Sejak membuka mata tadi, perhatian Diana langsung
tertuju kepada pemuda yang duduk di sudut ruangan sambil sesekali melempar
pandangan ke arahnya itu. Sekarang pun, saat seseorang mengambil gambarnya,
mata Diana tertuju pada pemuda itu. Pemuda itu seperti tak asing lagi buat
Diana. Pandangan matanya, suaranya yang khas meski tertutup selayer, dan … poni
kemerahan yang menggantung di puncak dahinya. Diana mengenal pemilik poni itu.
“Dicky?” desis Diana dalam hati, dengan rasa penasaran
memberangus hatinya.
"Gue pergi dulu. Kalian jaga dia baik-baik,
ya," ujar si pemotret, seraya meneliti layar mungil di tangannya.
"Siap, Bos." Dua orang lelaki yang berdiri
di depan pintu menjawab serempak.
"Pokoknya jangan sampai nih anak kabur. Tunggu
aba-aba dari gue. Kalau gue suruh lepas, kalian lepasin aja dia,"
tegasnya. "Dan lo ..." matanya beralih ke pemuda di sudut ruangan.
"Kalau lo mau pulang, pulang aja. Biar mereka yang jaga dia."
Pemuda itu tak menjawab. Ia hanya menganggukkan
kepala, tanpa mengangkat wajahnya.
"Perasaan dari tadi lo aneh." Seolah tak
peduli dengan tanggapan lawan bicaranya, si pemotret langsung berlalu dari sana
setelah tersenyum sinis.
Sepeninggal pria itu, kedua orang berbadan tegap yang
berdiri di depan pintu tiba-tiba saling memberi kode, lalu mendekati Diana yang
masih dalam keadaan terikat. Gadis itu membolakan mata ketakutan melihat kedua
pria yang menampakkan wajah devilnya itu. Seolah ingin menjerit, gadis itu
memundur-mundurkan badannya, meski ia tau ia tidak akan bisa mundur barang
selangkah pun.
"Jangan coba-coba sentuh dia," pemuda di
pojok ruangan tiba-tiba berseru. Kedua pria yang hampir mencapai tempat Diana
langsung menengok ke arah suara. "Jangan coba-coba sentuh dia kalau kalian
nggak mau dapet masalah. Tadi Si John kan udah pesan jangan sampai tuh cewek terluka,
kecuali kalau dia yang minta kalian ngelukain cewek itu."
"Gue nggak mau ngelukain, Cky. Gue cuma pengen
ngeliat dia dari dekat. Asli. Cantik banget nih cewek." Ujar salah satu
pria, lalu melanyangkan pandang penuh nafsu ke arah Diana. "Gue cuma pengen
nyolek dagunya dikit."
"Kalau gue tadi sih udah sempet ngelus-elus
pipinya, Son. Kan gue tadi mangku dia." Pria yang satunya tergelak.
"Jangan coba-coba sentuh dia lagi kalau kalian
nggak mau dapet masalah."
Mendengar pembelaan itu, dan panggilan 'Cky' dari
orang yang dipanggil Son itu, Diana jadi benar-benar yakin kalau orang yang
duduk di sudut ruangan itu adalah Dicky. Ia juga yakin sebenarnya Dicky tidak
ingin melakukan penculikan ini. Tapi kenapa dia melakukannya? Pikir Diana,
dengan mata kembali tertuju pada pria di sudut ruangan.
"Ah, lo mah nggak asyik, Cky," gerutu salah
seorang pria. "Kita kan bosen bengong melulu, Cky. Kalau sambil mainin nih
cewek, kita kan jadi ada hiburan dikit."
"Tapi kalau sampe nih cewek kenapa-kenapa tanpa
sepengetahuan abang gue, kalian bakalan dapet masalah. Ngerti?" Pria itu
bangkit, lalu mendekat juga ke arah Diana.
Ia menyeret kedua pria itu menjauh dari Diana, lalu
berkata, "kalian kalau jenuh, mending nonton TV aja di depan. Biar gue
yang jagain dia. Gue bisa jagain dia sambil nge-game."
"Ah, nonton TV bosen, Cky. Sinetron melulu."
Pemuda itu berdecak, lalu berjalan menuju sudut
ruangan untuk mengambil tasnya. Ia membuka tas ransel hitam itu, dan mengambil
dua buah CD bergambar wanita telanjang, lalu diserahkan kepada salah seorang
pria. Mereka tampak menganga lebar seperti kesenengan melihat CD yang diberikan
kepada mereka.
"Nah, ini baru keren. Ok lah. Lo yang jagain dia,
kita berdua ke depan."
Kedua pria itu langsung ngacir begitu menerima CD bokep
itu. Sementara itu, pemuda yang diduga Diana adalah Dicky mengikuti mereka dari
belakang, dan memastikan kalau keduanya telah menonton CD yang diberinya.
Setelah ia benar-benar yakin kedua pria itu menikmati gambar yang ada di CD
itu, ia kembali ke ruangan tempat Diana
disekap, lalu menutup pintunya rapat-rapat.
Pemuda itu lantas membuka selayer yang menutupi
wajahnya, dan terpampanglah wajah manis di balik selayer itu. Pemuda itu
benar-benar Dicky. Diana membolakan mata tak percaya. Dadanya kembang kempis,
antara ingin marah dan penasaran. Ia menatap sinis kepada Dicky. Meski sesaat
lalu pemuda itu menolongnya dari ulah iseng kedua pria yang kini telah berada
di luar, Diana tetap kesal kenapa Dicky menculiknya seperti ini.
Dicky mendekati Diana dengan was-was, lalu berjongkok
di depan gadis itu.
"Sory gue harus ngelakuin ini," bisiknya,
meski suaranya masih terdengar jelas oleh Diana. "Tapi jangan takut. Gue
bakalan ngelepasin lo. Dengerin gue baik-baik. Tali lo bakalan gue lepas. Trus
ntar gue bakalan pergi dari sini biar mereka nggak curiga. Ntar, sekitar
setengah jam setelah gue pergi, lo kabur aja lewat jendela itu." Diana
mengikuti arah tangan Dicky.
"Lo ntar pelan-pelan aja buka jendelanya. Jangan
sampai mereka dengar. Gue bakalan bikin mereka nggak bisa jagain lo, jadi lo
bisa leluasa kaburnya. Kalau lo udah bisa keluar dari sini, lo ikutin jalanan
di depan ke kanan, lurus aja, sampai lo nemuin jalan besar. Di sana bakalan ada
taksi yang nungguin lo. Ntar lo minta anter aja ke asrama." Jelas Dicky
panjang lebar.
Diana hanya menatapnya tanpa menjawab. Gimana mau
jawab? Mulutnya aja ditempel lakban item. Ia hanya memandang Dicky dengan
seribu tanda tanya.
Seolah tau apa yang dipikirkan Diana, Dicky berkata,
"Lo nggak perlu tanya apa-apa sama gue. Nggak perlu tau kenapa gue
ngelakuin semua ini. Yang terpenting, mereka udah dapet gambar lo, tanpa
nyakitin lo. Itu udah cukup. Dan please, jangan tanya apapun, Ok?"
Dicky buru-buru melepas tali Diana. Eh, bukan melepas.
Tapi cuma melonggarkan.
"Lo bertahan aja dengan posisi seperti ini,
sampai gue pergi, biar mereka nggak curiga juga sama gue." Dicky kembali
berjongkok di depan Diana, sambil menatap gadis itu lekat-lekat.
"Lo bisa ngelakuinnya sendiri, kan?" tanya
Dicky, lembut. Diana pun mengangguk. Matanya kini beradu dengan mata Dicky yang
sendu. Entah kenapa, ia menangkap kesedihan di mata itu. Sesaat kemudian, Dicky
mengangkat tangannya, dan mengelus pipi Diana. Lalu, ia berdiri dan menyahut
tasnya sebelum keluar dari ruangan. Dicky menatap Diana yang berwajah bingung
di tengah ruangan, lalu tersenyum samar. Lalu, ia menutup pintunya kembali dan
pergi dari ruangan itu.
'* * *
* *
Bisma terbelalak kaget saat menerima beberapa gambar
dengan sematan ancaman di BBMnya. Ia yang tadi lagi nyantai seketika kelabakan.
Seingatnya, dia tidak pernah punya musuh. Tapi kenapa ada orang yang sampai
tega menculik adiknya? Pemuda itu semakin kelimpungan saat menerima rekaman
suara Diana yang berteriak-teriak minta dilepaskan.
Beberapa saat dalam kebingungan, pemuda itu menerima
telpon dari nomor asing. Ia segera mengangkat telpon itu tanpa pikir panjang
lagi.
"Hallo, Mr. Karisma," sapa si penelpon,
dengan nada santai.
Tapi Bisma tidak bisa santai. Ia yakin yang menelpon
dia itu adalah orang yang mengirim gambar-gambar Diana kepadanya. "Siapa
lo? Apa masalah lo sama gue? Kenapa lo nyulik-nyulik adik gue?" Cerocos
Bisma dengan suara tinggi.
"Woles, Bro. Woles," si penelpon masih
berujar santai. “Gue emang nggak punya masalah sama lo. Tapi lo yang nyari
masalah sama gue.”
“Gue?” Mata Bisma melebar. Ia benar-benar tidak
mengenal si penelpon. Mana mungkin dia cari masalah sama dia? Apalagi seingat
dia, dia belum pernah berniat cari masalah dengan siapapun. “Emang apa yang gue
lakuin sampai lo nganggep kalau gue pengen nyari masalah sama lo?”
“Lo tanya apa yang lo lakuin sampai bikin masalah sama
gue?” terdengar hembusan nafas dari seberang. Sepertinya si penelpon tengah
merokok. “Masalah lo, lo udah bikin adek gue jatuh cinta, dan lo mencampakkan
cinta adek gue.”
“Adek lo?” Dahi Bisma mengerut bingung. “Siapa?”
“Raisya.”
Bisma kaget alang kepalang mendengar nama itu. Untuk
sesaat, nafasnya seperti tercekat. Paru-parunya seperti kosong, kehabisan
oksigen. Jadi yang menculik adiknya kakaknya Raisya?
“Trus… trus sekarang… apa mau lo?” tanyanya, terbata.
“Gue nggak mau apa-apa. Nggak pengen minta tebusan,
atau apapun. Gue cuma mau lo mutusin pacar lo, dan nerima cintanya adek gue.”
“Nggak bisa!” Tegas Bisma, keras. “Gue nggak bisa
ngelakuin itu. Gue nggak bisa kehilangan pacar gue. Dan soal Raisya …” ia
tertegun sesaat sebelum melanjutkan, “sorry, itu emang salah gue. Gue akuin
itu. Tapi gue udah jelasin ke Raisya kalau waktu itu gue Cuma… waktu itu gue
nggak bermaksud kayak gitu. Waktu itu gue lagi frustrasi berat. Jadi apa yang
gue ucapin nggak sesuai sama hati gue. Gue juga udah minta maaf sama adek lo.”
“Dan lo pikir adek gue terima gitu aja? Lo pikir adek
gue nggak sakit hati lo perlakuin kayak gitu? Mikir pakai otak, Bisma … lo udah
ngasih harapan palsu sama adek gue, dan setelah lo puas mainin adek gue, lo
seenak jidat buang dia gitu aja? Gimana kalau adek lo yang diperlakuin kayak
gitu? Apa lo terima?”
Bisma menggigit bibir. Sefatal itukah kesalahannya
waktu itu? Sampai dia melibatkan kakaknya Raisya? Sampai Diana diculik? Bisma
tak bisa berkata-kata lagi. Seluruh katanya seolah dirampas oleh rasa bersalah
yang kini memenuhi dadanya. Otaknya mendadak kosong. Ia tak bisa berpikir apa
yang harus ia lakukan. Meminta maaf juga pasti percuma.
Bayangan kehilangan Nanda tiba-tiba mengelebat di
benaknya, membuat dadanya kian sesak. Ia tidak bisa. Benar-benar tidak bisa
kehilangan gadis yang amat dicintainya itu. Tapi ia juga tidak bisa membiarkan
adiknya kenapa-kenapa. Ia seperti dihadapkan pada buah simalakama. Ia tak bisa
memilih. Dan sebelum otaknya lebih kacau lagi, suara di seberang kembali
menembus gendang telinganya.
“Jawab Bisma! Gimana perasaan lo kalau adek perempuan
lo diperlakuin kayak gitu sama orang?” suara orang itu meninggi.
Bisma menghela nafas dalam kekalutannya. Lalu dengan
ragu, ia bertanya kembali tanpa menjawab pertanyaan dari orang itu, “Ok,
sekarang mau lo apa?”
“Gue udah nyebutin apa mau gue tadi. Lo nggak budek
kan? Lo tadi denger apa yang gue mau kan? Kalau emang lo tadi budek, gue
ulangin permintaan gue sekali lagi, dan lo dengar baik-baik, karena gue nggak
suka buang-buang waktu. Putusin pacar lo sekarang juga, dan terima cintanya
adek gue. Sekarang juga.” Ia menekan kata-katanya.
“Gue butuh waktu. Nggak bisa sekarang.”
“Dan gue nggak punya waktu buat lo,” sahutnya, cepat.
“Putusin pacar lo sekarang, atau lo bakalan lihat adek lo sakit jiwa karena
ulah gue.”
“Apa yang mau lo lakuin sama adek gue?”
“Gue bisa ngelakuin apapun sama adek lo. Jadi dari
pada lo ngelihat adek lo kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam
hidupnya, mendingan lo putusin pacar lo sekarang.”
Perasaan Bisma semakin kalut. Ancaman itu seperti
membuat seluruh persendiannya lemas. Sesuatu yang paling berharga buat Diana?
Itu artinya Diana akan kehilangan …. Tidak. Bisma tidak bisa membiarkan Diana
sakit jiwa karena kesalahannya. Kalau sampai penculik itu benar-benar merenggut
kesucian Diana, bukan nggak mungkin Diana akan terpukul dan depresi. Tapi
bagaimana bisa dia kehilangan Nanda? Nanda sekarang sudah seperti separuh
nyawanya. Mana bisa dia kehilangan gadis itu? Ya Allah, apa yang harus aku
lakukan? Batinnya, bingung.
“Gue nggak punya banyak waktu, Bisma,” si penculik
kembali bersuara, “cepetan lo ke asrama putri sekarang, dan putusin pacar lo.
Gue pengen denger lo mutusin pacar lo, dan nerima cintanya adek gue.”
Bisma tak punya pilihan. Walau bagaimanapun, dia
sangat menyayangi Diana. Dia tidak bisa membiarkan sesuatu terjadi pada Diana.
Yang terpenting sekarang adalah Diana dibebaskan, dan kembali lagi kepadanya.
Untuk masalah Nanda, ia bisa pikirkan lagi nanti. Dia bisa menjelaskan semuanya
kalau Diana sudah bebas. Ya, hanya itu satu-satunya cara.
“Ok, gue turutin kemauan lo,” sahut Bisma, pada
akhirnya. "Tapi dengerin gue baik-baik ya. Gue nggak pernah cinta sama
adek lo. Jadi jangan pernah salahin gue kalau nanti adek lo tambah kesiksa
karena dia cuma bisa milikin tubuh gue. Bukan hati gue."
"Nggak usah banyak ngomong deh lo," si
penculik menyentak keras. "Awas aja kalau lo berani bikin adek gue
kesiksa, gue bakal ngelakuin sesuatu yang lebih dari ini."
"Pada saiko lo, ya?"
"Terserah!!! Sekarang buruan putusin pacar lo,
gue mau denger lo ngomong kalau kalian putus dan nerima cintanya Raisya."
Bisma menggeram keras, lalu memukul tembok di
sampingnya dengan penuh emosi. Tapi
akhirnya, ia melangkahkan kaki dengan berat hati menuju asrama putri. Ia bisa
memastikan Nanda akan sangat terpukul dengan keputusannya yang tiba-tiba. Tapi
ia yakin, nanti pasti akan ada jalan keluar untuk masalahnya ini. Ia sangat
yakin.
‘* * *
* *
Dua orang bermuka sangar itu kini tengah
merintih-rintih kesakitan di dalam toilet. Sudah berulang kali mereka keluar
masuk ruangan berukuran 2x2 meter di lantai bawah itu, untuk membuang kotoran
yang serasa mencengkeram perut mereka. Wajah mereka kini tak lagi sangar. Hanya
ada wajah meringis yang pucat, dengan hiasan keringat sebiji jagung. Geraman
galak mereka yang tadi ia semprotkan ke Diana pun kini berubah menjadi
rintihan-rintihan kecil untuk meluapkan rasa sakit mereka.
Baru saja, Dicky memberi makanan yang telah ia campur
dengan obat pencuci perut kepada mereka. Kedua lelaki yang memang sama-sama
rakus itu sama sekali tak curiga dengan makanan yang dibawa Dicky. Apalagi,
mereka tadi tengah asyik menonton film bokep yang dibawa Dicky. Sebelum obat
itu bereaksi, Dicky sudah pamit pergi dan meminta mereka untuk bergantian
menjaga Diana. Sebelum pergi tadi, Dicky sudah sempat memberitahu Diana tentang
obat pencuci perut itu. Lalu ia berpesan kepada Diana untuk segera kabur dari
sana begitu obat pencuci perut itu bereaksi.
Kini, Diana telah melepaskan sendiri tali yang tadi
dilonggarkan oleh Dicky. Gadis itu mengendap-endap menuju pintu ruangan untuk
melihat suasana di luar. Setelah memastikan kalau memang kedua orang itu telah
lengah, Diana segera kabur lewat jendela dan berlari ke arah yang ditunjukkan
Dicky.
Tak disangka jalanan di sana ternyata gelap. Rumah itu
jauh dari pemukiman. Hanya ada beberapa lampu yang menerangi jalanan kecil dari
rumah itu ke jalan besar. Berkali-kali Diana jatuh tersungkur karena lemas dan
ketakutan. Bukan takut pada setan atau apa. Tapi takut kalau-kalau ada penjahat
lain selain para penculik itu yang bersembunyi di balik semak. Apalagi efek
obat bius yang masih dirasakannya membuat gadis itu kesusahan berlari. Nafasnya
tersengal, seiring dengan kakinya yang kini gemetaran. Tapi ia tetap terus
berlari, meski betisnya terasa kaku, dan badannya seolah tak bertenaga.
Dandanannya pun kini telah kacau. Rambutnya awut-awutan dan lepek oleh
keringat. Celana dan bajunya juga belepotan darah segar yang mengucur dari
lukanya karena jatuh tadi.
Beberapa meter sebelum ia mencapai jalan besar, gadis
itu kembali tersungkur. Kali ini ia benar-benar seperti tak bisa bangun lagi. Berkali-kali
lututnya menghantam aspal rusak membuat kakinya benar-benar sulit di ajak
berkompromi lagi. kepalanya pun kini berkunang-kunang, seolah kesadarannya akan
hilang kembali. Tapi kemudian, ia menepuk-nepuk pipinya agar ia tak sampai
pingsan sebelum bertemu taksi itu.
Akhirnya ia duduk sejenak, mengatur nafas. Tinggal
sedikit lagi. Batinnya. Di jalanan aspal rusak yang temaran itu, Diana
meluruskan kaki dan meniupi lukanya untuk mengurangi rasa perih. Ia juga
memijat-mijat betisnya, agar pegal itu sedikit hilang.
Tapi belum sampai ia merasa lebih baik, suara
mengejutkan dari arah belakang membuat jantung gadis itu kembali berdisco. Itu
pasti suara kedua penculik itu. Susah payah, Diana bangun dari duduknya, tapi
kakinya tak cukup kuat menopang tubuhnya, hingga ia jatuh lagi. Dadanya kini
kembang kempis. Ketakutan kembali menggerayangi otaknya. Ia berusaha bangun
lagi, tapi kembali jatuh.
Suara teriakan kedua penculik itu semakin lama semakin
jelas terdengar. Diana semakin panik. Apalagi saat ia memutar kepala,
pandangannya menemukan dua sosok yang tengah membungkuk-bungkuk sambil
memegangi perut di bawah lampu jalan yang berjarak sekitar 20 meter
darinya. Mata gadis itu membelalak.
Cepat atau lambat, mereka pasti akan bisa menangkap Diana lagi. Gadis itu tak
menyerah. Ia berusaha bangkit lagi, dan kali ini ia benar-benar bisa mengangkat
tubuhnya. Tapi baru selangkah kakinya terayun, ia kembali ambruk. Lagi-lagi
tubuhnya beradu dengan bebatuan dari aspal rusak. Ia tak sanggup lagi.
Akhirnya, ia hanya bisa menyeret tubuh lemahnya dengan tangan. Entah sejak
kapan air di matanya meleleh, ia tak bisa memastikan. Yang jelas kini ia
terisak, tak berdaya.
Ia sebenarnya ingin berteriak. Tapi degup jantungnya
yang begitu kencang membuat suaranya seolah tak bisa keluar. Kini ia pasrah. Ia
hanya bisa berdoa dalam hati agar ada orang yang menolongnya. Penculik itu
semakin lama semakin mendekat. Suara mereka juga terdengar jelas meneriaki
Diana. Itu artinya, para penculik itu telah melihatnya.
Isak tangis Diana semakin mengencang. Ia menutup
matanya, seolah tak peduli dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia
menenggelamkan kepalanya yang berat di atas tangan yang kini bertumpu di atas
aspal. Hingga kemudian, seseorang mencengkeram lengannya yang bebas, dan
mengangkat tubuhnya. Antara sadar dan tidak, gadis itu merasakan tubuhnya
terguncang-guncang seolah di ajak berlari dalam bopongan. Lalu, ia merasakan
tubuhnya didudukkan di sebuah kursi, dan terdengar pintu ditutup. Gadis itu
berusaha membuka matanya yang berkunang-kunang. Tapi semua tampak gelap. Ia
belum bisa sepenuhnya melihat. Lalu, terdengar lagi pintu sebelah kanannya
ditutup. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengembalikan
kesadarannya dan menghilangkan kunang-kunang yang mengganggu penglihatannya.
Berhasil. Sedikit demi sedikit, penglihatannya pulih.
Ia pun menengok ke arah kanan, dan menemukan seorang pria tengah baya duduk di
belakang kemudi. Baru ia sadari, kalau kini ia telah berada di dalam sebuah
mobil. Dahinya kemudian mengerut. Bingung, siapa pria itu sebenarnya. Ia tak
mengenalnya sama sekali. Tapi ia belum bisa mengeluarkan suara untuk bertanya.
Tubuhnya yang lemah dan terasa perih di mana-mana membuatnya seperti daging
tanpa tulang yang tersandar di jok mobil. Pelan-pelan, ia mengatur nafas, dan
menghalau debar yang sedikit demi sedikit memelan. Matanya mengedip-ngedip
lemah, lelah.
Sesaat kemudian, Diana mendengar suara pria yang kini tengah melajukan mobil
itu berbicara dengan seseorang lewat telepon, “hallo … iya, saya sudah ketemu,
Den. … iya, bapak yakin enggak salah. Orangnya sama persis dengan yang ada
difoto. … dia …,” pria itu menghadirkan jeda. Saat Diana menengok ke kanan,
terlihat pria itu tengah memperhatikannya. “Dia keadaannya kacau, Den. Pada
luka-luka. … bapak kurang tau, Den. Waktu bapak nemuin dia tadi, kayaknya dia
lagi dikejar-kejar penjahat deh. Dia tadi jatuh tersungkur di jalanan. Trus
bapak tolongin. … o iya, Den. Boleh.”
Pria itu mengulurkan HP di tangan kirinya kepada
Diana, membuat dahi Diana kembali mengernyit.
“Temannya Non yang minta Bapak jemput Non di sini.”
Diana masih belum nyambung. Lalu, pria itu kembali berkata, “Dicky. Non kenal,
kan?!” Baru Diana ngeh. Berarti pria itu adalah sopir taksi yang dibilang oleh
Dicky. Diana pun mengangguk, lalu menerima HP di tangan pria itu.
"Hallo," ujar Diana, lemah.
"Dii, lo nggak pa-pa, kan?!" Suara di
seberang terdengar panik. "Sopir taksinya bilang lo luka-luka. Lo kenapa?
Ketahuan? Mereka ngelakuin sesuatu sama lo?"
"Enggak, Cky. Tadi gue jatuh di jalan. Di sini
gelap. Cuma luka di kaki." Suara gadis itu benar-benar tak bertenaga sama
sekali.
"Mereka ngejar lo?"
"Iya. Tapi gue ditolong sama bapak-bapak
ini."
"Syukurlah kalau lo selamat. Tadi gue udah minta
bapak itu buat nganter lo ke asrama. Gue juga udah ngasih alamatnya. Ongkosnya
juga udah gue kasih. Lo tenang aja. Sopir taksinya baik. Lo nggak bakal
diapa-apain. Lo istirahat aja di taksi. Ntar kalau udah nyampe biar dia
bangunin lo ..."
"Cky," potong Diana. "Kenapa lo
ngelakuin ini?"
"Please, Dii, jangan tanya kenapa."
"Tapi ..."
"Dii, tolong. Jangan tanyain itu sekarang.
Mendingan lo istirahat, tidur. Lo pasti lemes banget karena dibius tadi.
Ya?"
Diana menghela nafas berat, setengah mendengus. Ia
benar-benar bingung apa sebenarnya maksud dari semua yang dilakukan pemuda itu.
Tadi dia yang nyulik Diana. Tapi dia juga yang membantunya kabur. Aneh, tapi
memang itulah yang terjadi.
Dalam kekalutan perasaannya, gadis itu menyerahkan
benda di tangannya kepada sopir taksi, lalu memejamkan mata dan terlelap.
'* * *
* *
Kamar berukuran 3x3 meter itu tampak berantakan oleh
baju-baju milik Nanda. Beberapa hari ini, alam memang tidak bersahabat. Hujan
turun sepanjang hari, membuat cucian Nanda tidak kering. Jadi gadis itu punya
inisiatif menyetrika pakaian-pakaian demek yang habis dicucinya. Ia
bernyanyi-nyanyi riang, untuk menghilangkan jenuh. Belum sampai pakaian itu
terapikan semua, tiba-tiba ia mendengar pintu kamarnya diketuk. Itu pasti bukan
Shita. Batinnya. Biasanya Shita memang selalu nyelonong ke kamar tanpa mengetuk
pintu. Tidak sopan sih memang. Tapi Nanda sudah terbiasa dengan kebiasaan
sahabat karibnya itu.
“Sebentar!” seru Nanda, lantas mencabut setrikaannya.
Gadis itu meraup bajunya, dan ia masukkan ke ranjang pakaian. Lalu, ia
mendorong keranjang pakaiannya itu ke kolong ranjang. Dengan masih
mempertahankan keceriaannya, gadis itu berjalan menuju pintu lalu membukanya.
Ia semakin memperlebar senyumnya saat melihat siapa orang yang berada di balik
pintu yang ia buka itu.
“Bisma?” serunya, senang. Tapi begitu melihat gadis
yang bersandar di pembatas teras depan kamar seraya melemparkan tatap sinis ke
arahnya, senyum Nanda seketika menghilang. “Raisya?”
Bersambung
By: Novita SN (Vita Story)
Fb: Vita Story
Bersambung
By: Novita SN (Vita Story)
Fb: Vita Story
No comments:
Post a Comment