Sebenarnya Rangga
tadi membiarkan orang tua Shita pergi duluan karena Shita belum selesai
berdandan. Rangga dan Shita baru berangkat seperempat jam setelahnya. Namun,
Rangga melihat mobil Om Doni berada tepat di belakang mobilnya saat ia mencari
tempat parkir.
Pemuda itu
tersenyum melihat mobil mereka parkir berdampingan.
"Baru nyampe,
Om?" sapanya.
"Iya nih,
Ngga. Maklum, mata Om udah nggak seawas waktu muda dulu. Jadi nyetirnya musti
hati-hati."
"Tapi
kebetulan, deh. Kita bisa masuk bareng aja," sela Tante Mira, lantas
tersenyum.
Mereka berjalan
beriringan menuju pintu masuk. Sesekali, terlontar canda dari kedua pasangan
itu, sehingga mereka terlihat sangat akrab. Rangga seolah sudah menjadi bagian
dari keluarga kekasihnya. Jika mereka sedang berada di tengah keluarga Shita,
mereka memang merasa sangat bahagia, seperti tak ada beban apapun di dalam
hati. Sangat berbeda ketika mereka berada di tengah keluarga Rangga.
Namun, sepertinya
Tuhan belum ingin membiarkan sepasang muda mudi itu mengecap kebahagiaan
terlalu lama. Ketika mereka hampir sampai di pintu masuk, keempatnya
menghentikan langkah. Canda mereka pun seketika buyar. Tawa mereka langsung
terhenti. Rangga langsung meraih tangan Shita, lantas menarik gadis itu ke
belakang punggungnya.
Beberapa meter di
depan mereka, Om Castano Moela tengah berdiri gagah sambil memasang muka
garang. Matanya tajam menatap Om Doni, sementara tangannya mengepal kuat. Dari
Om Doni, pandangan mata Om Castano beralih ke Tante Mira. Kali ini pandangannya
sedikit melunak meski tetap ada tatap kesal. Tapi begitu matanya beralih ke
Rangga, pandangannya menajam kembali.
Om Doni sudah bisa
memastikan kalau orang tuanya Rangga juga datang ke pernikahan Afra ini. Dari
rumah tadi, Om Doni sudah berencana untuk menghindari tatap muka dengan Om
Castano. Bukan apa-apa, Om Doni hanya tidak ingin terjadi keributan di tempat
umum seperti ini. Tidak enak sama tuan rumah jika seandainya gara-gara
masalahnya, pesta besar ini akan rusak. Tapi siapa sangka mereka malah tak
sengaja bertemu tepat di depan pintu masuk begini?
Di samping Om
Doni, Tante Mira tampak sangat terkejut. Matanya membulat sempurna, menatap ke
arah Om Castano. Perlahan, kedua tangannya terangkat dan meraih lengan Om Doni,
lantas meremasnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat dari
tempatnya. Sebelah tangan Om Doni yang kini menggenggam tangan Tante Mira
bahkan tak mampu mengusir rasa gusar di hati Tante Mira.
Malam ini, untuk
pertama kalinya Tante Mira melihat Om Castano lagi setelah bertahun-tahun tak
melihatnya. Terakhir kali mereka bertemu lebih dari duapuluh tahun yang lalu
saat pernikahannya dengan Om Doni, Om Castano juga menampakkan ekspresi yang
sama. Murka. Apakah kejadian waktu itu akan terulang kembali di sini? Apakah Om
Castano akan mengamuk lagi seperti waktu itu? Tante Mira berharap itu tidak
akan terjadi. Walaubagaimanapun, ini bukan acara mereka. Kalau sampai terjadi
keributan, yang akan malu tak hanya mereka, tapi tuan rumah juga akan
menanggung malu. Tante Mira juga berharap Om Castano tak akan melayangkan tinju
pada Om Doni seperti waktu itu.
Tante Farah yang
tak tahu menahu soal peristiwa yang membelit ketiga orang di hadapannya itu
kini juga tengah risau di samping Om Castano. Ia mengkhawatirkan putranya, juga
Shita. Ini adalah pernikahan sahabat mereka. Kedua muda mudi itu pasti sangat
bahagia, dan ingin menunjukkan kebahagiaan mereka di hadapan pengantin nanti.
Tante Farah tidak ingin karena kemurkaan suaminya, kebahagiaan Rangga dan Shita
akan buyar. Tante Farah juga tak ingin tangan suaminya menyakiti putranya lagi
seperti yang sudah-sudah.
Sementara itu,
Rangga menahan rasa was-was di belakang Om Doni. Dari tatap mata papanya,
Rangga bisa menduga kalau papanya telah tersulut emosi. Mungkin juga sudah siap
mengamuk. Dalam hatinya, Rangga masih tetap berharap papanya tidak akan membuat
keributan di sini. Ia tidak ingin pesta pernikahan sahabatnya ini rusak
gara-gara masalahnya.
Beberapa saat
keenamnya hanya berdiri mematung membiarkan orang-orang melewati mereka, Rangga
akhirnya bergerak. Ia menarik tangan Shita, dan berjalan melewati Om Doni,
hendak masuk ke dalam gedung. Namun, belum sampai kaki Rangga menapak di pintu,
Om Castano Menyongsongnya, lantas menyeret pemuda itu keluar dengan kasar.
Shita yang berada di gandengan Rangga bahkan sampai terhuyung dan hampir jatuh
karena seretan kasar Om Castano. Untung Rangga dengan sigap bisa menangkap
tubuh Shita.
"Sudah Papa
bilang jangan berhubungan lagi dengan anaknya si brengsek ini, Rangga!"
geram Om Castano dengan gigi menaut.
Mendengar sebutan
kasar yang ditujukan untuk dirinya itu, Om Doni langsung terperangah. Hatinya
meradang perlahan. Sekuat tenaga lelaki itu menahan gelegak di dadanya agar tak
ikut emosi seperti lelaki di depannya.
Dengan sigap,
tante Farah langsung mendekati mereka, dan menarik suaminya agar sedikit
menjauh dari Rangga. "Papa, jangan ribut di sini. Malu sama orang-orang,
Pa."
Om Castano menepis
tangan istrinya dengan kasar. "Tinggalkan dia, Rangga!"
"Cast!"
Terdengar Om Doni berseru. "Masalah kita tidak ada hubungannya sama
anak-anak. Seharusnya kamu tidak menghukum mereka karena kesalahan kita di masa
lalu."
"Kesalahan
kita?" Om Castano menyahut sambil memalingkan wajah ke Om Doni. "Kamu
bilang ini kesalahan kita? Apa kamu tidak ingat kalau kamu yang menghianatiku?
Juga dia." Kali ini pria tengah baya itu melirik Tante Mira yang matanya
telah basah. "Kalian berdua ... memang pengkhianat."
"Sebelum
menuduh kami penghianat, seharusnya kamu berkaca, Cast. Apa kamu juga sudah
lupa, apa yang kamu lakukan sebelum aku menikahi Mira? Kamu juga sudah
menghianatinya? Dan sebenarnya, satu-satunya penghianat adalah kamu. Kamu harus
sadar itu. Aku tidak akan mengambil dia darimu kalau kamu tidak menghianatinya
seperti itu. Jadi ..."
"Cukup,
Pa." Tante Mira yang sudah tidak tahan menyaksikan perdebatan itu langsung
memotong kalimat suaminya. "Kita tidak perlu membuka semua aib kita di
sini. Ini tempat umum. Malu dilihat orang." Air mata Tante Mira meleleh
sudah. Wanita itu memandang sekeliling, dan mendapati beberapa orang tengah
memperhatikan mereka.
"Sebaiknya
kita masuk dan memberi selamat dulu. Dan tolong, Cast, jangan ungkit masalah
itu lagi, setidaknya di tempat ini." Nada suara Tante Mira memelas.
"Masalah itu sudah lama berlalu. Kenapa kamu masih mendendam sampai
sekarang? Buang semuanya, Cast, karena dendammu itu tak ada gunanya. Tatap masa
depan, jangan terus terkungkung oleh masa lalu. Biarkan anak-anak bahagia
dengan cinta mereka. Jangan halangi kebahagiaan mereka. Biarkan mereka
bersama."
"Tidak akan!"
tolak Om Castano, dengan nada tajam dan menusuk. "Jangan harap aku akan
menerima anak kalian sebagai menantu di keluargaku. Semua pintu masuk ke dalam
keluargaku sudah aku tutup untuk keluarga kalian, dan jika kalian nekat
mendobrak pintuku, aku tidak akan segan-segan melakukan hal buruk pada anak
kalian. Ingat itu baik-baik."
"Oke,
baiklah." sahut Om Doni, kali ini sudah habis kesabaran. "Kamu sudah
berbicara seperti itu, jadi aku tidak mau mengambil resiko. Aku pikir kamu
sudah dewasa, berwawasan luas, dan akan memandang semua hal dengan pikiran luas
juga. Tapi, ternyata tidak. Pikiranmu sempit. Egoismu terlalu besar, dan aku
tidak akan membiarkan anakku jadi korban keegoisanmu." Om Doni meraih
tangan Shita dengan sigap, lantas menariknya untuk mengajak Shita menjauh dari
sana, "Ayo, Ta."
"Tapi, Om
..."
"Maaf, Ngga.
Om nggak bisa ngebiarin kalian terus bersama. Rumahmu ternyata seperti kandang
macan untuk Shita. Om nggak bisa ngebiarin anak Om diterkam sama
penghuninya." Lalu, Om Dhoni mengajak putri dan istrinya ke toilet untuk
membenahi diri sebelum masuk ke ruang resepsi.
"Jadi, ini
yang dikatakan Rangga waktu itu?" Suara lirih Tante Farah menyentak kedua
anak dan ayah itu. Rangga yang masih memperhatikan kepergian Shita seketika
menengok ke arah mamanya. Sementara itu, Om Castano tercengang di tempatnya.
Karena
kemarahannya, lelaki tengah baya itu lupa pada istrinya. Padahal, ia telah
menyembunyikan rapat-rapat masalah itu agar tak diketahui oleh siapapun. Tapi
malam ini, ia justru membukanya lebar-lebar di depan Tante Farah.
"Jadi, Papa
nggak setuju sama hubungan Rangga dengan Shita memang bukan masalah perusahaan,
tapi karena masalah ini." Suara Tante Farah terdengar bergetar, membuat
kedua lelaki yang mematung di hadapannya serba salah. Wanita itu memegangi
dadanya yang terasa sangat nyeri. Air mata telah menganak sungai di kedua
pipinya. "Jadi, Papa masih menyimpan dendam pada mereka? Atau malah ...
Atau malah sebenarnya Papa masih menyimpan cinta untuk mamanya Shita? Iya,
Pa?"
"Mama?"
Rangga yang lebih dulu bergerak dan menghampiri mamanya karena tak ada
tanda-tanda Om Castano akan menenangkan istrinya. Pemuda itu menopang mamanya
yang kini tampak rapuh. Ia sangat tidak tega melihat wanita yang paling
menyayanginya itu memperlihatkan tatapan sendu seperti itu. "Ma, sudah.
Tidak perlu dibahas di sini."
"Tapi, Ngga
...,"
"Nanti akan
Papa jelaskan di rumah." Akhirnya Om Castano mengeluarkan suara untuk
Tante Farah. Ia menghela napas berlebih sebelum memutar tubuh dan menatap Tante
Farah. "Mendingan, sekarang benahi dulu dandanan Mama. Setelah itu kita
temui Pak Sofyan dan langsung pulang. "
'* *
* * *
Reza terkekeh saat
melihat mobil Ilham berada tepat di depannya saat ia melewati pintu masuk
tempat parkir. Pemuda itu sengaja membuntuti mobil Ilham, karena penasaran
gadis mana yang dibawa Ilham malam ini, mengingat Raisya yang dulu pernah
dikencaninya sekarang telah disamber oleh Bisma.
"Pasti tuh
anak dateng sendirian," pikir Reza, seraya senyum senyum gaje. Terlintas
di pikiran Reza untuk meledek pemuda yang memang jarang dekat dengan cewek itu.
"Kayaknya seru nih kalau diledekin."
Reza semakin
kegirangan saat mendapati tempat di samping mobil Ilham kosong. Tanpa membuang
waktu, pemuda itu menjajari sedan hitam milik Ilham.
Tapi saat Reza
keluar dari mobilnya, ia langsung cengo. Di hadapannya, berdiri seorang gadis
dengan kaki jenjang, kulit putih, rambut panjang dibuat ikal, dan dengan
dandanan yang sangat pas dengan perawakannya. Reza yakin mobil di hadapannya
ini milik Ilham, tapi ia tak begitu yakin kalau gadis di hadapannya itu adalah
gadis yang dibawa Ilham. Bagaimana mungkin Ilham dapat gadis secantik ini?
Pikir Reza.
"Kenapa lo
bengong aja kayak kebo betelor kayak gitu?" Suara dari samping menyentak
pikiran Reza. Ilham berjalan mendekati gadis di depan Reza itu sambil tersenyum
senang. "Dasar playboy cap kadal burik. Nggak bisa lihat cewek cakep
dikit."
Wajah Reza memerah
malu karena ketahuan memperhatikan gadis yang dibawa Ilham. Sebenarnya dia
tidak terpesona. Sungguh, sekarang, dia sudah sepenuhnya menyerahkan hati dan
cintanya untuk Diana seorang. Ia telah menutup pintu hatinya untuk siapa pun,
karena ia ingin Diana menjadi yang terakhir dalam hidupnya. Jadi, secantik
apapun gadis di hadapannya, Reza sama sekali tak tertarik. Ia cengo karena
heran kenapa Ilham yang sepertinya sering menarik diri dari perempuan itu bisa
dengan cepat menggaet gadis-gadis cantik seperti Raisya, juga gadis di
hadapannya itu?
"Wah, gawat
nih orang." Ilham berseru lagi, saat ia sampai tepat di samping gadis
bergaun biru itu. "Lagi bawa pacar juga sempet-sempetnya ngeliat cewek
lain. Kalau gue jadi ceweknya mah, udah gue sirem mukanya pakai air comberan
biar cepet sadar."
"Lo kira gue
lagi pingsan, apa?" Reza menyahut. "Ngomong-ngomong, siapa, nih?
Perasaan waktu itu yang gue lihat bukan yang ini." Reza sengaja ingin
membuat hati gadis yang kini menggamit lengan Ilham itu meradang.
Namun, bukan
perubahan raut buruk yang Reza lihat di wajah gadis itu. Gadis itu justru
mengembangkan senyum. Senyum ramah dan ... sangat manis menurut Reza.
"Lo mau
manas-manasin dia? Jangan harap bisa mempan!"
"Kenapa? Dia
bukan gebetan lo?"
"Eum ...
Kalau gebetan sama pacar itu beda, berarti emang dia bukan gebetan gue. Dia ...
pacar gue," sahut Ilham dengan bangga. "Tapi dia nggak cemburuan
orangnya."
"Pacar?"
Mata Reza menyipit tak percaya. "Serius?"
"Serius,
lah."
"Kok
bisa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Reza seolah
kenyataan bahwa Ilham punya pacar itu hal yang mustahil.
Ilham berubah
cemberut mendengar pertanyaan Reza. "Emang lo pikir lo doank yang bisa
punya pacar? Emang lo pikir orang kayak gue nggak bisa pacaran?" Nada
suara Ilham jelas-jelas sewot. Gimana nggak sewot kalau disangka nggak bisa
punya pacar? Yach, meskipun kenyataannya memang Ilham belum punya pacar sampai
sekarang, sih. Fryda kan cuma pacar bohongannya. Tapi, dia tetep aja kesel Si
Reza nggak percaya sama dia kayak gitu.
"Gue cuma
heran aja lo bisa ngegaet cewek cantik kayak dia." Pernyataan Reza kali
ini bisa membuat hati Ilham yang sempat panas berubah sejuk. Kali ini pemuda
itu tersenyum gaje penuh kemenangan, menyadari kalau orang yang paling doyan
meledeknya itu akhirnya mengakui kejantanannya sebagai cowok.
"Jangan suka
ngeremehin seorang Ilham, sobat. Gini-gini gue juga bisa ngedapetin cewek
cantik mana pun." Ilham berujar bangga lagi, seraya menepuk-nepuk bahu
Reza membuat Reza langsung mencibir. "Ayo, sayang. Kita buruan masuk.
Kalau kita di sini terus takutnya kamu jadi korbannya si kucing garong lagi!"
"Sial, lo.
Gue bukan kucing garong."
"Trus apa?
Buaya mangap? Atau kadal burik?" Ilham tergelak, lantas benar-benar pergi
dari sana tanpa mempedulikan Reza yang ngedumel-dumel karena kesal.
Perasaan tadi Reza
yang mau ngeledekin Si Ilham. Tapi kenapa akhirnya justru malah dia yang kena?
"Dii, malam
ini lo musti jaga Si Reza bener-bener, ya. Kalau bisa sekalian aja matanya lo
iket pakai kain. Soalnya, kayaknya sisa-sisa mata keranjangnya masih nemplok di
dia tuh." Sayup-sayup Reza mendengar suara Ilham yang ternyata bertemu
dengan Diana di belakang mobilnya. Terang saja omongan Ilham itu membuat Reza
semakin menceracau nggak jelas.
Ilham malah
tertawa keras saat Reza memakinya, membuat Reza pengen banget ngangkat mobil
Ilham trus nggebuk Ilham pakai mobil itu. *Emang bisa?*
* *
* * *
Bisma berdiri di
sudut ruangan bersama Raisya di sebelahnya. Di tangannya, tersemat gelas yang
isinya tinggal setengah. Tatapan pemuda itu lurus ke depan, ke arah pintu masuk
yang berlalu lalang para tamu. Di matanya, terlihat jelas kegelisahan yang amat
sangat.
Bukan tanpa alasan
pemuda itu menancapkan pandangan di pintu masuk seperti itu. Ia ingin melihat
orang tuanya melewati pintu itu, dan akan langsung mengambil langkah seribu
untuk menghindar begitu orang tuanya memasuki ruangan. Ia tidak ingin bertemu
orang tuanya dulu. Tepatnya tidak siap. Ia tidak siap menjawab pertanyaan orang
tuanya tentang hubungannya dengan Nanda. Ia tidak siap melihat ekspresi orang
tuanya saat melihat Bisma bersama orang lain, bukan dengan Nanda. Dan yang
paling penting, Bisma tidak siap memperkenalkan Raisya kepada orang tuanya
meski dari tadi Raisya bilang ingin sekali diperkenalkan.
"Bii, ntar
kamu nyanyi, ya." Ucapan Raisya itu membuat Bisma tersentak dari
lamunannya.
Pemuda itu
menoleh, dan bertanya, "Apa?" Karena merasa belum jelas dengan apa
yang dikatakan Raisya.
"Entar kamu
nyanyi, ya," jelas Raisya sekali lagi. "Nyanyi buat aku. Di panggung
situ tuh."
Bisma mengikuti
arah yang ditunjuk Raisya, dan menemukan sekelompok house band tengah
bersenandung di atas panggung. Dahi Bisma mengernyit. Baru saja ia berpikir
untuk menghindar, Raisya malah memintanya nyanyi di atas panggung. Terang saja
Bisma menjawab, "Nggak mau ah."
"Kenapa, Bii?
Ayolah. Sekali ini aja."
"Nggak mau,
Sya. Aku nggak bisa nyanyi. Suaraku jelek. Malu-maluin."
"Bohong!"
Gadis itu merengut. "Aku pernah dengar kamu nyanyi. Suaramu bagus. Keren.
Nggak kalah sama vocalist house band itu. Ayolah, Bii."
Bisma berdecak
keras. Raut wajahnya jelas-jelas menampakkan kekesalan. Ia sedang tidak ingin
menampakkan diri di depan orang-orang yang ia kenal, terutama di depan orang
tuanya. Tadi dia ke sini hanya dengan satu tujuan. Mengucapkan selamat kepada
Morgan, lalu pergi. Tapi sekarang, gadis saiko itu malah memintanya
macam-macam.
Mulut Bisma hampir
terbuka untuk melontarkan penolakan lagi saat tiba-tiba, ekor matanya menangkap
sosok seorang gadis bergaun kuning yang berjalan anggun bersama seorang pemuda
bermata sipit menuju sudut lain gedung pesta itu. Meski Bisma tak begitu jelas
melihat wajah gadis itu, tapi ia tahu pasti bahwa gadis yang tengah bersama
Rafael itu adalah Nanda. Wajah Nanda tertunduk, seolah malu memperlihatkan
mukanya. Mungkin sekarang matanya bengkak dan memerah karena terlalu banyak
menangis. Pikir Bisma. Dan pikiran tentang Nanda yang tengah terpuruk itu
membuat hatinya seperti dihujam dengan pisau belati. Sakit.
Pemuda itu terus
mengawasi Nanda yang kini duduk di sebuah kursi, membiarkan Rafael pergi mengambilkan
minuman.
"Heh!"
Raisya mengibaskan tangannya di depan muka Bisma, membuat Bisma tersentak
sekali lagi. "Kok malah bengong, sih? Gimana? Mau, ya."
Bisma berdecak
lagi, lantas membuang napas keras. Gadis ini benar-benar ingin membuatnya naik
darah. Kalau Bisma benar-benar tidak mengabulkan permintaannya, pasti dia akan
bikin onar, dan Bisma tidak mau itu terjadi.
Pemuda itu melirik
Nanda sekali lagi. Di salah satu sudut ruangan, Nanda tengah duduk sendirian. Entah
ke mana Rafael pergi, sampai Nanda dibiarkan sendirian seperti itu. Lagipula,
kenapa Nanda hanya duduk di sudut ruangan seperti itu? Apa dia sakit? Apa
kejaadian kemarin membuatnya sakit? Pikiran-pikiran itu bergelayut di otak
Bisma, membuat hatinya semakin gelisah.
Di saat
kegelisahan tengah memberangus, tiba-tiba ada sebuah ide muncul begitu saja di
benaknya. Pemuda itu menoleh ke arah pintu, namun belum juga menemukan
kelebatan orang tuanya. Masa bodoh. Batinnya.
"Baiklah."
Akhirnya Bisma menjawab. "Ntar aku nyanyi." Tapi bukan buat kamu. Lanjut Bisma dalam hati.
Memang bukan buat
Raisya. Tapi Bisma ingin menyanyikan sebuah lagu untuk Nanda. Ia ingin mengirim
pesan kepada Nanda lewat lagu itu. Bisma yakin Nanda pasti mengerti. Lewat lagu
itu, Nanda pasti akan tahu kalau semua hal yang dilakoni Bisma kali ini
bukanlah kemauannya. Nanda pasti mengerti, dan ia tak akan sedih lagi karena ia
akan tetap yakin kalau Bisma masih mencintainya. Seperti dulu. Ya, hanya dengan
cara itu. Hanya lewat lagu itu. Raisya pun tak akan curiga. Ia akan mengira
kalau lagu itu untuknya. Tak peduli meski orang tuanya akan melihatnya sekali
pun. Yang penting Nanda tahu kalau cinta Bisma hanya untuk Nanda, bintang yang
bersinar paling terang di langit hatinya.
* *
* * *
Tatapan Morgan
menerawang. Ia masih penasaran dengan Bisma. Kenapa di hari pernikahannya
dengan Afra ini kawan baiknya itu justru membawa Raisya, bukan Nanda yang
menjadi sahabat istrinya? Ada apa dengan mereka? Bukankah belum lama ini
hubungan mereka justru malah lebih serius?
Pertanyaan-pertanyaan
yang menggelantung di benaknya itu membuat Morgan beranjak dari duduknya dan
berjalan menuju pintu. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia harus
menanyai Bisma sebelum membuat istrinya shock karena melihat keadaan sahabatnya
yang buruk. Kalau ia tahu alasan Bisma membawa Raisya, paling tidak ia bisa
menjelaskan pada istrinya tanpa membuat waanita hamil itu shock.
"Morgan mau
ke mana?" Seruan Tante Nita itu tak membuat langkah Morgan terhenti.
"Morgan jangan ke mana-mana. Sebentar lagi pestanya dimulai." Suara
Tante Nita semakin terdengar sayup di telinga Morgan karena ia semakin menjauh
dari ruang rias. Ia harus bertemu Bisma dan bertanya ada apa sebenarnya,
sebelum ia mati karena penasaran.
Pemuda itu
menuruni tangga yang menghubungkan ruang rias dan bagian belakang gedung, lantas
melewati toilet untuk menuju ke aula resepsi. Sebenarnya, tepat di depan ruang
rias ada tangga utama yang bisa mengantarkannya ke aula resepsi. Tapi tentu
saja ia tak bisa melewatinya. Tangga utama itu adalah tangga yang khusus
dipersiapkan untuk jalannya pengantin beserta pendampingnya menuju pelaminan.
Ketika langkah
kakinya tiba di belokan sudut toilet, ia berhenti. Matanya menyipit, jidatnya
mengerut. Tak jauh dari ia berdiri, seorang pemuda berpipi cubby yang sangat ia
kenal tengah bersandar di dinding dengan muka menengadah dan mata terpejam. Di
wajahnya, tergambar jelas raut kekhawatiran, kekesalan, dan kesedihan yang
membaur.
"Rangga?"
gumamnya. "Kok datang ke acara gue pasang tampang frustrasi gitu?"
Menyadari ada
sesuatu yang ganjil, Morgan akhirnyaa membelokkan langkah dan menghampiri
pemuda itu, lantas menepuk bahunya dengan satu sentakan keras.
Kaget, pemuda itu
langsung membuka mata dan menatap Morgan dengan mata membola. "Morgan?"
"Iya,
gue."
"Kok lo ada
di sini, sih?"
"Mau lo gue
ada di mana? Di kampus? Ini kan tempat resepsi pernikahan gue. Wajar dong kalau
gue ada di sini."
"Maksud gue
... Di atas emang nggak ada toilet khusus? Kok lo ke bawah?"
"Gue ke sini
bukannya mau ke toilet. Tapi ...," Morgan kembali menyipitkan mata. Ia
benar-benar merasa ada yang tidak beres pada sahabatnya itu. "Lo sendiri
kenapa? Kok muka lo aneh gitu? Pakai acara ngelamun di depan toilet lagi. Shita
mana?"
"Shita? Eum
..." Agaknya, pemuda itu bingung untuk menjawab. "Shita ... Ada kok.
Lagi ke toilet."
"O, jadi lo
lagi nungguin Shita. Trus ngapain muka lo pake ditekuk gitu? Temennya lagi
happy juga. Bukannya ikutan happy malah manyun. Kenapa lo? Lagi berantem ama
Shita?"
Rangga hanya
tersenyum kecut, lantas menggeleng. "Enggak, kok. Gue sama Shita nggak
berantem. Cuma ...,"
Belum sempat ia
melanjutkan kata-katanya, mata Rangga menangkap sosok seorang gadis yang keluar
dari toilet perempuan bersama seorang wanita tengah baya di sampingnya. Mata
gadis itu menatap tepat ke matanya, membuat pemuda itu tak bisa bersuara lagi.
Morgan mengikuti
arah mata Rangga, dan menemukan Shita yang kini menatap Rangga dengan raut
sendu. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat mata gadis itu merah, seperti
habis menangis. Mata wanita tengah baya yang ada di sampingnya pun sama. Morgan
semakin bingung dengan apa yang ada di hadapannya. Tidak mungkin tidak ada yang
terjadi di antara kedua sahabatnya itu. Pasti ada apa-apa.
Belum sempat ia
bertanya apa-apa, Morgan dikejutkan kembali oleh kedatangan seorang lelaki yang
tiba-tiba meraih tangan Shita dan mengajaknya pergi dari sana tanpa menyapa
Rangga sama sekali. Lelaki yang Morgan tafsir adalah ayahnya Shita itu bahkan
tak melirik Rangga sedikit pun. Hanya pandangan Shita yang sendu yang
mengiringi kepergian rombongan itu.
"Ngga, itu
tadi ...,"
"Bokapnya
Shita." Rangga melanjutkan omongan Morgan, lantas mendesah berat dan
kembali menengadahkan mukanya sambil berkacak pinggang.
"Lo bilang
bokapnya Shita nerima aja hubungan lo sama Shita. Kok sekarang dia ngeliat lo
aja kayak anti banget gitu, sih?"
Rangga menghela
napas sekali lagi untuk menghalau debur jantungnya yang kencang. "Tadi ...
bokapnya Shita ketemu sama bokap gue, dan ... yach ... gitulah. Bokap gue
ngomongnya memang keterlaluan. Wajar aja kalau bokapnya Shita marah."
"Astaga,
trus? Restu buat lo sama Shita dicabut sama bokapnya Shita?"
"Gue nggak
tahu. Mungkin ... Ah, udahlah. Lo nggak usah mikirin soal gue. Malam ini punya
lo. Lo harus happy. Ok?" Rangga mencoba tersenyum sembari menepuk bahu
Morgan. Senyum yang terasa sangat hambar di mata Morgan.
Bukannya puas
dengan jawaban Rangga itu, Morgan malah semakin merengut. "Nggak bisa,
Ngga. Gimana gue bisa happy kalau keadaan teman-teman gue lagi kayak gini?
Belum lagi Si Bisma. Apa-apaan tuh bocah malah bawa-bawa Si Raisya ke
sini?"
Mata Rangga
seketika melebar. "Lo tahu dari mana Bisma bawa Raisya ke sini?"
"Tadi gue
ngelihat Si Bisma pas gue lihat-lihat parkiran dari atas."
"Sebenarnya
...." Rangga menggantungkan kalimatnya. Jelas terlihat keraguan dalam nada
bicara pemuda itu.
"Sebenarnya
apa yang terjadi sama Bisma?"
"Sebenarnya
gue juga nggak tahu kenapa Bisma tiba-tiba sama Raisya. Udah hampir dua minggu
gue nggak ngomong sama Bisma. Eh?" Rangga menutup mulutnya sendiri begitu
menyadari apa yang diungkapkannya itu salah. Tidak seharusnya ia memberitahukan
apa yang terjadi antara dia dengan Bisma pada Morgan di saat seperti ini.
"Apa? Lo tadi
bilang apa?"
"Ah, udahlah,
Gan. Nggak usah pikirin masalah kita dulu."
"Enggak,
Ngga. Lo tadi bilang lo nggak ngomong sama Bisma? Hampir dua minggu? Kenapa,
Ngga? Lo berantem sama Bisma?"
"Enggak, Gan.
Pokoknya udahlah. Nggak perlu bahas masalah itu."
"Nggak bisa.
Gue pengen tahu. Selama bertahun-tahun kita temenan, belum pernah kita berantem
sampai nggak ngomong berhari-hari kayak gini. Ada apa sebenarnya sama kalian?
Kenapa sepeninggalan gue semua jadi kacau begini."
"Gan,
udahlah. Lo nggak usah pikirin ...,"
"Gan!!!"
Teriakan itu membuat kalimat Rangga berhenti. "Lo ngapain malah di situ?
Semua orang di ruang rias pada ribet nyariin lo tuh. Buruan balik."
"Bentar!"
Sahut Morgan setelah menoleh ke arah suara yang ternyata diteriakkan oleh Randy,
adiknya yang kini mendekati mereka.
"Buruan."
Randy menyahut tangan Morgan untuk mengajaknya segera kembali ke ruang rias.
Namun, Morgan mengibaskan tangan adiknya dengan kasar.
"Bentar,"
ujarnya. "Ngga, gue sebenarnya cuma bingung apa yang musti gue bilang sama
Afra kalau kalian dateng sendiri-sendiri kayak gini? Lo tahu sendiri sekarang
keadaan Afra kayak gimana. Gue musti ekstra hati-hati jaga perasaannya. Kalau
dia lihat temen-temennya kayak gini, dia pasti kepikiran, Ngga. Gue harus
gimana?" Suara Morgan mulai terdengar frustrasi.
Rangga sendiri
hanya memalingkan muka, lantas menghela nafas. Afra memang sudah pasti bingung
mereka datang ke pernikahannya terpencar-pencar seperti ini. Tapi dia sendiri
juga bingung harus bagaimana.
Sementara itu,
Randy yang tidak mengerti dengan percakapan itu hanya bengong menatap kakak dan
kawan kakaknya itu bergantian. Wajah mereka terlihat kacau. Randy jadi
menimbang-nimbang apakah ia perlu bertanya apa yang terjadi sebenarnya.
Setelah beberapa
saat suasana hanya didominasi oleh keheningan, akhirnya Randy menyela juga.
"Ehm, ada yang bersedia ngasih tahu gue apa yang sebenarnya terjadi? Siapa
tahu gue bisa bantu."
"Nggak ada
apa-apa kok, Ran. Semua baik-baik aja." Rangga menyahut.
"Tapi
ngomong-ngomong abang gue musti siap-siap sekarang. Acaranya udah mau mulai.
Bisa nggak kalian lanjutin ngobrolnya ntar aja abis acara selesai? Atau
...,"
"Nggak bisa,
Ran."
"Oke, gini
aja deh, Gan. Ntar kalau Afra tanya, lo bilang aja gue sama Shita emang sengaja
datang sendiri-sendiri, soalnya kita nggak enak sama orang tua kita. Takut
nanti malah ribut. Ntar gue BBM Shita biar dia bersikap seolah nggak ada
apa-apa."
Morgan tampak
mencerna apa yang diungkapkan Rangga barusan. Setelah diam beberapa saat,
pemuda itu bersuara lagi, "Trus Bisma gimana?"
"Kalau Bisma
...," Kata-kata Rangga menggantung. Dia sendiri bingung apa alasan yang
tepat untuk masalah Bisma. Orangnya sendiri tidak ada di sini. Mana bisa diajak
berkompromi? Lagi pula dia sekarang sudah benar-benar membawa Raisya ke sini.
Bukan tidak mungkin nanti Afra melihat kebersamaan mereka. "Kalau soal
Bisma, gue nggak ada ide, Gan," ucap Rangga, membuat Morgan menggeram.
"Gue musti
ketemu Bisma. Gue musti ketemu Bisma sekarang." Hampir pemuda itu angkat
kaki dari sana kalau tangannya tidak ditahan oleh Randy, juga Rangga.
"Lo mau ke
mana? Semua orang lagi ribet nyariin lo. Jangan bikin masalah deh."
"Lo nggak
ngerti, Ran."
"Gimana gue
mau ngerti kalau kalian nggak ngasih tahu gue apa masalahnya? Makanya kasih
tahu gue kalau ada masalah. Ntar kita pecahin masalahnya bareng-bareng."
"Ya udah deh,
Gan. Daripada masalahnya makin ruwet, ntar gue temuin Bisma aja. Ntar gue
ngomong sama dia biar dia nggak muncul bareng Raisya di depan Afra."
"Yakin lo mau
ketemu dia? Lo bilang lo nggak ngomong-ngomong sama dia? Gue nggak yakin lo mau
ngomong sama dia, Ngga. Mendingan gue sendiri yang ngomong."
"Ya Tuhan,
kalian ini. Bisa nggak, nggak bikin gue jadi kayak orang bego? Sebenarnya ada
masalah apa? Mau ngomong apa sama Bisma? Apa masalahnya? Kalau kalian nggak
bisa ngomong biar gue yang ngomong. Sekarang lo tuh lagi ditungguin banyak
orang di ruang rias, Gan. Jangan berkeliaran ke mana-mana lagi. Lo mau ngomong
apa sama Bisma? Ngomong sama gue biar gue sampein ke Bisma kalau emang Rangga
nggak bisa ngomong. Sekarang lo musti balik sebelum semuanya jadi kacau."
Bukannya menjawab,
Morgan sama Rangga malah kompak diam. Nafas mereka terdengar memburu, tanda ada
sedikit emosi yang menyala di hati mereka. Melihat kedua orang di hadapannya
sama-sama bergeming, Randy akhirnya bersuara lagi. Kali ini dengan nada lebih rendah.
"Percaya sama gue. Gue pasti bakalan sampein ke Bisma apa yang pengen lo
omongin."
Karena merasa
sudah tidak ada cara lain, akhirnya Morgan benar-benar menyerahkan masalah itu
kepada adiknya. Ia lebih yakin kalau pesannya akan sampai ke Bisma lewat Randy
daripada lewat Rangga.
* *
* * *
Diana yang sejak
awal memang mood-nya agak buruk bertambah buruk lagi saat melihat kejadian di
parkiran tadi. Ternyata, Diana tadi melihat saat Reza begitu spechless-nya
melihat gadis yang dibawa Ilham. Ia mengira kalau Reza tengah terpesona melihat
gadis yang memang sangat cantik itu. Diana bahkan diam saja saat Reza
berkali-kali minta maaf sama dia dan menjelaskan bahwa apa yang dipikirkannya
itu salah.
Saat ini, gadis
itu berjalan mendahului Reza tanpa mau menggamit lengan Reza layaknya
pasangan-pasangan lain yang datang ke pesta itu.
"Diana,
tunggu. Jalannya pelan-pelan," pinta Reza, tapi tak digubris juga oleh
Diana. Gadis itu nyelonong aja seperti bajai yang remnya blong.
Langkahnya baru
benar-benar berhenti saat Reza mencekal tangannya dan menggiring tubuhnya
sampai mentok ke tembok dekat tikungan.
"Dengerin
Kakak. Kakak tahu kamu sekarang lagi sensitif, tapi tolong jangan berpikir
aneh-aneh tentang Kakak. Berapa kali Kakak musti bilang kalau cinta Kakak
benar-benar cuma buat kamu? Tadi Kakak cuma kaget aja lihat temen Kakak yang
tidak pernah berhubungan sama cewek itu tiba-tiba bawa cewek. Cuma itu."
Reza sampai terengah-engah saat melontarkan semua kata-katanya.
Pemuda itu
memperhatikan wajah gadisnya yang kini tampak teegang, dan nafasnya pun
memburu. Matanya kini memerah. Ada bening yang memenuhi kelopak matanya, yang
jika dibiarkan pasti akan segera jatuh. Namun Reza tak ingin membiarkannya. Pemuda
itu meraih kedua telapak tangan kekasihnya, lantas berbicara lebih pelan,
"Percaya sama Kakak. Kakak benar-benar menginginkan kamu menjadi
satu-satunya wanita yang paling berarti dalam hidup Kakak selain ibunya Kakak.
Jadi jangan pernah meragukan cinta Kakak."
Reza menatap
dalam-dalam mata Diana, yang disambut juga oleh gadis itu. Setelah saling diam
beberapa saat, Diana menghela napas pelan, lantas mengangguk, membiarkan
hatinya yang sesaat lalu membeku kini mencair karena kata-kata dan tatapan
Reza.
Reza tersenyum
melihat Diana yang sepertinya tak marah lagi padanya. Dan ternyata senyuman
Reza juga disambut. Gadis itu juga menyunggingkan senyum kecil yang terlihat
benar-benar ringan di mata Reza.
Hampir Reza
mendaratkan sebuah kecupan hanyat di kening Diana kalau Diana tidak tiba-tiba
menengok dan menggumam, "Dicky?"
Reza langsung
mengikuti arah tengokan Diana begitu mendengar nama itu, dan langsung
mengernyitkan dahi saat melihat siapa orang berjalan tak jauh dari tempatnya
berdiri.
Dicky? Kok dia
bisa ada di sini? Batin Reza.
Ketika Dicky
hampir sampai di dekat mereka, Reza tiba-tiba tersenyum licik, lantas mengecup
kening Diana dengan hangat dan cukup lama, membuat pemuda itu sontak
menghentikan langkah. Pandangan Reza tetap menancap pada wajah pemuda berponi
kecoklatan itu untuk melihat reaksi apa yang akan ditunjukkannya. Benar saja.
Reza melihat perubahan mimik wajah yang buruk pada muka Dicky. Keranjingan
membuat hati pemuda di dekatnya panas, Reza langsung menggamit pinggang Diana,
dan mengeratkan tubuh mungil itu ke tubuhnya.
Tadinya Reza mau
menyapa. Tapi tiba-tiba Dicky membuang muka dan langsung pergi tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kok diem
aja, sih?" ujar Diana, seraya memperhatikan kepergian Dicky. Senyum lebar
yang tadi sepertinya ingin ia persembahkan untuk Dicky kini menguap begitu
saja, berubah menjadi kerutan di kening.
"Emang kenapa
kalau dia diem? Kamu pengen disapa?" Gantian Reza yang pura-pura merajuk.
"Ya bukan
gitu. Aneh aja. Kok dia asal nyelonong gitu. Kayak nggak kenal. Apalagi tadi
dia lihat Kak Reza nyium Diana gitu. Biasanya kan kalau ada orang lihat
temennya dimesrain sama cowoknya gitu dia ngeledekin. Tapi kok dia malah asal pergi
aja?"
"Mungkin dia
cemburu," seloroh Reza, asal.
"Cemburu
apaan? Emang dia apanya Diana gitu pakai-pakai cemburu segala?"
"Emang dia
bukan apa-apa kamu?"
"Menurut Kak
Reza, emang dia apanya Diana?"
Mendapat
pertanyaan yang kini diucapkan Diana setengah sewot tapi terlihat riang, Reza
justru diam saja. Pemuda itu justru tersenyum tanpa menjawab. Kali ini dia
sepertinya sudah tahu jawaban atas pertanyaan yang menggantung di hatinya sejak
Clara menelponnya waktu itu. Dari tingkah Diana saat ini, ia sangat yakin kalau
Diana memang tidak menyimpan rasa apapun untuk Dicky, apalagi sampai selingkuh
di belakangnya dengan pemuda itu. Orang yang selingkuh pasti akan terlihat
gugup kalau bertemu selingkuhannya di depan pasangannya. Tapi Diana tidak. Dia
terlihat biasa saja.
Kalau Dicky, Reza
sepertinya mencium virus merah jambu di hati Dicky. Lihat saja ekspresinya
tadi. Pemuda itu terlihat kesal saat Reza beradegan mesra dengan Diana. Di
dekatnya. Jika memang feeling Reza itu benar, artinya Reza harus ekstra
hati-hati menjaga perasaannya Diana. Omongan Clara waktu itu pasti ada
alasannya. Mungkin dia pernah melihat Diana jalan berdua dengan Dicky. Mungkin
Dicky dan Diana memang akrab. Dan kalau memang mereka berdua benar-benar akrab,
bukan tidak mungkin Diana nanti akan lari ke Dicky kalau sampai dia kecewa pada
Reza. Reza tidak mau itu terjadi.
"Cewek yang
dibawa Dicky kok dari tadi nengok ke sini mulu? Kakak kenal sama dia?"
Reza langsung
menengok ke arah Dicky yang kini telah menjauh. Gadis itu memang tengah
menengok ke arahnya, dan sepertinya wajah gadis itu tak asing. Tapi Reza
agak-agak lupa siapa dia.
Begitu memorynya
menemukan tentang cewek itu, mata Reza seketika membulat. "Vita?"
"Kakak
kenal?"
Bersambung
By: Novita SN
No comments:
Post a Comment