Friday, December 18, 2015

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 80



Sebenarnya Rangga tadi membiarkan orang tua Shita pergi duluan karena Shita belum selesai berdandan. Rangga dan Shita baru berangkat seperempat jam setelahnya. Namun, Rangga melihat mobil Om Doni berada tepat di belakang mobilnya saat ia mencari tempat parkir.

Pemuda itu tersenyum melihat mobil mereka parkir berdampingan.

"Baru nyampe, Om?" sapanya.

"Iya nih, Ngga. Maklum, mata Om udah nggak seawas waktu muda dulu. Jadi nyetirnya musti hati-hati."

"Tapi kebetulan, deh. Kita bisa masuk bareng aja," sela Tante Mira, lantas tersenyum.

Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk. Sesekali, terlontar canda dari kedua pasangan itu, sehingga mereka terlihat sangat akrab. Rangga seolah sudah menjadi bagian dari keluarga kekasihnya. Jika mereka sedang berada di tengah keluarga Shita, mereka memang merasa sangat bahagia, seperti tak ada beban apapun di dalam hati. Sangat berbeda ketika mereka berada di tengah keluarga Rangga.

Namun, sepertinya Tuhan belum ingin membiarkan sepasang muda mudi itu mengecap kebahagiaan terlalu lama. Ketika mereka hampir sampai di pintu masuk, keempatnya menghentikan langkah. Canda mereka pun seketika buyar. Tawa mereka langsung terhenti. Rangga langsung meraih tangan Shita, lantas menarik gadis itu ke belakang punggungnya.

Beberapa meter di depan mereka, Om Castano Moela tengah berdiri gagah sambil memasang muka garang. Matanya tajam menatap Om Doni, sementara tangannya mengepal kuat. Dari Om Doni, pandangan mata Om Castano beralih ke Tante Mira. Kali ini pandangannya sedikit melunak meski tetap ada tatap kesal. Tapi begitu matanya beralih ke Rangga, pandangannya menajam kembali.

Om Doni sudah bisa memastikan kalau orang tuanya Rangga juga datang ke pernikahan Afra ini. Dari rumah tadi, Om Doni sudah berencana untuk menghindari tatap muka dengan Om Castano. Bukan apa-apa, Om Doni hanya tidak ingin terjadi keributan di tempat umum seperti ini. Tidak enak sama tuan rumah jika seandainya gara-gara masalahnya, pesta besar ini akan rusak. Tapi siapa sangka mereka malah tak sengaja bertemu tepat di depan pintu masuk begini?

Di samping Om Doni, Tante Mira tampak sangat terkejut. Matanya membulat sempurna, menatap ke arah Om Castano. Perlahan, kedua tangannya terangkat dan meraih lengan Om Doni, lantas meremasnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat dari tempatnya. Sebelah tangan Om Doni yang kini menggenggam tangan Tante Mira bahkan tak mampu mengusir rasa gusar di hati Tante Mira.

Malam ini, untuk pertama kalinya Tante Mira melihat Om Castano lagi setelah bertahun-tahun tak melihatnya. Terakhir kali mereka bertemu lebih dari duapuluh tahun yang lalu saat pernikahannya dengan Om Doni, Om Castano juga menampakkan ekspresi yang sama. Murka. Apakah kejadian waktu itu akan terulang kembali di sini? Apakah Om Castano akan mengamuk lagi seperti waktu itu? Tante Mira berharap itu tidak akan terjadi. Walaubagaimanapun, ini bukan acara mereka. Kalau sampai terjadi keributan, yang akan malu tak hanya mereka, tapi tuan rumah juga akan menanggung malu. Tante Mira juga berharap Om Castano tak akan melayangkan tinju pada Om Doni seperti waktu itu.

Tante Farah yang tak tahu menahu soal peristiwa yang membelit ketiga orang di hadapannya itu kini juga tengah risau di samping Om Castano. Ia mengkhawatirkan putranya, juga Shita. Ini adalah pernikahan sahabat mereka. Kedua muda mudi itu pasti sangat bahagia, dan ingin menunjukkan kebahagiaan mereka di hadapan pengantin nanti. Tante Farah tidak ingin karena kemurkaan suaminya, kebahagiaan Rangga dan Shita akan buyar. Tante Farah juga tak ingin tangan suaminya menyakiti putranya lagi seperti yang sudah-sudah.

Sementara itu, Rangga menahan rasa was-was di belakang Om Doni. Dari tatap mata papanya, Rangga bisa menduga kalau papanya telah tersulut emosi. Mungkin juga sudah siap mengamuk. Dalam hatinya, Rangga masih tetap berharap papanya tidak akan membuat keributan di sini. Ia tidak ingin pesta pernikahan sahabatnya ini rusak gara-gara masalahnya.

Beberapa saat keenamnya hanya berdiri mematung membiarkan orang-orang melewati mereka, Rangga akhirnya bergerak. Ia menarik tangan Shita, dan berjalan melewati Om Doni, hendak masuk ke dalam gedung. Namun, belum sampai kaki Rangga menapak di pintu, Om Castano Menyongsongnya, lantas menyeret pemuda itu keluar dengan kasar. Shita yang berada di gandengan Rangga bahkan sampai terhuyung dan hampir jatuh karena seretan kasar Om Castano. Untung Rangga dengan sigap bisa menangkap tubuh Shita.

"Sudah Papa bilang jangan berhubungan lagi dengan anaknya si brengsek ini, Rangga!" geram Om Castano dengan gigi menaut.

Mendengar sebutan kasar yang ditujukan untuk dirinya itu, Om Doni langsung terperangah. Hatinya meradang perlahan. Sekuat tenaga lelaki itu menahan gelegak di dadanya agar tak ikut emosi seperti lelaki di depannya.

Dengan sigap, tante Farah langsung mendekati mereka, dan menarik suaminya agar sedikit menjauh dari Rangga. "Papa, jangan ribut di sini. Malu sama orang-orang, Pa."

Om Castano menepis tangan istrinya dengan kasar. "Tinggalkan dia, Rangga!"

"Cast!" Terdengar Om Doni berseru. "Masalah kita tidak ada hubungannya sama anak-anak. Seharusnya kamu tidak menghukum mereka karena kesalahan kita di masa lalu."

"Kesalahan kita?" Om Castano menyahut sambil memalingkan wajah ke Om Doni. "Kamu bilang ini kesalahan kita? Apa kamu tidak ingat kalau kamu yang menghianatiku? Juga dia." Kali ini pria tengah baya itu melirik Tante Mira yang matanya telah basah. "Kalian berdua ... memang pengkhianat."

"Sebelum menuduh kami penghianat, seharusnya kamu berkaca, Cast. Apa kamu juga sudah lupa, apa yang kamu lakukan sebelum aku menikahi Mira? Kamu juga sudah menghianatinya? Dan sebenarnya, satu-satunya penghianat adalah kamu. Kamu harus sadar itu. Aku tidak akan mengambil dia darimu kalau kamu tidak menghianatinya seperti itu. Jadi ..."

"Cukup, Pa." Tante Mira yang sudah tidak tahan menyaksikan perdebatan itu langsung memotong kalimat suaminya. "Kita tidak perlu membuka semua aib kita di sini. Ini tempat umum. Malu dilihat orang." Air mata Tante Mira meleleh sudah. Wanita itu memandang sekeliling, dan mendapati beberapa orang tengah memperhatikan mereka.

"Sebaiknya kita masuk dan memberi selamat dulu. Dan tolong, Cast, jangan ungkit masalah itu lagi, setidaknya di tempat ini." Nada suara Tante Mira memelas. "Masalah itu sudah lama berlalu. Kenapa kamu masih mendendam sampai sekarang? Buang semuanya, Cast, karena dendammu itu tak ada gunanya. Tatap masa depan, jangan terus terkungkung oleh masa lalu. Biarkan anak-anak bahagia dengan cinta mereka. Jangan halangi kebahagiaan mereka. Biarkan mereka bersama."

"Tidak akan!" tolak Om Castano, dengan nada tajam dan menusuk. "Jangan harap aku akan menerima anak kalian sebagai menantu di keluargaku. Semua pintu masuk ke dalam keluargaku sudah aku tutup untuk keluarga kalian, dan jika kalian nekat mendobrak pintuku, aku tidak akan segan-segan melakukan hal buruk pada anak kalian. Ingat itu baik-baik."

"Oke, baiklah." sahut Om Doni, kali ini sudah habis kesabaran. "Kamu sudah berbicara seperti itu, jadi aku tidak mau mengambil resiko. Aku pikir kamu sudah dewasa, berwawasan luas, dan akan memandang semua hal dengan pikiran luas juga. Tapi, ternyata tidak. Pikiranmu sempit. Egoismu terlalu besar, dan aku tidak akan membiarkan anakku jadi korban keegoisanmu." Om Doni meraih tangan Shita dengan sigap, lantas menariknya untuk mengajak Shita menjauh dari sana, "Ayo, Ta."

"Tapi, Om ..."

"Maaf, Ngga. Om nggak bisa ngebiarin kalian terus bersama. Rumahmu ternyata seperti kandang macan untuk Shita. Om nggak bisa ngebiarin anak Om diterkam sama penghuninya." Lalu, Om Dhoni mengajak putri dan istrinya ke toilet untuk membenahi diri sebelum masuk ke ruang resepsi.

"Jadi, ini yang dikatakan Rangga waktu itu?" Suara lirih Tante Farah menyentak kedua anak dan ayah itu. Rangga yang masih memperhatikan kepergian Shita seketika menengok ke arah mamanya. Sementara itu, Om Castano tercengang di tempatnya.

Karena kemarahannya, lelaki tengah baya itu lupa pada istrinya. Padahal, ia telah menyembunyikan rapat-rapat masalah itu agar tak diketahui oleh siapapun. Tapi malam ini, ia justru membukanya lebar-lebar di depan Tante Farah.

"Jadi, Papa nggak setuju sama hubungan Rangga dengan Shita memang bukan masalah perusahaan, tapi karena masalah ini." Suara Tante Farah terdengar bergetar, membuat kedua lelaki yang mematung di hadapannya serba salah. Wanita itu memegangi dadanya yang terasa sangat nyeri. Air mata telah menganak sungai di kedua pipinya. "Jadi, Papa masih menyimpan dendam pada mereka? Atau malah ... Atau malah sebenarnya Papa masih menyimpan cinta untuk mamanya Shita? Iya, Pa?"

"Mama?" Rangga yang lebih dulu bergerak dan menghampiri mamanya karena tak ada tanda-tanda Om Castano akan menenangkan istrinya. Pemuda itu menopang mamanya yang kini tampak rapuh. Ia sangat tidak tega melihat wanita yang paling menyayanginya itu memperlihatkan tatapan sendu seperti itu. "Ma, sudah. Tidak perlu dibahas di sini."

"Tapi, Ngga ...,"

"Nanti akan Papa jelaskan di rumah." Akhirnya Om Castano mengeluarkan suara untuk Tante Farah. Ia menghela napas berlebih sebelum memutar tubuh dan menatap Tante Farah. "Mendingan, sekarang benahi dulu dandanan Mama. Setelah itu kita temui Pak Sofyan dan langsung pulang. "

'*     *     *     *     *

Reza terkekeh saat melihat mobil Ilham berada tepat di depannya saat ia melewati pintu masuk tempat parkir. Pemuda itu sengaja membuntuti mobil Ilham, karena penasaran gadis mana yang dibawa Ilham malam ini, mengingat Raisya yang dulu pernah dikencaninya sekarang telah disamber oleh Bisma.

"Pasti tuh anak dateng sendirian," pikir Reza, seraya senyum senyum gaje. Terlintas di pikiran Reza untuk meledek pemuda yang memang jarang dekat dengan cewek itu. "Kayaknya seru nih kalau diledekin."

Reza semakin kegirangan saat mendapati tempat di samping mobil Ilham kosong. Tanpa membuang waktu, pemuda itu menjajari sedan hitam milik Ilham.

Tapi saat Reza keluar dari mobilnya, ia langsung cengo. Di hadapannya, berdiri seorang gadis dengan kaki jenjang, kulit putih, rambut panjang dibuat ikal, dan dengan dandanan yang sangat pas dengan perawakannya. Reza yakin mobil di hadapannya ini milik Ilham, tapi ia tak begitu yakin kalau gadis di hadapannya itu adalah gadis yang dibawa Ilham. Bagaimana mungkin Ilham dapat gadis secantik ini? Pikir Reza.

"Kenapa lo bengong aja kayak kebo betelor kayak gitu?" Suara dari samping menyentak pikiran Reza. Ilham berjalan mendekati gadis di depan Reza itu sambil tersenyum senang. "Dasar playboy cap kadal burik. Nggak bisa lihat cewek cakep dikit."

Wajah Reza memerah malu karena ketahuan memperhatikan gadis yang dibawa Ilham. Sebenarnya dia tidak terpesona. Sungguh, sekarang, dia sudah sepenuhnya menyerahkan hati dan cintanya untuk Diana seorang. Ia telah menutup pintu hatinya untuk siapa pun, karena ia ingin Diana menjadi yang terakhir dalam hidupnya. Jadi, secantik apapun gadis di hadapannya, Reza sama sekali tak tertarik. Ia cengo karena heran kenapa Ilham yang sepertinya sering menarik diri dari perempuan itu bisa dengan cepat menggaet gadis-gadis cantik seperti Raisya, juga gadis di hadapannya itu?

"Wah, gawat nih orang." Ilham berseru lagi, saat ia sampai tepat di samping gadis bergaun biru itu. "Lagi bawa pacar juga sempet-sempetnya ngeliat cewek lain. Kalau gue jadi ceweknya mah, udah gue sirem mukanya pakai air comberan biar cepet sadar."

"Lo kira gue lagi pingsan, apa?" Reza menyahut. "Ngomong-ngomong, siapa, nih? Perasaan waktu itu yang gue lihat bukan yang ini." Reza sengaja ingin membuat hati gadis yang kini menggamit lengan Ilham itu meradang.

Namun, bukan perubahan raut buruk yang Reza lihat di wajah gadis itu. Gadis itu justru mengembangkan senyum. Senyum ramah dan ... sangat manis menurut Reza.

"Lo mau manas-manasin dia? Jangan harap bisa mempan!"

"Kenapa? Dia bukan gebetan lo?"

"Eum ... Kalau gebetan sama pacar itu beda, berarti emang dia bukan gebetan gue. Dia ... pacar gue," sahut Ilham dengan bangga. "Tapi dia nggak cemburuan orangnya."

"Pacar?" Mata Reza menyipit tak percaya. "Serius?"

"Serius, lah."

"Kok bisa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Reza seolah kenyataan bahwa Ilham punya pacar itu hal yang mustahil.

Ilham berubah cemberut mendengar pertanyaan Reza. "Emang lo pikir lo doank yang bisa punya pacar? Emang lo pikir orang kayak gue nggak bisa pacaran?" Nada suara Ilham jelas-jelas sewot. Gimana nggak sewot kalau disangka nggak bisa punya pacar? Yach, meskipun kenyataannya memang Ilham belum punya pacar sampai sekarang, sih. Fryda kan cuma pacar bohongannya. Tapi, dia tetep aja kesel Si Reza nggak percaya sama dia kayak gitu.

"Gue cuma heran aja lo bisa ngegaet cewek cantik kayak dia." Pernyataan Reza kali ini bisa membuat hati Ilham yang sempat panas berubah sejuk. Kali ini pemuda itu tersenyum gaje penuh kemenangan, menyadari kalau orang yang paling doyan meledeknya itu akhirnya mengakui kejantanannya sebagai cowok.

"Jangan suka ngeremehin seorang Ilham, sobat. Gini-gini gue juga bisa ngedapetin cewek cantik mana pun." Ilham berujar bangga lagi, seraya menepuk-nepuk bahu Reza membuat Reza langsung mencibir. "Ayo, sayang. Kita buruan masuk. Kalau kita di sini terus takutnya kamu jadi korbannya si kucing garong lagi!"

"Sial, lo. Gue bukan kucing garong."

"Trus apa? Buaya mangap? Atau kadal burik?" Ilham tergelak, lantas benar-benar pergi dari sana tanpa mempedulikan Reza yang ngedumel-dumel karena kesal.

Perasaan tadi Reza yang mau ngeledekin Si Ilham. Tapi kenapa akhirnya justru malah dia yang kena?

"Dii, malam ini lo musti jaga Si Reza bener-bener, ya. Kalau bisa sekalian aja matanya lo iket pakai kain. Soalnya, kayaknya sisa-sisa mata keranjangnya masih nemplok di dia tuh." Sayup-sayup Reza mendengar suara Ilham yang ternyata bertemu dengan Diana di belakang mobilnya. Terang saja omongan Ilham itu membuat Reza semakin menceracau nggak jelas.

Ilham malah tertawa keras saat Reza memakinya, membuat Reza pengen banget ngangkat mobil Ilham trus nggebuk Ilham pakai mobil itu. *Emang bisa?*

*     *     *     *     *

Bisma berdiri di sudut ruangan bersama Raisya di sebelahnya. Di tangannya, tersemat gelas yang isinya tinggal setengah. Tatapan pemuda itu lurus ke depan, ke arah pintu masuk yang berlalu lalang para tamu. Di matanya, terlihat jelas kegelisahan yang amat sangat.

Bukan tanpa alasan pemuda itu menancapkan pandangan di pintu masuk seperti itu. Ia ingin melihat orang tuanya melewati pintu itu, dan akan langsung mengambil langkah seribu untuk menghindar begitu orang tuanya memasuki ruangan. Ia tidak ingin bertemu orang tuanya dulu. Tepatnya tidak siap. Ia tidak siap menjawab pertanyaan orang tuanya tentang hubungannya dengan Nanda. Ia tidak siap melihat ekspresi orang tuanya saat melihat Bisma bersama orang lain, bukan dengan Nanda. Dan yang paling penting, Bisma tidak siap memperkenalkan Raisya kepada orang tuanya meski dari tadi Raisya bilang ingin sekali diperkenalkan.

"Bii, ntar kamu nyanyi, ya." Ucapan Raisya itu membuat Bisma tersentak dari lamunannya.

Pemuda itu menoleh, dan bertanya, "Apa?" Karena merasa belum jelas dengan apa yang dikatakan Raisya.

"Entar kamu nyanyi, ya," jelas Raisya sekali lagi. "Nyanyi buat aku. Di panggung situ tuh."

Bisma mengikuti arah yang ditunjuk Raisya, dan menemukan sekelompok house band tengah bersenandung di atas panggung. Dahi Bisma mengernyit. Baru saja ia berpikir untuk menghindar, Raisya malah memintanya nyanyi di atas panggung. Terang saja Bisma menjawab, "Nggak mau ah."

"Kenapa, Bii? Ayolah. Sekali ini aja."

"Nggak mau, Sya. Aku nggak bisa nyanyi. Suaraku jelek. Malu-maluin."

"Bohong!" Gadis itu merengut. "Aku pernah dengar kamu nyanyi. Suaramu bagus. Keren. Nggak kalah sama vocalist house band itu. Ayolah, Bii."

Bisma berdecak keras. Raut wajahnya jelas-jelas menampakkan kekesalan. Ia sedang tidak ingin menampakkan diri di depan orang-orang yang ia kenal, terutama di depan orang tuanya. Tadi dia ke sini hanya dengan satu tujuan. Mengucapkan selamat kepada Morgan, lalu pergi. Tapi sekarang, gadis saiko itu malah memintanya macam-macam.

Mulut Bisma hampir terbuka untuk melontarkan penolakan lagi saat tiba-tiba, ekor matanya menangkap sosok seorang gadis bergaun kuning yang berjalan anggun bersama seorang pemuda bermata sipit menuju sudut lain gedung pesta itu. Meski Bisma tak begitu jelas melihat wajah gadis itu, tapi ia tahu pasti bahwa gadis yang tengah bersama Rafael itu adalah Nanda. Wajah Nanda tertunduk, seolah malu memperlihatkan mukanya. Mungkin sekarang matanya bengkak dan memerah karena terlalu banyak menangis. Pikir Bisma. Dan pikiran tentang Nanda yang tengah terpuruk itu membuat hatinya seperti dihujam dengan pisau belati. Sakit.

Pemuda itu terus mengawasi Nanda yang kini duduk di sebuah kursi, membiarkan Rafael pergi mengambilkan minuman.

"Heh!" Raisya mengibaskan tangannya di depan muka Bisma, membuat Bisma tersentak sekali lagi. "Kok malah bengong, sih? Gimana? Mau, ya."

Bisma berdecak lagi, lantas membuang napas keras. Gadis ini benar-benar ingin membuatnya naik darah. Kalau Bisma benar-benar tidak mengabulkan permintaannya, pasti dia akan bikin onar, dan Bisma tidak mau itu terjadi.

Pemuda itu melirik Nanda sekali lagi. Di salah satu sudut ruangan, Nanda tengah duduk sendirian. Entah ke mana Rafael pergi, sampai Nanda dibiarkan sendirian seperti itu. Lagipula, kenapa Nanda hanya duduk di sudut ruangan seperti itu? Apa dia sakit? Apa kejaadian kemarin membuatnya sakit? Pikiran-pikiran itu bergelayut di otak Bisma, membuat hatinya semakin gelisah.

Di saat kegelisahan tengah memberangus, tiba-tiba ada sebuah ide muncul begitu saja di benaknya. Pemuda itu menoleh ke arah pintu, namun belum juga menemukan kelebatan orang tuanya. Masa bodoh. Batinnya.

"Baiklah." Akhirnya Bisma menjawab. "Ntar aku nyanyi." Tapi bukan buat kamu. Lanjut Bisma dalam hati.

Memang bukan buat Raisya. Tapi Bisma ingin menyanyikan sebuah lagu untuk Nanda. Ia ingin mengirim pesan kepada Nanda lewat lagu itu. Bisma yakin Nanda pasti mengerti. Lewat lagu itu, Nanda pasti akan tahu kalau semua hal yang dilakoni Bisma kali ini bukanlah kemauannya. Nanda pasti mengerti, dan ia tak akan sedih lagi karena ia akan tetap yakin kalau Bisma masih mencintainya. Seperti dulu. Ya, hanya dengan cara itu. Hanya lewat lagu itu. Raisya pun tak akan curiga. Ia akan mengira kalau lagu itu untuknya. Tak peduli meski orang tuanya akan melihatnya sekali pun. Yang penting Nanda tahu kalau cinta Bisma hanya untuk Nanda, bintang yang bersinar paling terang di langit hatinya.

*     *     *     *     *

Tatapan Morgan menerawang. Ia masih penasaran dengan Bisma. Kenapa di hari pernikahannya dengan Afra ini kawan baiknya itu justru membawa Raisya, bukan Nanda yang menjadi sahabat istrinya? Ada apa dengan mereka? Bukankah belum lama ini hubungan mereka justru malah lebih serius?

Pertanyaan-pertanyaan yang menggelantung di benaknya itu membuat Morgan beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia harus menanyai Bisma sebelum membuat istrinya shock karena melihat keadaan sahabatnya yang buruk. Kalau ia tahu alasan Bisma membawa Raisya, paling tidak ia bisa menjelaskan pada istrinya tanpa membuat waanita hamil itu shock.

"Morgan mau ke mana?" Seruan Tante Nita itu tak membuat langkah Morgan terhenti. "Morgan jangan ke mana-mana. Sebentar lagi pestanya dimulai." Suara Tante Nita semakin terdengar sayup di telinga Morgan karena ia semakin menjauh dari ruang rias. Ia harus bertemu Bisma dan bertanya ada apa sebenarnya, sebelum ia mati karena penasaran.

Pemuda itu menuruni tangga yang menghubungkan ruang rias dan bagian belakang gedung, lantas melewati toilet untuk menuju ke aula resepsi. Sebenarnya, tepat di depan ruang rias ada tangga utama yang bisa mengantarkannya ke aula resepsi. Tapi tentu saja ia tak bisa melewatinya. Tangga utama itu adalah tangga yang khusus dipersiapkan untuk jalannya pengantin beserta pendampingnya menuju pelaminan.

Ketika langkah kakinya tiba di belokan sudut toilet, ia berhenti. Matanya menyipit, jidatnya mengerut. Tak jauh dari ia berdiri, seorang pemuda berpipi cubby yang sangat ia kenal tengah bersandar di dinding dengan muka menengadah dan mata terpejam. Di wajahnya, tergambar jelas raut kekhawatiran, kekesalan, dan kesedihan yang membaur.

"Rangga?" gumamnya. "Kok datang ke acara gue pasang tampang frustrasi gitu?"

Menyadari ada sesuatu yang ganjil, Morgan akhirnyaa membelokkan langkah dan menghampiri pemuda itu, lantas menepuk bahunya dengan satu sentakan keras.

Kaget, pemuda itu langsung membuka mata dan menatap Morgan dengan mata membola. "Morgan?"

"Iya, gue."

"Kok lo ada di sini, sih?"

"Mau lo gue ada di mana? Di kampus? Ini kan tempat resepsi pernikahan gue. Wajar dong kalau gue ada di sini."

"Maksud gue ... Di atas emang nggak ada toilet khusus? Kok lo ke bawah?"

"Gue ke sini bukannya mau ke toilet. Tapi ...," Morgan kembali menyipitkan mata. Ia benar-benar merasa ada yang tidak beres pada sahabatnya itu. "Lo sendiri kenapa? Kok muka lo aneh gitu? Pakai acara ngelamun di depan toilet lagi. Shita mana?"

"Shita? Eum ..." Agaknya, pemuda itu bingung untuk menjawab. "Shita ... Ada kok. Lagi ke toilet."

"O, jadi lo lagi nungguin Shita. Trus ngapain muka lo pake ditekuk gitu? Temennya lagi happy juga. Bukannya ikutan happy malah manyun. Kenapa lo? Lagi berantem ama Shita?"

Rangga hanya tersenyum kecut, lantas menggeleng. "Enggak, kok. Gue sama Shita nggak berantem. Cuma ...,"

Belum sempat ia melanjutkan kata-katanya, mata Rangga menangkap sosok seorang gadis yang keluar dari toilet perempuan bersama seorang wanita tengah baya di sampingnya. Mata gadis itu menatap tepat ke matanya, membuat pemuda itu tak bisa bersuara lagi.

Morgan mengikuti arah mata Rangga, dan menemukan Shita yang kini menatap Rangga dengan raut sendu. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat mata gadis itu merah, seperti habis menangis. Mata wanita tengah baya yang ada di sampingnya pun sama. Morgan semakin bingung dengan apa yang ada di hadapannya. Tidak mungkin tidak ada yang terjadi di antara kedua sahabatnya itu. Pasti ada apa-apa.

Belum sempat ia bertanya apa-apa, Morgan dikejutkan kembali oleh kedatangan seorang lelaki yang tiba-tiba meraih tangan Shita dan mengajaknya pergi dari sana tanpa menyapa Rangga sama sekali. Lelaki yang Morgan tafsir adalah ayahnya Shita itu bahkan tak melirik Rangga sedikit pun. Hanya pandangan Shita yang sendu yang mengiringi kepergian rombongan itu.

"Ngga, itu tadi ...,"

"Bokapnya Shita." Rangga melanjutkan omongan Morgan, lantas mendesah berat dan kembali menengadahkan mukanya sambil berkacak pinggang.

"Lo bilang bokapnya Shita nerima aja hubungan lo sama Shita. Kok sekarang dia ngeliat lo aja kayak anti banget gitu, sih?"

Rangga menghela napas sekali lagi untuk menghalau debur jantungnya yang kencang. "Tadi ... bokapnya Shita ketemu sama bokap gue, dan ... yach ... gitulah. Bokap gue ngomongnya memang keterlaluan. Wajar aja kalau bokapnya Shita marah."

"Astaga, trus? Restu buat lo sama Shita dicabut sama bokapnya Shita?"

"Gue nggak tahu. Mungkin ... Ah, udahlah. Lo nggak usah mikirin soal gue. Malam ini punya lo. Lo harus happy. Ok?" Rangga mencoba tersenyum sembari menepuk bahu Morgan. Senyum yang terasa sangat hambar di mata Morgan.

Bukannya puas dengan jawaban Rangga itu, Morgan malah semakin merengut. "Nggak bisa, Ngga. Gimana gue bisa happy kalau keadaan teman-teman gue lagi kayak gini? Belum lagi Si Bisma. Apa-apaan tuh bocah malah bawa-bawa Si Raisya ke sini?"

Mata Rangga seketika melebar. "Lo tahu dari mana Bisma bawa Raisya ke sini?"

"Tadi gue ngelihat Si Bisma pas gue lihat-lihat parkiran dari atas."

"Sebenarnya ...." Rangga menggantungkan kalimatnya. Jelas terlihat keraguan dalam nada bicara pemuda itu.

"Sebenarnya apa yang terjadi sama Bisma?"

"Sebenarnya gue juga nggak tahu kenapa Bisma tiba-tiba sama Raisya. Udah hampir dua minggu gue nggak ngomong sama Bisma. Eh?" Rangga menutup mulutnya sendiri begitu menyadari apa yang diungkapkannya itu salah. Tidak seharusnya ia memberitahukan apa yang terjadi antara dia dengan Bisma pada Morgan di saat seperti ini.

"Apa? Lo tadi bilang apa?"

"Ah, udahlah, Gan. Nggak usah pikirin masalah kita dulu."

"Enggak, Ngga. Lo tadi bilang lo nggak ngomong sama Bisma? Hampir dua minggu? Kenapa, Ngga? Lo berantem sama Bisma?"

"Enggak, Gan. Pokoknya udahlah. Nggak perlu bahas masalah itu."

"Nggak bisa. Gue pengen tahu. Selama bertahun-tahun kita temenan, belum pernah kita berantem sampai nggak ngomong berhari-hari kayak gini. Ada apa sebenarnya sama kalian? Kenapa sepeninggalan gue semua jadi kacau begini."

"Gan, udahlah. Lo nggak usah pikirin ...,"

"Gan!!!" Teriakan itu membuat kalimat Rangga berhenti. "Lo ngapain malah di situ? Semua orang di ruang rias pada ribet nyariin lo tuh. Buruan balik."

"Bentar!" Sahut Morgan setelah menoleh ke arah suara yang ternyata diteriakkan oleh Randy, adiknya yang kini mendekati mereka.

"Buruan." Randy menyahut tangan Morgan untuk mengajaknya segera kembali ke ruang rias. Namun, Morgan mengibaskan tangan adiknya dengan kasar.

"Bentar," ujarnya. "Ngga, gue sebenarnya cuma bingung apa yang musti gue bilang sama Afra kalau kalian dateng sendiri-sendiri kayak gini? Lo tahu sendiri sekarang keadaan Afra kayak gimana. Gue musti ekstra hati-hati jaga perasaannya. Kalau dia lihat temen-temennya kayak gini, dia pasti kepikiran, Ngga. Gue harus gimana?" Suara Morgan mulai terdengar frustrasi.

Rangga sendiri hanya memalingkan muka, lantas menghela nafas. Afra memang sudah pasti bingung mereka datang ke pernikahannya terpencar-pencar seperti ini. Tapi dia sendiri juga bingung harus bagaimana.

Sementara itu, Randy yang tidak mengerti dengan percakapan itu hanya bengong menatap kakak dan kawan kakaknya itu bergantian. Wajah mereka terlihat kacau. Randy jadi menimbang-nimbang apakah ia perlu bertanya apa yang terjadi sebenarnya.

Setelah beberapa saat suasana hanya didominasi oleh keheningan, akhirnya Randy menyela juga. "Ehm, ada yang bersedia ngasih tahu gue apa yang sebenarnya terjadi? Siapa tahu gue bisa bantu."

"Nggak ada apa-apa kok, Ran. Semua baik-baik aja." Rangga menyahut.

"Tapi ngomong-ngomong abang gue musti siap-siap sekarang. Acaranya udah mau mulai. Bisa nggak kalian lanjutin ngobrolnya ntar aja abis acara selesai? Atau ...,"

"Nggak bisa, Ran."

"Oke, gini aja deh, Gan. Ntar kalau Afra tanya, lo bilang aja gue sama Shita emang sengaja datang sendiri-sendiri, soalnya kita nggak enak sama orang tua kita. Takut nanti malah ribut. Ntar gue BBM Shita biar dia bersikap seolah nggak ada apa-apa."

Morgan tampak mencerna apa yang diungkapkan Rangga barusan. Setelah diam beberapa saat, pemuda itu bersuara lagi, "Trus Bisma gimana?"

"Kalau Bisma ...," Kata-kata Rangga menggantung. Dia sendiri bingung apa alasan yang tepat untuk masalah Bisma. Orangnya sendiri tidak ada di sini. Mana bisa diajak berkompromi? Lagi pula dia sekarang sudah benar-benar membawa Raisya ke sini. Bukan tidak mungkin nanti Afra melihat kebersamaan mereka. "Kalau soal Bisma, gue nggak ada ide, Gan," ucap Rangga, membuat Morgan menggeram.

"Gue musti ketemu Bisma. Gue musti ketemu Bisma sekarang." Hampir pemuda itu angkat kaki dari sana kalau tangannya tidak ditahan oleh Randy, juga Rangga.

"Lo mau ke mana? Semua orang lagi ribet nyariin lo. Jangan bikin masalah deh."

"Lo nggak ngerti, Ran."

"Gimana gue mau ngerti kalau kalian nggak ngasih tahu gue apa masalahnya? Makanya kasih tahu gue kalau ada masalah. Ntar kita pecahin masalahnya bareng-bareng."

"Ya udah deh, Gan. Daripada masalahnya makin ruwet, ntar gue temuin Bisma aja. Ntar gue ngomong sama dia biar dia nggak muncul bareng Raisya di depan Afra."

"Yakin lo mau ketemu dia? Lo bilang lo nggak ngomong-ngomong sama dia? Gue nggak yakin lo mau ngomong sama dia, Ngga. Mendingan gue sendiri yang ngomong."

"Ya Tuhan, kalian ini. Bisa nggak, nggak bikin gue jadi kayak orang bego? Sebenarnya ada masalah apa? Mau ngomong apa sama Bisma? Apa masalahnya? Kalau kalian nggak bisa ngomong biar gue yang ngomong. Sekarang lo tuh lagi ditungguin banyak orang di ruang rias, Gan. Jangan berkeliaran ke mana-mana lagi. Lo mau ngomong apa sama Bisma? Ngomong sama gue biar gue sampein ke Bisma kalau emang Rangga nggak bisa ngomong. Sekarang lo musti balik sebelum semuanya jadi kacau."

Bukannya menjawab, Morgan sama Rangga malah kompak diam. Nafas mereka terdengar memburu, tanda ada sedikit emosi yang menyala di hati mereka. Melihat kedua orang di hadapannya sama-sama bergeming, Randy akhirnya bersuara lagi. Kali ini dengan nada lebih rendah. "Percaya sama gue. Gue pasti bakalan sampein ke Bisma apa yang pengen lo omongin."

Karena merasa sudah tidak ada cara lain, akhirnya Morgan benar-benar menyerahkan masalah itu kepada adiknya. Ia lebih yakin kalau pesannya akan sampai ke Bisma lewat Randy daripada lewat Rangga.

*     *     *     *     *

Diana yang sejak awal memang mood-nya agak buruk bertambah buruk lagi saat melihat kejadian di parkiran tadi. Ternyata, Diana tadi melihat saat Reza begitu spechless-nya melihat gadis yang dibawa Ilham. Ia mengira kalau Reza tengah terpesona melihat gadis yang memang sangat cantik itu. Diana bahkan diam saja saat Reza berkali-kali minta maaf sama dia dan menjelaskan bahwa apa yang dipikirkannya itu salah.

Saat ini, gadis itu berjalan mendahului Reza tanpa mau menggamit lengan Reza layaknya pasangan-pasangan lain yang datang ke pesta itu.

"Diana, tunggu. Jalannya pelan-pelan," pinta Reza, tapi tak digubris juga oleh Diana. Gadis itu nyelonong aja seperti bajai yang remnya blong.

Langkahnya baru benar-benar berhenti saat Reza mencekal tangannya dan menggiring tubuhnya sampai mentok ke tembok dekat tikungan.

"Dengerin Kakak. Kakak tahu kamu sekarang lagi sensitif, tapi tolong jangan berpikir aneh-aneh tentang Kakak. Berapa kali Kakak musti bilang kalau cinta Kakak benar-benar cuma buat kamu? Tadi Kakak cuma kaget aja lihat temen Kakak yang tidak pernah berhubungan sama cewek itu tiba-tiba bawa cewek. Cuma itu." Reza sampai terengah-engah saat melontarkan semua kata-katanya.

Pemuda itu memperhatikan wajah gadisnya yang kini tampak teegang, dan nafasnya pun memburu. Matanya kini memerah. Ada bening yang memenuhi kelopak matanya, yang jika dibiarkan pasti akan segera jatuh. Namun Reza tak ingin membiarkannya. Pemuda itu meraih kedua telapak tangan kekasihnya, lantas berbicara lebih pelan, "Percaya sama Kakak. Kakak benar-benar menginginkan kamu menjadi satu-satunya wanita yang paling berarti dalam hidup Kakak selain ibunya Kakak. Jadi jangan pernah meragukan cinta Kakak."

Reza menatap dalam-dalam mata Diana, yang disambut juga oleh gadis itu. Setelah saling diam beberapa saat, Diana menghela napas pelan, lantas mengangguk, membiarkan hatinya yang sesaat lalu membeku kini mencair karena kata-kata dan tatapan Reza.

Reza tersenyum melihat Diana yang sepertinya tak marah lagi padanya. Dan ternyata senyuman Reza juga disambut. Gadis itu juga menyunggingkan senyum kecil yang terlihat benar-benar ringan di mata Reza.

Hampir Reza mendaratkan sebuah kecupan hanyat di kening Diana kalau Diana tidak tiba-tiba menengok dan menggumam, "Dicky?"

Reza langsung mengikuti arah tengokan Diana begitu mendengar nama itu, dan langsung mengernyitkan dahi saat melihat siapa orang berjalan tak jauh dari tempatnya berdiri.

Dicky? Kok dia bisa ada di sini? Batin Reza.

Ketika Dicky hampir sampai di dekat mereka, Reza tiba-tiba tersenyum licik, lantas mengecup kening Diana dengan hangat dan cukup lama, membuat pemuda itu sontak menghentikan langkah. Pandangan Reza tetap menancap pada wajah pemuda berponi kecoklatan itu untuk melihat reaksi apa yang akan ditunjukkannya. Benar saja. Reza melihat perubahan mimik wajah yang buruk pada muka Dicky. Keranjingan membuat hati pemuda di dekatnya panas, Reza langsung menggamit pinggang Diana, dan mengeratkan tubuh mungil itu ke tubuhnya.

Tadinya Reza mau menyapa. Tapi tiba-tiba Dicky membuang muka dan langsung pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Kok diem aja, sih?" ujar Diana, seraya memperhatikan kepergian Dicky. Senyum lebar yang tadi sepertinya ingin ia persembahkan untuk Dicky kini menguap begitu saja, berubah menjadi kerutan di kening.

"Emang kenapa kalau dia diem? Kamu pengen disapa?" Gantian Reza yang pura-pura merajuk.

"Ya bukan gitu. Aneh aja. Kok dia asal nyelonong gitu. Kayak nggak kenal. Apalagi tadi dia lihat Kak Reza nyium Diana gitu. Biasanya kan kalau ada orang lihat temennya dimesrain sama cowoknya gitu dia ngeledekin. Tapi kok dia malah asal pergi aja?"

"Mungkin dia cemburu," seloroh Reza, asal.

"Cemburu apaan? Emang dia apanya Diana gitu pakai-pakai cemburu segala?"

"Emang dia bukan apa-apa kamu?"

"Menurut Kak Reza, emang dia apanya Diana?"

Mendapat pertanyaan yang kini diucapkan Diana setengah sewot tapi terlihat riang, Reza justru diam saja. Pemuda itu justru tersenyum tanpa menjawab. Kali ini dia sepertinya sudah tahu jawaban atas pertanyaan yang menggantung di hatinya sejak Clara menelponnya waktu itu. Dari tingkah Diana saat ini, ia sangat yakin kalau Diana memang tidak menyimpan rasa apapun untuk Dicky, apalagi sampai selingkuh di belakangnya dengan pemuda itu. Orang yang selingkuh pasti akan terlihat gugup kalau bertemu selingkuhannya di depan pasangannya. Tapi Diana tidak. Dia terlihat biasa saja.

Kalau Dicky, Reza sepertinya mencium virus merah jambu di hati Dicky. Lihat saja ekspresinya tadi. Pemuda itu terlihat kesal saat Reza beradegan mesra dengan Diana. Di dekatnya. Jika memang feeling Reza itu benar, artinya Reza harus ekstra hati-hati menjaga perasaannya Diana. Omongan Clara waktu itu pasti ada alasannya. Mungkin dia pernah melihat Diana jalan berdua dengan Dicky. Mungkin Dicky dan Diana memang akrab. Dan kalau memang mereka berdua benar-benar akrab, bukan tidak mungkin Diana nanti akan lari ke Dicky kalau sampai dia kecewa pada Reza. Reza tidak mau itu terjadi.

"Cewek yang dibawa Dicky kok dari tadi nengok ke sini mulu? Kakak kenal sama dia?"

Reza langsung menengok ke arah Dicky yang kini telah menjauh. Gadis itu memang tengah menengok ke arahnya, dan sepertinya wajah gadis itu tak asing. Tapi Reza agak-agak lupa siapa dia.

Begitu memorynya menemukan tentang cewek itu, mata Reza seketika membulat. "Vita?"

"Kakak kenal?"

"Kenallah. Dia tuh anaknya Pak Rektor kampus kita. Pacarnya kakak sepupunya Nanda," jelas Reza. Dahinya masih mengernyit bingung. "Tapi kok seekarang dia malah sama Dicky? Si Rafa ke mana emang?"


Bersambung
By: Novita SN

No comments:

Post a Comment