?" Pemuda itu masih menapakkan sebelah kakinya pada anak tangga paling bawah, tanpa menggerakkan kaki yang sebelahnya lagi. Ia masih seperti orang linglung, mencoba mengingat-ingat apa yang ingin ia lakukan di sini.

"Emang ini asrama putri!" seru sebuah suara. "Lo pikir lo lagi di mana? Di hotel?" Reza menengok ke sumber suara itu, dan menemukan seorang gadis berambut panjang hendak menaiki tangga juga. Shita. "Mau ngapain lo sore-sore gini udah kelayapan ke asrama putri?"

"Gue aja bingung mau ngapain ke sini." Reza memutar bola matanya ke atas, mencoba menggali ingatan kembali. Tapi ia benar-benar lupa apa yang harus dilakukannya. Pemuda itu menggeram keras, lantas balik kanan dan berjalan menuju pintu keluar asrama putri.

"Dih, linglung tuh anak," ujar Shita seraya menggelengkan kepalanya.

Reza masih mencoba mengingat apa sebenarnya tujuan dia datang ke asrama putri. Dia merasa bukan seorang pelupa. Belum pernah ia sampai linglung tingkat akut seperti itu. Apa mungkin efek dari masalah yang menimpanya akhir-akhir ini jadi membuat syaraf pengingatnya sedikit cidera. Eh, ini buka cuma sedikit, tapi sangat cidera. Ia sekarang benar-benar jadi seperti orang yang terkena amnesia.

Ketika pemuda itu hampir mencapai pintu gerbang, langkahnya terhenti. "Gue tadi kan mau lihat Diana. Mau lihat lukanya udah mendingan apa belum? Arrrggghhh...," Akhirnya pemuda itu balik kanan lagi setelah mengacak-acak rambutnya dengan kesal.

*     *     *     *     *

Diana meringis-ringis menahan perih di kakinya saat cairan hitam itu menembus kulitnya yang luka. Setelah obat yang ia teteskan ia rasa cukup, gadis itu membalut lukanya yang kini sudah hampir sembuh. Meski masih ada memar di lutut dan lengannya, juga masih ada luka basah di beberapa bagian tubuhnya, tapi sebagian luka telah mengering.

Gadis itu menatap tangan mulusnya yang kini dihiasi bercak kehitaman di sana sini. "Jelek amat sih, tangan gue sekarang," ujarnya sambil manyun. "Kalau tangan gue kayak gini terus, Kak Reza pasti bakal kabur ninggalin gue."

"Siapa bilang?" Sebuah suara membuatnya tersentak. Ia menengok ke pintu kamar yang terbuka, dan menemukan pemuda tampan dengan rambut acak-acakan berdiri di ambang pintu. Pemuda itu tersenyum manis, membuat Diana ikut mempersembahkan senyumnya.

"Kak Reza?"

"Denger, ya," kata Reza, seraya berjalan mendekati Diana yang duduk di ranjangnya.  "Meskipun tangan kamu jelek, kaki kamu jelek, muka kamu keriput, Kakak akan tetap selalu sama kamu. Sebab, Kakak sayang sama kamu bukan karena fisik kamu, tapi ... hati kamu."

Diana merasakan wajahnya memanas. Ada rona merah yang tiba-tiba menyembul di pipinya yang putih, apalagi saat Reza berlutut di hadapannya, seraya menggenggam kedua tangannya. "Jangan khawatir. Kakak nggak akan pernah ninggalin kamu." Ucapan yang terdengar tulus dari mulut Reza itu sukses membuat hati Diana semakin melambung. Diana tak tahu apakah Reza hanya tengah menggombal, atau hanya merayu saja. Tapi, apapun itu, kata-kata Reza benar-benar membuat angan Diana melayang ke awang-awang.

"Badan kamu udah enakan?" tanya Reza, membuat Diana kembali menapak bumi.

"Udah," jawabnya. "Tapi ngelihat kaki sama tangannya Diana jadi aneh, ya? Ada bercak-bercak itemnya kayak gini."

"Ntar juga sembuh. Tenang aja." Reza menenangkan, seraya mengelus lembut rambut Diana.

Ketika rambutnya dielus, Diana baru sadar dengan rambut Reza yang berantakan. Ia menatap aneh rambut kekasihnya itu dengan kening mengerut, lantas bertanya, "Rambut Kakak kenapa? Kok ...,"

Belum sampai Diana menyelesaikan kata-katanya, Reza memegang rambutnya, lalu berdiri dan buru-buru berkaca pada cermin yang tergantung di dinding. Benar saja. Rambutnya berdiri semrawut nyaris seperti landak yang habis perang. Pemuda yang selalu memperhatikan style rambutnya itu kini salah tingkah. Ia paling tidak suka kalau rambutnya terlihat mengerikan. Ia kemudian mengambil sisir, lalu merapikan rambutnya.

"Jangan khawatir, meskipun rambut Kak Reza jelek, Diana tetep cinta kok sama Kak Reza."

Reza tertawa mendengar Diana ngegombal seperti itu. "Udah pinter ngegombal ya, sekarang?"

"Kan Kakak yang ngajarin." Lalu mereka berdua sama-sama tergelak.

"O iya, Kakak tadi ke sini karena mau ngomong sesuatu sama kamu," ujar Reza, usai memastikan rambutnya tak lagi berantakan.

"Mau ngomong apa?"

"Eum ... Malam minggu ntar, kalau kita ke tempat kamu pakai motor Kakak enggak pa-pa, kan?" Kening Diana berkerut. Kemarin dia pikir mau pulang bertiga bareng Bisma. Tapi kok jadi pakai motor?

Seolah mengerti kebingungan Diana, Reza melanjutkan, "Bisma nggak jadi pulang bareng kita. Dia mau sama Raisya. Sebenarnya dia minta Kakak pakai mobilnya, sih. Tapi Kakak lagi BT sama kakak kamu. Kakak lagi kesel. Jadi Kakak tolak aja. Kamu pakai motor nggak pa-pa, kan?"

Diana tampak merenung. Air mukanya berubah cemas. Reza jadi sedikit tak enak.

"Apa ... kamu nggak suka naik motor?"

"Eh, enggak. Suka kok. Pakai motor juga nggak pa-pa."

"Tapi kok kayaknya kamu khawatir gitu? Takut jatuh, trus terluka lagi?"

"Enggak Kak Reza, bukan itu," elaknya. "Diana cuma mikirin Kak Bisma. Apa ... nanti Kak Bisma mau bawa Kak Raisya ke rumah?"

"Kakak nggak tahu. Dia nggak ngasih tahu Kakak, dan Kakak juga males nanya dia. Lagian juga bukan urusan Kakak. Emang kenapa?"

"Diana nggak bisa bayangin aja gimana shock-nya Mama sama Papa kalau lihat Kak Bisma bawa pacar baru."

"Emang kamu belum bilang sama Mama Papa kamu kalau Bisma sama Nanda udah putus?"

"Belum. Diana nggak mau ngomong. Biarin aja Kak Bisma sendiri yang ngomong." Diana diam sejenak untuk menghela napas, lalu melanjutkan. "Semenjak Kak Bisma pacaran sama Kak Raisya, Kak Bisma berubah. Dia jadi nggak pernah nengokin Diana. Jangankan nengokin. Telpon atau sekedar sms aja nggak pernah. Kemarin Papa telpon Diana nyari Kak Bisma. Katanya telpon Kak Bisma enggak diangkat-angkat. Gimana mau angkat, orang dia lagi tukeran HP sama Kak Raisya. Kak Raisya pasti nggak berani angkat telpon Papa."

"Tukeran?"

"He em. Diana juga bingung. Ngapain Kak Bisma sok-sokan pakai tuker-tuker HP segala? Kalau Kak Raisya bilang sih Kak Bisma nggak suka kalau Kak Raisya berhubungan dengan cowok lain. Makanya dia tukeran HP biar dia bisa meringatin cowok-cowok yang suka nelponin Kak Raisya."

"Kok kamu tahu?"

"Waktu itu Diana pernah mau telpon Kak Bisma. Soalnya kan Kak Bisma nggak biasanya nyuekin Diana kayak gini. Apalagi pas Diana lagi sakit begini. Tapi waktu Diana telpon, yang angkat Kak Raisya. Trus Kak Raisya bilang kayak gitu. Kasihan ya, Kak Raisya. Kenapa sih, Kak Bisma jadi over protectiv sama pacar kayak gitu? Heran deh."

"Pokoknya Bisma tuh emang udah berubah. Dia udah nggak asyik lagi sekarang. Makanya Kakak BT sama dia," ujar Reza setengah sewot. "Ya udah, jadi ntar kita pulang pakai motor Kakak aja nggak pa-pa, ya. Kakak nggak akan ngebut-ngebut kok. Janji deh."

Diana tersenyum, lantas mengangguk. Senyum itu kini tak semanis tadi. Reza melihat ada kabut di mata gadis itu. Reza tahu, Diana pasti tengah mengkhawatirkan kakaknya. Meski kadang-kadang Diana dan Bisma sedikit tidak akur, tapi keduanya sangat saling menyayangi. Dia juga tak mengerti kenapa Bisma bisa berubah drastis seperti itu.

*     *     *     *     *

Bersambung
By: Novita SN

No comments:

Post a Comment