Saturday, December 26, 2015

Ketika Cinta bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 82

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mendingan sekarang kita cari minum." Suara Om Faisal terdengar lagi. "Mama harus minum biar Mama tenang."

"Baiklah. Ayo."

Tante Fani menggamit lengan suaminya, lantas mengajaknya berjalan menuju salah satu meja. Belum sampai mereka di meja yang mereka tuju, langkah mereka terhenti. Mata Tante Fani membola. Nafasnya tercekat. Dadanya tiba-tiba tambah bergemuruh.

"Jeng Riska?"

"Jeng Fani?"

Di depan Tante Fani, Tante Riska pun menunjukkan keterkejutan yang sama. Bahkan selama beberapa detik mereka hanya saling menatap, tanpa melakukan apapun atau bicara apapun. Om Faisal yang pertama kali bergerak dari gemingnya dan maju ke depan mendekati Om Subroto.

"Wah, Pak Subroto kebetulan sekali ketemu di sini," ucapnya, lantas menyalami dan memeluk relasinya itu. Kedua lelaki itu menoreh senyum meski sama-sama kaku. Begitu kedua lelaki itu bergerak, Tante Fani dan Tante Riska baru bersalaman lantas cupika cupiki.

Suasana masih sedikit hambar hingga beberapa saat kemudian, hingga Om Feisal membuka perbincangan dengan mengomentari sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan.

Awalnya mereka sama sekali tidak menyinggung soal anak-anak. Tante Riska mengikuti permintaan Nanda untuk tidak memulai membahas hubungannya dengan Bisma, kecuali jika Tante Fani yang memancingnya untuk membahas. Sementara, Tante Fani juga tidak berniat untuk membahas anaknya dengan putri dari perempuan yang ada di hadapannya itu sampai ia menemui Bisma dan mengetahui kebenarannya.

Namum, agaknya Om Faisal sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Nanda dan Bisma. Ia masih ingat telponnya yang tidak diangkat beberapa hari lalu. Sms, BBM, dan semua pesanya juga tidak ada yang ditanggapi. Terakhir yang membuatnya was-was dan khawatir adalah malam ini. Anak lelakinya tidak pulang, tidak memberi kabar, dan tidak memberitahukan keberadannya. Sebenarnya perasaan Om Fasial sama seperti Tante Fani. Hanya saja, ia masih lebih bisa menahan diri daripada Tante Fani.
Sekarang merekaa sudah ada di depan orang yang kemungkinan lebih tahu permasalahan anaknya daripada mereka. Ia pikir tidak ada salahnya kalau iaa mencoba bertanya.

"O iya Pak Subroto, Nak Nanda mana?" Tanyanya.

Om Subroto sepertinya agak kaget mendengar Om Faisal yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Sejak tadi mereka memang mengisi perbincangan mereka dengan mengomentari pengantin di depan sana, juga suasana pesta yang meriah malam ini. Om Subroto jadi agak salah tingkah. Pasalnya, pertanyaan itu sebenarnya adalah hal yang ia hindari. Sampai sekarang belum banyak yang tahu keadaan Nanda sebenarnya. Nanda juga masih tidak ingin banyak orang tahu tentang penyakitnya, apalagi keluarga Karisma. Keluarga yang selalu merasa bersalah tiap kali mengingat bahwa keadaan Nanda kali ini secara tidak langsung disebabkan oleh putranya.

Setelah berdehem kecil, Om Subroto akhirnya menjawab, "Ada, Pak." Pria tengah baya itu berpikir apakah ia harus mengatakan kalau Nanda bersama kakaknya atau tidak. Tapi, mengingat pertanyaan Om Faisal yang hanya menanyakan anaknya, Om Subroto mengambil kesimpulan bahwa kedua orang tua Bisma sepertinya telah tahu tentang hubungan Bisma dan Nanda yang telah usai. Jadi, ia menambahkan, "Tadi Nanda sama kakaknya. Nggak tahu mereka lagi di mana sekarang. Kami juga belum ketemu." Kalimat terakhirnya sengaja ia ucapkan agar kedua orang itu tidak sampai berkeinginan untuk bertemu Nanda.

"Anak-anak ...," kata-kata Om Faisal menggantung. Tapi kemudian, pria itu melanjutkan. "Apa Pak Subroto tahu masalah anak-anak? Yach... Seperti yang kita lihat, mereka datang ke pernikahan sahabat mereka ini sendiri-sendiri. Apa Nanda bercerita kenapa mereka seperti itu?"

Salah. Ternyata perkiraan Om Subroto salah. Orang tua Bisma belum tahu apa-apa. Pria itu semakin salah tingkah karena bingung harus menjawab apa. Ia melirik istrinya, dan ternyata sepertinya Tante Riska pun tengah gelisah. Wanita itu menggigit-gigit bibirnya, sambil mengalih-alihkan pandangannya dari Om Faisal, lalu ke Om Subroto, lalu ke minuman di tangannya, lalu ke Tante Fani, dan ke Pak Subroto lagi.

"Kalau jeng Riska atau Pak Subroto tahu tentang masalah mereka tolong beritahu kami." Kali ini Tante Fani yang berbicara. "Kami sangat mengkhawatirkan Bisma. Sudah berhari-hari anak itu susah dihubungi. Dan malam ini ... Malam ini dia tidak pulang." Mata Tante Fani sudah digenangi air.

Di depannya, Tante Riska dan Om Subroto tampak terperangah. Menurut cerita Rafa beberapa waktu lalu, Bisma telah meninggalkan Nanda demi perempuan lain, dan Rafa yakin bahwa Bisma--yang menurut Rafa brengsek itu--sangat bahagia bersama perempuan yang ia pilih. Seharusnya kalau dia merasa bahagia, dia tidak akan menghindari orang tuanya seperti ini. Seharusnya dia tidak membiarkan orang tuanya sekhawatir ini. Apa anak itu tidak enak pada orang tuanya yang sangat menginginkan dia bersama Nanda?

"Tadi saya sempat telpon dia," suara Tante Fani terdengar lagi. "Dia tidak seperti biasanya. Suaranya seperti tertekan. Dia sepertinya agak frustrasi." Satu bening meluncur ke pipi Tante Fani. "Ada apa sebenarnya?"

Om Faisal buru-buru meraih pundak istrinya, lalu meremasnya.

"Kami tahu kalian tahu sesuatu." Suara Om Faisal terdengar bergetar. Tampak sekali kalau pria itu tengah menahan perasaan campur aduk di dadanya. "Tolong beritahu kami sebenarnya ada apa sama mereka?"

Om Subroto menghela napas berat, sementara Tante Riska memainkan tangannya yang memegang gelas. Mereka benar-benar bingung harus menjawab apa. Bisma frustrasi? Kalau memang harus ada yang frustrasi dalam masalah ini, seharusnya Nandalah yang mengalaminya. Dia ditinggalkan begitu saja oleh Bisma demi perempuan lain, dan karena hal itu penyakitnya sampai kumat dan menghilangkan penglihatannya. Tentu saja selain sakit hati, anak semata wayang Pak Subroto itu juga pasti sangat terpukul dan merasa sama sekali tidak berdaya. Lalu kenapa malah Bisma yang jadi frustrasi?

"Kalau memang kalian tidak ingin banyak bercerita, tolong beri kami satu kata saja yang membuat kami tahu sesuatu. Saya mohon." Tante Fani sampai melipat tangan di depan Tante Riska demi mendapatkan sedikit saja informasi tentang anaknya.

Tante Riska buru-buru meraih tangan Tante Fani yang terangkat, lalu menurunkannya. "Ya Ampun, Jeng Fani tidak perlu sampai seperti ini."

"Saya mohon, Jeng. Satu kata saja."

Tante Riska kembali mengalih-alihkan pandangannya, membuat Tante Fani tidak sabar.

"Satu kata."

"Putus," ucap Tante Riska akhirnya.

Kedua tengah baya itu sontak terperangah. Tante Fani mengangkat tangannya, lantas menutup mulutnya sendiri. "Apa?" gumamnya, merasa tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Mereka putus." Pak Subroto memperjelas. "Setahu kami seperti itu. Tapi kami juga tidak tahu kenapa Bisma sampai sefrustrasi itu karena menurut berita yang kami dengar, Bisma yang meninggalkan Nanda demi orang lain." Tadi Reza juga mengatakan hal itu. Pikir Tante Fani. Berarti itu tidak salah. Bisma selingkuh dan memilih putus dari Nanda demi selingkuhannya. Tapi sekarang dia tertekan sendiri. Kenapa? Ada apa? Sebenarnya apa yang terjadi pada anaknya? Hati Tante Fani semakin bertanya-tanya.

*     *     *     *     *

Bisma menatap nanar sepasang pengantin yang tengah menjalani setiap proses dari resepsi itu di pelamainan. Mereka tampak amat sangat bahagia.   Seharusnya dia juga ikut berbahagia. Seharusnya dia juga itu tertawa. Seharusnya dia di sini bersama Nanda. Saling menggamit sambil berbisik mengomentari pasangan di depan sana. Tapi apa yang ia lakukan saat ini? Dia malah memasang tampang murung bersama orang yang sama sekali tidak ia inginkan, dan membiarkan orang yang disayanginya dalam kegundahan. Bahkan, ia harus menghindari orang tuanya di tempat yang seharusnya bisa ia gunakan untuk bercengkerama.

Ah, kesalahan itu. Kenapa efeknya bisa sefatal ini? Bisma memebatin frustrasi.

"Bii, ntar nyanyinya jadi, kan?!" Bisma diam. Malas rasanya mengeluarkan suara untuk gadis saiko yang menggamit tangannya itu. "Bii..."

Bisma berdecak, lalu bersedekap. Harus berapa kali dia tanya? Bukankah Bisma tadi sudah bilang iya? "Bii, jadi, kan?"

"Iya, aku tadi kan udah bilang iya," sahut Bisma jengkel. "Tapi kamu ntar di sini aja jangan ke mana-mana, ya. Jangan bertingkah yang aneh-aneh. Ini acara sakral temenku. Aku nggak mau bikin ribut. Jangan sampai gara-gara kamu semua jadi kacau. Tuan rumahnya nggak suka kalau aku datang sama kamu."
Wajah Raisya yang tadi tampak ceria berubah hambar. Seperti ada benda tajam yang menusuk hatinya saat kata-kata itu meluncur dari mulut orang yang sangat dikasihinya itu. Ia bahkan sampai melepas gamitannya di tangan Bisma demi memegangi dadanya yang ngilu.

Tapi kemudian, ia kembali tersenyum dan meraih tangan Bisma lantas menjawab,"Iya. Aku akan nunggu kamu di sini aja. Nggak akan ke mana-mana."

"Bagus."

Bisma melepas gamitan tangan Raisya di lengannya, lantas berjalan menuju sebuah panggung yang berada di samping kiri pelaminan. Ia menemui salah seorang yang ada di panggung itu, lantas mengutarakkan niatnya. Agaknya keinginan Bisma disambut baik. Karena setelah itu Bisma tetap di sebelah panggung menunggu waktu yang tepat untuknya manggung.

*     *     *     *     *

Dahi Ilham mengernyit begitu melihat perubahan pada raut muka Raisya. Sejak tadi Ilham memperhatikan setiap gerak gerik Raisya juga Bisma, dan ia tidak menemukan kesedihan di muka Raisya meski Bisma menyuguhkan wajah tak sedap. Baru kali ini Ilham melihat kegembiraan Raisya seperti tercerabut, dan itu membuat Ilham tidak nyaman.

Tanpa sadar, pemuda itu melangkahkan kaki menuju tempat Raisya berdiri, meninggalkan Fryda yang terkesima menatap pengantin di pelaminan. Fryda baru menyadari Ilham meninggalkannya saat Ilham sudah berjalan beberapa meter. Ia mengikuti Ilham kemudian.

"Sya..." Belum ada sahutan sampai beberapa detik menjelang. Raisya masih memegangi dadanya sambil menatap kosong pada lantai marmer di bawahnya. "Sya?" Kali ini Ilham berhasil menyadarkan gadis itu dengan remasan tangannya di pundak Raisya.

"Ilham?" Raisya memaksakan seulas senyum, lantas mengangkat wajah menatap Ilham. Untuk ke sekian kalinya Ilham melihat bening yang memenuhi kelopak mata cantik milik orang yang telah merebut hatinya itu. Ilham menghela nafas, tak tahu lagi apa yang harus ia katakan.

Sementara itu, gadis di depannya mendangakkan muka, berusaha membuat air matanya agar tidak tumpah. Ia masih saja tersenyum, dan memperrlebar senyumnya saat ia melihat Fryda di belakang Ilham.

"Hai, Fry," sapanya.

"Hai, Sya. Lo di sini juga, ya?" Fryda masih tetap bertanya meski ia tahu betul kalau di pernikahan teman Ilham ini, ada Raisya juga yang pasti datang bersama Bisma, sebab ini adalah pernikahan sahabat Bisma. Ilham yang mengatakan itu padanya beberapa waktu lalu. Sendirian?"

"Enggak. Gue sama Bisma," jawab Raisya. "O iya, ntar Bisma mau nyanyi buat gue lho. Tuh dia lagi di samping panggung minta ijin sama house band-nya." Gadis itu berucap bangga, seolah berusaha menghilangkan kabut yang menyelimuti dadanya.

"O ya? Nyanyi apa?"

"Nggak tahu. Judulnya surprise katanya."

"Trus kenapa lo malah nangis?" Ilham yang sejak tadi kesal dengan tingkah Raisya yang mencoba sekuat tenaga menyembunyikan rasa sakitnya itu menyela.

"Gue nggak nangis," sahut Raisya, salah tingkah.

"Jelas-jelas lo nangis, Sya. Gue bisa lihat itu meski nggak ada satu orang pun tahu kalau air mata lo hampir jatuh." Ilham tampak menggebu-gebu. Capek rasanya melihat Raisya seperti ini terus. "Sya musti berapa kali gue bilang kalau ...,"

"Am?" Tarikan tangan Fryda di lengannya membuat kalimat Ilham terhenti. Ia menengok Fryda yang kini menatap sekeliling mereka, lantas mengikuti arah tatapan Fryda. Sepertinya suara menggebunya tadi mengundang perhatian orang. Ia terpaksa menelan kata-katanya lagi, lantas membuang muka sambil mendengus.

Raisya kembali memegangi dadanya dan menundukkan kepala, membuat Ilham ingin sekali membanting sesuatu untuk melepaskan kekesalannya.

*     *     *     *    *

Maafkan aku yang selalu menyakitimu

Mengecewakanmu dan meragukanmu

Tersadar aku bila kamu yang terbaik

Terima aku, mencintaiku apa adanya
Bisma menyanyikan bait lagu itu dengan penuh penghayatan. Semua kata yang keluar dari mulutnya seolah tak hanya luncuran kata dari bibir, tapi memang benar-benar ungkapan dari hatinya yang terdalam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang ikut bersenandung, membuat lagu itu begitu bernyawa dan membuat hati siapa saja yang mendengarnya langsung bergetar.

Lagu itu memang ungkapan hatinya. Gambaran dari perasaannya. Senandung dari cintanya untuk orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Orang yang tanpa dia Bisma jadi seperti mayat hidup. Tanpa gairah, tanpa semangat, beku, kaku.

*     *     *     *     *

Diantara beribu bintang
Hanya kaulah yang paling terang
Diantara beribu cinta
Pilihanku hanya kau sayang

Sejak pertama kali Nanda mendengar intro dari lagu yang kini tengah mengalun itu, ia merasa jantungnya seperti berhenti bekerja. Ia telah bisa menebak siapa orang yang menyanyikan lagu itu, bahkan sebelum suara sang penyanyi terdengar. Dan kini, setelah ia tahu bahwa tebakannya tepat, ia merasa tak hanya jantungnya yang terhenti, tapi paru-parunya pun seolah menolak untuk beraktifitas. Ia yakin lagu itu untuknya. Dan ia yakin nyanyian itu adalah ungkapan perasaan dari sang penyanyi, untuknya. Itu artinya, perasaan yang mengganjal di hatinya selama ini memang tidak salah. Bisma tidak benar-benar ingin meninggalkannya. Bisma tidak benar-benar mencintai orang yang membuatnya meninggalkan Nanda. Cinta Bisma belum berubah. Masih sama. Masih untuknya.

Keyakinan itu membuat Nanda yang tak bisa melihat kini mampu berjalan tanpa bantuan menuju pintu toilet, dan keluar dari dalamnya. Beberapa saat lalu ia memang ke toilet bersama Rafa. Gadis itu berjalan menuju pintu masuk gedung kembali, tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya yang gelap gulita baginya. Ia bahkan tak peduli ketika kakinya tersandung bak sampah di depan toilet, atau badannya yang beradu dengan badan orang lain yang hendak masuk ke toilet.
Ia terus berjalan, untuk menemukan sumber suara dari lagu yang mengalun itu. Ia ingin menunjukkan pada Bisma bahwa ia masih tetap menunggunya. Masih tetap mempercayainya, dan masih akan tetap menjadikannya bintang yang bersinar paling terang di langit hatinya.

*     *     *     *     *

Rafa terpekur di salah satu kursi panjang tak jauh dari toilet. Pikirannya melantur ke mana-mana. Lagu yang kini mengalun itu telah mengaduk-aduk isi di dalam dadanya. Beberapa saat lalu, kata-kata Nanda telah meruntuhkan sebagian kecil dari keteguhan hatinya, dan kini lagu itu hampir meluruhkan semuanya.

Bait pertama lagu itu menyadarkannya bahwa kesalahan itu memang ada pada dirinya, dan seharusnya ia meminta maaf. Bukan malah ngambek dan menghindar seperti ini, apalagi mengacuhkan kekasihnya dengan dalih ingin agar keputusan Vita berubah. Kenapa ia begitu egois? Bukankah setiap kali ia berdiskusi dengan Vita tentang keinginannya, gadis itu tidak pernah memaksa Rafa untuk menerima usulnya? Rafa sendiri yang memang merasa bahwa usul Vita benar, dan akhirnya Rafa menjalankannya. Bahkan saat Rafa tidak menerima usulan Vita, bukankah gadis itu tidak pernah menuntut apalagi sampai marah agar usulannya dituruti?

Kenyataan itu membuat Rafa semakin merasa bahwa seharusnya ia yang menyanyikan lagu yang mengalun di seluruh penjuru gedung megah itu, sebagai permintaan maafnya kepada orang yang sangat dicintainya.

Rafa sibuk dengan pikirannya sendiri, sampai iaa tak melihat kelebatan Nanda saat gadis itu tergopoh-gopoh keluar toilet. Rafa baru menyadari kalau Nanda sudah di luar ketika ia mendengar gelas-gelas berjatuhan dan suara seorang gadis memekik. Lalu ia juga mendengar suara orang-orang mendengung bercampur-campur.

Pemuda itu mengangkat wajah, dan menyernyitkan dahi menatap orang-orang yang setengah berlari menuju ke tempat seorang gadis yang tengah terjerembab di tengah jalan. Begitu pandangan matanya mampu memastikan bahwa gadis yang masih terduduk di lantai itu adalah Nanda, mata sipitnya melebar.

"Nanda?"

Pemuda itu buru-buru bangkit dan berlari menghampiri adik sepupunya.

"Maafkan, saya. Saya nggak sengaja."

Nanda masih berusaha meminta maaf pada seorang pelayan yang tadi ditabraknya, meski pelayan yang ternyata telah tahu kalau gadis di depannya tak bisa melihat itu sudah berkali-kali bilang tidak apa-apa. Nanda bahkan masih berusaha meraih-raih pecahan gelas, berusaha membantu si pelayan untuk mengumpulkan serpihan-serpihan tajam yang kini beberapa diantaranya membuat tangannya berdarah.

Pikiran Nanda sepertinya kacau balau. Ia ingin segera sampai di depan Bisma. Namun, kenyataan bahwa penglihatannya tidak bisa berfungsi membuat dia jengkel sendiri. Ia sampai tak menggubris orang-orang yang hendak menolongnya.

"Dek, kamu nggak pa-pa?" Gadis itu baru merasa lebih baik ketika mendengar suara kakaknya itu. "Tangan kamu berdarah?"

"Nggak pa-pa, Kak." Kini gadis itu mencoba bangkit. "Anter Nanda ke sana, Kak," ujarnya saat Rafa membantunya berdiri. "Pak, sekali lagi saya minta maaf. Saya nggak sengaja."

"Iya, iya, Non. Kan dari tadi saya sudah bilang nggak pa-pa."

Nanda tak lagi menggubris gumaman-gumaman pelayan itu. Ia hanya ingin cepat sampai di sana. Ke tempat di mana Bisma menyanyikan lagu untuknya. Dan dengan Rafa di sisinya, ia tahu kalau ia pasti akan cepat sampai. Sejenak lalu, ia telah melupakan kalau ia bersama kakaknya.  Orang yang untuk sementara ini menjadi matanya. Semua kegusaran itu membuat Nanda melupakan semua hal, kecuali ingatan tentang Bisma.

"Dek, pelan-pelan. Mau ke mana, sih?"

"Ke sana, Kak. Ke Bisma."

Langkah Rafa spontan terhenti. "Ke Bisma? Di mana?"

"Kakak dengar lagu itu?" Tentu saja Rafa dengar. Rafa kan nggak budeg. Lagipula lagi itu terdengar sampai ke segala penjuru.

"Apa hubungannya Si Cungkring sama lagu itu?"

"Itu yang nyanyi Bisma, Kak. Buat Nanda."

"Apa?" Rafa tak percaya pada pendengarannya. Ia merasa otak adiknya sudah tidak beres. Tergila-gila pada Bisma membuat adiknya jadi tidak waras. "Astaga, Nanda. Kamu tuh ..."

"Nanda sudah pernah bilang Bisma sebenarnya tidak ingin meninggalkan Nanda. Bisma masih mencintai Nanda. Dan itu bukan halusinasi. Tapi memang nyatanya seperti itu, Kak."

"Dek, tolong jangan bikin Kakak panik. Itu hanya sebuah lagu yang dinyanyikan sama entah siapa, dan itu sama sekali tidak ada hubungannya sama kamu."

"Itu Bisma, Kak. Nanda kenal betul suaranya. Itu suara Bisma. Dan itu lagu kita."
Rafa menghembuskan nafas tak sabar mendengar Nanda yang keukeuh, dan menurutnya itu adalah pemikiran konyol. Bagaimana bisa hanya karena sebuah lagu, adiknya jadi seperti ini.

Tubuh Nanda bergerak lagi meneruskan perjalanan, membuat Rafa terpaksa ikut mengayunkan langkah.

"Dek, please. Jangan bertindak konyol." Rafa masih mencoba menahan langkah adiknya. "Kakak tahu Bisma pasti ada di sini, dan kakak yakin dia tidak sendiri." Ucapan Rafa berhenti sejenak. Ia masih bingung apakah harus mengatakan ini pada adiknya. Tapi melihat Nanda yang setengah kalap, Rafa yakin kalau dia harus mengatakannya. "Kamu tahu sendiri Bisma ninggalin kamu karena cewek lain. Jadi kalau memang misalnya yang nyanyi sekarang itu Bisma, sudah pasti dia nyanyi lagu itu buat ceweknya, Dek. Bukan buat kamu." Rafa menekankan kalimat trakhirnya, berharap adiknya sadar dari harapan semu yang menghantui dirinya selama ini. "Maaf kalau Kakak harus mengatakan hal ini. Tapi Kakak rasa kamu harus mulai sadar kalau Bisma tuh bukan orang yang benar-benar baik buat kamu."

Nanda bergeming. Air yang menggenangi matanya tumpah. Bukan! Lagu itu tidak mungkin untuk orang lain. Hatinya masih tetap mengelak. Ia ingat betul saat pertama kali Bisma menyanyikan lagu itu untuknya di balkon kamarnya malam itu. Juga saat ia menyanyikan lagu itu untuk Bisma waktu itu. Itu memang lagu mereka. Dan hanya untuk mereka.
Kepala Nanda menggeleng-geleng. Gadis itu kembali mengayunkan langkah dengan tergesa, membuat Rafa mengerang frustrasi karena merasa Nanda sama sekali tak menggubris kata-katanya. Mau tak mau, pemuda itu mengikuti langkah adiknya yang memburu dan sesekali memegang tangan Nanda untuk menghindarkannya dari sesuatu yang akan ia tabrak di depannya.

Dan setelah melalui perjalanan melelahkan--beberapa kali menabrak orang dan terjatuh--kini Nanda berapa tepat di depan panggung. Rafa sempat tercengang saat melihat Bisma benar-benar sedang di atas panggung, memegangi mic, dan menyenandungkan lagu yang seolah benar-benar tulus keluar dari hatinya. Di depan Rafa, Nanda hanya berdiri, mendangakkan muka seolah menatap Bisma. Dan di atas panggung, Rafa bisa melihat Bisma juga menatap Nanda dengan tatap penuh kerinduan.

*    *     *     *     *

Ya ...Cuma kamu dan hanya kamu
Yang selalu ada untukku
Dan paling mengerti aku

Waktu melihat Nanda berjalan tergopoh menuju panggung, Bisma masih bertekad untuk tidak melakukan apapun. Pemuda itu meremas mic di tangannya, mencegah dirinya sendiri untuk agar tidak bertindak bodoh. Dia tidak ingin tindakan bodohnya bisa berakibat lebih fatal. Ia akan berusaha tetap berdiri di sini, dan mengekang setiap gerakan dari tubuhnya agar tidak sampai menyongsong Nanda. Ia hanya akan berdiri dan memandang kekasihnya itu dari jauh.

Namun, ketika Nanda sudah berada tepat di hadapannya, semua hal yang mengikat gerakan tubuhnya seperti tercerabut. Apalagi saat melihat basah di wajah Nanda. Hatinya memberontak keras. Ia tidak bisa membiarkannya. Membayangkan Nanda menangis sendirian saja sudah membuatnya tersiksa. Apalagi kini ia benar-benar melihat wajah kekasihnya basah. Bisma seolah lupa dengan segala akibat yang akan ditimbulkannya. Ia bahkan lupa kalau ini adalah acara pesta sahabatnya, dan bukan tidak mungkin kalau dia melakukan sesuatu di luar kendali dia bisa mengacaukan pesta besar ini.

Pemuda itu sepertinya benar-benar telah hilang akal. Ia akhirnya  menuruni panggung, berjalan tergesa ke arah kekasihnya, dan langsung menangkap lengan kekasihnya begitu ia sampai di hadapannya. Ia menatap lekat wajah Nanda, lantas mengangkat tangannya yang bebas dan mengusap pipi Nanda yang berair. Sejenak kemudian, Bisma menarik tubuh kekasihnya dan langsung menyematkan tubuh orang yang sangat dicintainya itu ke dalam pelukannya.

Bersambung
By: Novita SN
Fb: Vita Story


No comments:

Post a Comment