Friday, December 18, 2015

Ketika Cinta Bersenandung (Perjalanan Cinta Bisma) Part 76



“Ada apa, Nda? Bilang sama gue.” Shita bertanya dengan nada panik.

Belum sampai Nanda menjawab, terdengar pintu diketuk. Tiga kali ketukan yang tak biasa. Nanda meregangkan pelukannya, dan mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.

“Siapa?” teriak Shita, seraya beranjak dari ranjang Nanda, dan berjalan menuju pintu.

Ketika pintu terkuak, terlihat seorang pemuda tampan bermata sipit berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Pakaiannya sangat rapi, seperti orang yang mau berangkat ke kantor. Shita mengernyitkan dahi.

“Kak Rafa?”

“Selamat pagi adek-adekku yang manis-manis,” sapanya, sambil memperlebar senyumnya. Tapi beberapa saat memandang Shita, senyum Rafa berubah menjadi kernyitan di dahi. “Kok lesu amat? Kamu kenapa, Ta?”

“Nanda,” lirih Shita.

“Kenapa Nanda?”

Tanpa menjawab, Shita memperlebar daun pintu, hingga Rafa bisa melihat Nanda yang masih sesenggukan di ranjangnya. Rafa langsung menerobos masuk ke dalam kamar yang kini hanya dihuni oleh dua orang gadis itu, lalu duduk di hadapan Nanda.

“Kamu kenapa, Dek?” tanya Rafa, seraya mengelus pipi Nanda yang kembali dialiri bulir bening dari matanya.

“Kak Rafa.” Gadis itu langsung memeluk kakaknya erat-erat dengan tangis kian menjadi. Rafa jadi semakin khawatir dengan keadaan adik sepupu yang sangat disayanginya itu.

“Sebenarnya ada apa, sih?”

“Nanda nggak bisa lihat, Kak.”

“Nggak bisa ngeliat?” Pemuda itu melepas pelukannya, lalu memperhatikan wajah adiknya dengan seksama. “Maksudnya … kumat lagi?” Hanya anggukan yang mewakili jawaban atas pertanyaan Rafa. “Kok bisa, sih? Memangnya ada apa? Pasti ada sesuatu yang terjadi sama kamu.”

Nanda belum mau menjawab. Bening yang keluar dari matanya malah menderas. Sesenggukannya kian menjadi. Ia kembali menyematkan kepalanya di dada Rafa, dan memeluk kakaknya itu erat-erat.

“Kak Rafa, mungkin sebaiknya Nanda dibawa ke dokter dulu,” ujar Shita. “Nanyanya ntar aja. Tadi Shita juga udah tanya tapi dia belum mau jawab. Kayaknya dia belum mau cerita deh.”

Rafa mengangguk. Ia rasa itu memang tindakan yang paling tepat. Nanda harus dibawa ke dokter dulu. Mengenai sebab kumatnya penyakit Nanda itu urusan belakangan. “Kalau gitu, Kakak akan bawa Nanda ke dokternya, ya. Nanti kamu mintain ijin sama pihak kampus.”

“Iya, Kak,” sahut Shita.

‘*     *     *     *     *

Rangga menemukan Bisma kembali melamun di ranjangnya saat ia kembali dari kamar mandi. Sejak tadi malam, ia merasakan keanehan pada kawan baiknya itu. Bisma banyak murung sejak semalam. Kalau Rangga tanya ada apa, ia tak mau menjawab. Hanya menggeleng, lalu menghindar dari Rangga. Rangga sendiri tak tau apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Semalam ia pergi mencari buku bersama beberapa orang temannya. Saat ia sampai di asrama lagi, keadaan Bisma sudah seperti ini.

Rangga mengeringkan rambut basahnya dengan handuk di depan kaca sambil sesekali melirik ke arah Bisma. Bisma telah berpakaian rapi, siap berangkat. Tapi dia tidak juga beranjak dari ranjangnya. Malah melamun. Bahkan tadi saat Rangga masuk kamar, tak ada reaksi apapun dari Bisma. Ia tetap seperti itu, bersandar di sisi ranjang dengan tatapan kosong.

Baru saja Rangga membuka mulut untuk bertanya lagi apa yang sebenarnya terjadi pada Bisma, niatnya diurungkan oleh HP Bisma yang tiba-tiba berbunyi. Mulut Rangga yang terbuka kembali menutup. Ia kembali mengusap-usap rambut dengan handuk seraya memperhatikan Bisma yang menilik HP-nya. Terlihat raut muka Bisma bertambah asam. Lalu, Rangga mendengar Bisma mendengus berlebih. Pemuda itu kini bangkit.

“Bii,” panggil Rangga sebelum Bisma benar-benar pergi dari kamar mereka. “Sebenarnya lo kenapa, sih? Kalau ada masalah cerita donk. Siapa tau gue bisa bantu. Jangan diam aja kayak gini. Gue serba salah jadinya. Sebenarnya ada apa? Lo kenapa? Sejak semalam, lo tuh benar-benar aneh tau nggak.”

Bisma tak langsung menjawab. Ia mengambil tas yang ia gantung di samping lemari, lantas menyampirkannya di salah satu pundak. “Gue nggak pa-pa,” jawabnya, setelah menghela nafas berat.

“Nggak mungkin lo nggak kenapa-kenapa. Muka lo tuh nggak bisa bohong, Bii. Ada apa? Ada masalah sama Nanda?”

“Gue nggak pa-pa, Ngga. Lo tenang aja. Udah ya, gue duluan.”

“Tuh, kan, aneh lagi. Biasanya lo selalu nungguin gue. Kenapa sekarang lo pengen berangkat duluan?”

“Lo bareng Reza aja,” ucap Bisma sambil lalu, lantas benar-benar pergi dari kamar itu.

Rangga tercenung melihat kawannya pergi begitu saja. Baru kali ini ia melihat Bisma mukanya kusut dan tidak mau cerita seperti itu. Biasanya kalau salah satu dari mereka ada masalah, mereka selalu cerita. Memecahkan masalah bersama. Saling berbagi. Tapi sekarang? Rangga jadi kesal sendiri. Udah Morgan enggak ada. Bisma jadi aneh. Dia juga lagi punya masalah tentang hubungannya dengan Shita. Mau berbagi sama Bisma juga jadi tidak enak. Gimana mau berbagi kalau sepertinya Bisma saja tidak mau berbagi seperti itu?

“Arrrggghhh... Nyebelin!” Rangga melempar handuknya dengan kesal ke ranjang yang biasanya dipakai Morgan. Lalu, ia segera bersiap-siap untuk berangkat ke kampus.

‘*     *     *     *     *

Bisma menyusuri koridor asrama dengan hati tak menentu. Baru saja ia mendapat BBM dari Raisya yang menyuruhnya untuk menemui Raisya di taman depan. Bisma sebenarnya malas. Kalau bisa malah jangan sampai dia bertemu dengan Raisya. Tapi ancaman yang sering masuk ke BBM-nya membuat Bisma tak bisa berkutik. Ia harus mengikuti apa kata Raisya kalau ia tak mau keselamatan adiknya terancam lagi. Bahkan, Raisya juga bilang kalau Bisma berani macam-macam, Raisya tak hanya akan berbuat buruk kepada Diana, tapi juga pada Nanda. Raisya meminta Bisma bungkam kepada siapa pun tentang masalah ini. Kalau Bisma berani membocorkannya, ia tak akan segan-segan melakukan ancamannya.

Bisma menemukan seorang gadis cantik bertubuh langsing dengan mata indah saat ia tiba di taman depan. Gadis itu tersenyum manis saat melihat Bisma berjalan ke arahnya. Tapi, senyum manis itu tak mampu mencairkan hati Bisma. Raisya memang cantik. Bisma akui itu. Tapi, kecantikan luarnya tak diimbangi kecantikan hati. Makanya Bisma muak melihatnya. Ia mempersembahkan muka masam untuk membalas senyum manis Raisya.

“Kok cemberut, sih? Senyum donk.” Raisya berucap dengan manja ketika Bisma sampai tepat di depannya. Bisma bergeming. Bahkan saat tangan Raisya tiba-tiba melingkar di lengannya pun, Bisma tetap diam.

“Ada apa?” tanya Bisma dengan nada datar.

Raisya memeluk lengan Bisma lebih erat, lantas menyandarkan kepalanya di pundak Bisma. “Pengen ketemu aja,” jawabnya. “Kangen, semaleman enggak ketemu.”

Ya ampun, suara manja itu membuat kuping Bisma seperti kemasukan semut. Geli campur muak, membuat isi perutnya seakan berdesakan ingin keluar. Kali ini ia mendengus, lantas menarik lengannya dari dekapan Raisya. Ia menggerakkan kakinya selangkah, lalu membenarkan letak tas ranselnya.

“Galak amat, sih?” Bisma jadi merasa aneh. Perasaan dia tidak bilang apa-apa. Kenapa gadis saiko itu mengatainya galak? Tapi dia hanya melirik sesaat tanpa berkata apapun. “O iya, hari ini aku mau kamu ngasih tau ke teman-teman kamu kalau kita udah jadian.”

“Apa?” Bisma menyahut, kaget.

“Iya. Aku ingin teman-teman tau kalau kita pacaran.”

“Tapi …”

“Enggak usah pakai tapi kenapa, sih?” potong Raisya. “Pokoknya, nanti kamu bilang sama teman-teman kalau kita jadian. Ok?”

Bisma tak bisa mengelak lagi. Ia hanya bisa pasrah dengan apapun yang diinginkan Raisya. Ia hanya bisa menuruti kalau ingin orang-orang yang disayanginya dalam keadaan baik-baik saja. Ah, andai waktu bisa diputar mundur. Tak akan sudi ia berurusan dengan orang macam Raisya. Tapi mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Mulai hari ini, ia harus siap menjalani hari yang penuh tekanan bersama Raisya. Tanpa Nanda. Tanpa kekasih yang sangat dicintainya. Membayangkan hari-hari selanjutnya setelah ini, kepala Bisma jadi seperti diputar-putar.

“O iya. Kita juga harus ngomong sama adik kamu biar dia tau kalau calon kakak iparnya sekarang bukan Si Nanda, tapi aku. Dan lagi, kita juga harus bilang sama Nanda. Ya, orang pertama yang harus kita kasih tau kabar gembira ini adalah Nanda. Gimana?”

Lagi-lagi Bisma tak menjawab. Kepalanya benar-benar seperti digetok pakai palu segede gajah. Nyut-nyutan.

*     *     *     *     *

 Ilham menendang pot bunga besar di sampingnya dengan kesal. Sebenarnya ini masih terlalu pagi untuk marah-marah. Tapi adegan di depannya membuat emosi itu meletup-letup. Darahnya sudah mencapai ubun-ubun. Muka pemuda berdarah Sulawesi itu sudah memerah sejak beberapa menit lalu, saat ia melihat Raisya memeluk lengan Bisma dengan senyum manis terkembang di bibir.

Dengan langkah terburu, Ilham menuju taman belakang kampus. Nyeri di kakinya seolah tak terasa. Seluruh inderanya seperti tak lagi bisa berfungsi. Ia bahkan hanya mengandalkan insting saat membawa tubuhnya berjalan hingga belakang kampus dan menghentikan langkah di bawah sebuah pohon kelapa. Nafasnya tersengal. Jantungnya memacu dua kali lebih cepat. Mukanya masih memerah, dengan raut terlipat. Tak ada kata yang bisa menggambarkan keadaan hatinya saat ini. Semua rasa tak enak bercampur-campur seperti gado-gado, membuat otaknya seperti konslet. Entah apa yang Ilham pikirkan saat tiba-tiba tangannya terangkat dan melayangkan sebuah tinju ke pohon kelapa di sampingnya dengan sekuat tenaga. Ia seharusnya merasa sakit karena tonjokannya itu justru membuat tangannya terluka. Tapi ia tak merasakan apapun.

Saat ia hampir melayangkan satu tinju lagi ke pohon kelapa itu, telinganya mendadak menangkap sebuah suara yang meneriakkan namanya. Ia masih tercenung bebarapa saat. Beberapa kali panggilan itu ia terima, ia belum juga bisa merespon. Pemuda itu baru memutar kepala saat bahunya ditepuk oleh seseorang. Tampak seorang gadis dengan rambut lurus sebahu tengah berdiri di belakangnya.

“Fryda?” gumam Ilham.

Mata Fryda membola saat melihat ada darah yang menghiasi jemari Ilham. Ia menangkap lengan pemuda itu, dan memperhatikan luka-luka berdarah di tangannya. “Lo kenapa, Am?”

Pemuda itu tak menjawab. Ia malah memalingkan muka dengan nafas masih saja memburu.

“Sini gue obatin.” Merasa pertanyaannya dicueki, akhirnya Fryda menarik tangan Ilham menuju ke tanah landai beberapa meter dari tempat mereka berdiri, lantas mengajak Ilham duduk di sana. Gadis itu mengeluarkan kotak P3K kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana. Dengan telaten, gadis itu membersihkan luka Ilham dengan alcohol, lalu memberi betadin dan membalut lukanya satu persatu.

“Lo sebenarnya kenapa, sih, Am? Kok sampai berdarah kayak gini? Lo abis jatuh? Atau malah abis berantem?” Fryda memberondongkan beberapa pertanyaan tanpa mengalihkan pandang dari luka-luka di tangan Ilham. Untuk beberapa saat, Ilham belum menjawab. Tapi kemudian, pemuda itu membuka mulut juga.

“Iya. Gue emang abis berantem,” jawabnya. Kali ini Fryda mendongak menatap wajah Ilham. “Sama pohon.”

Sekali lagi, mata Fryda membelalak. “Sama pohon?”

“Ya. Sama pohon kelapa.” Ilham masih menjawab santai, membuat Fryda semakin bingung.

Gadis itu menghela nafas. Ia tau kalau orang di depannya ini pasti tengah menahan kesal. Kalau tidak, mana mungkin dia mengajak pohon kelapa berantem? “Trus gimana pohon kelapanya abis lo tonjok? Tumbang?” candanya, tapi dengan muka serius. Sebenarnya ia ingin berusaha mencairkan hati Ilham. Siapa tau dengan candaannya, suasana hati kawannya itu akan menjadi lebih baik. Atau, malah tambah buruk? Fryda tak berharap begitu.

“Enggak,” jawab Ilham. “Tuh, pohonnya masih berdiri tegak.” Ia menunjuk pohon kelapa yang tadi ia tonjok dengan dagunya. “Tangan gue malahan yang ancur nih.”

“Lagian udah tau nggak bakalan menang ngelawan pohon kelapa. Masih aja nantangin ngajak berantem.” Sekali lagi, Fryda mengeluarkan candaannya. Dan entah kenapa, candaan itu sukses membuat Ilham tersenyum, meski hanya tersenyum kecil. Tapi dari senyum kecil itu, Fryda tau kalau ia telah sukses membuat hati llham sedikit lebih baik.

Gadis itu merapikan obat-obatannya begitu selesai mengobati tangan Ilham. Setelah semua rapi, ia baru benar-benar menanyai Ilham ada apa sebenarnya sampai sepagi ini, Ilham sudah mengajak pohon kelapa berantem.

“Sebenarnya ada apa?”

Ilham masih merenung seraya memandangi parit berair jernih di bawah mereka. Di sampingnya, Fryda masih setia menunggu jawaban atas tanyanya. Beberapa saat dalam diam, Ilham mengela nafas, lalu bergumam, “Raisya jadian sama Bisma?”

“Apa?” Tampak Fryda terlonjak kaget.

“Ya. Raisya sekarang pacaran sama Bisma.”

“Kok bisa? Lo tau dari mana?”

“Gue denger sendiri tadi. Gue juga nggak tau kenapa mereka bisa jadian. Yang jelas mereka udah jadian.”

“Lo yakin mereka jadian?”

“Yakinlah. Gue tadi denger sendiri. Mereka udah pacaran. Dan kayaknya, Raisya seneng banget bisa pacaran sama Bisma.”

Fryda masih berusaha mencerna segala hal yang dikatakan Ilham. Dia terlalu kaget, terlalu tak percaya. Ia tau Bisma. Menurut dia, tidak mungkin Bisma tiba-tiba memutuskan pacarnya dan langsung pacaran sama Raisya. Jelas-jelas seminggu yang lalu Fryda melihat Bisma masih mesra-mesra aja sama pacarnya. Mana mungkin sekarang tiba-tiba jadian sama Raisya.

“Please, jangan tanya apapun dulu,” Ujar Ilham, pelan.

Mengerti akan kegalauan hati Ilham,  gadis itu nurut. Belum sempat ia mengangguk ketika ia merasakan bahunya tiba-tiba terasa berat. saat ia melirik ke samping, ia melihat kepala Ilham sudah rebah di bahu kanannya.

“Biarin gue pinjem bahu lo bentar. Bentar aja.” Pemuda itu lantas menghela nafas, berat.

Fryda benar-benar ikhlas meminjamkan bahunya. Membiarkan Ilham bersandar sejenak pada dirinya. Ia tak bertanya apapun, tak berkata apapun lagi. Ia diam, memberi kesempatan kepada Ilham untuk menata hati dan membuang segala kepenatan yang mengisi kepala dan dadanya.

Ketika hati Ilham telah berangsur tentram, tiba-tiba keduanya terlonjak kaget karena mendengar suara seseorang berdehem di belakang mereka. Ilham langsung menengok ke belakang, begitu juga Fryda. Saat mereka melihat siapa orang yang berdehem itu, mereka semakin terkejut. Keduanya jadi salah tingkah, terutama Fryda. Tapi kegugupan mereka itu tak berlangsung lama, karena mereka sama-sama bisa mengatasi kekagetan itu.

Mereka berdua sama-sama berdiri kemudian. Sebenarnya, ada gemuruh lagi yang terjadi di dalam dada Ilham melihat gadis yang menggamit mesra pemuda di sampingnya itu. Tapi, pemuda itu bisa bersikap biasa saja. Bahkan, Ilham berusaha tersenyum, meski hanya senyum simpul.

‘*     *     *     *     *

Rafa menghentikan langkah di pojok tempat parkir. Jantungnya tiba-tiba terasa berhenti berdetak. Nafasnya tercekat. Ia seperti tak bisa bergerak. Pandangannya lurus ke depan, menatap seorang gadis cantik bertubuh semampai yang juga mematung beberapa meter di depannya. Kalau bisa, sebenarnya Rafa ingin sekali berlari ke arah gadis itu. Memeluknya erat-erat, untuk menebus kerinduan yang bersemayam di hatinya beberapa hari belakangan ini. Tapi Rafa tidak bisa. Ego itu menghalanginya. Ego itu memaksanya untuk tetap tak menghiraukan gadisnya. Ego itu membuat ia bertahan untuk tetap menjalani aksi ngambeknya. Dan ego itu ... membuat mata bundar gadisnya digenangi air.

Rafa bisa melihat bening itu. Ia juga bisa melihat wajah gadisnya memelas, memohon. Ia menyadari kalau kini hatinya sebenarnya meleleh. Tapi ia bingung harus bagaimana. Ia ingin mendekati gadisnya, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mencegah. Hatinya kini berkecamuk.

Ketika pemuda itu sadar apa yang harus ia lakukan, ceritanya bersambung :-p

By: Novita SN
Fb: Vit a Story

No comments:

Post a Comment