“Ada apa, Nda? Bilang sama gue.” Shita bertanya dengan
nada panik.
Belum sampai Nanda menjawab, terdengar pintu diketuk.
Tiga kali ketukan yang tak biasa. Nanda meregangkan pelukannya, dan mengusap
air mata yang membasahi kedua pipinya.
“Siapa?” teriak Shita, seraya beranjak dari ranjang
Nanda, dan berjalan menuju pintu.
Ketika pintu terkuak, terlihat seorang pemuda tampan
bermata sipit berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Pakaiannya sangat rapi,
seperti orang yang mau berangkat ke kantor. Shita mengernyitkan dahi.
“Kak Rafa?”
“Selamat pagi adek-adekku yang manis-manis,” sapanya,
sambil memperlebar senyumnya. Tapi beberapa saat memandang Shita, senyum Rafa
berubah menjadi kernyitan di dahi. “Kok lesu amat? Kamu kenapa, Ta?”
“Nanda,” lirih Shita.
“Kenapa Nanda?”
Tanpa menjawab, Shita memperlebar daun pintu, hingga
Rafa bisa melihat Nanda yang masih sesenggukan di ranjangnya. Rafa langsung
menerobos masuk ke dalam kamar yang kini hanya dihuni oleh dua orang gadis itu,
lalu duduk di hadapan Nanda.
“Kamu kenapa, Dek?” tanya Rafa, seraya mengelus pipi
Nanda yang kembali dialiri bulir bening dari matanya.
“Kak Rafa.” Gadis itu langsung memeluk kakaknya
erat-erat dengan tangis kian menjadi. Rafa jadi semakin khawatir dengan keadaan
adik sepupu yang sangat disayanginya itu.
“Sebenarnya ada apa, sih?”
“Nanda nggak bisa lihat, Kak.”
“Nggak bisa ngeliat?” Pemuda itu melepas pelukannya,
lalu memperhatikan wajah adiknya dengan seksama. “Maksudnya … kumat lagi?”
Hanya anggukan yang mewakili jawaban atas pertanyaan Rafa. “Kok bisa, sih?
Memangnya ada apa? Pasti ada sesuatu yang terjadi sama kamu.”
Nanda belum mau menjawab. Bening yang keluar dari
matanya malah menderas. Sesenggukannya kian menjadi. Ia kembali menyematkan
kepalanya di dada Rafa, dan memeluk kakaknya itu erat-erat.
“Kak Rafa, mungkin sebaiknya Nanda dibawa ke dokter
dulu,” ujar Shita. “Nanyanya ntar aja. Tadi Shita juga udah tanya tapi dia
belum mau jawab. Kayaknya dia belum mau cerita deh.”
Rafa mengangguk. Ia rasa itu memang tindakan yang
paling tepat. Nanda harus dibawa ke dokter dulu. Mengenai sebab kumatnya
penyakit Nanda itu urusan belakangan. “Kalau gitu, Kakak akan bawa Nanda ke
dokternya, ya. Nanti kamu mintain ijin sama pihak kampus.”
“Iya, Kak,” sahut Shita.
‘* * *
* *
Rangga menemukan Bisma kembali melamun di ranjangnya
saat ia kembali dari kamar mandi. Sejak tadi malam, ia merasakan keanehan pada
kawan baiknya itu. Bisma banyak murung sejak semalam. Kalau Rangga tanya ada
apa, ia tak mau menjawab. Hanya menggeleng, lalu menghindar dari Rangga. Rangga
sendiri tak tau apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Semalam ia pergi
mencari buku bersama beberapa orang temannya. Saat ia sampai di asrama lagi,
keadaan Bisma sudah seperti ini.
Rangga mengeringkan rambut basahnya dengan handuk di
depan kaca sambil sesekali melirik ke arah Bisma. Bisma telah berpakaian rapi,
siap berangkat. Tapi dia tidak juga beranjak dari ranjangnya. Malah melamun.
Bahkan tadi saat Rangga masuk kamar, tak ada reaksi apapun dari Bisma. Ia tetap
seperti itu, bersandar di sisi ranjang dengan tatapan kosong.
Baru saja Rangga membuka mulut untuk bertanya lagi apa
yang sebenarnya terjadi pada Bisma, niatnya diurungkan oleh HP Bisma yang
tiba-tiba berbunyi. Mulut Rangga yang terbuka kembali menutup. Ia kembali
mengusap-usap rambut dengan handuk seraya memperhatikan Bisma yang menilik
HP-nya. Terlihat raut muka Bisma bertambah asam. Lalu, Rangga mendengar Bisma
mendengus berlebih. Pemuda itu kini bangkit.
“Bii,” panggil Rangga sebelum Bisma benar-benar pergi
dari kamar mereka. “Sebenarnya lo kenapa, sih? Kalau ada masalah cerita donk.
Siapa tau gue bisa bantu. Jangan diam aja kayak gini. Gue serba salah jadinya.
Sebenarnya ada apa? Lo kenapa? Sejak semalam, lo tuh benar-benar aneh tau nggak.”
Bisma tak langsung menjawab. Ia mengambil tas yang ia
gantung di samping lemari, lantas menyampirkannya di salah satu pundak. “Gue
nggak pa-pa,” jawabnya, setelah menghela nafas berat.
“Nggak mungkin lo nggak kenapa-kenapa. Muka lo tuh
nggak bisa bohong, Bii. Ada apa? Ada masalah sama Nanda?”
“Gue nggak pa-pa, Ngga. Lo tenang aja. Udah ya, gue
duluan.”
“Tuh, kan, aneh lagi. Biasanya lo selalu nungguin gue.
Kenapa sekarang lo pengen berangkat duluan?”
“Lo bareng Reza aja,” ucap Bisma sambil lalu, lantas
benar-benar pergi dari kamar itu.
Rangga tercenung melihat kawannya pergi begitu saja.
Baru kali ini ia melihat Bisma mukanya kusut dan tidak mau cerita seperti itu.
Biasanya kalau salah satu dari mereka ada masalah, mereka selalu cerita.
Memecahkan masalah bersama. Saling berbagi. Tapi sekarang? Rangga jadi kesal
sendiri. Udah Morgan enggak ada. Bisma jadi aneh. Dia juga lagi punya masalah
tentang hubungannya dengan Shita. Mau berbagi sama Bisma juga jadi tidak enak.
Gimana mau berbagi kalau sepertinya Bisma saja tidak mau berbagi seperti itu?
“Arrrggghhh... Nyebelin!” Rangga melempar handuknya
dengan kesal ke ranjang yang biasanya dipakai Morgan. Lalu, ia segera
bersiap-siap untuk berangkat ke kampus.
‘* * *
* *
Bisma menyusuri koridor asrama dengan hati tak
menentu. Baru saja ia mendapat BBM dari Raisya yang menyuruhnya untuk menemui
Raisya di taman depan. Bisma sebenarnya malas. Kalau bisa malah jangan sampai
dia bertemu dengan Raisya. Tapi ancaman yang sering masuk ke BBM-nya membuat
Bisma tak bisa berkutik. Ia harus mengikuti apa kata Raisya kalau ia tak mau
keselamatan adiknya terancam lagi. Bahkan, Raisya juga bilang kalau Bisma
berani macam-macam, Raisya tak hanya akan berbuat buruk kepada Diana, tapi juga
pada Nanda. Raisya meminta Bisma bungkam kepada siapa pun tentang masalah ini.
Kalau Bisma berani membocorkannya, ia tak akan segan-segan melakukan
ancamannya.
Bisma menemukan seorang gadis cantik bertubuh langsing
dengan mata indah saat ia tiba di taman depan. Gadis itu tersenyum manis saat
melihat Bisma berjalan ke arahnya. Tapi, senyum manis itu tak mampu mencairkan
hati Bisma. Raisya memang cantik. Bisma akui itu. Tapi, kecantikan luarnya tak
diimbangi kecantikan hati. Makanya Bisma muak melihatnya. Ia mempersembahkan muka
masam untuk membalas senyum manis Raisya.
“Kok cemberut, sih? Senyum donk.” Raisya berucap
dengan manja ketika Bisma sampai tepat di depannya. Bisma bergeming. Bahkan
saat tangan Raisya tiba-tiba melingkar di lengannya pun, Bisma tetap diam.
“Ada apa?” tanya Bisma dengan nada datar.
Raisya memeluk lengan Bisma lebih erat, lantas
menyandarkan kepalanya di pundak Bisma. “Pengen ketemu aja,” jawabnya. “Kangen,
semaleman enggak ketemu.”
Ya ampun, suara manja itu membuat kuping Bisma seperti
kemasukan semut. Geli campur muak, membuat isi perutnya seakan berdesakan ingin
keluar. Kali ini ia mendengus, lantas menarik lengannya dari dekapan Raisya. Ia
menggerakkan kakinya selangkah, lalu membenarkan letak tas ranselnya.
“Galak amat, sih?” Bisma jadi merasa aneh. Perasaan
dia tidak bilang apa-apa. Kenapa gadis saiko itu mengatainya galak? Tapi dia
hanya melirik sesaat tanpa berkata apapun. “O iya, hari ini aku mau kamu ngasih
tau ke teman-teman kamu kalau kita udah jadian.”
“Apa?” Bisma menyahut, kaget.
“Iya. Aku ingin teman-teman tau kalau kita pacaran.”
“Tapi …”
“Enggak usah pakai tapi kenapa, sih?” potong Raisya.
“Pokoknya, nanti kamu bilang sama teman-teman kalau kita jadian. Ok?”
Bisma tak bisa mengelak lagi. Ia hanya bisa pasrah
dengan apapun yang diinginkan Raisya. Ia hanya bisa menuruti kalau ingin
orang-orang yang disayanginya dalam keadaan baik-baik saja. Ah, andai waktu
bisa diputar mundur. Tak akan sudi ia berurusan dengan orang macam Raisya. Tapi
mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Mulai hari ini, ia harus siap
menjalani hari yang penuh tekanan bersama Raisya. Tanpa Nanda. Tanpa kekasih
yang sangat dicintainya. Membayangkan hari-hari selanjutnya setelah ini, kepala
Bisma jadi seperti diputar-putar.
“O iya. Kita juga harus ngomong sama adik kamu biar
dia tau kalau calon kakak iparnya sekarang bukan Si Nanda, tapi aku. Dan lagi,
kita juga harus bilang sama Nanda. Ya, orang pertama yang harus kita kasih tau
kabar gembira ini adalah Nanda. Gimana?”
Lagi-lagi Bisma tak menjawab. Kepalanya benar-benar
seperti digetok pakai palu segede gajah. Nyut-nyutan.
* * *
* *
Ilham menendang
pot bunga besar di sampingnya dengan kesal. Sebenarnya ini masih terlalu pagi
untuk marah-marah. Tapi adegan di depannya membuat emosi itu meletup-letup.
Darahnya sudah mencapai ubun-ubun. Muka pemuda berdarah Sulawesi itu sudah
memerah sejak beberapa menit lalu, saat ia melihat Raisya memeluk lengan Bisma
dengan senyum manis terkembang di bibir.
Dengan langkah terburu, Ilham menuju taman belakang
kampus. Nyeri di kakinya seolah tak terasa. Seluruh inderanya seperti tak lagi
bisa berfungsi. Ia bahkan hanya mengandalkan insting saat membawa tubuhnya
berjalan hingga belakang kampus dan menghentikan langkah di bawah sebuah pohon
kelapa. Nafasnya tersengal. Jantungnya memacu dua kali lebih cepat. Mukanya
masih memerah, dengan raut terlipat. Tak ada kata yang bisa menggambarkan
keadaan hatinya saat ini. Semua rasa tak enak bercampur-campur seperti
gado-gado, membuat otaknya seperti konslet. Entah apa yang Ilham pikirkan saat
tiba-tiba tangannya terangkat dan melayangkan sebuah tinju ke pohon kelapa di
sampingnya dengan sekuat tenaga. Ia seharusnya merasa sakit karena tonjokannya
itu justru membuat tangannya terluka. Tapi ia tak merasakan apapun.
Saat ia hampir melayangkan satu tinju lagi ke pohon
kelapa itu, telinganya mendadak menangkap sebuah suara yang meneriakkan
namanya. Ia masih tercenung bebarapa saat. Beberapa kali panggilan itu ia
terima, ia belum juga bisa merespon. Pemuda itu baru memutar kepala saat
bahunya ditepuk oleh seseorang. Tampak seorang gadis dengan rambut lurus sebahu
tengah berdiri di belakangnya.
“Fryda?” gumam Ilham.
Mata Fryda membola saat melihat ada darah yang
menghiasi jemari Ilham. Ia menangkap lengan pemuda itu, dan memperhatikan
luka-luka berdarah di tangannya. “Lo kenapa, Am?”
Pemuda itu tak menjawab. Ia malah memalingkan muka
dengan nafas masih saja memburu.
“Sini gue obatin.” Merasa pertanyaannya dicueki,
akhirnya Fryda menarik tangan Ilham menuju ke tanah landai beberapa meter dari
tempat mereka berdiri, lantas mengajak Ilham duduk di sana. Gadis itu
mengeluarkan kotak P3K kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana. Dengan telaten,
gadis itu membersihkan luka Ilham dengan alcohol, lalu memberi betadin dan
membalut lukanya satu persatu.
“Lo sebenarnya kenapa, sih, Am? Kok sampai berdarah
kayak gini? Lo abis jatuh? Atau malah abis berantem?” Fryda memberondongkan
beberapa pertanyaan tanpa mengalihkan pandang dari luka-luka di tangan Ilham.
Untuk beberapa saat, Ilham belum menjawab. Tapi kemudian, pemuda itu membuka
mulut juga.
“Iya. Gue emang abis berantem,” jawabnya. Kali ini
Fryda mendongak menatap wajah Ilham. “Sama pohon.”
Sekali lagi, mata Fryda membelalak. “Sama pohon?”
“Ya. Sama pohon kelapa.” Ilham masih menjawab santai,
membuat Fryda semakin bingung.
Gadis itu menghela nafas. Ia tau kalau orang di
depannya ini pasti tengah menahan kesal. Kalau tidak, mana mungkin dia mengajak
pohon kelapa berantem? “Trus gimana pohon kelapanya abis lo tonjok? Tumbang?”
candanya, tapi dengan muka serius. Sebenarnya ia ingin berusaha mencairkan hati
Ilham. Siapa tau dengan candaannya, suasana hati kawannya itu akan menjadi
lebih baik. Atau, malah tambah buruk? Fryda tak berharap begitu.
“Enggak,” jawab Ilham. “Tuh, pohonnya masih berdiri
tegak.” Ia menunjuk pohon kelapa yang tadi ia tonjok dengan dagunya. “Tangan
gue malahan yang ancur nih.”
“Lagian udah tau nggak bakalan menang ngelawan pohon
kelapa. Masih aja nantangin ngajak berantem.” Sekali lagi, Fryda mengeluarkan
candaannya. Dan entah kenapa, candaan itu sukses membuat Ilham tersenyum, meski
hanya tersenyum kecil. Tapi dari senyum kecil itu, Fryda tau kalau ia telah
sukses membuat hati llham sedikit lebih baik.
Gadis itu merapikan obat-obatannya begitu selesai
mengobati tangan Ilham. Setelah semua rapi, ia baru benar-benar menanyai Ilham
ada apa sebenarnya sampai sepagi ini, Ilham sudah mengajak pohon kelapa
berantem.
“Sebenarnya ada apa?”
Ilham masih merenung seraya memandangi parit berair
jernih di bawah mereka. Di sampingnya, Fryda masih setia menunggu jawaban atas
tanyanya. Beberapa saat dalam diam, Ilham mengela nafas, lalu bergumam, “Raisya
jadian sama Bisma?”
“Apa?” Tampak Fryda terlonjak kaget.
“Ya. Raisya sekarang pacaran sama Bisma.”
“Kok bisa? Lo tau dari mana?”
“Gue denger sendiri tadi. Gue juga nggak tau kenapa
mereka bisa jadian. Yang jelas mereka udah jadian.”
“Lo yakin mereka jadian?”
“Yakinlah. Gue tadi denger sendiri. Mereka udah
pacaran. Dan kayaknya, Raisya seneng banget bisa pacaran sama Bisma.”
Fryda masih berusaha mencerna segala hal yang
dikatakan Ilham. Dia terlalu kaget, terlalu tak percaya. Ia tau Bisma. Menurut
dia, tidak mungkin Bisma tiba-tiba memutuskan pacarnya dan langsung pacaran
sama Raisya. Jelas-jelas seminggu yang lalu Fryda melihat Bisma masih
mesra-mesra aja sama pacarnya. Mana mungkin sekarang tiba-tiba jadian sama
Raisya.
“Please, jangan tanya apapun dulu,” Ujar Ilham, pelan.
Mengerti akan kegalauan hati Ilham, gadis itu nurut. Belum sempat ia mengangguk
ketika ia merasakan bahunya tiba-tiba terasa berat. saat ia melirik ke samping,
ia melihat kepala Ilham sudah rebah di bahu kanannya.
“Biarin gue pinjem bahu lo bentar. Bentar aja.” Pemuda
itu lantas menghela nafas, berat.
Fryda benar-benar ikhlas meminjamkan bahunya.
Membiarkan Ilham bersandar sejenak pada dirinya. Ia tak bertanya apapun, tak
berkata apapun lagi. Ia diam, memberi kesempatan kepada Ilham untuk menata hati
dan membuang segala kepenatan yang mengisi kepala dan dadanya.
Ketika hati Ilham telah berangsur tentram, tiba-tiba
keduanya terlonjak kaget karena mendengar suara seseorang berdehem di belakang
mereka. Ilham langsung menengok ke belakang, begitu juga Fryda. Saat mereka
melihat siapa orang yang berdehem itu, mereka semakin terkejut. Keduanya jadi
salah tingkah, terutama Fryda. Tapi kegugupan mereka itu tak berlangsung lama,
karena mereka sama-sama bisa mengatasi kekagetan itu.
Mereka berdua sama-sama berdiri kemudian. Sebenarnya,
ada gemuruh lagi yang terjadi di dalam dada Ilham melihat gadis yang menggamit
mesra pemuda di sampingnya itu. Tapi, pemuda itu bisa bersikap biasa saja. Bahkan,
Ilham berusaha tersenyum, meski hanya senyum simpul.
‘* * *
* *
Rafa menghentikan langkah di pojok tempat parkir. Jantungnya
tiba-tiba terasa berhenti berdetak. Nafasnya tercekat. Ia seperti tak bisa
bergerak. Pandangannya lurus ke depan, menatap seorang gadis cantik bertubuh
semampai yang juga mematung beberapa meter di depannya. Kalau bisa, sebenarnya
Rafa ingin sekali berlari ke arah gadis itu. Memeluknya erat-erat, untuk
menebus kerinduan yang bersemayam di hatinya beberapa hari belakangan ini. Tapi
Rafa tidak bisa. Ego itu menghalanginya. Ego itu memaksanya untuk tetap tak
menghiraukan gadisnya. Ego itu membuat ia bertahan untuk tetap menjalani aksi
ngambeknya. Dan ego itu ... membuat mata bundar gadisnya digenangi air.
Rafa bisa melihat bening itu. Ia juga bisa melihat
wajah gadisnya memelas, memohon. Ia menyadari kalau kini hatinya sebenarnya
meleleh. Tapi ia bingung harus bagaimana. Ia ingin mendekati gadisnya, tapi ada
sesuatu dalam dirinya yang mencegah. Hatinya kini berkecamuk.
By: Novita SN
Fb: Vit a Story
No comments:
Post a Comment